Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Senin, 31 Juli 2017

Pengumuman Pemenang Sayembara Menulis Artikel Sosiologi Indonesia

Berdasarkan Penilaian dan Keputusan Panitia Sayembara Menulis Artikel Sosiologi Indonesia Tahun 2017 yang diselenggarakan oleh Braindilog Sociology berkerjasama dengan Gerakan Menulis Buku Indonesia, dengan ini kami mengumumkan 20 karya terbaik, yaitu:

Nama
Judul
Addin Kurnia Putri

Electronic Dance Music:
Dari Subkultur Ke Industri Budaya

Agnes Widya Pangestika
Transmisi Pemahaman Masyarakat dalam Penetapan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dalam Menjaga Stabilitas Kondisi Sosial Politik

Aisya Ikarahma

Diskrepansi Perilaku Sosial Mahasiswa Dalam Grup Whatsapp Dan Realita

Alifiani Nur Hasya

Dunia Pendidikan
Gunawan Wibisono

Menikmati Selfie: Potret Narsisme Dan Budaya Populer

Herwin Kanugrahani

Pembangunan Sosial Dan Pelestarian Lingkungan Hidup Di Kota Surakarta
Imantri Perdana
Perkembangan Pers Dan Peranannya Dalam Pergerakan Sosial Dalam Masa Reformasi
(1998-2014)
Kasmiati

Warisan Pemikiran  Prof. Sajogyo Dan Sosiologi Indonesia
Khamalida Fitriyaningsih
Hegemoni Kurikulum Pendidikan Nasional
Lailatul Chodriyah
Pesantren Dan Globalisasi : Pendidikan Pesantren
Lisya Septiani Putri

Label Sekolah Unggulan : Benturan Pembangunan Sosial

Luthfi Habibullah A
Perspektif Sosiologis TerhadapPersekusi (Antara Tuntutan Keadilan, Efek Jera dan Kekerasan
M. Ali Sofyan
Petani Hidup, Hutanpun Tak Mati: Penebangan (Antara Relasi Dan Resistensi) Petani Dengan Hutan Di Kawasan Desa Hutan
Millatul Jannah
Budaya Dan Identitas Tradisi Upacara Adat Sedekah Bumi
Perawati Sinti

Distorsi Media Massa

Sampean
Penetrasi Etnik Bugis – Makassar Dalam Gerak Sejarah Pembentukan Identitas Kebangsaan Indonesia
Tri Muryani

Masyarakat Modern Indonesia Dan Pemikiran Soedjatmoko
Ulfiana

Masyarakat Dalam Naungan Teknologi
Wahyu Triana Sari
Mitos Emansipasi Perempuandalam Media Televisi Indonesia Sebagai Tantangan Di Era Milineal
Yuda Pratama

Melawan Bullying Di Sekolah Dengan Bimbingan Konseling
Kami ucapkan selamat kepada para pemenang dan terimakasih kepada seluruh peserta yang sudah berpartisipasi dalam kegiatan sayembara ini, peserta yang sudah berpartisipasi akan mendapatkan e-sertifikat. Pemenang karyanya akan diterbitkan menjadi sebuah buku ber ISBN dan mendapatkan piagam perhargaan dari kekata publisher. Informasi selengkapnya dapat menghubungi narahubung 081329628967 (Fibri).

Demikan pengumuman ini kami sampaikan, atas perhatian Saudara, kami mengucapkan terima kasih.

Kamis, 27 Juli 2017

Debat Metodologi Ilmu Sosial

Tulisan ini merupakan review BAB 4 tentang Arti Metodologi dalam buku Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuatitatif  yang ditulis W. Laurence Neuman untuk edisi Indonesianya. Diterbitkan oleh PT.INDEKS tahun 2016, edisi 7, cetakan II dengan tebal 103-135 halaman. Tulisan akan diawali dengan menguraikan gambaran umum Bab 4, lalu disampaikan pula dasar filsafat dan pendekatan yang ada dalam bab ini, kemudian perkembangan metodologi dalam ilmu sosial. Bagian akhir akan penulis tutup dengan merespon perspektif yang disampaikan Neuman dalam bukunya ini.

Gambaran Umum Isi Buku (Bab 4)
Dalam mengawali pembahasan Bab 4, W. Lawrence Neuman mengajak pembaca  sebentar untuk merefleksikan adanya sejarah perdebatan sains dan ilmu sosial. Ini menyangkut dengan pertanyaan sifat ilmiah metodologi penelitian sosial yang lebih bernuansa dan bisa dilihat secara kompleks dan sains yang berdiri atas dasar asumsi dalam ilmu alam, yang sedari awal bermakna membentuk cara pandang penelitian sosial. Neuman menegaskan tidak ada jawaban yang mudah dalam dikotomi pertanyaan pendekatan ilmu sosial dan sains, karena setiap pendekatan mempunyai cara yang berbeda.

Oleh Neuman, pendekatan dipahami secara lebih luas mencakup epistimologi atau pertanyaan-pertanyaan mengenai teori pengetahuan, tujuan penelitian, evaluasi pemahaman, penjelasan maupun normatif. Neuman melanjutkan bahwa setiap pendekatan mempunyai asumsi filosofis yang berbeda yang dapat digunakan untuk memahami berbagai hal atau kejadian. Dengan kata lain Neuman dalam awal pembahasan ini memperingatkan pembaca untuk memposisikan pendekatan sebagai aspek penting di dalam menilai, menemukan inti bahkan melakukan suatu penelitian, karena hal ini dapat menciptakan kemajuan yang rasional terhadap pengetahuan dalam konteksnya sendiri, khususnya penelitian sosial.  

Bab 4 buku Neuman ini menampilkan tema menarik berkaitan dengan cakupan metodologi. Tema-tema tersebut diletakkan sebagai Sub-Bab dengan penjelasan yang luas. Tema tersebut diantaranya; Dasar Filosofis, Tiga Pendekatan, Ilmu Sosial Positivis, Ilmu Sosial Interpretatif, Ilmu Sosial Kritis, serta Penelitian Feminis dan Pasca Modern. Untuk kepentingan dalam tulisan ini, penulis mereview berdasarkan urutan setiap tema yang dibahas Neuman dalam bukunya. Hal ini bertujuan untuk membedakan maksud dan hakikat pembahasan di dalam Bab 4 buku Neuman ini.

Dasar-Dasar Filsafat
Pada dasarnya sesuatu yang abstrak selalu dilekatkan dengan filsafat. Oleh karena itu Neuman dalam bahasan ini mengaitkan abstraksi-abstraksi filsafat dengan teknik-teknik penelitian yang konkret. Dengan menekankan pada pendekatan alternatif yang berbeda-beda, Neuman mengutip Couch (hal, 104) untuk memberikan gambaran bagaimana asumsi filsafat dalam kerangka metodologi penelitian bisa dipahami di dalam berbagai pendekatan yang berbeda-beda. Kutipan tersebut sebagai berikut;
 “posisi ontologis dan epistimologis ini... tradisi penelitian memberikan fondasi dari salah satu perselisihan yang lebih pahit dalam sosiologi kontemporer. Masing-maisng pihak mengklaim bahwa kerangka pemikiran yang mereka ajukan memberikan sarana untuk memperoleh pengetahuan mengenai fenomena sosial dan masing-masing menganggap upaya pihak lain sebagai upaya yang paling sesat... mereka (posisi tersebut) berbeda berdasarkan pada fenomena yang harus dipelajari, cara seseorang melakukan pendekatan terhadap fenomena, dan cara fenomena harus dianalisis (Couch, 1987:106).

