Indonesia merupakan negara dengan populasi umat muslim terbesar di dunia. Sensus penduduk di Indonesia tahun 2010 menyatakan bahwa sebesar 87.18% jiwa atau setara 207.176.162 penduduk di Indonesia adalah beragama islam (www.bps.go.id). Besarnya prosentase penduduk yang beragama islam berbading lurus dengan banyaknya masjid dan mushala yang terdaftar di Kementrian Agama Republik Indonesia adalah 546.043 diantaranya terdapat 8.015 masjid di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdaftar di simas.kemenag.go.id.
Masjid yang
tersebar luas di berbagai daerah ini berfungsi sebagaimana masjid dalam fungsi
aslinya sebagai tempat peribadatan. Ironinya, masjid seperti itu menjadi masjid
yang ramai di waktu-waktu tertentu. Menilik spirit tauladan umat islam—Nabi
Muhammad SAW dalam membangun kegiatan masjid menjadikan masjid tidak hanya
berfungsi tunggal. Masjid memiliki multifungsi, digunakan sebagai tempat
musyawarah, belajar-mengajar, dan menjadi tempat pengaduan permasalahan
masyarakat. Masjid bukan hanya tempat yang digunakan untuk ritual ibadah
melainkan sebagai sarana umat muslim untuk melakukan aktivitas sosial,
pendidikan dan sebagai tempat pemersatu masyarakat.
Penjelasan ini merupakan hasil analisa berdasarkan observasi lapangan dan kajian pustaka dengan menggunakan analisa heterotopia Michele Foucault. Observasi lapangan dilakukan untuk melihat bagaimana masjid dalam fungsi tunggal terlaksana dan menjadi multifungsi ketika berbagai kegiatan tercipta dalam masjid. Ruang lingkup kegiatannya berada pada ruang utama dan serambi masjid yang digunakan sebagai tempat sholat sekaligus sebagai tempat alternatif masyarakat dalam berkegiatan. Kajian pustaka dilakukan untuk memperkuat analisa dari observasi lapangan yang telah dilakukan.
Heterotopia Michele Foucault
Memahami ruang secara umum sering dimaknai atas dua hal yaitu ruang nyata dan ruang tidak nyata. Ruang nyata identik sebagai ruang kasat mata dan berwujud secara fisik, sedangkan ruang tidak nyata merujuk pada sebuah gagasan atau ide yang dimiliki oleh setiap individu terhadap sesuatu dan dapat jadi berbeda-beda.
Ruang sebagai place dapat memiliki fungsi lebih dari satu disebut sebagai ruang multifungsi. Sedangkan sebuah place yang dapat mengakomodasi lebih dari satu aktivitas dan tatkala bertentangan disebut ruang relatif. Ruang relatif yang ada dalam ruang multifungsi (place: satu) dapat diartikan sebagai ruang heterotopia.
Heterotopia dapat dipahami sebagai ruang tidak nyata yang berada dalam ruang nyata. Dimana dimensi tidak nyata ini dapat bergeser sesuai aktivitas yang ada di dalamnya (konteks sosial). Maka dari itu, ruang nyata bersifat relatif sebab karakter isi ruang dapat selalu berubah-ubah sesuai dengan konteks sosial yang terjadi.
Utopia———Heterotopia———Distopia.
Utopia yang dimaksud Foucault merujuk pada “ruang-ruang liyan.” Ruang-ruang liyan ini
merupakan ruang yang tercpta karena relasinya dengan ruang di luar ruang itu
sendiri. Hubungan tersebut terkadang berlawanan atau berkebalikan secara
langsung. Utopia adalah ruang liyan tanpa tempat atau lokasi geografis yang
nyata, namun memiliki relasi langsung dengan ruang-ruang lain yang sesungguhnya
ada dalam masyarakat. Meski tanpa tempat yang nyata secara geografis, utopia
dapat dengan mudah ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari manusia. Utopia
dalam konsep Foucault merupakan konsep ruang itu sendiri. Ia merepresentasikan
pemahaman manusia terhadap ruang yang berimplikasi waktu di dalamnya.
“Utopias are sites with no real place. They are sites that
have general relation of direct or inverted analogy with the real space of
society. They present itself in a perfected form, or else society turned upside
down, but in any case these utopias are fundamentally unreal spaces.”
