Jumat, 01 Maret 2019

BATIK PEGON RUMAH INKLUSIF KEBUMEN DAN UPAYA MEMPRODUKSI KEBUDAYAAN


Perspektif Statik dan Dinamik Tentang Kebudayaan
Kita kerap memaknai kebudayaan sebagai produk yang terwariskan dan hanya dapat dipertahankan agar tidak mengalami kepunahan. Berbagai upaya kelompok dan komunitas bahkan melibatkan institusi pendidikan berupaya untuk melalukan penemuan kembali dan pelestarian budaya dan dilekati istilah adiluhung. Saya menamai pemahaman terhadap budaya sebagaimana di atas sebagai "kebudayaan statik".

Kebudayaan statik menganggap kebudayaan material (seni, sastra) dan kebudayaan non material (adat, nilai, norma) sebagai warisan yang harus dijaga eksistensi dan relevansinya agar tidak mengalami kepunahan.

Konsekwensi logis pemahaman terhadap budaya yang statik ini menghasilkan pemahaman reduktif yang mengidentikkan kebudayaan sebatas sebuah keterlibatan dalam kegiatan kesenian dan kesusastraan belaka.

Mereka yang berada di posisi kebudayaan statik lebih banyak bertanya, "Apa yang telah diwariskan generasi sebelum kita?", "Apa makanan khas kota kita?", "Apa pakaian khas kota kita?", "Apa kesenian khas kota kita?" dst.

Sementara posisi yang bersebrangan dengan posisi "kebudayaan statik" saya menamainya "kebudayaan dinamik". Istilah ini mengekspresikan konsep dan pemahaman yang memposisikan kebudayaan sebagai sebuah tindakan terus menerus untuk melakukan produksi kebudayaan baik material maupun non material. Kebudayaan adalah sesuatu yang diproduksi oleh individu dan masyarakat. Manusia, terlibat secara aktif dan kreatif untuk menciptakan kebudayaan.

Konsekwensi logis pemahaman terhadap kebudayaan yang bersifat dinamik menghasilkan karya-karya dan penemuan yang mengubah dan mewarnai kehidupan.

Mereka yang berada dalam posisi kebudayaan dinamik akan bertanya, "Apa yang dapat kita perbuat agar orang mengingat kota kita?", "Makanan atau minuman apa yang akan kita buat menjadi produk unggulan kota?", "Bagaimana menghasilkan karya seni yang mencirikan karakter masyarakat kita?" dst.

Pemosisian pemahaman terhadap kebudayaan ini penting untuk melihat dimana kita masing-masing (khususnya pengamat dan pelaku kebudayaan).

Arena Produksi Kultural
Berbicara perihal kebudayaan, penulis ingin mengajak pembaca mempertimbangkan pemikiran Piere Bourdeiu, Sosiolog Prancis yang mengembangkan Teori Arena Produksi Kultural yang menjadi bagian dari Sosiologi Strukturalisme Genetik. Sekalipun kajian Bourdeiu lebih banyak menyoroti produk kultural berupa karya sastra, namun dikarenakan produk kultural bukan hanya menyentuh ranah sastra (novel, puisi, prosa, cerpen dsj) melainkan seni (pahat, ukir, batik dsj) dan teknologi (sistem pengairan, teknologi pangan, teknologi aplikasi digital dsj), maka teori “arena produksi kultural” Bourdieu akan penulis pergunakan untuk menganalisis sebuah produk kultural lokal.

