Setelah mendengar kalimat ‘Aku berbelanja, maka aku Ada’,
penulis merasa tergelitik untuk memahami apa maksud di balik kalimat tersebut.
Kalimat yang dasarnya merupakan ungkapan Descartes, nampaknya kini telah
mengalami perubahan. Awalnya ‘aku berpikir, maka aku ada’ digantikan
oleh ‘aku berbelanja, maka aku ada’. Ungkapan tersebut nampaknya
merupakan sebuah gambaran yang tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan realitas
kehidupan zaman sekarang. Artinya, ungkapan ini mencoba menggambarkan perilaku
konsumtif sebagian besar masyarakat. Bahkan, dewasa ini tingkat konsumsi
dijadikan sebagai upaya pembentukan identitas dan keberadaan seseorang (status
sosial).
Hal tersebut bisa
kita amini dengan melihat berbagai fenomena yang terjadi. Kita ambil contoh
misalnya mayoritas perilaku generasi muda, utamanya di lingkungan penulis. Mereka
yang seharusnya disibukkan dengan mengasah skil, wawasan serta pengetahuan,
malah cenderung terjebak ke dalam konsumerisme dan hedonism -‘besok
membeli apa dan bagaimana memaksimalkan sebuah gaya atau penampilan’.
Berpakaian trendi dan menggunakan barang-barang yang terkesan high class
seolah menjadi suatu hal yang harus dicapai. Sehingga fenomena tersebut
memperkuat dugaan Baudri bahwa era sekarang adalah era di mana penampilan,
kecantikan, kegantengan lebih penting dibandingkan kedalaman dan kebijaksanaan.[1]
Banyak sekali
faktor yang mendorong masyarakat ke dalam perilaku konsumtif, media sosial
tentu menjadi salah satu pengaruh yang tidak bisa kita lupakan. Bagaimana
tidak, penulis ambil contoh dalam salah satu channel youtube. Di youtube
terdapat sebuah tontonan yang mana acaranya mereview pakaian yang
dikenakan oleh seseorang, atau dalam istilah populernya out fit of the day (OOTD).
Di sadari ataupun tidak, menurut penulis acara tersebut secara perlahan
membentuk pemahaman bahwa kita harus selalu berpenampilan menarik dengan
barang-barang yang berkualitas. Lambat laun hal tersebut mendorong masyarakat
-utamanya generasi muda- untuk meningkatkan daya beli serta kualitasnya. Tentu agar
suatu waktu jika ada yang bertanya tentang barang termasuk harganya tinggal
jawab dengan penuh rasa percaya diri.
Kemudian di
samping itu, adanya berbagai kemudahan yang diberikan oleh teknologi serta
derasnya iklan dari media massa seolah-olah mengkonstruk bahwa kita harus terus
mengkonsumsi tanpa mempertimbangkan tingkat kebutuhan dan fungsi dari apa yang
di iklankan. Dalam hal ini memang, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa
media merupakan pembentuk masyarakat. Misalnya, bagaimana penyiaran iklan yang
tidak hanya memasarkan sebuah komoditas atau produk, tetapi sekaligus bermuatan
ideologi konsumerisme.[2]
Sejalan dengan hal tersebut, McLuhan mengasumsikan bahwa media mempengaruhi
setiap tindakan dalam sebuah masyarakat.[3]
Coba kita amati,
dewasa ini banyak sekali masyarakat -bahkan tidak terkecuali generasi muda,
yang membeli barang-barang branded atau barang-barang terkenal dengan
harga yang cukup fantastis akibat tergiur bujuk-rayu (seduction) iklan
dari berbagai media. Membeli Smartphone, baju (T-Shirt), makanan (Food),
alat transportasi serta hal lainnya yang bukan lagi di dorong oleh urusan
kegunaan, melainkan karena citra atau tanda yang dibangun dalam sebuah barang/komoditas
tersebut. Sehingga ketika mengkonsumsi suatu komoditas, seseorang bisa
dipandang sebagai orang yang up to date dan tentunya berkelas. Maka dari
itu, tidak berlebihan ketika dikatakan bahwa sebuah konsumsi serta kepemilikan
suatu barang sangat erat kaitannya dengan simbol status sosial.[4] Sebuah
aktivitas yang lebih mengedepankan gengsi dan stratifikasi.
