Perspektif Statik dan Dinamik Tentang Kebudayaan
Kita kerap memaknai
kebudayaan sebagai produk yang terwariskan dan hanya dapat dipertahankan agar
tidak mengalami kepunahan. Berbagai upaya kelompok dan komunitas bahkan
melibatkan institusi pendidikan berupaya untuk melalukan penemuan kembali dan
pelestarian budaya dan dilekati istilah adiluhung. Saya menamai pemahaman
terhadap budaya sebagaimana di atas sebagai "kebudayaan statik".
Kebudayaan statik
menganggap kebudayaan material (seni, sastra) dan kebudayaan non material
(adat, nilai, norma) sebagai warisan yang harus dijaga eksistensi dan
relevansinya agar tidak mengalami kepunahan.
Konsekwensi logis pemahaman
terhadap budaya yang statik ini menghasilkan pemahaman reduktif yang
mengidentikkan kebudayaan sebatas sebuah keterlibatan dalam kegiatan kesenian
dan kesusastraan belaka.
Mereka yang berada di
posisi kebudayaan statik lebih banyak bertanya, "Apa yang telah diwariskan
generasi sebelum kita?", "Apa makanan khas kota kita?",
"Apa pakaian khas kota kita?", "Apa kesenian khas kota
kita?" dst.
Sementara posisi yang
bersebrangan dengan posisi "kebudayaan statik" saya menamainya
"kebudayaan dinamik". Istilah ini mengekspresikan konsep dan
pemahaman yang memposisikan kebudayaan sebagai sebuah tindakan terus menerus
untuk melakukan produksi kebudayaan baik material maupun non material.
Kebudayaan adalah sesuatu yang diproduksi oleh individu dan masyarakat. Manusia,
terlibat secara aktif dan kreatif untuk menciptakan kebudayaan.
Konsekwensi logis
pemahaman terhadap kebudayaan yang bersifat dinamik menghasilkan karya-karya
dan penemuan yang mengubah dan mewarnai kehidupan.
Mereka yang berada dalam
posisi kebudayaan dinamik akan bertanya, "Apa yang dapat kita perbuat agar
orang mengingat kota kita?", "Makanan atau minuman apa yang akan kita
buat menjadi produk unggulan kota?", "Bagaimana menghasilkan karya
seni yang mencirikan karakter masyarakat kita?" dst.
Pemosisian pemahaman
terhadap kebudayaan ini penting untuk melihat dimana kita masing-masing
(khususnya pengamat dan pelaku kebudayaan).
Arena Produksi Kultural
Berbicara perihal
kebudayaan, penulis ingin mengajak pembaca mempertimbangkan pemikiran Piere
Bourdeiu, Sosiolog Prancis yang mengembangkan Teori Arena Produksi Kultural yang menjadi bagian dari Sosiologi Strukturalisme Genetik. Sekalipun kajian
Bourdeiu lebih banyak menyoroti produk kultural berupa karya sastra, namun
dikarenakan produk kultural bukan hanya menyentuh ranah sastra (novel, puisi,
prosa, cerpen dsj) melainkan seni (pahat, ukir, batik dsj) dan teknologi
(sistem pengairan, teknologi pangan, teknologi aplikasi digital dsj), maka
teori “arena produksi kultural” Bourdieu akan penulis pergunakan untuk
menganalisis sebuah produk kultural lokal.
Konsep “habitus” dan
“arena” atau “medan” menjadi kunci untuk memahami teori Arena Produksi Kultural. Istilah “habitus” merujuk pada “struktur-struktur mental atau kognitif
melalui mana orang berurusan dengan dunia sosial. Orang dikaruniai dengan
serangkaian skema yang diinternalisasi melalui itu mereka merasakkan, mengerti
dan mengapresiasi dan mengevaluasi dunia sosial” (George Ritzer, Teori
Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern,
2012:903-904). Istilah “habitus” bukan merujuk pada sebuah kebiasaan
sehari-hari melainkan struktur kesadaran yang membentuk dibentuk oleh banyak
faktor. Sebagaimana dikatakan Randal Jonson dalam pengantar buku Bourdeiu, “Habitus sendiri merupakan hasil dari proses
panjang pencekokan individu (process of inculcation), dimulai sejak masa
kanak-kanak, yang kemudian menjadi semacam pengindraan kedua (second sense)
atau hakikat alamiah kedua (second nature)” (Piere Bourdeiu, Arena
Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, 2016:xvi). Sementara
“arena” atau “medan” merujuk pada, ”Suatu
tipe pasar terbuka. Yang kompetitif tempat berbagai jenis modal (ekonomi,
budaya, sosial, simbolik) dipergunakan dan disebarkan” (George Ritzer,
2012:907). Jika “habitus” berada di kawasan pikiran agen atau aktor sementara
“arena” atau “medan” berada di kawasan dunia sosial. Randal Jonson menyebutnya,
“Arena adalah suatu konsep dinamis di mana perubahan posisi-posisi agen mau tak
mau menyebabkan perubahan struktur arena” (Piere Bourdeiu, 2016: xviii).