Konsep “habitus” dan “arena” atau “medan” menjadi kunci untuk memahami teori Arena Produksi Kultural. Istilah “habitus” merujuk pada “struktur-struktur mental atau kognitif melalui mana orang berurusan dengan dunia sosial. Orang dikaruniai dengan serangkaian skema yang diinternalisasi melalui itu mereka merasakkan, mengerti dan mengapresiasi dan mengevaluasi dunia sosial” (George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, 2012:903-904). Istilah “habitus” bukan merujuk pada sebuah kebiasaan sehari-hari melainkan struktur kesadaran yang membentuk dibentuk oleh banyak faktor. Sebagaimana dikatakan Randal Jonson dalam pengantar buku Bourdeiu, “Habitus sendiri merupakan hasil dari proses panjang pencekokan individu (process of inculcation), dimulai sejak masa kanak-kanak, yang kemudian menjadi semacam pengindraan kedua (second sense) atau hakikat alamiah kedua (second nature)” (Piere Bourdeiu, Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, 2016:xvi). Sementara “arena” atau “medan” merujuk pada, ”Suatu tipe pasar terbuka. Yang kompetitif tempat berbagai jenis modal (ekonomi, budaya, sosial, simbolik) dipergunakan dan disebarkan” (George Ritzer, 2012:907). Jika “habitus” berada di kawasan pikiran agen atau aktor sementara “arena” atau “medan” berada di kawasan dunia sosial. Randal Jonson menyebutnya, “Arena adalah suatu konsep dinamis di mana perubahan posisi-posisi agen mau tak mau menyebabkan perubahan struktur arena” (Piere Bourdeiu, 2016: xviii).

Apa nilai penting pemahaman konsep “habitus” dan “arena” dalam pembahasan kita perihal  “arena produksi kultural?” Dari definisi dan penjelasan perihal konsep “habitus” dan “arena”, kita melihat dialektika yang saling mempengaruhi antara “struktur” dan “agensi”  dalam membentuk kebudayaan. Struktur, merujuk pada sistem sosial dan kebudayaan yang statis dan dinamis sementara agensi adalah aktor, pelaku yang terlibat dalam memproduksi kebudayaan. Struktur berkaitan dengan “arena” atau “medan” dan agensi berkaitan dengan “habitus”.

Beranjak dari pemikiran Bourdeiu di atas, kita akan  mempertegas posisi individu dan masyarakat sebagai agensi dan aktor yang mampu melakukan secara kreatif dan produktif menghasilkan karya-karya kebudayaan dalam arena produksi kultural. Bourdeiu menjelaskan perihal “arena produksi kultural” sbb, “Dengan kata lain, arena produksi kultural adalah tempat bagi pergulatan-pergulatan di mana yang dipertaruhkan adalah kekuasaan untuk mengimposisi/memaksakan definisi dominan tentang penulis dan karenanya, kekuasaan untuk membatasi populasi yang berhak mengambil bagian di dalam pergulatan mendefinisikan penulis tersebut” (Piere Bourdeiu, 2016:22).

Bourdeiu menjelaskan bahwa untuk melibatkan diri dalam “arena produksi kultural” membutuhkan sejumlah syarat dan modal yaitu, “modal ekonomi”, “modal budaya”, “modal sosial”, “modal simbolik” (Ritzer, 20012:908). Jika “modal ekonomi” lebih merujuk pada kecukupan finansial, “modal budaya” merujuk pada interaksi dan relasi dengan persoalan kebudayaan, demikian pula “modal sosial” merujuk pada “relasi sosial yang dibangun dalam jaringan”. Sementara “modal simbolik” lebih pada prestise dan kehormatan yang dimiliki seseorang.

Batik Pegon Sebagai Produk Kultural
Apakah "Pegon" itu? Mengapa ada istilah "Batik Pegon?" Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan jawaban agar kita mendapatkan wawasan umum sebelum menghubungkan “Batik Pegon” sebagai produk kultural.

Pegon: Asal Usul dan Fungsionalitas
Istilah Pegon dihubungkan dengan sebuah fenomena bahasa dan budaya yang saling mengisi antara Arab dan Jawa. Pasca surutnya kekuasaan Majapahit yang Hindu-Budha di Abad 15-16 Ms dan berganti dengan kejayaan Demak Islam dan kerajaan-kerajaan yang bernaung di bawah panji Demak, pengaruh Islam di bidang budaya semakin terlihat. Salah satu pengaruh itu adalah tersebarluasnya penggunaan bahasa Arab.