Kutipan di atas memberi kesan kerangka dan asumsi filosofis yang dibahas Neuman adalah menyangkut ontologi dan epistimologi dalam ilmu sosial. Dengan anggapan bahwa perbedaan asumsi selalu mewarnai perkembangan ilmu sosial (khususnya Sosiologi). Oleh karena itu Neuman menegaskan dengan menyadari sebuah asumsi atau asumsi yang berbeda-beda dalam pendekatan, seseorang akan mendapat  secara lebih mendalam  memahami berbagai pilihan yang mendasari sebuah penelitian dilakukan.

Asumsi Ontologi dan epistimologi di dalam bukunya Neuman bukan berarti menggiring keduanya dalam khazanah kajian filsafat ilmu, tetapi Neuman meletakkan keduanya dalam hal melihat metodologi penelitian sosial didirikan melalui fondasi dalam asumsi ontologis dan epistimologis. Neuman lagi-lagi melihat kejernihan berpikir seseorang dalam memandang sebuah penelitian  itu terletak pada aspek-menyadari asumsi- dan bukan menerima sesuatu begitu saja secara taken for granted. Artinya bersikap refleksif dan sadar akan asumsi dasar mengantarkan seseorang pada pemahaman yang baik dalam mengkaji fenomena sosial. Dasar asumsi ontologi dan epistimologis yang dimaksud dalam buku Neuman dapat penulis paparkan sebagai berikut;

Ontologi. Ontologi menyangkut dengan hakikat sesuatu yang ada, yang dilihat memiliki abstraksi sehinggga mendasari asumsi sebuah penelitian dilakukan. Dua posisi dasar dalam kerangka ini adalah realis dan nominalis (hal, 105). Realis mengasumsikan bahwa kenyataan atau keberadaan sesuatu, atau dunia nyata itu terpisah dari manusia dan interpretasinya. Anggapan ini dikembangkan oleh kaum realis kritis (critical relists) dengan asumsi bahwa sangat tidak mudah untuk menangkap secara langsung sebuah realitas.  Bahkan ide subjektivitas atas kemampuan dalam menangkap maksud sebuah realitas bisa saja membingungkan antara hubungan manusia dengan kenyataan. Sehingga posisi dasar realis ini melihat pentingnya sebuah interpretasi subjek yang baik yang dapat sesuai dengan tipe fenomena tertentu. Sedangkan nominalis mengasumsikan manusia tidak pernah mengalami realitas di luar secara langsung selain interpretasi dalam dirinya. Aspek penekanannya bermain pada wilayah hubungan “dunia nyata” dan manusia  terjadi melalui skema interpretasi dan makna subjektivitas (makna batin).  Sehingga sesuatu disebut berhubunagn dengan realitas dunia nyata apabila mempunyai hubungan melalui cara interpretasi yang dilakukan manusia sebelumnya.

Abstraksi-abstraksi atas makna dan asumsi kedua ontologi ini disederhanakan secara konkrit oleh W. Lawrence Neuman misalnya dalam contoh; ada sebuah karpet, bagi kaum realis, melihat karpet tersebut dihadirkan oleh realitas lantai yang kotor  sehinggga karpet dihadirkan untuk menutup lantai tersebut dan diinjak (anggapan ini menilai sesuatu dihadirkan oleh realitas). Sementara kaum nominalis dalam pandangannya akan mempertanyakan karpet itu terbuat dari apa? Dan bagaimana proses pembuatannya.? Atau bagaimana tatanan sejarah dan budaya membentuk realitas orang dan karpet yang dilihat. Atau kaum realis melihat suatu realitas dan memilah untuk diinterpretasikan menjadi sebuah pengetahuan objektif, sementara kaum nominalis melihat ada hubungan faktor-faktor sejarah tertentu yang membentuk realitas itu dan pengalaman subjektifitas sangat bergantung pada faktor-faktor tersebut.  

Selanjutnya posisi dasar epistimologi. Dasar asumsi filosofis yang dijabarkan Neuman di sini mengartikan epistimologi sebagai cara-cara dalam memahami dunia atau mendapatkan pengetahuan, cara-cara dimaksud termasuk apa yang perlu dilakukan dalam mencetuskan pengetahuan tertentu. Asumsi ontologis bagi Neuman merupakan akar dalam cara-cara bagaimana mendapatkan pengetahuan (hal, 106). Penjelasan Neuman terkait konkretisasi asumsi ini terletak dalam suatu fakta. Ketika kita menggunakan asumsi realis untuk memahami atau menciptakan pengetahuan melalui fakta tersebut yang berada di luar persepsi atau makna interpretatif, fakta tersebut pada dasarnya berada terlepas dari keberadaan kita/seseorang dan harus dilakukan observasi mendalam, kemudian dipahami melalui bukti-bukti empiris yang didapati dalam proses tersebut.

Di satu sisi ketika mengedepankan asumsi nominalis, seseorang melalui observasi justru tidak terarahkan kepada pengetahuan mengenai realitas, karena dalam penjelasan Neuman, interpretatif dan pandangan subjektif sangat memengaruhi keseluruhan observasi-yang juga berlaku pada orang yang diamati. Sehingga Neuman menyarankan harus mengenali sudut pandang dan interpretasi kita sendiri (hal, 107).  Neuman menegaskan “ untuk menghasilkan pengetahuan ilmu sosial, kita harus secara induktif mengamati, menerjemahkan, dan merenungkan perkataan dan perbuatan orang lain dalam konteks sosial tertentu sementara kita secara simultan merenungkan pengalaman dan interpretasi kita sendiri” (hal, 107).
Tiga Pendekatan

Jika pembahasan sebelumnya membahas tentang dasar filosofis atas asumsi yang mendasari penelitian sosial. Maka keseluruhan inti penyampaian W. Lawrence Neuman dalam Bab 4 buku ini adalah Neuman menampilkan sekaligus membedakan asumsi tiga pendekatan yang berkembang dalam penelitian sosial. Pendekatan itu menyangkut positivist social science, interpretive social science, critical social science. Bagi Neuman, perkembangan ilmu sosial pada umumnya lebih terarahkan pada dua pendekatan (positivist dan interpretive). Dan pada awal perkembangannya positivist mendapat posisi dominan yang terima secara luas dengan menggunakan prinsip-prinsip dalam sains. Setelah sekian lama, barulah kemudian muncul sanggahan baru dari kalangan interpretive bahwa menggunakan prinsip sains harus ditinjau kembali, karena ada perbedaan secara kualitatif antara manusia dan jenis-jenis objek yang diteliti dalam sains atau ilmu alam. Hal itu semakin berkembang dengan lahirnya critical social science.

