Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Rabu, 14 Februari 2018

Sosiologi Keluarga: Sebuah Tinjauan Mengenai Peran Dan Fungsi Keluarga

Di dalam sebuah keluarga, khususnya keluarga inti, terdiri dari ayah, ibu dan anak, dan masing masing memiliki peran atau fungsinya di dalam keluarga. Ayah sebagai kepala rumah tangga, ibu berperan dalam mengasuh anak dan mengatur pengeluaran untuk keperluan sehari – hari serta kebutuhan di dalam keluarga, dan anak sebagai pihak yang patuh terhadap orang tua dan sebagai penerus keluarga dan yang akan menentukan nama baik keluarga kelak di kemudian hari. Di dalam keluarga terdapat konsep keluarga yang ideal. Keluarga yang seperti apakah yang dikatakan sebagai keluarga ideal? Keluarga dapat dikatakan ideal apabila masing – masing individu di dalam keluarga dapat berfungsi dengan baik sebagaimana fungsi keluarga pada umumnya. Terciptanya keluarga ideal maka akan menciptakan pula keluarga yang harmonis dan sejahtera. Dalam hal ini tak lepas dari peran dan fungsi masing – masing individu di dalam keluarga. Namun, seiring perkembangan zaman, terdapat perubahan ataupun pergeseran fungsi atau peran di dalam keluarga. Perubahan atau pergeseran fungsi keluarga tersebut menciptakan suatu penyimpangan fungsi di dalam keluarga, karena peran masing – masing individu di dalam keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan terjadi beberapa perbedaan peran di dalam keluarga akibat adanya perubahan fungsi keluarga tersebut.