(Foucault, Michel (1986), “Of Other Spaces”. Diacritics No.
16, 22-27)
Heterotopia terletak diantara
utopia dan distopia, di mana utopia sebagai ide/gagasan, distopia sebagai
lokasi secara fisik. Heterotopia dalam konsep Foucault terdapat enam
prinsip diantaranya, tidak ada heterotopia bersifat universal. Heterotopia
berlaku di kalangan tertentu dan bergantung bagaimana sudut pandang seseorang
dalam melihat heterotopia; bersifat compatible/saling berkaitan dengan
konteks sosial atau incompatible/saling bertentangan; berhubungan ruang
yang secara fungsi tumpeng tindih dalam satu ruang fisik; beririsan secara waktu;
menutupi ruang riil dan hanya dapat diakses kalangan tertentu.
Masjid dalam Bingkai Heterotopia
Pembahasan terkait masjid Jogokariyan menarik
dipahami dalam konteks heterotopia Michele Foucault di mana masjid Jogokariyan
menjadi salah satu model tempat peribadatan umat islam yang berjalan dengan
baik, meskipun bangunan masjid Jogokariyan tampak sederhana, ragam biro(bagian
kecil dari pelayanan masjid) terbentuk untuk mengurus berbagai kegiatan masjid
dan mencapai keberhasilan dalam menggerakkan masyarakat untuk aktif berbagai
kegiatan yang diselenggarakan masjid.
Tulisan ini menjadikan masjid sebagai locus
dalam pembahasan heterotopia di mana masjid sebagai ruang fisik selalu
berkaitan dengan konteks sosial yang diciptakan para pelaku di dalamnya sehingga
tercipta kegiatan pada ruang tersebut. Masjid yang seringkali memiliki misi
menjadi pusat peradaban memenuhi kriteria heterotopia Foucault di mana terdapat
tumpang tindih fungsi ruang pada satu ruang tertentu. Satu ruang masjid bisa
memiliki fungsi ganda dan mewujud kegiatan di ruang fisik tersebut.
Menilik
sejarah masjid di masa Nabi Muhammad SAW, selain menjadi pusat peradaban bagi
masyarakat sekitar, masjid sebagai tempat mencetak generasi pemimpin yang
bermula dari pemahaman agama melalui kegiatan-kegiatan pengkaderan, penanaman
nilai-nilai islam dan pembelajaran di masyarakat.
Masjid: Ruang Real (Nyata)
Masjid Jogokariyan secara geografis terletak di Kecamatan Mantrijeron Yogyakarta. Masjid Jogokariyan berawal dari langgar (tempat) mengaji kecil di pinggiran kampung Jogokariyan pada tahun 1967. Setelah adanya gerakan perubahan sosial komunitas, masjid Jogokariyan berlangsung secara bertahap masjid mengalami perkembangan, baik dari luasan ataupun bentuk masjid (Arrozy, 2016).
Pada awal perkembangan masjid Jogokariyan, bentuk masjid
masih sederhana. Nuansa kearifan lokal sangat kental, bentuk atap miring
berpadu homogen/sama dengan atap permukiman penduduk sekitar. Lalu pada tahun
1999-2003 terjadi pelebaran, penambahan jumlah lantai dan perubahan atap yang
semula bercirikan atap bangunan tropis, berubah menjadi atap qubah seperti ciri
masjid sebagaimana umumnya. Nilai kearifan lokal dari masjid berkurang, masjid
dimodifikasi menjadi gaya timur tengah. Pada tahun 2000an terjadi pelebaran
masjid, terdapat menara tinggi, penambahan cat/warna berwana hijau makin
mengurangi nilai kearifan lokal. Bangunan Masjid Jogokariyan Yogyakarta pada Profil
Bangunan Masjid Jogokariyan tahun 2014 terdiri dari tiga lantai dan berdiri
di tanah seluas 1118 m2 dengan luas bangunan di lantai 1 seluas 387 m2.
lantai 2 seluas 400 m2 dan lantai 3 seluas 170 m2.