Namun seiring perjumpaannya dengan budaya Jawa, Islam mengalami proses akulturasi yang harmoni. Salah satu bentuk wujud perjumpaan agama dan budaya telah melahirkan huruf Arab Pegon. Mengutip Kromoprawiro (Kawruh Aksara Pegon, 1867), Titik Pudjiastuti menjelaskan bahwa kata Pegon berasal dari kata “pego” yang bermakna, “ora lumrah anggone ngucapake” (tidak lazim melafalkannya). Hal ini dikarenakan sekalipun berwujud tulisan Arab namun bunyinya mengikuti sistem tulisan Jawa, hanacaraka (Tulisan Pegon Wujud Identitas Islam Jawa: Tinjauan atas Bentuk dan Fungsinya – 2009:207). Karakteristik huruf Arab Pegon al., Pertama, berbeda dengan huruf Arab yang memiliki tiga tanda harakat (vokal) maka huruf Arab Pegon memiliki enam harakat (vokal). Kedua, penambahan “huruf saksi” untuk mempertegas vokal.

Kemunculan huruf Arab Pegon bukan sekedar akulturasi antara Islam yang berasal dari Arabia dan Jawa pasca Majapahit namun juga sebuah upaya untuk menerjemahkan sejumlah kesulitan terhadap konsep Islam dan Arab sehingga harus mengadptasi bunyi/fonem bahasa lokal. Seperti dikatakan Naufan Noordyanto, “Huruf Arab Pegon sejatinya adalah hasil “jerih payah” dari upaya “mendamaikan” huruf dan kebudayaan yang semula dianggap asing (Arab-Islam) dengan kebudayaan lokal, yaitu bahasa lokal/pribumi (vernacular language)” (Tipografi Arab Pegon Dalam Praktik Berbahasa Madura Di tengah Dinamika Kebudayaan Yang Diusung Huruf Latin, 2016:45).

Eksistensi huruf Arab Pegon mengingatkan pada kehadiran bahasa Judeo-Arabic oleh komunitas Yahudi yang beradaptasi terhadap pengaruh dan dominasi di wilayah pemerintahan Islam. Sebagaimana bahasa Yiddish merupakan cara orang Yahudi beradaptasi dengan bahasa dan budaya Eropa dan penggunaan bahasa Ladino sebagai bentuk adaptasi orang Yahudi di wilayah Turki, demikian pula dengan penggunaan bahasa Judeo-Arabic. Sebagaimana orang-orang Yahudi dilarang menggunakan bahasa Ibrani dan Aramaik sebagai bahasa percakapan pada masa awal pemerintahan Islam dan hanya bertahan dalam penggunaan liturgi ibadah, karya ilmiah, kata-kata asing dan kasus serupa dialami oleh Kekristenan. Semua subyek dalam pemerintahan baru Islam, entahkah mereka berpindah kepercayaan pada Islam atau tidak, tetap diharuskan mengadopsi bahasa dan budaya Arab (Teguh Hindarto, Saadia Gaon dan Tumbuhnya Tradisi Penulisan Judeo Arabic - braindilogsociology.or.id).

Leonard C. Epafras mengulas dua proses Arabisasi Islam yaitu melalui migrasi orang-orang Arab dan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi sebagai pengganti bahasa Yunani dan Syriak sebagaimana dikatakan, “The process of Arabization was come in two ways, i.e. through the intensification of Arab migration, notably from Yemen, to fill up the foreign lands to the farthest corner of Islamic civilization such as al Andalus. Secondly, the process achieved through the replacement of other administratives language, such as Greek and Syriac with Arabic” (Judeo-Arabic: Cultural Symbiosis of the Jews in the Islamicate Context, 2016:8). Selanjutnya, dengan mengutip pandangan Bernard Lewis dalam artikelnya Egypt and Syria dalam buku The Cambridge History of Islam, Leonard Epafras menegaskan penggunaan bahasa Arab oleh komunitas Yahudi bukan bermakna mengadopsi Islam melainkan bentuk asimilasi sebagaimana dikatakan, “not the adoption of the Islamic religion but assimiliation to Islamic modes of thought and patterns of behaviour” (Leonard Epafras, 2016:8).

Bedanya, jika Arab Pegon lebih pada bentuk akulturasi dan penerjemahan teks Qur’an dan konsep Islam dalam kultur Jawa, sementara Judeo Arabic lebih pada bentuk asimilasi kebudayaan dan menyiasati eksistensi bahasa dan kebudayaan Yahudi di tengah dominasi bahasa dan kebudayaan Islam.