Dalam hal ini, ada beberapa pendapat saya mengenai berbagai perubahan atau pergeseran peran atau fungsi di dalam keluarga seiring perkembangan zaman. Maka dari itu, saya akan mencoba untuk memberikan beberapa argumen pribadi terkait dengan perubahan atau pergeseran fungsi yang terjadi di dalam keluarga tersebut. Perubahan yang pertama, akan saya ambil dari peran atau fungsi orang tua di dalam keluarga. Orang tua terdiri dari ayah dan ibu, yang masing – masing memiliki fungsi yang berbeda seperti yang telah saya sebutkan pada paragraf pertama mengenai fungsi masing – masing individu di dalam keluarga. Namun, di sini saya akan memberikan contoh nyata yang terjadi pada masyarakat pada saat ini dari perubahan peran atau fungsi keluarga terkait ayah dan ibu sebagai orang tua dari sang anak. Perubahan tersebut karena adanya emansipasi wanita. Emansipasi wanita merupakan suatu tuntutan mengenai hak dan kesetaraan antara pria dan wanita karena adanya pergerakan dari golongan kaum wanita. Yang mempelopori adanya emansipasi wanita adalah beliau R.A. Kartini sebagai pejuang terhadap kesetaraan gender dan pengakuan derajat yang sama atas kaum wanita terhadap kaum pria. Perubahan peran atau fungsi keluarga tersebut dapat kita lihat pada era reformasi saat ini, yaitu dengan adanya konsep wanita karir, di mana kaum wanita tidak mau kalah dengan kaum laki – laki di lihat dari segi pemenuhan kebutuhan. Bahkan, ada pula kaum perempuan yang mendominasi di dalam keluarga dalam hal pemenuhan kebutuhan, dalam artian wanita saat ini bekerja dan laki – laki hanya berada di rumah, mengasuh sang anak dan mengelola keuangan keluarga. Hal tersebut sudah merupakan suatu ketimpangan di dalam keluarga, walaupun sebenarnya tidak ada pihak yang dirugikan di dalam keluarga tersebut. Namun, hal tersebut dianggap sebagai penyimpangan sosial di dalam keluarga dilihat dari peran dan fungsi yang seharusnya terjadi di dalam keluarga, bahwa ayah itu seharusnya sebagai kepala keluarga dan bertugas untuk bekerja serta memenuhi kebutuhan di dalam keluarga dan ibu sebagai ibu rumah tangga yang mengelola keuangan keluarga untuk pemenuhan kebutuhan di dalam keluarga tersebut. Misalnya saja, di Jakarta terdapat seorang wanita yang bekerja sebagai supir bus transjakarta, ada pula seorang wanita menjadi kondektur bus metromini, seorang wanita berjualan makanan dan minuman seperti pedagang asongan keliling, seorang wanita yang berjualan jamu gendong keliling, bahkan ada profesi yang derajatnya dianggap lebih tinggi, seperti seorang wanita dengan profesi dokter, seorang polwan atau polisi wanita, seorang guru atau dosen wanita, dan lain sebagainya. Saya sebenarnya sangat pro dengan hal tersebut kaitannya dengan emansipasi wanita. Memang saat ini, dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga sangatlah sulit. Jadi, perlu adanya peran seorang wanita untuk turut memberikan andil sebagai wanita karir yang mampu untuk mendongkrak pemenuhan kebutuhan keluarga agar dapat tercukupi. Sebenarnya, peran dalam mengasuh anak bukan hanya dipegang oleh seorang ibu saja, akan tetapi ayah juga berperan dalam mengasuh anak. Menurut saya, wanita boleh bekerja, namun tidak boleh melebihi jam kerja dari laki – laki di dalam konteks berkeluarga. Wanita harus memiliki banyak waktu luang untuk berperan dalam mengasuh anak sebagai seorang ibu, sedangkan laki – laki adalah wajibnya dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga. Saya sangat pro ketika wanita sebagai seorang ibu memiliki karir dan juga laki – laki sebagai seorang ayah juga berkarir. Akan tetapi, jam kerja wanita tidaklah padat, seperti halnya kaum laki – laki sebagai kepala rumah tangga yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ada kalanya, sang ibu memiliki waktu luang untuk berdua dengan sang anak untuk proses sosialisasi anak dan menanamkan nilai – nilai dan norma sejak dini terhadap buah hati. Karena peran keluarga adalah sebagai tempat untuk proses sosialisasi yang terjadi pertama kali dan yang paling utama untuk sang anak, karena bagaimanapun kepribadian sang anak di masa yang akan datang itu tergantung dari penanaman nilai – nilai dan norma serta moral yang di tanamkan oleh orang tua di dalam keluarga. Karena biasanya karakter anak yang paling kuat tertanam adalah saat proses sosialisasi di dalam keluarga, yaitu sosialisasi dan didikan kedua orang tua terhadap anaknya. Saya mengambil sisi positif dari adanya wanita karir, yaitu ketika ayah bekerja dan ibu bekerja di dalam keluarga, maka dipandang dari segi ekonomi, itu sangatlah mungkin tercukupi dalam aspek pemenuhan kebutuhan keluarga, dalam artian, segala kebutuhan dari segi sandang, pangan dan papan pasti dapat tercukupi, serta pemenuhan kebutuhan pendidikan sang anakpun dapat tercukupi dengan baik, yaitu anak mampu memperoleh pendidikan yang setinggi – tingginya. Namun, ada segi lain yang saya kemudian ada ketidaksetujuan atau kontra, yaitu ketika laki – laki sebagai seorang ayah bekerja dan wanita sebagai seorang ibu juga bekerja dan kemudian lupa akan kewajiban orang tua dalam hal mengasuh anak atau memberikan pemenuhan terhadap peran dan fungsi orang tua terhadap sang anak yaitu, proteksi, afeksi, dan sosialisasi sebagai kebutuhan yang paling utama dari sang anak. Maka dari itu, orang tua hendaknya selalu memberikan asupan berupa proteksi yaitu melindungi sang anak dari berbagai hal yang sifatnya merugikan dan negatif yang berpengaruh terhadap perkembangan anak, serta memberikan afeksi atau kasih sayang, di mana orang tua seharusnya ada ketika sang anak butuh dan orang tua selalu mendidik, mengawasi, serta mendukung apapun yang dilakukan anaknya selama hal tersebut bersifat positif dan berguna bagi sang anak, serta peran kedua orang tua dalam proses sosialisasi pertama kali kepada sang anak. Ada baiknya orang tua menanamkan dan mengajarkan hal – hal positif kepada sang anak. Peran orang tua adalah sebagai wadah untuk menampung segala aspirasi dan keluh kesah sang anak, dan ketika sang anak ingin sharing, maka peran kedua orang tua haruslah ada ketika anak membutuhkan, saat itulah peran orang tua memberikan masukan – masukan yang sifatnya membangun, dari pengalaman kedua orang tua pun bisa di-sharing-kan atau diceritakan kepada sang anak, sehingga sang anak menjadi paham betul tentang realita kehidupan, agar anak juga bisa memilah mana yang baik dan benar yang harus dilakukan serta mana yang buruk yang bersifat merugikan dan yang harus ditinggalkan. Jadi, walaupun adanya konsep wanita karir sehingga kedua orang tua bekerja, namun mereka setidaknya masih ada waktu untuk meluangkannya kepada sang buah hati, karena karakter dan kepribadian anak itu tergantung dari bagaimana peran orang tua dalam memberikan proteksi, afeksi, serta sosialisasi kepada sang anak. Namun, saya sangat kontra ketika seorang laki – laki sebagai kepala keluarga tidak bekerja dan hanya berdiam diri layaknya seorang pengangguran, sedangkan perempuan di dalam keluarga sebagai seorang ibu kemudian yang bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarga. Maka, hal tersebut telah sangat menyimpang dari fungsi keluarga, yang seharusnya seorang laki – laki sebagai ayah adalah sebagai kepala rumah tangga dan berkewajiban dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, kemudian digantikan dengan wanita sebagai seorang ibu yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Peran laki – laki sebagai seorang ayah seharusnya adalah yang mampu memimpin keluarga, yang mampu mengayomi keluarga dan mampu melindungi keluarga, serta mampu memenuhi kebutuhan keluarga, karena itu adalah tugas dari seorang laki – laki sebagai seorang ayah dan sebagai kepala rumah tangga. Jadi, laki – laki harus berusaha bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan, sehingga perannya dalam memenuhi kebutuhan keluarga dapat tersalurkan.