Neuman menegaskan peneliti bisa saja membaur dalam tiga pendekatan yang berkembang, namun pada dasarnya ketiga pendekatan itu mempunyai asumsi dan pendekatan alternatif yang berbeda. Sehingga perbedaan asumsi, makna dan cara-cara dalam memahami realitas mempunyai metode dan kesimpulan yang berbeda pula. Pendekatan sendiri bagi Neuman mempunyai makna serupa dengan tradisi penelitian, program penelitian dan paradigma. Secara umum paradigma dipahami sebagai keseluruhan sistem berpikir , mencakup asumsi dasar, teknik penelitian, pertanyaan yang harus dipecahkan. Di sini Neuman melihat Positivisme menjadi paradigma dominan dalam ilmu sosial sebagaimana yang pernah dipraktekkan di Amerika Serikat 1945.

Dalam Bab ini, Neuman kemudian mempermudah pembaca dalam memahami dan memisahkan bagaimana perbedaan mendasar antara ketiga pendekatan yang menjadi inti penyampaiannya tersebut. Neuman menyederhanakan ketiganya itu dengan jawaban-jawaban atas 10 pertanyaan yang sudah ia tetapkan sebagai titik pijak perbedaan ketiga pendekatan akan terbaca, diungkapkan melalui setiap jawaban ketiga pendekatan terhadap 10 pertanyaan yang sama. Pertanyaan itu antara lain (hal, 108);
  1. Apa tujuan akhir dalam melakukan penelitian ilmu sosial?
  2. Apa sifat dasar dari realitas sosial?
  3. Apa sifat dasar manusia?
  4. Apa pandangan mengenai lembaga manusia (kehendak bebas, kemauan, dan rasionalitas)?
  5. Apa hubungan antara ilmu dan akal sehat?
  6. Apa yang membentuk penjelasan atau teori dari realitas sosial?
  7. Bagimana seseorang menentukan benar atau salahnya suatu penjelasan?
  8. Seperti apa bentuk bukti atau informasi faktual yang baik?
  9. Apa relevansi atau kegunaan dari pengetahuan ilmiah sosial?
  10. Dimana nilai-nilai sosial politik masuk ke dalam sains?
Namun sebelum penulis mencantumkan kembali jawaban-jawaban dari setiap pendekatan atas pertanyaan itu dalam tulisan ini, terlebih dulu penulis menampilkan apa maksud setiap pendekatan dalam tulisan W. Lawrence Neuman berikut ini;

1. Pendekatan Ilmu Sosial Positivis (positivist social science )
Secara luas, Neuman menilai positivisme adalah pendekatan terhadap ilmu-ilmu alam. Variasi dari positivisme mempunyai beragam nama, misalnya naturalisme, empirisisme logis, behaviorisme, pandangan yang diterima atau konvensional, pasca-positivisme, dan juga covering law model. Neuman mengatakan ilmu sosial positivis sebagai salah satu dari ketiga pendekatan utama terhadap penelitian sosial yang menekankan penemuan hukum sebab akibat , observasi empiris yang cermat, dan penelitian yang bebas nilai (hal, 108). Pandangan seperti ini berlaku dominan bagi para pemikir Amerika sebagaimana ditegaskan Neuman dengan mengutip Steinmetz (2005b:227) yang menyebut  “ himpunan khusus dalam asumsi ontologis, epistimologis dan metodologis yang berlaku dalam sosiologi AS selama setengan abad terakhir sebagai methodological positivism.”
Bagi Neuman, peneliti ilmu sosial positivis lebih menyukai data kuantitatif akurat dan sering menggunakan eksperimen survei dan statistik. Neuman mengatakan para peneliti berbagai bidang (administrasi kesehatan masyarakat, peradilan pidana, penelitian pasar, analisis kebijakan, evaluasi program) lebih bergantung pada ilmu sosial positivis.  Ada asumsi bahwa semua ilmu, termasuk ilmu sosial, akan seperti ilmu yang paling maju, fisika. Namun bagi Neuman beberapa perbedaan dari setiap ilmu  tetap ada, hal ini menyangkut dengan pokok yang dikaji dan cara yang dilalui. Tapi semuanya memiliki prinsip dan logika yang sama.
Beberapa tokoh Eropa Barat ditegaskan Neuman dalam bukunya sebagai yang mengembangkan positivisme dalam ilmu sosial diantaranya; filsuf Inggris, David Hume (1711-1776) menulis A Treatise of Human Nature (1730-1740), John Stuart Mill (1806-1803) menulis A System of Logic (1843) keduanya menguraikan dasar-dasar ilmu positivis. Kemudian Sosiolog Prancis, Aguste Comte (1798-1857) menulis Course de Philosophie of Positivistic (1830-1884) menerangkan prinsip-prinsip positivisme ilmu sosial,dan Emile Durkheim (1858-1917) menggunakan asumsi positivis untuk penelitian sosial awal dalam karyanya the Rule of the Sociological Method (1895). Dari beberapa tokoh yang dikutip Neuman ini dapat di generalisir bahwa tahap awal perkembangan penelitian ilmu sosial sangat didominasi oleh positivisme. Sehingga kita bisa menyadari positivisme merupakan pendekatan dominan, walaupun nanti akan ada kritikan-kritikan selanjutnya dalam perkembangan ilmu, khususnya dalam alam pemikiran sosial.
Dalam positivisme, Neuman mengutip Keat dan Urry (1975:25) , hanya ada satu logika sains, dengan setiap aktivitas intelektual harus sesuai dengan penekanan asal muasal (hal, 108). Sehingga anggapan ini berimplikasi pada ilmu sosial dan ilmu alam untuk menggunakan metode yang sama. Neuman mengatakan ilmu sosial positivis adalah metode yang terorganisir yang menggabungkan logika deduktif dengan pengamatan empiris yang tepat dari perilaku individu agar bisa menemukan dan menegaskan seperangkat hukum sebab akibat (kausal) probabilistik, yang dapat digunakan untuk memprediksi pola umum dari aktivitas manusia (hal, 108). Positivisme mengajarkan setiap peneliti memulai dengan hukum sebab akibat yang secara logika diambil dalam teori dominan, sains (hal, 114). Peneliti tetap terpisah, netral dan objektif dalam memahami realitas sosial, proses ini membawa penelitian positivisme dalam pengujian empiris untuk mengungkap kebenaran ilmiah. 