Apa nilai penting
pemahaman konsep “habitus” dan “arena” dalam pembahasan kita perihal “arena produksi kultural?” Dari definisi dan
penjelasan perihal konsep “habitus” dan “arena”, kita melihat dialektika yang
saling mempengaruhi antara “struktur” dan “agensi” dalam membentuk kebudayaan. Struktur, merujuk
pada sistem sosial dan kebudayaan yang statis dan dinamis sementara agensi
adalah aktor, pelaku yang terlibat dalam memproduksi kebudayaan. Struktur
berkaitan dengan “arena” atau “medan” dan agensi berkaitan dengan “habitus”.
Beranjak dari pemikiran
Bourdeiu di atas, kita akan mempertegas
posisi individu dan masyarakat sebagai agensi dan aktor yang mampu melakukan
secara kreatif dan produktif menghasilkan karya-karya kebudayaan dalam arena
produksi kultural. Bourdeiu menjelaskan perihal “arena produksi kultural” sbb, “Dengan kata lain, arena produksi kultural
adalah tempat bagi pergulatan-pergulatan di mana yang dipertaruhkan adalah
kekuasaan untuk mengimposisi/memaksakan definisi dominan tentang penulis dan
karenanya, kekuasaan untuk membatasi populasi yang berhak mengambil bagian di
dalam pergulatan mendefinisikan penulis tersebut” (Piere Bourdeiu,
2016:22).
Bourdeiu menjelaskan bahwa
untuk melibatkan diri dalam “arena produksi kultural” membutuhkan sejumlah
syarat dan modal yaitu, “modal ekonomi”, “modal budaya”, “modal sosial”, “modal
simbolik” (Ritzer, 20012:908). Jika “modal ekonomi” lebih merujuk pada
kecukupan finansial, “modal budaya” merujuk pada interaksi dan relasi dengan
persoalan kebudayaan, demikian pula “modal sosial” merujuk pada “relasi sosial
yang dibangun dalam jaringan”. Sementara “modal simbolik” lebih pada prestise
dan kehormatan yang dimiliki seseorang.
Batik Pegon Sebagai Produk Kultural
Apakah "Pegon"
itu? Mengapa ada istilah "Batik Pegon?" Pertanyaan-pertanyaan ini
membutuhkan jawaban agar kita mendapatkan wawasan umum sebelum menghubungkan “Batik
Pegon” sebagai produk kultural.
Pegon: Asal Usul dan
Fungsionalitas
Istilah Pegon dihubungkan dengan sebuah fenomena
bahasa dan budaya yang saling mengisi antara Arab dan Jawa. Pasca surutnya
kekuasaan Majapahit yang Hindu-Budha di Abad 15-16 Ms dan berganti dengan
kejayaan Demak Islam dan kerajaan-kerajaan yang bernaung di bawah panji Demak,
pengaruh Islam di bidang budaya semakin terlihat. Salah satu pengaruh itu
adalah tersebarluasnya penggunaan bahasa Arab.
Namun seiring
perjumpaannya dengan budaya Jawa, Islam mengalami proses akulturasi yang
harmoni. Salah satu bentuk wujud perjumpaan agama dan budaya telah melahirkan
huruf Arab Pegon. Mengutip
Kromoprawiro (Kawruh Aksara Pegon, 1867), Titik Pudjiastuti menjelaskan bahwa
kata Pegon berasal dari kata “pego”
yang bermakna, “ora lumrah anggone ngucapake” (tidak lazim melafalkannya). Hal
ini dikarenakan sekalipun berwujud tulisan Arab namun bunyinya mengikuti sistem
tulisan Jawa, hanacaraka (Tulisan
Pegon Wujud Identitas Islam Jawa: Tinjauan atas Bentuk dan Fungsinya –
2009:207). Karakteristik huruf Arab Pegon al., Pertama, berbeda dengan huruf Arab yang memiliki tiga tanda harakat (vokal) maka huruf Arab Pegon
memiliki enam harakat (vokal). Kedua, penambahan “huruf saksi” untuk
mempertegas vokal.