Lalu, yang selanjutnya dipandang dari peran sang anak yang seharusnya patuh kepada kedua orang tua. Namun, saat ini banyak sekali kita melihat perubahan – perubahan fungsi sang anak, yaitu sekarang ini banyak sekali anak yang membangkang kepada orang tuanya, ada pula anak yang tidak menghormati kedua orang tuanya, hal itu dapat kita lihat dari cara berbicara anak terhadap orang tua, mulai dari berani berkata kotor kepada orang tua hingga mencaci maki kedua orang tuanya. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor, mungkin karena proses sosialisasi yang gagal dari kedua orang tua terhadap sang anak, mungkin juga karena akibat dari kesibukan kedua orang tua terhadap pekerjaannya sehingga lupa akan fungsi dan peran orang tua terhadap anaknya yaitu orang tua hendaknya memberikan proteksi, afeksi serta sosialisasi, sehingga mungkin anak juga enggan berada di rumah dan mencari suasana yang lain yaitu pada lingkungan pergaulan. Ketika di dalam lingkup pergaulan, mungkin anak mendapatkan apa yang tidak didapatkan di dalam keluarganya, sehingga anak mulai terbuai dengan pergaulannya bersama dengan teman – temannya, dan lupa akan batasan – batasan di dalam pergaulan, dan tanpa disadari anak telah terpengaruh oleh hal – hal negatif dari pergaulan tersebut dan menjadi kebiasaan dari sang anak, yang kemudian dibawa ke dalam ranah keluarga. Dalam hal ini, saya sangat kontra, karena bagaimanapun juga tugas dari sang anak dilihat dari peran maupun fungsi sang anak di dalam keluarga adalah patuh terhadap kedua orang tuanya. Jadi, saya berpendapat bahwa terjadinya hal tersebut mungkin kurang adanya transparansi antara orang tua terhadap anak begitupun sebaliknya yaitu antara anak terhadap orang tua. Jadi, di dalam keluarga harus adanya sikap saling terbuka antar individu, mulai dari ayah, ibu, dan anak. Sehingga dengan adanya keterbukaan tersebut akan menciptakan kesadaran dari masing – masing individu terhadap peran dan fungsinya di dalam keluarga. kemudian dari sikap saling terbuka tersebut akan memperoleh pengertian satu sama lain dan apa yang diharapkan dapat tersalurkan sehingga akan menjadi koreksi dari masing – masing anggota keluarga, dan menciptakan keadaan di mana masing – masing individu akan introspeksi diri dan memikirkan segala kekurangan dan bagaimana seharusnya masing – masing anggota berfungsi maupun berperan di dalam keluarga yang utuh tersebut. Sehingga dengan hal tersebut diharapkan akan menekan tingkat keretakan yang kemungkinan terjadi di dalam sebuah keluarga. Sehingga akan tercipta keluarga yang harmonis.
Kemudian, terdapat kasus pergeseran atau perubahan fungsi keluarga, seperti orang tua tega menjual anak perempuannya sendiri untuk dilacurkan. Hal tersebut sudah merupakan tindak kriminalitas sekaligus merupakan pergeseran fungsi orang tua terhadap anaknya, yang seharusnya orang tua itu fungsinya memberikan proteksi dan afeksi, namun seakan hal itu telah pudar dan tidak dianggap lagi. Mungkin dari segi lain, orang tua terpaksa melakukan hal tersebut karena desakan ekonomi, yang menyebabkan hal itulah cara atau jalan satu – satunya untuk bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, hingga tega menjual anaknya sendiri. Seakan – akan anak perempuan dianggap sebagai aset atau pusat harta yang kemudian disalah-persepsikan dan dianggap sebagai sebuah barang yang dapat diperjual-belikan, dalam hal ini jelas telah terjadi disfungsi keluarga. Dalam konteks ini, saya sangat kontra, karena seharusnya tugas keluarga itu adalah melindungi dan menjaga anaknya, dalam hal ini berhubungan dengan peran ataupun fungsi kedua orang tua dalam memberikan proteksi dan afeksi. Walau bagaimanapun desakan ekonomi yang dialami, orang tua harusnya dapat berpikir dengan pikiran yang jernih dan sewajarnya, dan jangan sampai mengorbankan salah satu anggota keluarganya hanya karena faktor desakan ekonomi. Karena masih ada cara lain tanpa harus menjual anak perempuannya tersebut. Orang tua bisa saja mencari pekerjaan, mungkin dengan buruh tani, ataupun buruh bangunan, sehingga ada usaha dari orang tua khususnya seorang laki – laki sebagai ayah sekaligus kepala rumah tangga dalam hal memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya. Sang anakpun bisa bekerja jika memang sudah masuk dalam usia kerja sehingga terjadi peningkatan peran dan fungsi dari sang anak di dalam keluarga, hal ini untuk membantu perekonomian keluarga, asalkan pekerjaan tersebut halal dan masih merupakan pekerjaan yang positif. Sang ibu pun bisa sebagai buruh cuci mungkin juga bisa sebagai pembantu rumah tangga. Sebenarnya bisa dengan berbagai cara keluarga tersebut berusaha untuk keluar dari berbagai permasalahan yang dialami oleh keluarga, maka dalam hal ini komunikasi yang baik di dalam keluarga sangat diperlukan, asalkan ada kemauan dan kerja keras, selalu berpikir positif dan selalu bersyukur, bukannya malah meniadakan usaha dan menghalalkan berbagai cara. Antar anggota di dalam keluarga itupun harus tetap terjaga komunikasinya, mungkin dengan saling mendukung atau men-support apa yang dilakukan atau dikerjakan masing – masing dapat membuat pekerjaan masing – masing bisa dilakukan dengan setulus hati dan bekerja dengan giat serta bekerja keras, karena memang tujuannya untuk memenuhi atau mencukupi kebutuhan di dalam keluarga. Sehingga, sesusah apapun masalah yang dihadapi di dalam keluarga semuanya bisa diatasi, asal dengan selalu berpikir positif, komunikasi yang lancar, adanya usaha, tekad dan kerja keras, serta selalu bersyukur atas apa yang dimiliki. Karena bagaimanapun tanpa rasa syukur akan membuat keluarga akan selalu merasa kurang, karena sifat dasar manusia adalah hawa nafsu yang salah satunya adalah rasa tidak akan pernah puas dengan apa yang telah dimiliki atau yang telah dicapainya di dalam kehidupan. Sehingga walau dalam keadaan perekonomian yang mendesak, masih tercipta keluarga yang harmonis, di mana masing – masing anggota di dalam keluarga dapat saling mengerti akan keadaan yang dihadapi dan berusaha bersama – sama dalam mencapai perubahan keluarga ke arah yang baik. Bagaimanapun, dinamika keluarga akan selalu terjadi, tidak ada satupun keluarga yang bersifat statis, selalu akan ada gejolak yang siap menanti kapanpun dan dalam kondisi apapun di dalam keluarga, dan yang bisa mengatasi semuanya adalah keluarga itu sendiri dengan segenap komponen di dalamnya yaitu ayah, ibu, dan anak.