2. Pendekatan Ilmu Sosial Interpretatif (Interpretive Social Science)
Menurut Neuman, pemikiran Max Weber mengenai makna tindakan bisa menjadi rangkaian dimana ilmu sosial interpretatif dapat kita telusuri. Neuman mengutip karya Delthy (1883), bahwa ada dua jenis sains yang berbeda, yaitu Naturwissenschaft (erklarung), yang penjelasannya sains dilakukan secara abstrak dan Geisteswissseinchaft (vesrstehen) yang berakar pada pemahaman berempati. Hubungannya dengan Weber adalah Weber menganut sains verstehen  dimana Weber berpendapat ilmuan harus memelajari alasan atau motif pribadi yang membentuk perasaan internal seseorang sehingga menuntunnya melakukan tindakan sosial tertentu (hal, 115). Neuman mengutip;

“Kita berbicara mengenai “aksi sosial”  setiap kali tindakan manusia yang secara subjektif berhubungan dalam makna dengan perilaku orang lain.  Tabrakan yang tak disengaja antara dua pengandara sepeda, misalnya, tidak disebut sebagai aksi sosial. tetapi kita mendefinisikan aksi sosial atas semua kemungkinan upaya mereka sebelumnya untuk mengelak satu sama lain. Aksi sosial bukan satu-satunya aksi yang signifikan bagi penjelasan kausal sosiologis, tetapi hal itu merupakan objek utama dari “sosiologi interpretatife.” (Weber, 1981:159)”

Pendekatan ini berkaitan denga Hermeneutika yang menganggap bahwa makna tindakan manusia tidak akan terungkap dipermukaan, oleh karena itu cara untuk memperoleh makna itu harus ditelusuri lebih mendalam melalui proses interaksi dan penafsiran secara intens dan mendalam antara peneliti dan objek yang diteliti. Ilmu sosial interpretatif memiliki banyak penyebutan, misalnya, hermeneutika, konstruksionisme, etnometodologi, kognitif, idealis, fenomenologis, subjektivis dan sosiologi kualitatif. Teknik-teknik dalam pendekatan ini mengharuskan seorang peneliti terjun langsung ke lapangan penelitian dan membangun kontak relasi dengan objek dalam waktu yang panjang. Ilmu sosial interpretatif menekankan aksi sosial yang bermakna, makna yang dibentuk secara sosial dan relativisme nilai (hal, 115). W. Lawrence Neuman kemudian mendefinisikan pendekatan ilmu sosial interpretatif secara umum adalah analisis sistimatis mengenai aksi sosial yang bermakna melalui observasi manusia secara terperinci dan langsung dalam latar alamiah, supaya bisa memperoleh pemahaman dan interpretasi mengenai cara orang menciptakan dan mempertahankan dunia sosial mereka (hal, 116).
Pada dasarnya kehadiran ilmu sosial interpretatif merupakan kritik atas positivisme. Bagi Neuman, pendekatan ini menjadi dasar bagi teknik penelitina sosial yang bermakna sensitif terhadap konteks, yang berusaha untuk menyelami maksud dan cara-cara manusia memandang dunia. Dan pendekatan ini lebih giat untuk meraih pemahaman tegas atas perilaku manusia dari pada menguji hukum yang membentuk perilaku manusia seperti yang dilakukan oleh kalangan positivis.

3. Pendekatan Ilmu Sosial Kritis (Critical Social Science)
Ilmu sosial kritis pada dasarnya menggabungkan pendekatan nomotetik  dan idiografik.  Oleh Neuman, ilmu sosial kritik terdapat beberapa versi diantaranya;  materialisme dialektis, analisis golongan, strukturalisme kritis. Bahkan sering diidentikkan dengan teori konflik dan teori sosial kritis yang dikembangkan oleh Frankfurt School pada tahun 1930-an. Pendekatan di satu sisi sepakat dengan kritik ilmu sosial interpretatif terhadap positivisme, dan di sisi lain mengkritik juga pendekatan interpretatif. Dalam pandangan kritis, positivisme adalah anti demokrasi, picik dan tidak humanis dalam penggunaan nalar, sedangkan interpretatif dianggap sebagai pendekatan yang terlalu subjektif sehingga mengabaikan realitas yang sesungguhnya (hal, 123). Pendekatan ilmu sosial kritis bertujuan untuk memberdayakan manusia dengan mendorong kekuatan emansipasi dalam kehidupan sosial.
Menurut Neuman, pendekatan ini dapat ditelusuri melalui pemikiran Karl Marx, Theodor Adorno, Sigmund Freud, Eric Fromm, dan Herbert Marcus. Tokoh-tokoh lainnya adalah Habermas, Paulo Freire dan juga Piere Bourdieu. Misalnya Bourdieu, ia menolak pendekatan empirik kuantitatif dalam positivisme dan menolak unsur subjektif dalam pendekatan interpretatif. Bagi Bourdieu, penelitian sosial harus bersifat refleksif dan perlu bersifat politis yang bertujuan menyingkapkan dan mengungkapkan berbagai peristiwa biasa (hal, 123).

Kritik selanjutnya karena pendekatan interpretatif dianggap terlalu subjektif dan relativis yang memperlakukan ide orang secara berlebihan daripada kondisi nyata. Ilmu sosial kritis menganggap pendekatan interpretatif itu amoral dan pasif. Mereka gagal mengungkap posisi nilai yang kuat yang bisa membantu manusia keluar dari kondisi ilusi yang mengitarinya dalam dunia sosial. W. Lawrence Neuman menegaskan, secara umum, ilmu sosial kritis mendefinisikan ilmu sosial sebagai proses kritis penyelidikan yang melampaui ilusi permukaan untuk mengungkapkan struktur nyata di dunia material dalam rangka membantu orang mengubah kondisi dan membangun dunia yang lebih baik bagi diri mereka sendiri (hal, 124).