Heterotopia yang diimplementasikan dalam kegiatan di ruang
fisik (distopia) diantaranya melalui revolusi mental pengurus masjid. Pengurus
masjid menjadi tonggak awal kegiatan-kegiatan di ruang fisik masjid berlangsung
dan berkelanjutan. Di lain sisi, terdapat beragam upaya menyebarkan spirit
ekonomi, politik, seni dan budaya, di mana dalam pengembangan spirit
keberagamaan diperlukan kecakapan dalam berelasi secara sosial. Kecakapan
sosial mewujud pada kegiatan yang terjadi di ruang riil.
B.
Masjid: Ruang Non-Real (Tidak Nyata)
Ruang yang compatible memiliki fungsi
positif dan mewujud dalam berbagai kegiatan. Agar ruang fisik secara fungsi
dapat berjalan sebagaimana mestinya membutuhkan individu/komunitas untuk
mengelola berbagai kegiatan. Individu-individu tersebut menjalin sebuah relasi
konstruktif guna meningkatkan kualitas kegiatan masjid. Dalam analisa
heterotopia, difokuskan pada kegiatan yang berada di dalam dan serambi masjid
dengan pergeseran fungsi asli. Fungsi utama untuk tempat peribadatan bertumpang
tindih dengan fungsi lain untuk memenuhi tujuan masjid sebagai pusat peradaban.
Bermula dari merevolusi mental pengurus masjid.
Revolusi
Mental Pengurus Masjid. Sejalan dengan tiga filosofi masjid yakni
menjadi tempat ibadah, mencetak pemimpin dan sebagai pusat peradaban, langkah
awal yang ditempuh masjid Jogokariyan adalah merevolusi pengurus masjid.
Revolusi pengurus masjid dengan melakukan pelayanan yang dibuka 24 jam beserta
fasilitas wifi. Bentuk tanggung jawab pengurus masjid atas ruang fisik yang disinggahi
oleh tamu yang menginap/bermalam atau tamu yang hanya singgah beberapa jam
untuk beristirahat/sholat adalah
“Barang pribadi yang hilang menjadi
tanggungjawab pengurus masjid”
Tulisan tersebut di tempel di dalam dan luar
masjid. Kebanyakan masjid menempelkan pengumuman bahwa barang menjadi tanggung
jawab pribadi, berbeda dengan masjid Jogokariyan antara masjid, pengurus dan
pengunjung adalah relasi yang menjadi tanggung jawab pengurus masjid. Apapun
peristiwa yang terjadi di dalam masjid menjadi perhatian bagi pengurus dan
pengunjung berhak atas pelayanan tersebut.
Pelayanan totalitas pengurus masjid menjadi hal
unik dan dijadikan oleh masjid lain sebagai model. Di sisi lain, pelayanan
kebersihan kamar mandi menjadi indikator dalam pelayanan totalitas pengurus
masjid, disetiap pintu kamar mandi terdapat nama penanggung jawab masjid,
sehingga ketersediaan kebutuhan pengunjung terpenuhi. Rasa tanggung jawab
tersebut didapatkan melalui ceramah-ceramah (subuh, kajian rutin, kajian
jum’at) yang diselenggarakan di dalam masjid.
Me-Nol-kan
saldo masjid, menjadi salah satu cara pengurus masjid
membangun relasi berdasarkan trust (rasa percaya) pada masyarakat
kampung Jogokariyan.
“Dengan pengumuman saldo infak yang nol rupiah, maka jamaah
lebih bersemangat mengamanahkan hartanya," (http//:masjidjogokariyan.org)
Pelaksanaan teknis pengumuman di dalam masjid oleh pengurus seusai
sholat berjamaah pada hari Jum’at. Menguatnya motivasi jamaah untuk
mengalokasikan hartanya ke masjid untuk berbagai kegiatan selaras dengan konsep
utopia Foucault di mana terdapat ide/gagasan terikat antara amalan dan Syurga,
ۘ ÙˆَتَعَاوَÙ†ُوا
عَÙ„َÙ‰ الْبِرِّ ÙˆَالتَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ٰ ۖ ÙˆَÙ„َا تَعَاوَÙ†ُوا عَÙ„َÙ‰ الْØ¥ِØ«ْÙ…ِ ÙˆَالْعُدْÙˆَانِ
ۚ ÙˆَاتَّÙ‚ُوا اللَّÙ‡َ ۖ Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ø´َدِيدُ الْعِÙ‚َابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya
[al-Mâidah/5:2]
Konsep islam di atas yang disampaikan di dalam masjid melalui
ceramah menginternalisasi jalan pikir dan terimplementasi dalam keseharian
pengurus masjid. Relasi berdasarkan trust itu dikuatkan dengan adanya
tanggungjawab pengurus mengganti sepatu dan sandal jamaah yang hilang.