Mungkin hal itulah sekelumit gagasan, argumen maupun pendapat saya pribadi mengenai pro atau kontra terhadap pergeseran ataupun perubahan fungsi di dalam keluarga, khususnya keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, serta contoh – contoh kasus yang telah diutarakan di atas mengenai perubahan ataupun pergeseran fungsi di dalam keluarga beserta argumen pro maupun kontra menurut pandangan saya pribadi terkait hal tersebut.

Karya: Alan Sigit Fibrianto, S.Pd., M.Sos

Rabu, 07 Februari 2018

Karl Marx Sebagai Sosiolog

Ketika kita mendengar nama Karl Marx maka dengan segera terbangun dalam pemikiran kita sebuah pengetahuan laten yang menghubungkan dirinya sebagai pendiri komunisme, ahli ekonomi penulis buku terkemuka bernama Das Kapital. Gagasan Marx memiliki dampak besar pada politik dunia dan pemikiran intelektual. Warisan pemikiran Marx telah diperdebatkan di antara berbagai kecenderungan, yang masing-masing menganggap dirinya sebagai juru bahasa Marx yang paling akurat. Di ranah politik, kecenderungan ini menghasilkan sejumlah varian pemikiran al., Leninisme, Marxisme-Leninisme, Trotskisme, Maoisme, Luxemburgisme dan Marxisme Libertarian. Sementara di ranah akademis menghasilkan sejumlah arus pemikiran al., Marxisme Strukturalis, Marxisme Historis, Marxisme Fenomenologis, Marxisme analitis dan Marxisme Hegelian.

Namun yang kerap diabaikan adalah pemikiran-pemikiran Karl Marx dalam bukunya bukan hanya mencerminkan Filsafat Sosial maupun Teori Ekonomi Politik melainkan berisikan analisis Sosiologis yang berkontribusi untuk perkembangan Ilmu Sosiologi itu sendiri.Namanya dideretkan menjadi satu dari tiga arsitek utama sains sosial modern bersama Émile Durkheim dan Max Weber. Sekalipun karya tulis dan latar belakang Karl Marx bukan seorang sosiolog namun analisis-analisisnya memberikan landasan dan kontribusi penting pada aliran pemikiran Sosiologi di kemudian hari.

Konsep-konsep manakah dari Karl Marx yang berkontribusi bagi pemikiran Sosiologi? Mengapa Karl Marx layak disebut sebagai Sosiolog dan bukan hanya Filusuf dan Ekonom? Pertanyaan-pertanyaan itu yang kita jawab melalui telaah singkat berikut ini.

Materialisme Dialektika (Historis Dialectic) dan Materialisme Historis (Historis Materialism)
Teori Konflik dalam Sosiologi tidak bisa dilepaskan dari konsepsi dan rumusan Karl Marx mengenai sejarah perihal bagaimana masyarakat beroperasi. Dia merumuskan teori ini dengan terlebih dahulu mengubah prinsip filosofis penting pada zamannya yaitu Dialektika Hegel. 

Sebagaimana kita ketahui, Friedrich Hegel adalah seorang filsuf Jerman terkemuka selama awal studi Karl Marx. Hegel berteori bahwa kehidupan sosial dan masyarakat tumbuh dari pemikiran dan pengetahuan yang bergerak tahapan demi tahapan menuju pengetahuan yang absolut. Hegel memahami sejarah sebagai gerak ke arah rasionalitas dan kebebasan yang semakin besar. 

Roh semesta berada di belakang sejarah dan mendapatkan obyektifitasnya di dalamnya. Roh Obyektif itu memanifestasikan diri dalam kebudayaan-kebudayaan, moralitas-moralitas dan institusi-institusi. Roh Obyektif mendapatkan ungkapan yang paling kuat dalam wujud negara karena negara memiliki kehendak sehingga dirinya dapat bertindak. Gerak Roh Obyektif ini selalu bersifat dialektis yaitu melalui konflik dan penyangkalan yang selalu menghasilkan bentuk yang lebih tinggi yang kemudian disangkal dan menghasilkan bentuk yang lebih tinggi lagi. Bagi Hegel, gerak sejarah ke arah rasionalitas itu mengerucut dalam wujud negara Prusia sebagai negara modern paska Revolusi Prancis. 

Penjelasan Hegel mengenai realitas adalah perwujudan Roh Absolut lebih mencerminkan pemahaman yang “kelihatan agak panteistis” (Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, 1990:43). Selanjutnya Hamersma menambahkan, “Tetapi pikiran Hegel berbeda dari panteisme Spinoza misalnya. Alam itu pada Hegel hanya merupakan satu tahap dalam kejadian Tuhan. Pendapat Hegel cukup berbeda dari pikiran Kristiani. Agama itu menurut Hegel kurang sempurna: agama itu tahap terakhir ke arah kebenaran filsafat. Agama memberi kebenaran tentang Tuhan dalam bentuk anggapa-anggapan. Filsafat memberi kebenaran yang sama dalam bentuk satu-satunya yang rumit, yaitu bentuk pengertian-pengertian” (Ibid., p. 43-44)

Berkebalikkan dengan konsepsi Hegel tentang sejarah dan realitas sosial, Marx melihat perspektif yang  berbeda. Dia membalikkan dialektika Hegel, dan berteori bahwa bentuk ekonomi dan produksi yang ada yaitu dunia material dan pengalaman kita di dalamnya, inilah yang membentuk pemikiran dan kesadaran. Dalam Das Capital, Volume 1 dikatakan, “Yang ideal tidak lain adalah dunia material yang tercermin dalam pikiran manusia, dan diterjemahkan ke dalam bentuk pemikiran” (Capital A Critique of Political Economy, https://www.marxists.org). Pemikiran ini lazim dinamakan Materialisme Historis.

