Kamis, 01 Juni 2017

Dekonstruksi: Posisi Sarjana Sosiologi di Indonesia

Dunia Pendidikan di Indonesia harus bisa menghadapi rintangan dan tantangan baik secara lokal, nasional maupun global. Hal ini penting karena aktivitas dunia pendidikan di Indonesia tidak boleh berorientasi pada liberalisasi dan hanya menjadi pemasok pekerja pada perusahaan-perusahaan yang diciptakan oleh proses ekonomi pasar nasional maupun global. Pendidikan harus mencerahkan, mensejahterakan, dan membentuk manusia unggul (cerdas, berkualitas, kreatif, dan berkarakter).

Jika melihat realitas saat ini, pendidikan yang berkembang dan dikembangkan hanya sebagai kegiatan bisnis dan komoditas yang orientasinya hanya untuk tujuan ekonomi dan kapital. Sekarang cobalah bertanya pada diri kita sendiri, Seharusnya dalam pengembangan pendidikan kita mengikuti kebutuhan pasar (ekonomi dan kapital) atau pengembangan pendidikan menjadi pionir perkembangan peradaban (pasar yang mengikuti perkembangan pendidikan)? Sehingga pengutamaan pendidikan karakter dan akhlak tidak terabaikan. Kalau Pengembangan pendidikan mengikuti kebutuhan pasar, lembaga pendidikan akan terperangkap dalam nilai-nilai pragmatisisme dan komersialisasi, pendidikan bermutu hanya untuk kelas atas, dan menjadi alat kapital. Sehingga pendidikan akan mengabaikan esensi mendidik serta membangun karakter dan akhlak generasi penerus bangsa.

Menurut Fakih (2007) dalam konsep pendidikan kritis yang digagasnya, harus mengkaitkan antara pendidikan dan pemberdayaan; pendidikan dan kesadaran kritis; serta pendidikan dan Humanisasi. Pertama, yang dimaksud dengan pendidikan dan pemberdayaan adalah seorang sarjana sosiologi harus bisa mendampingi/memfasilitasi masyarakat agar mereka lebih sejahtera dan mandiri. Kedua, yang dimaksud dengan pendidikan dan kesadaran kritis adalah seorang sarjana sosiologi harus sadar bahwa pendidikan adalah sarana pembebasan dan proses dalam membangkitkan kesadaran kritis sebagai syarat memanusiakan manusia, bukan sebaliknya. Ketiga, yang dimaksud dengan pendidikan dan humanisasi adalah seorang sarjana sosiologi tidak boleh hanya diam saja ketika melihat penindasan karena pendidikan pada dasarnya diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup.

Pendidikan harus bisa memanusiakan manusia, untuk semua, dan mengawal perkembangan peradaban. Pertanyaannya bagaimana orientasi kurikulum sosiologi di Indonesia? Dimana posisi lulusan sarjana sosiologi di Indonesia?. Semua mahasiswa sosiologi harus sadar, jangan mau hanya dikenalkan kepada tokoh sosiologi barat, pembelajaran lebih banyak porsi teori dari pada membaur di masyarakat, dan skripsinya jika mahasiswa pendidikan sosiologi hanya diperbolehkan penelitian mengenai pendidikan. Bagaimana ilmu sosiologi di Indonesia akan berkembang dan menemukan kekhasannya, kalau mahasiswa tidak dikenalkan dan diajak menghargai karya tokoh sosiologi Indonesia. Jika berbicara realitas hasil dari pendidikan yang seperti itu, mayoritas para lulusan sarjana sosiologi tidak berposisi sebagai sosiolog, pengajar sosiologi, peneliti, atau aktivis tapi berkerja pada perusahaan kapital.

Pendidikan Profetik yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan di Indonesia bisa menjadi pilihan arternatif bagaimana mengembangkan pendidikan di Indonesia. Istilah Ilmu Sosial Profetik dipopulerkan oleh Ilmuan Sosial Indonesia yaitu Kuntowijoyo, menurut Kuntowijoyo dalam Jurdi (2013:251) istilah profetik berasal dari bahasa Inggris prophetical yang mempunyai makna kenabian atau sifat yang ada pada dalam diri seorang Nabi, yaitu sifat Nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan.