Istilah Masyarakat
Konsumer dari Jean Baudrillard menurut penulis tepat dan dapat dijadikan
sebagai upaya untuk memahami bahkan menganalisis perubahan perilaku konsumsi
masyarakat dewasa ini. Menurut Baudri, dalam aktivitas konsumsi terdapat
pergeseran nilai, dari yang awalnya nilai guna (use value) dan nilai
tukar (exchange value) menjadi nilai tanda (sign value) dan nilai
simbol (symbolic value).[5]
Misalnya seperti yang telah dicontohkan di atas, membeli mobil mewah, smartphone
dengan merek tertentu dan makan di resto termahal adalah salah satu aktivitas
konsumsi yang tidak lagi mempertimbangkan nilai guna dan nilai tukar, tetapi
lebih kepada nilai tanda dan nilai simbol. Dalam artian, seseorang melakukannya
tidak terlalu memperhatikan harga maupun sebuah kegunaan, melainkan karena
adanya sebuah perasaan tersendiri (prestise), salah satunya tentu agar
terlihat keren, orang terpandang, bermerek, bahkan mungkin terkesan orang yang high
class. Maka dalam hal ini, untuk sekedar makan pun bukan lagi persoalan
enak tidak enak, kenyang atau tidak kenyang, tetapi lebih dari itu; gengsi dan
stratifikasi.
Dalam masyarakat
konsumer Baudri, masyarakat mengkonsumsi aktivitas konsumsi itu sendiri.
Artinya, hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang mungkin tidak bisa
terlewatkan seiring perkembangan zaman yang selalu memberi kemudahan dan
kecepatan (efektif dan efisien). Di mana transaksi jual beli
sudah bisa dilakukan dengan ‘rebahan’ di kamar tanpa harus bersentuhan
dengan terik matahari, polusi dari kendaraan dan gesekan kulit yang lengket
dengan kesumpekan.
Terlepas dari hal
tersebut, sisi lain dari era konsumer ini setidaknya mempertajam beberapa
persoalan, yaitu:
a.
Semakin
jelasnya jurang pemisah antara kaum kaya dan kaum miskin
Berlangsungnya era masyarakat
konsumtif, berakibat pada semakin jauh dan jelasnya jurang pemisah antara kaum
kaya dan kaum miskin -atau meminjam istilah Marx sebagai kaum borjuasi dan
kaum proletariat. Mereka yang
mapan secara ekonomi tentu menyambut dan bisa menikmati hadirnya berbagai
kemudahan yang telah diciptakan, lain halnya dengan mereka yang belum mapan,
segala kemudahan dan kecepatan seolah tidak memberikan pengaruh yang lebih bagi
kehidupannya (kesenjangan). Sehingga, hidup dalam kesederhanaan adalah sebuah
cara agar mereka masih bisa survive dalam menjalani roda kehidupan.
b.
Tingkat
penyimpangan sosial
Selain masalah kesenjangan, penyimpangan sosial -dalam hal ini ialah tingkat kejahatan atau angka kriminalitas, besar kemungkinan akan semakin menjadi. Dikarenakan mereka yang tidak berkecukupan dan mereka yang selalu merasa ‘kurang’ karena tuntutan perkembangan zaman dan gaya hidup (life style), tidak jarang mengakibatkan suatu perilaku yang seharusnya tidak dilakukan, seperti korupsi, pencurian, pemerasan, dan lain sebagainya. Hidup sesuai keadaan, bergaya sesuai keadaan cukup sulit sekali dilakukan karena lingkungan –dan berbagai pengaruh dari luar yang cukup kuat agar kita tidak berperilaku demikian. Tetapi, terlepas dari dua persoalan di atas, hal yang perlu kita lakukan ialah melakukan pemisahan secara jelas dan tegas antara kebutuhan dan keinginan. Ketika berbicara kebutuhan, sangat baik untuk kita penuhi karena berkaitan dengan mempertahankan kehidupan (sandang, pangan dan papan). Lain halnya ketika berbicara keinginan, sebuah keinginan dapat dipenuhi kalau memang tidak berbenturan dengan kondisi kehidupan kita sendiri, utamanya masalah pendapatan (financial). Jangan jadikan keinginan menjadi sebuah kebutuhan. Manakala hal tersebut terjadi, seseorang akan memaksakan kehendaknya dengan cara apapun untuk memenuhi keinginannya tersebut.
Referensi
1. Medhy Aginta Hidayat.
2021. Jean Baudrillard & Realitas Budaya Pasca-Modern. Yogyakarta:
Cantrik Pustaka.
[1] Dalam buku Medhy Aginta Hidayat. Jean Baudrillard & Realitas
Budaya Pascamodern.
[2] Nengah Bawa Atmadja & Luh Putu Sri Aritani. 2018. Sosiologi
Media: Perspektif Teori Kritis. Depok: Rajawali Pers. Hlm. 77
[3] Ibid. Hlm. 245
[4] Ibid. Hlm. 77
[5] Dalam buku Medhy Aginta Hidayat. Jean Baudrillard & Realitas Budaya
Pascamodern.
Karya: Dadan Abdul Majid |