Tiga Pendekatan dan Jawaban atas 10 Pertanyaan
Sebagaimana disampaikan sebelumnya hasil review ini juga menampilkan jawaban tiga pendekatan atas 10 pertanyaan  yang sama yang mana setiap jawaban dapat dipahami sebagai perbedaan asumsi dan tujuan penelitian sosial dalam ketiga pendekatan. Penulis mulai dari jawaban positivisme (hal, 114): 
  1. Tujuan ilmu sosial adalah menemukan hukum/aturan
  2. Pandangan esensialis (essentialist) adalah bahwa realitas merupakan bukti empiris
  3. Manusia adalah mamalia individualistis yang berpikir rasional
  4. Pendirian/sikap deterministik diambil sehubungan dengan kelembagaan manusia
  5. Pengetahuan ilmiah berbeda dan lebih unggul dibandingkan semua pengetahuan lain. 
  6. Penjelasan bersifat nomotetis dan berkembang melalui penalaran deduktif
  7. Penjelasan diverifikasi dengan menggunakan replikasi oleh peneliti lain
  8. Bukti ilmu sosial membutuhkan intersubjektivitas
  9. Orientasi instrumental diambil terhadap pengetahuan yang digunakan dari perspektif teknokratis
  10. Ilmu sosial seharusnya bersifat bebas nilai dan objektif
Sedangkan jawaban ilmu sosial interpretatif antara lain (hal, 123);
  1. Tujuan ilmu sosial adalah untuk memahami makna sosial dalam konteksnya
  2. Pandangan konstruksionis adalah bahwa realitas diciptakan secara sosial
  3. Manusia adalah makhluk sosial yang berinteraksi yang menciptakan dan menguatkan makna bersama
  4. Pendirian voluntaristik diambil berkaitan dengan kelembagaan manusia
  5. Pengetahuan ilmiah berbeda, tetapi tidak lebih baik, daripada bentuk-bentuk lain
  6. Penjelasan bersifat idiografis dan berkembang melalui penalaran induktif
  7. Penjelasan diverifikasi dengan menggunakan postulat kecukupan dengan orang-orang yang dipelajari
  8. Bukti ilmiah sosial bersifat spontan, spesifik terhadap konteks, dan sering menuntut bracketing
  9. Orientasi praktis diambil terhadap pengetahuan yang digunakan dari perspektif transenden
  10. Ilmu sosial seharusnya bersifat relativistik (nisbian) berkaitan dengan posisi nilai
Sementara jawaban kalangan ilmu sosial kritik sebagai berikut (hal, 132);
  1. Tujuan ilmu sosial adalah mngungkapkan hal-hal yang tersembunyi untuk membebaskan dan memberdayakan masyarakat
  2. Realitas sosial memiliki lapisan majemuk
  3. Manusia memiliki potensi yang tidak disadarinya dan disesatkan oleh reifikasi; kehidupan sosial bersifat relasional
  4. Pendirian otonomi terbatas diambil terhadap lembaga manusia
  5. Pengetahuan ilmiah bersifat tidak sempurna tetapi dapat memerangi kesadaran palsu
  6. Abduksi digunakan untuk menciptakan kritik eksplanatori
  7. Penjelasan diverifikasi melalui praksis
  8. Seluruh bukti bergantung pada teori, dan beberapa teori mengungkapkan jenis bukti yang lebih mendalam
  9. Orientasi refleksif-dialektika diterapkan kepada pengetahuan yang digunakan dari perspektif transformatif
  10. Realitas sosial dan penelitiannya selalu mengandung dimensi moral-politik, dan posisi moral-politik tidak seimbang dalam memajukan kebebasan dan pemberdayaan manusia.
Jawaban dari setiap pendekatan tersebut dapat dipahami bahwa W. Laurence Neuman mencoba untuk melihat secara detail sisi perbedaan dan asumsi-asumsi mendasar di dalam penelitian sosial. Ini berarti memberikan pemahaman sekaligus kesadaran kepada pembaca supaya tetap “berhati-hati” di dalam memahami maupun menggunakan setiap pendekatan dalam metode ilmu sosial. Selanjutnya Neuman menjelaskan ciri umum tiga pendekatan yang ia bahas antara lain (hal, 137); a) semuanya empiris, b) semuanya sistematis, c) semuanya teoritis, d) semuanya bersifat terbuka, e) semuanya bersifat reflektif diri, f) semuanya merupakan proses yang tanpa batas.
Penelitian Feminis dan Pascamodern
Selain ketiga pendekatan utama dalam Bab 4 yang dibahas Neuman, dua penelitian tambahan juga disinggung. Penelitian feminis menganggap bahwa penelitian positivisme lebih mengarah pada sudut pandang pria yang mencerminkan dominasi maskulin dalam penelitian, dimana orientasi patriarkal juga terjadi pada tataran antar peneliti ilmu sosial. Penelitian feminis mengasumsikan bahwa pengalaman subjektif perempuan berbeda dengan pria (hal, 132). Peneliti feminis menolak klaim kaum positivis yang bebas nilai. Oleh karena itu mereka tidak berada pada posisi objektif atau terpisah dengan realitas, melainkan berinteraksi dan berkolabirasi dengan orang-orang yang mereka pelajari.
Sedangkan penelitian pascamodern meliputi seni, musik, sastra, dan kritik budaya. Dasar penelitian ini berakar dalam filsafat eksistensialisme, nihilisme, dan anarkisme dan lain-lain. Pascamodernisme adalah penolakan atas modernisme (hal, 134). Bahkan yang ekstrim menolak peluang sains dalam dunia sosial. Baik penelitian feminis maupun pascamodern, pada hakikatnya kedua peneltian ini tidak terlepas dari pengaruh ilmu sosial kritis. Dan upaya yang dilakukan adalah upaya untuk memperbaharui asumsi-asumsi dan cara-cara yang dilalui dalam pendekatan dominan (positivisme) tersebut.
Catatan Terhadap Isi Buku (Bab 4)
Ketika membicarakan menyangkut pendekatan atau metodologi penelitian dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi, memperingatkan kita atas sifat masyarakat yang tidak pernah statis, dimana masyarakat dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan yang berimplikasi pada penggunaan metode untuk memahami masyarakat menurut sifat perubahan tersebut. Dalam arti yang lebih luas, buku W. Lawrence Neuman setidaknya telah memberikan kerangka yang baik serta sifat perdebatan para ilmuan yang merepresentasikan zamannya. Dengan demikian sifat ganda di dalam ilmu sosial (sosiologi) juga dapat kita pahami dalam pembahasan Neuman yang mempertentangkan tiga pendekatan utama (positivis, interpretatif, kritis). Seperti Halnya George Ritzer yang menilai sosiologi sebagai ilmu pengetahuan berparadigma ganda,  buku Neuman mengarahkan kita untuk menafsir fenomena sosial atas keyakinan bahwa sebuah fenomena bisa dilihat dari berbagai perspektif.
Ada penegasan Neuman dalam bukunya tersebut mengenai perkembangan ilmu sosial lebih didominasi oleh dua pendekatan utama (positivis dan interpretatif), namun hal ini tentunya butuh ditinjau kembali dari aspek metodologi. Ekspresi pengakuan atas metodologi positivis dan interpretatif maupun kritis tidak berakhir dengan satu pendekatan sebagai titik kebenaran utama memahami fenomena, bahkan kalangan teori sosial kritis dan posmodern dianggap semakin mengisi posisi-posisi penting khususnya dalam melihat fenomena masyarakat sekarang ini, mereka dianggap mentransformasikan metodologi penelitian secara signifikan.  Pandangan ini juga pengungkapan motif kekuasaan dibalik dominasi positivisme yang ditunjukkan Michael Foucault dan teoritisi Frankrut atas masyarakat yang disiplin dan sepenuhnya teradministratif atau disebut masyarakat satu dimensi. Inilah yang kemudian membuat dominasi kuantitatif mendapat sorotan dan pembaharuan yang terus berlanjut.
Buku Neuman dalam Bab 4 memberi kesan akan adanya pendekatan jamak, namun Neuman belum membahas secara detail bagaimana tiga pendekatan, atau setidaknya positivis dan interpretatif di pakai secara bersama memahami fenomena sosial dalam kerangka metode campuran atau komparatif (Mixed Method). Ini berkaitan dengan kesadaran akan setiap metode dan pendekatan mempunyai kekurangan maupun kelebihan. Misalnya, Neuman belum menampilkan bagaimana analisis triangulasi sumber-sumber data (triangulasi of data resourches) suatu metode dalam mencari konvergensi antara metode kualitatif dan kuantitatif (Jick, 1979).  Karena kombinasi dua metode tersebut dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan yang luas dan transformatif, misalnya, dalam mengadvokasi kelompok marginal, seperti perempuan, minoritas etnik/ras, komunitas gay dan lesbian, orang-orang difabel, dan mereka yang miskin (Mertens, 2003). 
Penulis di satu sisi melihat dari aspek gejala perubahan atau fenomena dalam kerangka kuantitatif, kita mengenal kerangka analisis Durkheim yang lebih dikenal Makro-Objektif dan Mikro-Subjektif. Keduanya ini mempunyai kedudukan istimewah dalam analisis pendekatan positivisme (kuantitatif), namun salah ruang dimana analisis tersebut mendapat kritikan karena oleh beberapa ilmuan menganggap Durkheim mengabaikan analisis mikro secara implisit dan makro yang melihat masyarakat, Durkheim dianggap tidak konsisten membicarakan caranya melihat masyarakat, karena ia selalu menyamakan antara sebuah fenomena dengan masyarakat.  Misalnya kecenderungan Durkheim tersebut direspon oleh Pope (1976:192); “konsepsi Durkheim menunjukkan “pemindahan cakupan” yang besar... dia memperlakukan Prancis sebagai sebuah masyarakat; dia juga mengacu pasangan menikah sebagai sebuah masyarakat.  Menurut penulis kecenderungan pemikir sosial semisal Durkheim tersebut mempunyai porsi masing-masing dalam melihat suatu gejala, sehinggga hal itu membuka ruang baru bagi konseptualisasi dan pendalaman atas gagasan yang sebelumnya sudah ada oleh pemikir selanjutnya dengan perubahan dan sifat fenomena yang berbeda pula.