Seharusnya kurikulum dan sistem pendidikan bersifat menghidupkan dan membebaskan umat dari ketertindasan, kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Tujuan utama pendidikan adalah membangun kesadaran, pembangunan kepribadian yang utuh (Sehat Jasmani dan Rohani). Sekali lagi mahasiswa, guru, dosen, dan semua kalangan harus sadar bahwa aktivitas pendidikan yang berorientasi pada penumpukan modal (kapital) harus kita rubah.  

Guru SMA tidak hanya mengajarkan sosiologi secara teoritik saja, tapi ajarkan peserta didik untuk membaur dengan masyarakat disekitarnya, lakukan pembelajaran diluar kelas, dan berikan tugas mingguan untuk menulis tentang realitas lingkungannya. Dosen harus mengenalkan tokoh sosiologi Indonesia dan bersama-sama mencari kekhasan sosiologi Indonesia dengan melakukan penelitian lanjutan dari temuan para tokoh Sosiologi Indonesia. Lakukan pengabdian masyarakat agar bisa memberikan porsi yang lebih banyak kepada mahasiswa untuk membaur dengan masyarakat. Dengan cara-cara tersebut budaya literasi akan meningkat, budaya membaca akan meningkat, dan profesi sebagai peneliti di Indonesia akan dihargai.

Para sarjana sosiologi harus berani berkerja sebagai pegiat sosial, berkerja sebagai peneliti, dan membuat jurnal atau penerbitan yang berfokus pada perkembangan keilmuan di Indonesia. Dengan semua menghargai karya tokoh Sosiologi indonesia, mengkritisi, meneruskan penelitian dan mengembangkan gagasannya para Peneliti dan Ilmuan akan sejahtera. Dengan gerakan bersama diatas kita akan mempunyai ilmu sosiologi yang memiliki kekhasan Indonesia dan permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia akan memiliki pemecahan masalah yang lebih tepat.                                                                   
                                         Daftar Pustaka
Fakih,M.,dkk.2007. Pendidikan Populer Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jurdi, S. 2013. Sosiologi Nusantara Memahami Sosiologi Integralistik. Jakarta: Kencana Prenada Group.

Blog Pribadi Penulis: http://www.syamsulbakhri.id/
Karya: Syamsul Bakhri, S.Pd.,Komunitas Braindilog Sociology

5 komentar:

  1. Sangat menarik dan bisa dijadikan motivasi bg para alumni sosiologi. Karna pd knyataannya memang benar saat ini bnyak para lulusan sosiologi terjebak pd pilihan utk meniti karir di perusahaan2 kapital. Hal itu trjadi pd sy sendiri, yg saat ini mengabdi pd perusahaan kapital yg orientasinya jelas pd produktifitas/profit perusahaan tersebut dgn sdikit bnyak mengabaikan hal2 yg seharusnya scra sosiologis itu bersebrangan dgn ilmu yg sy dpt.
    Tp kembali lg pd situasi yg dihadapi bg para lulusan sosiologi(termasuk saya) saat ini, mau nggak mau memang hrs berjalan pd kondisi tsb, karna minimnya ruang utk kita bisa survive sbg sosiolog sejati. Tp sbg alumni sosiologi, setidaknya kita turut memperhatikan dan bisa mengontrol pd hal2 yg sebenarnya berseberangan dlm diri kita sbg seorang lulusan sosiologi. Mudah2an kedepannya para alumni sosiologi dpt menjadi apa yg dibutuhkan dr seorang sosiolog itu sendiri.
    Bravo Sosiologi

    BalasHapus
  2. Bravo Sosiologi Indonesia !!! Mari kita ciptakan wadah bagi sarjana-sarjana sosiologi di Indonesia dengan gerakan bersama otonomi teori Sosiologi Indonesia

    BalasHapus
  3. Secara subjektif, pandangan ini cukup membuat perluasan ruang ideal pemikiran para sosiolog yg mangkrak. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka sudah memilih terayun oleh arus kebutuhan dan persaingan. Pandangan solutif-konkret makro saya tunggu pada tulisan selanjunya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih masukannya kak Deny Kristianto, pandangan ini tidak akan bermakna apa-apa tanpa dukungan, penyebarluasan, dan penerapan sebagai dasar dalam pengembangan sosiologi di Indonesia. Akan saya coba utarakan pandangan saya lebih lanjut pada tulisan berikutnya.

      Hapus