Trust jamaah terhadap pelayanan masjid menjadikan hubungan pengurus
masjid, jamaah, pengunjung langgeng/berkelanjutan. Sehingga kegiatan-kegiatan
yang diselenggarakan pengurus di masjid selalu bisa memobilisasi dan mendapat
dukungan masyarakat setempat.
Masjid dalam Membuka Wacana Ekonomi. Bermula
dari seorang jamaah yang datang mengadukan nasib keterpurukan ekonomi keluarga,
menggerakkan pengurus masjid untuk peduli dengan warga kampung Jogokariyan.
Pengurus masjid menyediakan kotak dengan dua lubang berjajar yang dikenal
dengan sistem jimpitan, di mana antar warga saling membantu warga lain
yang kesusahan secara ekonomi dengan memberikan satu genggam beras setiap kali
datang ke masjid. Kardus itu disediakan di serambi masjid sejajar dengan tempat
paling ujung yang biasa digunakan untuk jamaah perempuan. Dalam konteks jimpitan
ini masjid semakin menguat dimensi heterotopia pada fungsi ruang yang
saling tumpang tindih.
Semakin banyak warga yang ingin menyumbangkan
berasnya ke masjid, masjid memiliki sistem baru yang dinamakan ATM beras yang
dirintis pada tahun 2014. ATM beras memiliki persamaan fungsi dengan sedekah
beras dengan media kardus, yang menjadi perbedaan adalah digitalisasi. Sistem
pengambilan beras menggunakan kartu yang dipegang masyarakat dengan kriteria
yang sudah ditentukan oleh pengurus masjid. ATM beras ini dipindahkan di depan
sekretariat masjid, sehingga fungsi heterotopia hilang dalam konteks ini.
Guna melanggengkan
fungsi sedekah beras ini, pengurus masjid biro pelayanan umat dan himpunan
remaja masjid bekerjasama dalam pengumpulan data masyarakat yang perlu dibantu.
Masyarakat yang dimintai data dengan mudahnya menceritakan berbagai hal yang
menjadi permasalahan dalam rumah tangga, sehingga pengurus masjid bisa
melakukan follow up terkait alternatif yang akan diberikan.
Penyediaan
Pelayanan Qurban Idul Adha. Melalui ceramah yang ada di masjid Jogokariyan,
masyarakat yang mendonasikan hewan kurban melimpah, masyarakat dibawa pada
irisan waktu masa lalu ketika nabi Ibrahim sebagai tokoh yang mulia karena
kerelaannya mengorbankan ismail anaknya. Semangat rela berkorban itu disalurkan
dari pemuka masjid pada jamaah yang mengaji di masjid sehingga muncul motivasi
dan menggerakkan masyarakat khususnya jamaah untuk berpartisipasi menyedekahkan
sebagian hartanya pada hari raya Idul Adha. terbukti pada tahun 2016
penyelenggaraan 50 kambing untuk masyarakat (masjidjogokariyan.org)
Masjid
dan Spirit Politik. Di tengah pembahasan politik yang menciptakan
polarisasi pada masyarakat, masjid berfungsi sebagai peredam polarisasi
tersebut. Masyarakat dihimbau agar berpartisipasi dalam pesta demokrasi pada
pemilihan umum 2019 lalu. Himbauan umum dijelaskan dalam ceramah rutin di
masjid tetapi terkait follow up pemilihan dan partisipasi dalam hal
teknis dikembalikan kepada masyarakat sendiri. Masjid memberikan
penyadaran-penyadaran bahwa jamaah sebagai individu merupakan subjek dari pesat
demokrasi Indonesia. Oleh sebab itu, jamaah dihimbau agar tidak apatis dengan
pemilihan umum yang terselenggara,
Mengaktifkan
Imajinasi dalam Seni dan Pendidikan. Sejalan dengan prinsip heterotopia Foucault
terdapat irisan ruang, di mana satu ruang fisik memiliki ragam fungsi.