Di dalam dunia materi berlaku segala hukum-hukum pertentangan, perubahan, lompatan, dorongan dari pelbagai kekuatan yang saling berhubungan di segala lapangan fenomena. Realitas sosial yang terbentuk ini tidak muncul dengan sendirinya melainkan terjadi melalui relasi negasi yang bersifat dialektis. Inilah yang kemudian dinamakan Materialisme Dialektis.

Konsep Mengenai Alienasi (Keterasingan) dan Realita Kehidupan Buruh
Konsep Alienasi (keterasingan) menjadi kontribusi pemikiran Karl Marx untuk menganalisis fenomena masyarakat modern yang mengalami keterasingan. Konsep Alienasi sendiri bermula dari analisis Marx terhadap aktifitas kerja yang dilakukan kaum buruh. “Bagi kebanyakkan orang dan khususnya bagi para buruh industri dalam sistem kapitalis, pekerjaan tidak merealisasikan hakikat mereka melainkan justru mengasingkan mereka” (Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, 2001:95). Keterasingan dari dirinya sendiri mempunyai beberapa segi yaitu buruh terasing dari produknya karena buruh tidak bisa menikmati hasil pekerjaannya. Buruh terasing dari sesamannya karena harus saling bersaing satu sama lain. Sumber dari alienasi adalah kepemilikkan alat-alat produksi oleh para pemilik modal sehingga menimbulkan kesenjangan. Bagaimana alieanasi diakhiri? Dengan melakukan penghapusan hak milik atas alat-alat produksi setelah kondisi-kondisi obyektif terpenuhi.

Basis dan Suprastruktur
Marx memberi sosiologi beberapa alat konseptual penting saat ia mengembangkan teori materialis historis dan metode untuk mempelajari masyarakat. Dalam German Ideology, yang ditulis dengan Friedrich Engels, Marx menjelaskan bahwa struktur masyarakat terbagi menjadi dua bagianyaitu Basis dan Suprastruktur (A Critique of The German Ideology - https://www.marxists.org).

Basis merupakan aspek material masyarakat dan ditentukkan oleh dua faktor utama yaitu tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi. Yang dimaksudkan tenaga-tenaga produktif adalah kekuatan-kekuatan yang dipakai oleh masyarakat untuk mengerjakan dan mengubah alam yaitu alat-alat kerja, skill manusia. Sementara hubungan-hubungan produksi adalah hubungan kerjasama antar manusia yang terlibat dalam proses produksi.

Sementara Suprastruktur atau bangunan atas meliputi tatanan institusional dan tatatanan kesadaran kolektif. Yang dimaksudkan tatanan institusional adalah segala macam lembaga yang mengatur kehidupan bersama masyarakat di luar produksi, baik itu sistem pendidikkan, sistem hukum dll. Sementara tatanan kesadaran kolektif meliputi semua sistem kepercayaan, nilai dan norma.

Kelas Sosial dan Konflik Kelas
Karl Marx membagi antara Kelas Atas dan Kelas Bawah. Kelas Atas adalah para pemilik modal sementara Kelas Bawah adalah para buruh dan pekerja yang bergantung pada pemilik modal. Hubungan mereka bersifat kekuasaan dan tidak seimbang sekalipun saling membutuhkan. Buruh hanya dapat bekerja apabila pemilik modal membuka tempat bekerja baginya dan para pemilik modal mendapatkan keuntungan jika pabrik dan mesin yang dimilikinya dioperasikan oleh para buruh. Namun demikian para buruh tidak akan mendapatkan uang dan membeli kebutuhannya jika tidak bekerja pada para pemilik modal sementara para pemilik modal masih tetap dapat bertahan dikarenakan kepemilikkan modal usahanya.

Kesadaran Palsu dan Kesadaran Kelas
Dalam German Ideology dan Comunist Manifesto, Marx dan Engels menjelaskan bahwa peraturan borjuasi dicapai dan dipertahankan di ranah suprastruktur. Artinya, dasar aturan mereka adalah ideologis. Dengan menguasai politik, media, dan institusi pendidikan, mereka yang berkuasa menyebarkan pandangan dunia yang menunjukkan bahwa sistem itu benar dan adil, yang dirancang untuk kebaikan semua orang, dan hal itu bahkan wajar dan tak terelakkan. 

Marx mengacu pada ketidakmampuan kelas pekerja untuk melihat dan memahami sifat dari hubungan kelas yang menindas ini sebagai “kesadaran palsu” dan berteori bahwa pada akhirnya, mereka akan mengembangkan pemahaman yang jelas dan kritis mengenai hal itu, yang akan menjadi “kesadaran kelas”. Dengan kesadaran kelas, mereka akan memiliki kesadaran akan realitas masyarakat kelas di mana mereka tinggal, dan peran mereka sendiri dalam mereproduksinya. Marx beralasan bahwa begitu kesadaran kelas telah tercapai, revolusi yang dipimpin pekerja akan menggulingkan sistem yang menindas.