Penggunaan huruf Arab Pegon melayani sejumlah fungsi-fungsi tertentu di bidang sosial dan kesastraan. Titik Pudjiastuti (2009:277-279), menjelaskan lebih jauh fungsi penggunaan huruf Arab Pegon yang beragam sbb:

1.      Sarana Penulisan Teks Keagamaan
Tergolong dalam teks keagamaan Islam al., pelajaran sembahyang, terjemahan Al Qur’an, doa-doa, fikih, ahkhlak dan sebagainya. Islah Gusmian mencatat keberadaan sejumlah teks terjemahan Qur’an dan tafsirnya menggunakan huruf Arab Pegon dan ditulis dengan pola menggantung 75 derajat di bawah deretan teks ayat Al Qur’an yang ditulis horizontal yaitu: Tafsir Al Ibriz Lima’rizati, Tafsir al Qur’an al Aziz karya Kiai Bisri Mustofa, Tarjamah Matan al Hikam Ibn Ata’illah as Sakandari, karya Kiai Mishbahibn Zain al Mustafa, Bayan al Musaffa fi Wassiyyah al Mustafa, karya Kiai Asrari Magelang (Karakteristik Naskah Terjemahan Al Qur’an Pegon Koleksi Perpustakaan Masjid Agung Surakarta, 2012:55-56)
2.      Sarana Penulisan Teks Sastra
Beberapa teks sastra baik yang bernuansa keislaman seperti Serat Ahmad Muhammad, Serat Anbiya dan Serat Yusup maupun yang bersifat sejarah seperti Babad Banten dan Babad Demak atau kisah-kisah penggembaraan seperti Serat Centini dan Serat Jatiswara juga legenda seperti Serat Jaka Tarub dan Serat Candrakirana ditulis dalam bentuk huruf Arab Pegon.
3.      Sarana Menulis Surat
Beberapa surat pribadi di Abad 18 Ms menggunakan huruf Arab Pegon.
4.      Sarana Penulisan Teks Mantra, Rajah dll
Sejumlah primbon dan rajah mempergunakan bentuk huruf Arab Pegon.

Pegon Di Luar Tradisi Islam
Penggunaan huruf Arab Pegon untuk menerjemahkan teks Kitab Suci bukan hanya menjadi ciri khas yang dilekatkan dengan Islam melainkan Kristen. Sekalipun tidak membentuk kelompok pengguna yang luas namun eksistensi penerjemahan Injil dengan  huruf Arab pegon telah dilakukan oleh seorang pribumi Jawa yang kemudian diterbitkan oleh badan misi. Versi terjemahan dalam huruf Arab (Pegon) yang paling awal adalah Injil Lukas yang diterjemahkan oleh seorang penduduk pribumi dan dipublikasikan pada tahun 1893 oleh the British and Foreign Bible Society. Tiga tahun kemudian P. Penninga, seorang sub agen dari the British and Foreign Bible Society menyiapkan edisi terbaru dan selanjutnya menambah Injil yang lain dan Kisah Para Rasul (Rev. R, D.D., Kligour, Alkitab di Tanah Hindia Belanda - http://www.sabda.org).

Sementara di  tahun 1889, H.C. Klinkert menerjemahkan Injil menggunakan huruf Arab Pegon dan diberi judul New Testament in Malay Indonesian (Sumanto Al Qurtuby, Kitab Injil Ini Menggunakan Bahasa Arab Pegon Juga, 2017 - https://www.dutaislam.com).

Batik Pegon Karya Rumah Inklusif: Mengubah Teks Menjadi Karya Seni
Rumah Inklusif adalah nama komunitas yang peduli dengan isu disabilitas. Beralamat di Desa kembaran Kecamatan kebumen, dipimpin oleh Muinatul Khoeriyah bersama suami, Ahmad Murtajib.. Selain mengadakan pendidikan bagi mereka yang terkategori disabilitas, pada tahun 2018 Rumah Inklusif pada tahun 2018 melaunching hasil karya warga disabilitas yaitu Batik Pegon (Mustolih, Pendidikan Kesetaraan di Rumah Inklusif Desa Kembaran Kecamatan dan Kabupaten Kebumen, 2018:84).