Kemunculan huruf Arab
Pegon bukan sekedar akulturasi antara Islam yang berasal dari Arabia dan Jawa
pasca Majapahit namun juga sebuah upaya untuk menerjemahkan sejumlah kesulitan
terhadap konsep Islam dan Arab sehingga harus mengadptasi bunyi/fonem bahasa
lokal. Seperti dikatakan Naufan Noordyanto, “Huruf
Arab Pegon sejatinya adalah hasil “jerih payah” dari upaya “mendamaikan” huruf
dan kebudayaan yang semula dianggap asing (Arab-Islam) dengan kebudayaan lokal,
yaitu bahasa lokal/pribumi (vernacular language)” (Tipografi Arab Pegon Dalam
Praktik Berbahasa Madura Di tengah Dinamika Kebudayaan Yang Diusung Huruf Latin,
2016:45).
Eksistensi huruf Arab Pegon mengingatkan pada kehadiran bahasa
Judeo-Arabic oleh komunitas Yahudi yang
beradaptasi terhadap pengaruh dan dominasi di wilayah pemerintahan Islam.
Sebagaimana bahasa Yiddish merupakan
cara orang Yahudi beradaptasi dengan bahasa dan budaya Eropa dan penggunaan
bahasa Ladino sebagai bentuk adaptasi
orang Yahudi di wilayah Turki, demikian pula dengan penggunaan bahasa Judeo-Arabic. Sebagaimana orang-orang
Yahudi dilarang menggunakan bahasa Ibrani dan Aramaik sebagai bahasa percakapan
pada masa awal pemerintahan Islam dan hanya bertahan dalam penggunaan liturgi
ibadah, karya ilmiah, kata-kata asing dan kasus serupa dialami oleh
Kekristenan. Semua subyek dalam pemerintahan baru Islam, entahkah mereka
berpindah kepercayaan pada Islam atau tidak, tetap diharuskan mengadopsi bahasa
dan budaya Arab (Teguh Hindarto, Saadia Gaon dan Tumbuhnya Tradisi Penulisan
Judeo Arabic - braindilogsociology.or.id).
Leonard C. Epafras
mengulas dua proses Arabisasi Islam yaitu melalui migrasi orang-orang Arab dan
penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi sebagai pengganti bahasa Yunani dan
Syriak sebagaimana dikatakan, “The
process of Arabization was come in two ways, i.e. through the intensification
of Arab migration, notably from Yemen, to fill up the foreign lands to the
farthest corner of Islamic civilization such as al Andalus. Secondly, the
process achieved through the replacement of other administratives language,
such as Greek and Syriac with Arabic” (Judeo-Arabic: Cultural Symbiosis of the Jews
in the Islamicate Context, 2016:8). Selanjutnya, dengan mengutip
pandangan Bernard Lewis dalam artikelnya Egypt and Syria dalam buku The
Cambridge History of Islam, Leonard Epafras menegaskan penggunaan
bahasa Arab oleh komunitas Yahudi bukan bermakna mengadopsi Islam melainkan
bentuk asimilasi sebagaimana dikatakan, “not
the adoption of the Islamic religion but assimiliation to Islamic modes of
thought and patterns of behaviour” (Leonard Epafras, 2016:8).
Bedanya, jika Arab Pegon lebih pada bentuk akulturasi
dan penerjemahan teks Qur’an dan konsep Islam dalam kultur Jawa, sementara Judeo Arabic lebih pada bentuk asimilasi
kebudayaan dan menyiasati eksistensi bahasa dan kebudayaan Yahudi di tengah dominasi
bahasa dan kebudayaan Islam.
Penggunaan huruf Arab Pegon melayani sejumlah
fungsi-fungsi tertentu di bidang sosial dan kesastraan. Titik Pudjiastuti
(2009:277-279), menjelaskan lebih jauh fungsi penggunaan huruf Arab Pegon
yang beragam sbb:
1.