Kontribusi Karl Mark Dalam Teori Sosiologi Konflik
Sebagaimana kita ketahui bahwa Sosiologi memiliki beberapa paradigma dalam perumusan teorinya untuk menganalisis realitas sosial yaitu Paradigma Fakta Sosial, Paradigma Definisi Sosial dan Paradigma Perilaku Sosial. Masing-masing paradigma menaungi sejumlah teori yang dibangun. Teori Konflik dinaungi oleh Paradigma Fakta Sosial. Konsep-konsep Karl Mark yang telah dijabarkan dalam sejumlah buku dan artikelnya berkontribusi bagi Teori Konflik untuk menganalisis realitas sosial dimana realitas sosial dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan dominan dan tidak terberi begitu saja. 

Jonathan H.Turner mendeskripsikan kontribusi Karl Mark terhadap Teori Konflik dalam Sosiologi sbb, “Karl Marx has been the most influential theorist of the classical era on contemporary conflict theorizing. His influence has been multifold: first, he produced a general theory of inequality and conflict; second, he infused the analysis of conflict with a political agenda for creating a new kind of society (communism); and third, he offered a view of history as successive epochs of conflict between those who own and control the means of production in a society and those subject to the power of these owners of the means of production” – “Karl Marx telah menjadi teoretikus paling berpengaruh dari era klasik tentang teori bertema konflik kontemporer. Pengaruhnya telah banyak terjadi: Pertama, dia menghasilkan teori umum tentang ketidaksetaraan dan konflik; Kedua, dia menanamkan analisis konflik dengan agenda politik untuk menciptakan jenis masyarakat baru (komunisme); dan yang ketiga, dia menawarkan pandangan sejarah sebagai epos konflik berturut-turut antara mereka yang memiliki dan mengendalikan alat-alat produksi dalam masyarakat dan mereka yang tunduk pada kekuatan pemilik alat-alat produksi ini.” (Theoritical Sociology: A Concise Introduction to Twelve Sociological Theories, 2014:33).

Joseph A. Schumpeter dalam magnum opus-nya menuliskan bahwa Mark bukan hanya Nabi dan Ekonom melainkan Sosiolog. Dikatakan Nabi karena kajian Marx menawarkan kelengkapan dan keutuhan melihat kehidupan sosial dan menawarkan pembebasan terhadap masyarakat yang tertindas oleh sebuah sistem serta berbicara perihal masa depan utopia tentang masyarakat tanpa kelas.

Disebut sebagai ekonom karena kajian dan telaahnya mencerminkan kefasihannya membaca persoalan-persoalan ekonomi sebagaimana tertulis buah pemikirannya dalam karyanya Theories of Surplus Value yang merupakan karya besar dari semangat teoritikus dan juga Master Piece-nya yaitu Das Kapital yang begitu rumit dan berjilid-jilid memperlihatkan kerumitan teori-teori ekonomi yang dituliskannya.

Sementara Marx juga disebut sebagai Sosiolog karena kajian ekonomi politiknya melibatkan data-data sosiologis yang terkandung dalam konsep kelas, kepentingan kelas sebagaimana dikatakan, “Sekarang, meskipun Marx mendefinisikan kapitalisme secara sosiologis yaitu dengan lembaga kontrol privat atas sarana-sarana produksi, mekanika masyarakat kapitalis disediakan oleh teori ekonomi darinya. Teori ekonomi ini adalah untuk menunjukkan bagaimana data sosiologis yang terkandung dlam konsepsi kelas, kepentingan kelas, perilaku kelas, pertukaran antar kelas, bekerja melalui medium-medium nilai-nilai ekonomi, laba, upah, investasi dan lain-lain serta bagaimana mereka dengan tepat menghasilkan proses ekonomi yang pada akhirnya akan merusak kerangka kerja keembagaan miliknya sendiri serta pada akhirnya akan merusak kerangka kerja kelembagaan miliknya sendiria serta pada saat yang sama menciptakan kondisi-kondisi untuk munculnya dunia sosial lain” (Capitalisme, Socialism And Democracy, 2013:31).

Membaca kajian di atas perihal konsepsi-konsepsi Karl Marx yang bersifat Sosiologis dan berkontribusi terhadap Ilmu Sosiologi khususnya Teori Konflik dan juga lahirnya Teori Kritis di Abad 20 akan membuka perspektif baru kita terhadap pemikiran Mark yang tidak hakimi secara sepihak dengan melekatkannya dengan konsep-konsep Ateisme, perlawanan terhadap agama dan fenomena supranatural belaka. Sebaliknya kita memperlakukan teori-teori Karl Mark yang berguna bagi Ilmu Sosiologi untuk membaca, menganalisis serta melakukan perubahan terhadap realitas sosial.

Terlepas sejumlah irelevansi teori-teori Karl Mark dengan realitas historis masa kini (kapitalisme tidak lenyap sebagaimana diprediksikan melainkan telah berubah rupa menjadi kapitalisme global dll) namun sejumlah konsep-konsep sosiologis Mark masih relevan menjadi instrumen analisis sosial seperti alienasi (keterasingan), struktur penindasan kelas, kesadaran kritis kelas tertindas, kelas-kelas sosial dll.