Bab 4 Buku Neuman membatasi pembahasan dan identifikasi perkembangan penelitian sosial pada peneliitian ilmu sosial postmodern, dan penulis yakin dengan karakteristik-karakteristik masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu akan berakhir dengan temuan yang lebih baru. Sehingga dalam konteks tulisan ini penulis menaruh satu kesadaran dan asumsi sosiologis bahwa untuk memahami gejala dan fenomena-fenomena dalam masyarakat akan dapat diterapkan melalui pendekatan-pendekatan yang berkembang (baik positivis, interpretatif, kritis, feminis, maupun postmodern). Arti metodologi secara aksiologis dalam Bab 4 buku Neuman juga belum ditemukan penjelasannya yang koheren. Penegasan terhadap posisi aksiologis ini menurut penulis juga diperlukan di dalam melihat bagaimana metodologi ilmu sosial mempunyai kaitan dengan nilai-nilai mendasar sikap manusia dalam masyarakat. Karena selagi masyarakat tetap ada secara ontologis, maka cara-cara untuk memahami perilaku di dalamnya secara epistimologis akan mendapat tempat untuk setiap pendekatan yang berkembang, dan menuntut adanya nilai aksiologis dalam maksud ilmu pengetahuan harus berguna bagi masyarakat.

Daftar Pustaka

Agger, Ben, 2014. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. (Yogyakarta: Kreasi Wacana) Cetakan kesembilan
Cresswell, John W, 2010. Research Design: Pendekatan Kulaitatif, Kuantitatif dan Mixed.  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Ritzer, George, 2013. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (Jakarta: Rajagrafindo Persada).

_______ Eksplorasi Dalam Teori Sosial: Dari Metateori Sampai Rasionalisasi. 2013 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)

Karya: Wawan Ilyas_Ternate_Mahasiswa Unversitas Gadjah Mada
 

Jumat, 14 Juli 2017

Sosiologi Pedesaan dalam Pemikiran Mazhab Bogor

Apakah ada teori Sosiologi khas Indonesia?; Apakah ada teori Sosiologi Pedesaan khas Indonesia?; Apakah ada Pemikiran Mazhab Bogor?; Siapa tokoh sosiologi pedesaan Indonesia?; Bagaimana Pemikiran Mazhab Bogor?; Wajar saja bila pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul setelah anda membaca judul yang saya tulis diatas. Memang kajian Sosiologi khas Indonesia apalagi sampai pada pemikiran sebuah “Mazhab” selama ini hanya menjadi perhatian beberapa pakar saja, dunia akademik Indonesia hanya disibukan oleh proses administratif pendidikan dan hanya sempat mengenalkan teori-teori Sosiologi Barat tanpa mengenalkan bahkan mengembangkan teori sosiologi khas Indonesia.

Tulisan ini adalah Resensi dari sebuah buku yang mengulas dan mempertanyakan mengenai Sosiologi Pedesaan Indonesia dan Pemikiran Mazhab Bogor. Judulnya adalah Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor; ditulis oleh Ahmad Nashih Luthfi; dan diterbitkan oleh Lillakilla Press pada tahun 2010.

Buku ini mengenalkan 2 ilmuan mazhab Bogor, yaitu Sajogyo yang kita kenal sebagai Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia dan Gunawan Wiradi seorang ilmuan Sosiologi Pedesaan yang banyak melakukan penelitian mengenai kajian Agraria.

Buku ini terdiri dari 8 Bab, Pada Bab I merupakan pendahuluan dari buku ini mengenai konsep secara umum Mazhab Bogor dan permasalahan yang ingin diungkap. Bab II Pedesaan dalam pembangunan kolonial yaitu konstruksi desa lokal dan global, Desa dijawa pada masa Deandels (1808-1811)-masa Raffles-masa Van Der Capellen (Re-depolitisasi Birokrasi 1816-1826); masa Culturestelsel, Masa Ekonomi Liberal, dan Masa Politik etis Negara Hindia Belanda. Bab III membahas mengenai revolusi hijau dan berbagai dampaknya di asia tenggara serta transformasi agraria di Indonesia. Bab IV membahas mengenai Studi Agraria di Indonesia; Dijelaskan sedikir mengenai sejarah ilmu sosial di Indonesia, studi agraria masa Hindia Belanda abad XX dan studi agraria di Indonesia setelah merdeka. Bab V Khusus menjelaskan mengenai Prof. Dr. Ir. Sajogyo sebagai peletak dasar sosiologi Indonesia. Bab VI khusus menjelaskan mengenai Dr.HC.Gunawan Wiradi sosok guru studi reforma agraria di Indonesia. Bab VII membahas mengenai dua pemikiran tokoh agraria dari Bogor dengan berbagai pengungkapan reaksi dan respon dalam pembangunan nasional, serta mazhab bogor dalam ranah gagasan dan diskursus. Bab VII berisi kesimpulan garis besar mengenai isi buku.

Kelebihan buku ini adalah bagaikan cahaya lilin didalam kegelapan, disaat banyak pemikir dan ilmuan yang tidak menulis apalagi menghargai karya pemikir Indonesia penulis buku ini menjadi penerangnya. Kekurangannya hanyalah pandangan subjektif saya yaitu karena penulis berlatar pendidikan sejarah sedangkan harapan saya banyak konsep sosiologis yang akan diungkap tidak terwujud. Semoga kedepan ada para pemikir atau sosiolog atau mahasiswa sosiologi Bogor yang melanjutkan temuan dari buku ini. Sekian resensi yang saya tulis, semoga bermanfaat, dan apabila ada tutur kata yang kurang berkenan saya minta maaf sebesar-besarnya karena keterbatasan pemahaman saya dalam membaca buku yang luar biasa ini. Terimakasih.