Sarana
Penulisan Teks Keagamaan
Tergolong
dalam teks keagamaan Islam al., pelajaran sembahyang, terjemahan Al Qur’an,
doa-doa, fikih, ahkhlak dan sebagainya. Islah Gusmian mencatat keberadaan
sejumlah teks terjemahan Qur’an dan tafsirnya menggunakan huruf Arab Pegon dan
ditulis dengan pola menggantung 75 derajat di bawah deretan teks ayat Al Qur’an
yang ditulis horizontal yaitu: Tafsir Al
Ibriz Lima’rizati, Tafsir al Qur’an al Aziz karya Kiai Bisri Mustofa, Tarjamah
Matan al Hikam Ibn Ata’illah as Sakandari, karya Kiai Mishbahibn Zain al
Mustafa, Bayan al Musaffa fi Wassiyyah al Mustafa, karya Kiai Asrari Magelang (Karakteristik
Naskah Terjemahan Al Qur’an Pegon Koleksi Perpustakaan Masjid Agung Surakarta,
2012:55-56)
2.
Sarana
Penulisan Teks Sastra
Beberapa
teks sastra baik yang bernuansa keislaman seperti Serat Ahmad Muhammad, Serat
Anbiya dan Serat Yusup maupun yang bersifat sejarah seperti Babad Banten dan
Babad Demak atau kisah-kisah penggembaraan seperti Serat Centini dan Serat
Jatiswara juga legenda seperti Serat Jaka Tarub dan Serat Candrakirana ditulis
dalam bentuk huruf Arab Pegon.
3.
Sarana
Menulis Surat
Beberapa
surat pribadi di Abad 18 Ms menggunakan huruf Arab Pegon.
4.
Sarana
Penulisan Teks Mantra, Rajah dll
Sejumlah
primbon dan rajah mempergunakan bentuk huruf Arab Pegon.
Pegon Di Luar Tradisi
Islam
Penggunaan huruf Arab Pegon untuk menerjemahkan teks
Kitab Suci bukan hanya menjadi ciri khas yang dilekatkan dengan Islam melainkan
Kristen. Sekalipun tidak membentuk kelompok pengguna yang luas namun eksistensi
penerjemahan Injil dengan huruf Arab
pegon telah dilakukan oleh seorang pribumi Jawa yang kemudian diterbitkan oleh
badan misi. Versi terjemahan dalam huruf Arab (Pegon) yang paling awal adalah
Injil Lukas yang diterjemahkan oleh seorang penduduk pribumi dan dipublikasikan
pada tahun 1893 oleh the British and
Foreign Bible Society. Tiga tahun kemudian P. Penninga, seorang sub agen
dari the British and Foreign Bible
Society menyiapkan edisi terbaru dan selanjutnya menambah Injil yang lain
dan Kisah Para Rasul (Rev. R, D.D., Kligour, Alkitab di Tanah Hindia Belanda
- http://www.sabda.org).
Sementara di tahun 1889, H.C. Klinkert menerjemahkan Injil
menggunakan huruf Arab Pegon dan
diberi judul New Testament in Malay
Indonesian (Sumanto Al Qurtuby, Kitab Injil Ini Menggunakan Bahasa Arab Pegon
Juga, 2017 - https://www.dutaislam.com).
Batik Pegon Karya Rumah
Inklusif: Mengubah Teks Menjadi Karya Seni
Rumah Inklusif adalah nama komunitas
yang peduli dengan isu disabilitas. Beralamat di Desa kembaran Kecamatan
kebumen, dipimpin oleh Muinatul Khoeriyah bersama suami, Ahmad Murtajib..
Selain mengadakan pendidikan bagi mereka yang terkategori disabilitas, pada
tahun 2018 Rumah Inklusif pada tahun
2018 melaunching hasil karya warga
disabilitas yaitu Batik Pegon (Mustolih, Pendidikan Kesetaraan di Rumah Inklusif Desa
Kembaran Kecamatan dan Kabupaten Kebumen, 2018:84).
Kemunculan istilah Batik Pegon sendiri bermula dari
percakapan yang digelar di Rumah Inklusif
bersama beberapa elemen masyarakat (termasuk penulis di dalamnya) pada Bulan
Agustus 2018 yang berlanjut pada bulan September dan Oktober 2018 diadakan Batik Pegon Show.