“Foucault argues that we are no longer living
in a world of time that moves forward, but in networks of places opening onto
one another, yet unable to be reduced to one another or superimposed upon each
other.”(dalam Sudradjat, 2012)
Kegiatan
TPA dan perlombaan seni anak menjadi salah satu wujud dari kegiatan yang ada di
ruang fisik masjid. Kegiatan pendidikan TPA terselenggara di ruang utama dan
serambi masjid yang rutin dilaksanakan sesuai dengan jadwal sore hari. Relasi
sosial dibangun oleh pengurus masjid dengan keluarga anak didik yang ingin
mendalami ilmu agama. Kegiatan yang inovatif dari para ustadz/ustadzah takmir
masjid menjadikan kegiatan ini langgeng. Sebagai kegiatan yang cukup
memobilisasi anak-anak untuk bergabung, diadakan kegiatan bulanan berupa lomba
menggambar/seni untuk anak-anak dan sifatnya terbuka untuk umum atau delegasi
dari TPA lain.
Eksklusivitas Masjid. Fungsi secara asli masjid sebagai ruang peribadatan. Ruang sebagai peribadatan ini menjadikan masjid sebagai ruang ekslusif yang hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu, dalam hal ini oleh umat muslim. Meskipun dalam ruang lain, seperti adanya bantuan sosial, kegiatan-kegiatan sosial masjid memiliki fungsi yang lebih terbuka dan bisa diakses oleh kalangan umum.
Kesimpulan
Eksistensi dan dinamika di dalam masjid Jogokariyan menunjukkan keselarasan dengan gagasan Foucault mengenai ruang heterotopia. Di mana terdapat ruang yang terbentuk dari ruang distopia dan ruang utopia serta dapat dipahami melalui konteks sosial. Dengan kata lain, ruang sosial terbentuk berdasarkan adanya relasi sosial. Masjid Jogokariyan sebagai ruang distopia dulunya sangat terkait dengan hal utama sebagai tempat beribadah, tetapi kini telah berkembang menjadi ruang bagi wacana ekonomi, spirit politik bagi pengelola dan masyarakat. Meskipun begitu esensi sebagai tempat beribadah tetap ada, khususnya lebih terasa ketika pada hari raya besar tepatnya hari raya Idul Fitri, Idul Adha sebab esensi dari peribadatan semakin menguat. Maka dari itu, ruang sosial inilah yang memberikan wadah untuk setiap individu khususnya yang berkuasa dapat menginterpretasikan ruang dan mengembangkan fungsi ruang sebagai alternatif ruang sosial.
Daftar Pustaka
Arrozy, Ahmad M. 2016. Perubahan Sosial
Komunitas Masjid Kampung Jogokariyan Yogyakarta Tinjauan Sosiologi-Sejarah.
Jurnal Analisa Sosiologi April, 5(1):
92-112
Anfanni, Rizqi. 2015. Dari Masjid Membangun
Umat Ala Masjid Jogokariyan. Makalah Program Pascasarjana Magister Studi
Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia.
Foucault, Michel (1986), “Of Other Spaces”. Diacritics No. 16,
22-27
Kurniawan,
Syamsul. 2014. Masjid dalam Lintasan Sejarah Umat Islam. Institut Agama
Islam Pontianak. Jurnal Khatulistiwa – Journal of Islamic Studies Volume 4
Nomor 2 September.
Prasetya, Andri. 2014. Optimalisasi Fungsi
Masjid Sebagai Ruang Publik Study Tentang Peran Pengelola dan Transformasi
Ruang Publik di Masjid Jogokariyan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Sudradjat, Iwan. 2012. Foucault, the Other
Spaces, and Human Behaviour. Procedia - Social and Behavioral Sciences 36 (
2012 ) 28 – 34
Website :
Data penduduk di
Indonesia adalah beragama islam (www.bps.go.id).
Kementrian Agama
Republik Indonesia (simas.kemenag.go.id)
http://masjidjogokariyan.com/sejarah-masjid-jogokariyan/