Oleh: syamsulbakhri.id
Pengurus Braindilog Sociology


Teori Konstruksi Sosial Sebagai Pemikiran Peter L. Berger

Peter Ludwig Berger adalah seorang sosiolog dan teolog Amerika yang lahir pada 17 Maret 1929 di Vienna, Austria, dibesarkan di Wina dan kemudian beremigrasi ke Amerika Serikat. Salah satu karyanya yang terkenal yaitu, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, yang ditulis bersama Thomas Luckmann. Berger dikenal luas karena pandangannya bahwa realitas sosial adalah suatu bentuk dari kesadaran. Karya-karya Berger memusatkan perhatian pada hubungan antara masyarakat dengan individu. Di dalam bukunya The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, bersama Thomas Luckmann, mengembangkan sebuah teori sosiologis: “Masyarakat sebagai Realitas Objektif dan Realitas Subjektif”.1
Peter L. Berger mengompromikan pendekatan sosiologis (menuju sosiologi humanis). Menurut Berger, setiap masyarakat memiliki sistem pengetahuan yang diterima secara turun-temurun. Gagasan pengetahuan yang bersifat lokal (beberapa kalangan mengatakan sebagai tradisional) hampir ada pada setiap masyarakat, sedari dulu hingga kini. Kita mengenal pengetauan yang bisa dikatakan sebagai: mitos, takhayul, pamali, prewangan, atau apapun namanya, tetapi jelas mereka yang menciptakan, mengembangkan, dan memodifikasi. Ada sebuah contoh mitos menarik yang berkembang di masyarakat dan dipercayai hingga kini, konon, seorang kakek menyarankan pada cucunya agar selalu mengadakan kenduri di hari-hari tertentu yang diyakini keramat. Ia percaya pada suatu cerita dari leluhur, yakni suatu malam pernah ada orang ditampar makhluk yang tidak kelihatan gara-gara tidak mengadakan kenduri. Sejak saat itu, bagi masyarakat, kenduri menjadi sistem adat yang diterima begitu saja dan sulit ditinggalkan. Lain kisah tentang kenduri, lain lagi cerita tentang seorang nenek yang meyakini akan kedatangan tamu lewat isyarat yang diberikan oleh alam. Pagi itu, seekor kupu-kupu besar berwarna cokelat masuk ke ruang tamu. Sang nenek merasa senang, sebab kedatangan kupu-kupu sebagai pertanda bahwa cucunya bakalan datang. Kemudian, pada siang harinya ketika pergi ke sawah, sang nenek melihat seekor ular lewat tepat di depannya. Pertanda ini menambah kuat sekali lagi keyakinan nenek kalau cucunya bakalan dating.2
Isyarat alam yang dianggap sebagai “pertanda” ini diterima dan diyakini nenek secara turun-temurun.jelas bahwa pasti ada individu yang menciptakan, tetapi ia tidak tahu persis siapa yang menciptakan untuk pertama kali. Tetapi yang jelas, ia merupakan warisan orang-orang terdahulu yang masyarakat awetkan dan lestarikan.
Sistem pengetahuan itu terlahir dari idea tau gagasan individu. Ia tidak lahir begitu saja atau muncul dari balik bongkahan batu. Lewat tahapan sejarah tertentu, kata Peter L. Berger, muncullah proses yang disebut eksternalisasi. Menurut mereka, sistem pertanda ini juga menjadi milik masyarakat. Tidak hanya kakek dan nenek yang memiliki pengetahuan lokal tersebut, semua anggota masyarakat hampir sama memiliki keyakinan serupa. Setiap ada gejala alam yang mirip atau ada anggota masyarakat yang berkeinginan “membangkang” dari ritualisme kenduri, selalu saja ada yang mengingatkan.
Sekalipun tidak jelas siapa inisiator yang mencetuskan pengetahuan tersebut, tetapi kenyataannya sistem pengetahuan kita atas kenduri dan tanda-tanda dari binatang kita sampaikan kepada generasi sesudah kita secara turun-temurun. Hingga akhirnya mereka menerima begitu saja tanpa mempertanyakan secara rumit. Inilah yang disebut internalisasi. Individu yang masih putih dan kosong secara sadar atau tidak memasukkan nilai-nilai dan kepercayaan ke dalam dirinya. Ritualisme kenduri dan tanda-tanda dari binatang tersebut bukan lagi milik individu, tetapi milik masyarakat. Ia bersifat mengikat pada semua anggota masyarakat. semua anggota masyarakat ketika dimintai tanggapan, jawabannya selalu saja sama. Dalam tahapan ini, mulailah masuk dalam tahapan objektivasi. Sistem pengetahuan lokal tersebut berputar secara dialektis dari tahapan eksternalisasi-internalisasi dan objektivasi. Sekalipun, setiap individu tidak utuh dalam menginternalisasikan seseuatu, tetapi proses internalisasi selalu saja dilakukan sebagai bagian sosialisasi.
Konstruksi sosial merupakan suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh setiap individu terhadap lingkungan dan aspek di luar dirinya yang terdiri dari proses eksternalisasi, internalisasi, dan objektivasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. Sedangkan, Objektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.3
Di dalam eksternalisasi, individu  berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungannya, dalam moment adaptasi tersebut, sarana yang digunakan bisa berupa bahasa maupun tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan dunia sosiokulturalnya dan kemudian tindakannya juga disesuaikan dengan dunia sosiokulturalnya. Pada moment ini, terkadang dijumpai orang yang mampu beradaptasi dan juga mereka yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan dan penolakan tergantung dari apakah individu tersebut mampu atau tidak beradaptasi dengan dunia sosiokultural tersebut. Di dalam internalisasi yang merupakan moment penarikan realitas sosial ke dalam diri atau realitas sosial menjadi realitas subjektif. Realitas sosial itu berada di dalam diri manusia dan dengan cara itu, maka diri manusia akan teridentifikasi di dalam dunia sosiokulturalnya. Individu akan berusaha mengambil peran di dalam masyarakat dengan mengikuti kegiatan sosial di dalamnya, sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara dirinya dengan masyarakat pada umumnya, dan individu akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat pada umumnya. Sehingga individu dapat dikatakan bahwa dirinya telah mengidentifikasi diri dengan lingkungan sosiokulturalnya. Di dalam objektivasi, di mana individu akan berusaha untuk berinteraksi dengan dunia sosiokulturalnya. Di dalam objektivasi, realitas sosial tersebut seakan-akan berada di luar diri manusia. Ia menjadi realitas objektif, sehingga dirasa aka nada dua realitas, yaitu: 1) realitas yang berada di dalam diri atau yang subjektif, dan 2) realitas yang berada di luar diri atau yang objektif. Dua realitas tersebut membentuk jaringan intersubjektif melalui proses pelembagaan atau institusionalisasi. Pelembagaan atau institusionalisasi yaitu, proses untuk membangun kesadaran menjadi tindakan. Di dalam proses pelembagaan tersebut, nilai-nilai yang menjadi pedoman di dalam melakukan interpretasi terhadap tindakan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan, sehingga apa yang disadari adalah apa yang dilakukan.
Menurut Peter Berger dalam buku sebuah pengantar ringkas karangan Hanneman Samuel (2012) mengemukakan “untuk memahami realitas dari masyarakat secara memadai perlu diketahui proses bagaimana realitas ini terbentuk". Berger mendasarkan diri pada dua gagasan sosiologi pengetahuan, yaitu “realitas” dan “pengetahuan”. “Realitas” mereka artikan sebagai kualitas yang melekat pada fenomena yang kita anggap berada di luar kehendak kita. Maksudnya, “realitas” merupakan fakta sosial yang bersifat eksternal, umum, dan mempunyai kekuatan memaksa kesadaran masing-masing individu. Terlepas dari individu itu suka atau tidak, mau atau tidak, “realitas” tetap ada (jadi, realitas yang bersifat objektif). Sedangkan, “Pengetahuan” diartikan sebagai keyakinan bahwa suatu fenomena riil dan mereka mempunyai karakteristik tertentu. Maksudnya, pengetahuan merupakan realitas yang hadir dalam kesadaran individu (jadi, realitas yang bersifat subjektif).
Terbentuknya realitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari adanya interaksi sosial, dimana setiap interaksi yang dilakukan oleh masyarakat menghasilkan makna-makna di dalam masyarakat itu sendiri. Dari interaksi tersebut secara bersama masyarakat memaknai sesuatu yang kemudian di dalam masyarakat disebut sebagai realitas sosial. Realitas sosial itu sendiri terbentuk bukan dari satu atau dua makna yang dibentuk oleh manusia itu sendiri, tetapi realita sosial terbentuk akibat  masyarakat membentuk makna secara bersama yang muncul akibat adanya interaksi sosial dan apa yang pernah dialaminya yang kemudian ditetapkan dengan kesepakatan bersama mengenai makna dari realitas tersebut.
Pemikiran Berger dan Luckmann mengenai konstruksi realitas secara sosial berasal dari pemikiran aliran konstruktivisme. Aliran konstruktivisme menghubungkan pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang dialami manusia. Realitas merupakan fakta sosial, dimana fakta sosial merupakan cara bertindak, berfikir, bersifat ekternal  dan sifatnya memaksa serta terbentuk karena adanya pola di dalam masyarakat. Artinya, sejak manusia dilahirkan secara tidak langsung ia  diharuskan untuk bertindak sesuai dengan lingkungan sosial dimana ia dididik dan sangat sukar baginya untuk melepaskan diri dari aturan tersebut. Sedangkan pengetahuan merupakan hasil konstruksi dari realita  yang ada di lingkungannya.
Selain itu, dalam konstruksi realitas sosial yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann, terdapat hubungan antara realitas kehidupan sehari-hari, interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari, serta bahasa dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Berger dan Luckmann berusaha menjelaskan bahwa realitas terbentuk melalui pengetahuan-pengetahuan yang dibangun oleh manusia berdasarkan pengalamannya dalam berinteraksi secara sosial secara bersama-sama dalam kehidupan bermasyarakat. Realitas yang terbentuk sebagai sebuah kenyataan dimaknai oleh Berger dan Luckmann sebagai sesuatu yang bersifat objektif, atau dipahmi oleh semua orang sesuai dengan apa adanya, sedangkan pengetahuan manusia adalah sesuatu yang subjektif, di mana pengetahuan yang dimiliki oleh manusia berbeda-berbeda sesuai dengan pengalaman yang dialaminya. Realitas kehidupan sehari-hari merupakan kenyataan yang dilakukan sebagai totalitas sehari-hari. Misalnya realitas kekampus. Realitas tersebut merupakan totalitas yang teratur baik dari segi waktu, ruang, maupun objek yang ada. Dimana pergi kekampus merupakan realitas yang harus dijalani mahasiswa setiap harinya dengan adanya aturan didalamnya, seperti adanya jam dan ruang kuliah, serta buku sebagai objeknya. Dalam realitas kehidupan sehari-hari cenderung untuk melakukan sesuatu secara berulang-ulang, seperti dalam menyelesaikan masalah, apabila seseorang mendapati masalah yang pernah dialami, mereka akan menyelesaikannya dengan cara yang sama. Realitas sosial bersifat wajar dan masyarakat dapat menerima adanya aturan-aturan tersebut meskipun bersifat menekan. Karena realitas tersebut sudah terbentuk sejak lama dan akhirnya mereka mau tidak mau harus menirma apa yang sudah menjadi realitas dalam kehidupan sehari-hari.
Selain realitas kehidupan sehari-hari, konstruksi sosial juga terbentuk akibat dari adanya interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang sudah dijelaskan diawal. Bahwa dalam kehidupan sehari-hari diperlukan adanya interaksi antara individu dengan individu atau dengan masyarakat. Di mana interaksi ini juga merupakan wujud dari realitas sosial sehari-hari. Di dalam berinteraksi seseorang akan mendapatkan kesamaan dalam beberapa kasus yang dialami masyarakat, sehingga menimbulkan adanya pemaknaaan yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri.
Berger menganggap bahasa memiliki kedudukan yang fundemental. Karena dengan bahasa kita dapat memaknai objek yang ada di dalam masyarakat. Tanpa bahasa kita tidak akan pernah tahu makna dari sebuah objek. Padahal di dalam realitas sosial terbentuk karena adanya peng-obyek-an, adanya objek yang dimaknai bersama dalam masyarakat. Yang terpenting dari objek-objek bukanlah bentuk fisiknya, tetapi makna atau maksud subjektif yang ditampilkan dalam interaksi seseorang. Sebaliknya hal-hal subjektif yang disampaikan orang lain pun hanya dapat dipahami jika ia ditampilkan dalam bentuk objek. Objek-objek yangdimaksud disini bukan hanya objek yang ada didalam masyarakat, tetapi juga objek yang menjadi pengalaman manusia, dimana melalui interaksi sehari-hari inilah terjadi pertukaran pengalaman dengan orang lain. Dengan adanya pertukran inilah muncul stok pengetahuan yang bisa diwariskan ke generasi mendatang yang  dapat dijadikan realitas sosial di masa mendatang. Orang yang memiliki stok pengetahuan, meraka dapat menanggulangi masalah yang dihadapi dengan pengetahuan yang ia miliki sebelumnya yang menjadi ralitas sosial.