Ibarat sumber air, pemikiran Karl Marx telah mengalir jauh dan merembesi banyak pemikiran khususnya dalam ilmu-ilmu sosial yang melahirkan sejumlah mazhab mulai dari Antonio Gramsci, Jean Baudrilaard, Pierre Felix Bourdieu, Theodor Adorno, Mak Horkeimer, Paulo Freire, Jurgen Habermas, Herbert Marcuse, Jacques Derrida, Michael Foucault dll. Pemikiran-pemikiran bertema filsafat dan sosial berbasis pemikiran Karl Marx biasanya diistilahkan dengan Epistemologi Kiri yang didefinisikan Listiyono Santoso sebagai, “Pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan, mengkritik dan memang terkadng nakal untuk menghancurkan segala hal yang berbaui establishment, terutama kemapanan kekuasaan otoriter dan juga kapitalisme modern...Dengan demikian, perspektif kiri dalam konteks ini sekadar membongkar asumsi dasar epistemologis penyusunan sebuah pengetahuan. Jangan-jangan setiap kemapanan pengetahuan sesungguhnya bersembunyi berbagai kepentingan-kepentingan ideologis dan juga manipulasi atas kebenaran” (Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri: Seri Pemikiran Tokoh, 2014:17)

Sebagaimana istilah-istilah Weberian, Durkhemian, Parsonian merefleksikkan perspektif-persepektif Weber, Durkheim, Parson dll terkait dengan Sosiologi, maka Marxian jangan hanya direduksi sebagai dukungan atau afiliasi terhadap Komunisme belaka melainkan sebagai sebuah telaah realitas sosial berbasis analisis Marxis. Dan mereka yang menggunakan telaah berbasis analisis Marxis tidak serta merta harus dilekatkan stigma sebagai Komunis karena Komunisme hanyalah bentuk radikal dari Sosialisme dan Komunisme adalah bentuk politis dari konsepsi-konsepsi sosial Karl Mark sementara kajian Sosiologi adalah sebuah disiplin keilmuan yang ingin membaca dan memahami hukum-hukum sosial dan melakukan perubahan sosial.

Salah satu model bagi analisis sosial berbasis pemikiran Karl Marx adalah hadirnya Teori Kritis (Critical Theory) yang lebih dikenal dengan nama Mazhab Frankfurt (Frankfurter Schule) yang tergabung dalam Lembaga Penelitian Sosial (Institut fur Sozialforchung) di Frankfurt Jerman. Lembaga yang didirikan tahun 1924 oleh Carld Grunberg ini telah melambungkan sejumlah nama-nama besar seperti Max Horkeimer yang pada tahun 1930 menjadi direktur institut tersebut dan juga nama-nama seperti Theodor Wiesengrund Adorno serta Herbert Marcuse. 

Perihal kontribusi Teori Kritis dalam pembangunan ilmu-ilmu sosial akan dikaji dalam kesempatan lain. Kajian Karl Marx sebagai Sosiolog kiranya dapat membuka perspektif baru untuk mendudukkan Karl Marx sebagai seorang pemikir sosial yang konsep-konsepnya masih relevan untuk dijadikan dasar menganalisis persoalan sosial di era kemenangan kapitalisme global ini.

Daftar Pustaka

Buku:
Hamersma, Harry (1990), Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Tama
Santoso, Listiyono dkk (2014), Epistemologi Kiri: Seri Pemikiran Tokoh, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Schumpeter, Joseph (2013), Capitalisme, Socialism And Democracy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suseno, Franz Magnis (2001), Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Tama
Turner, Jonathan H. (2014), Theoritical Sociology: A Concise Introduction to Twelve Sociological Theories, , California: SAGE Publication

Internet:
Marx, Karl (1932), A Critique of The German Ideology, -https://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/german-ideology/
Marx, Karl, Capital A Critique of Political Economy, -https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Capital-Volume-I.pdf

Karya: Teguh Hindarto, S.Sos., MTh.

Sabtu, 03 Februari 2018

Sosiologi Indonesia: Kajian Analisis Sosial Dengan Pendekatan Konsep Teori Tokoh Sosiologi Indonesia

Puji Syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, kami masih diperkenankan untuk tetap terus berkarya walau dengan keterbatasan dan hanya dengan bermodalkan tekad dan kerja keras. Buku ini merupakan karya perdana dari Komunitas Braindilog (Brainstorming, Dialectic, dan Logic) Sociology yang bekerjasama dengan Gerakan Menulis Buku Indonesia (GMBI). Buku ini berisi tentang gagasan yang beragam mengenai permasalahan sosial maupun politik yang terjadi di Indonesia, yang dipaparkan oleh beberapa penulis yang terlibat dalam penulisan buku ini. Komunitas Braindilog Sociology sendiri memiliki sebuah gagasan yang hasilnya tertuang di dalam buku ini, di mana hadirnya buku ini di hadapan anda tidak terlepas dari proses yang panjang melalui salah satu program dari kami mengenai Sayembara Menulis Artikel Sosiologi Indonesia. Tujuan dari dilaksanakannya Sayembara adalah untuk mengajak semua kalangan baik mahasiswa, dosen, peneliti, aktivis, dan masyarakat pada umumnya untuk bersama-sama peka terhadap permasalahan sosial di sekitarnya ataupun secara umum yang terjadi di Indonesia, serta dianalisis dengan menggunakan perspektif sosiologis. Alhasil buku ini hadir sebagai sebuah karya bunga rampai dengan judul, “Sosiologi Indonesia: Kajian Analisis Sosial dengan Pendekatan Konsep Teori Tokoh Sosiologi Indonesia”.