Dari pengkajian singkat
perihal Pegon dan Batik Pegon di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Batik Pegon yang dikembangkan oleh Rumah Inklusif Kebumen di desa Kembaran,
merupakan bentuk keterlibatan dalam Arena
Produksi Kultural. Wujud material Batik
Pegon menjadi produk kultural. Pegon,
yang semula hanya berupa teks-teks keagamaan dan kesusastraan Jawa Islam
terbatas diterjemahkan dalam konteks yang lebih luas dan diperkenalkan kembali
kepada publik melalui kehadiran sebuah seni membatik bertemakan Pegon.
Tindakkan mewujudkan Pegon menjadi corak batik merupakan
wujud pemahaman terhadap kebudayaan dinamik dimana kebudayaan baru seharusnya
diproduksi dan memberikan pengaruh terhadap kehidupan.
Apakah Batik Pegon Rumah Inklusif Produk Khas Kebumen?
Melihat genealogi
istilah Batik Pegon dan histori
pengarus utamaan Batik Pegon, tentu eksistensi batik ini bukan produk khas yang
terwariskan sejak lampau dan menjadi penanda sosial budaya Kebumen. Batik Pegon yang diproduksi oleh Rumah Inklusif Kebumen adalah sebuah
upaya pengarusutamaan Pegon menjadi
motif seni membatik.
Sebagai sebuah produk
kultural khususnya di bidang seni membatik, Batik
Pegon berpotensi menjadi salah satu motif yang memperkaya motif batik
Kebumen yang pernah mengalami kejayaan di tahun 1960-an dan sekarang mulai
bergeliat kembali. Motif batik yang terkenal adalah Sekar Jagad selain Merakan dan Sekaran (Batik Kebumen - https://fitinline.com).
Berbeda dengan motif Sekar jagad yang telah lama menjadi corak khas batik
Kebumen, Batik Pegon adalah sebuah
upaya kultural baru yang masih harus diuji dalam perubahan zaman.
Kehadiran Batik Pegon dapat menjadi pendorong bagi
masyarakat Kebumen untuk melahirkan terus menerus produk-produk kultural baik
berupa seni sastra, seni tari, seni patung, seni pahat, seni membatik,
teknologi tepat guna dsj. Mereka yang mengambil posisi kebudayaan secara dinamik
akan terus menerus melahirkan produk kultural yang mewarnai kehidupan sosial
kebudayaan Kebumen hari ini dan yang akan datang dan tidak hanya berkelindan
dalam pemahaman kebudayaan statik yang hanya menjaga dan merawat warisan
kebudayaan dari periode waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bourdeiu, Piere (2016) Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian
Sosiologi Budaya, Bantul: Kreasi Wacana
Ritzer, George (2012) Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Jurnal
Gusmian, Islah (2012), Karakteristik
Naskah Terjemahan Al Qur’an Pegon Koleksi Perpustakaan Masjid Agung Surakarta,
Jurnal Suhuf, Vol 5, No 1
Mustolih, (2018) Pendidikan
Kesetaraan di Rumah Inklusif Desa Kembaran Kecamatan dan Kabupaten Kebumen,
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Vol 6, No 1
Pudjiastuti, Titik (2009), Tulisan Pegon Wujud Identitas Islam Jawa: Tinjauan atas Bentuk dan
Fungsinya, Jurnal Suhuf, Vol 2, No 2
Epafras, Leonard (2016), Judeo-Arabic:
Cultural Symbiosis of the Jews in the Islamicate Context, INSANIYAT:
Journal of Islam and Humanities Vol 1
Noordyanto, Naufan (2016), Tipografi
Arab Pegon Dalam Praktik Berbahasa Madura Di tengah Dinamika Kebudayaan Yang
Diusung Huruf Latin, Jurnal Dekave, Vol 9, No 2
Internet
Al Qurtuby, Sumanto, Kitab Injil Ini Menggunakan Bahasa Arab
Pegon Juga, (2017) https://www.dutaislam.com/2017/05/kitab-injil-ini-menggunakan-bahasa-arab-pegon-juga.html
Batik Kebumen
https://fitinline.com/article/read/batik-kebumen/Hindarto,
Teguh (2018) Saadia Gaon dan Tumbuhnya
Tradisi Penulisan Judeo Arabic Braindilogsociology.or.id
Kligour, Rev. R,
D.D., Alkitab di Tanah Hindia Belanda
http://www.sabda.org/sejarah/artikel/alkitab_di_tanah_hindia_belanda.htm
|
Karya: Teguh Hindarto, S.Sos., MTh.
|