Dalam konstruksi realitas sosial terdapat dua bentuk realitas sosial yaitu, masyarakat sebagai realitas objektif, dan masyarakat sebagai realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang bersifat apa adanya, artinya realitas yang tidak ada dalam diri manusia itu sendiri, sebagai contoh adalah lingkungan tempat manusia itu berada. Realitas subjektif adalah realitas yang berada dalam diri manusia yang dikonstruksi berdasarkan pengalamannya. Sebagai contoh dari realitas subjektif adalah pandangan, penilaian, konsep, aturan, dan sebagainya.

Rujukan:
Samuel, Hanneman. (2012). Peter Berger: Sebuah Pengantar Ringkas. Depok: Penerbit Kepik.
Dwi Susilo, Rachmad K. (2008). 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi Para Peletak Sosiologi Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Sumber lain:
[1]  https://id.m.wikipedia.org/wiki/Peter_L._Berger
[2] Rachmad K. Dwi Susilo. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi para Peletak Sosiologi Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
[3] Sebuah artikel tentang Teori Konstruksi Sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, diakses dari http://argyo.staff.uns.ac.id/2013/04/10/teori-konstruksi-sosial-dari-peter-l-berger-dan-thomas-luckman/

Karya: Alan Sigit Fibrianto Dosen Sosiologi UM