Selain itu, kami juga berupaya mengajak khalayak umum pecinta sosiologi maupun pegiat sosial atau para penulis, untuk bersama-sama mengenal tokoh-tokoh Sosiolog di Indonesia dan menggunakan konsep maupun teorinya sebagai pisau analisis dalam melihat permasalahan yang diangkat. Sesuai dengan visi awal dari Komunitas Braindilog Sociology mengenai otonomi teori sosiologi Indonesia, harapannya kita tidak hanya berkutat dan mendewakan tokoh barat semata, namun juga memberikan sedikit apresiasi terhadap tokoh-tokoh bangsa Indonesia, khususnya di bidang sosiologi, dengan mengenal tokoh-tokoh sosiologi Indonesia, apa konsep dan teori dari masing-masing tokoh tersebut, mengenal karya-karya mereka, dan menggunakannya sebagai pisau analisis bagi permasalahan sosial yang ada di Indonesia. Walaupun tidak dipungkiri bahwa para tokoh sosiolog di Indonesia juga produkan dari barat, pola pikir negara kita tak lepas dari konsep-konsep dan teori barat bahkan dari berbagai istilah yang digunakan adalah produkan barat. Kami tidak berupaya menolak toeri-teori barat, bahkan gagasan-gagasan dari para tokoh barat telah membuka cakrawala pemikiran setiap insan di dunia sehingga memunculkan tokoh-tokoh baru di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Tujuan kami adalah mengajak khalayak umum untuk setidaknya mengenal tokoh-tokoh bangsa sendiri dengan segenap pemikirannya dan mulai mengapresiasi karya-karya mereka, sehingga dapat memunculkan optimisme dan percaya diri dari para tokoh bangsa untuk terus berkarya dan menghasilkan karya-karya yang terbaiknya, dan harapannya juga akan ada generasi-generasi penerus sebagai tokoh baru dalam mengembangkan keilmuwan di Indonesia dengan mengangkat ke-khas-an Indonesia, khususnya dalam hal ini perkembangan sosiologi di Indonesia.

Selama ini kita terlalu dibutakan dengan nama-nama dari tokoh barat dan istilah-istilah asing yang ditawarkan dari mereka, sampai-sampai kita lupa akan tokoh bangsa sendiri, bahkan tak sedikit dari kita yang tak mengenal tokoh bangsanya sendiri, khususnya di bidang Sosiologi. Corak Khas Sosiologi Indonesia-lah yang merupakan cita-cita Komunitas Braindilog Sociology, dan berupaya mengembangkan ke-khas-an Sosiologi Indonesia itu. Karya-karya dalam buku ini merupakan tolak ukur untuk Komunitas Braindilog Sociology melangkah ke tahap selanjutnya. Perlahan, namun pasti. Itulah arah perjalanan kami ke depan, serta terus mengajak khalayak umum untuk turut bersama-sama peka terhadap kehidupan sosial di lingkungan sekitar maupun berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia. Artikel yang masuk dan tersaji di hadapan pembaca ini memang telah melalui seleksi, dengan pertimbangan tematik dan akademik, maka ada beberapa tulisan yang terpaksa harus diedit atau bahkan tidak dapat dimuat. Untuk itu, kami dari Komunitas Braindilog Sociology benar-benar mohon maaf kepada para penyumbang artikel yang telah banyak perhatiannya pada kegiatan ini. Sedangkan kepada para penulis artikel, kami ucapkan terima kasih atas atensi, dan selamat bagi keberhasilan para penulis yang karyanya masuk dalam buku ini.

Kendala dalam penulisan adalah sangat minimnya literasi mengenai tokoh-tokoh sosiologi Indonesia, sehingga kelemahan masih sangat terlihat dalam karya ini, namun begitu apresiasi yang sebesar-besarnya bagi semua pihak yang sangat antusias dalam mensukseskan terciptanya karya ini sebagai awalan untuk menciptakan karya selanjutnya yang lebih baik lagi, baik dari segi penyusunan buku sampai kepada esensi dari buku yang dihasilkan. Untuk segenap pengurus Komunitas Braindilog Sociology: Syamsul Bakhri, Dani Bina Margiana, Alan Sigit Fibrianto, Lita Nala Fadhila, Samuel DHM. Benu, A. Agnes Zogara, A Zahid, Marina Tri Handhani, Marini Kristina Situmeang, Annisa Nindya Dewi, Suryo Waskito Aji, Erna Megyawanti, Mentari, Widiastuti Fikliana, terima kasih atas kerja keras kita semua dalam kepanitiaan sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia ini, tak lupa ucapan terima kasih pula kami tujukan untuk semua anggota Komunitas Braindilog Sociology di manapun berada atas support kalian semua. Kepada Prof. Dr. RB. Soemanto, M.A., Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, yang telah membimbing dan memberi masukan serta persembahan kata pengantar dari beliau dalam buku ini. Kepada Hamzah Fansuri, penulis sebuah buku, “Sosiologi Indonesia: Diskursus Kekuasaan dan Reproduksi Pengetahuan”, yang juga selalu memberikan support serta motivasi kepada kami Komunitas Braindilog Sociology dan berkenan memberikan testimoninya dalam buku ini. Kepada Gerakan Menulis Buku Indonesia (GMBI) dan Kekata Publisher, yang telah memfasilitasi kinerja kami baik dalam publikasi sayembara, sampai kepada penyusunan buku ini sehingga menjadi sebuah karya. Terima kasih banyak untuk semua yang telah terlibat dalam penyusunan buku ini.

Buku ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan buku ini. Semoga ke depan kami dari Komunitas Braindilog Sociology berkesempatan untuk mampu menyempurnakan kembali pada karya-karya yang berikutnya, untuk terus semangat berkarya dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan literasi di Indonesia. Amin.

Ketua Pelaksana
Sayembara Menulis Artikel Sosiologi Indonesia,


Alan Sigit Fibrianto, S.Pd.,M.Sos.