Kemunculan istilah Batik Pegon sendiri bermula dari percakapan yang digelar di Rumah Inklusif bersama beberapa elemen masyarakat (termasuk penulis di dalamnya) pada Bulan Agustus 2018 yang berlanjut pada bulan September dan Oktober 2018 diadakan Batik Pegon Show.

Dari pengkajian singkat perihal Pegon dan Batik Pegon di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Batik Pegon yang dikembangkan oleh Rumah Inklusif Kebumen di desa Kembaran, merupakan bentuk keterlibatan dalam Arena Produksi Kultural. Wujud material Batik Pegon menjadi produk kultural. Pegon, yang semula hanya berupa teks-teks keagamaan dan kesusastraan Jawa Islam terbatas diterjemahkan dalam konteks yang lebih luas dan diperkenalkan kembali kepada publik melalui kehadiran sebuah seni membatik bertemakan Pegon.

Tindakkan mewujudkan Pegon menjadi corak batik merupakan wujud pemahaman terhadap kebudayaan dinamik dimana kebudayaan baru seharusnya diproduksi dan memberikan pengaruh terhadap kehidupan.

Apakah Batik Pegon Rumah Inklusif Produk Khas Kebumen?
Melihat genealogi istilah Batik Pegon dan histori pengarus utamaan Batik Pegon, tentu eksistensi batik ini bukan produk khas yang terwariskan sejak lampau dan menjadi penanda sosial budaya Kebumen. Batik Pegon yang diproduksi oleh Rumah Inklusif Kebumen adalah sebuah upaya pengarusutamaan Pegon menjadi motif seni membatik.

Sebagai sebuah produk kultural khususnya di bidang seni membatik, Batik Pegon berpotensi menjadi salah satu motif yang memperkaya motif batik Kebumen yang pernah mengalami kejayaan di tahun 1960-an dan sekarang mulai bergeliat kembali. Motif batik yang terkenal adalah Sekar Jagad selain Merakan dan Sekaran (Batik Kebumen - https://fitinline.com). Berbeda dengan motif Sekar jagad yang telah lama menjadi corak khas batik Kebumen, Batik Pegon adalah sebuah upaya kultural baru yang masih harus diuji dalam perubahan zaman.

Kehadiran Batik Pegon dapat menjadi pendorong bagi masyarakat Kebumen untuk melahirkan terus menerus produk-produk kultural baik berupa seni sastra, seni tari, seni patung, seni pahat, seni membatik, teknologi tepat guna dsj. Mereka yang mengambil posisi kebudayaan secara dinamik akan terus menerus melahirkan produk kultural yang mewarnai kehidupan sosial kebudayaan Kebumen hari ini dan yang akan datang dan tidak hanya berkelindan dalam pemahaman kebudayaan statik yang hanya menjaga dan merawat warisan kebudayaan dari periode waktu tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bourdeiu, Piere (2016) Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, Bantul: Kreasi Wacana
Ritzer, George (2012) Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Jurnal
Gusmian, Islah (2012), Karakteristik Naskah Terjemahan Al Qur’an Pegon Koleksi Perpustakaan Masjid Agung Surakarta, Jurnal Suhuf, Vol 5, No 1

Mustolih, (2018) Pendidikan Kesetaraan di Rumah Inklusif Desa Kembaran Kecamatan dan Kabupaten Kebumen, Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Vol 6, No 1

Pudjiastuti, Titik (2009), Tulisan Pegon Wujud Identitas Islam Jawa: Tinjauan atas Bentuk dan Fungsinya, Jurnal Suhuf, Vol 2, No 2

Epafras, Leonard (2016), Judeo-Arabic: Cultural Symbiosis of the Jews in the Islamicate Context, INSANIYAT: Journal of Islam and Humanities Vol 1

Noordyanto, Naufan (2016), Tipografi Arab Pegon Dalam Praktik Berbahasa Madura Di tengah Dinamika Kebudayaan Yang Diusung Huruf Latin, Jurnal Dekave, Vol 9, No 2

Internet

Al Qurtuby, Sumanto, Kitab Injil Ini Menggunakan Bahasa Arab Pegon Juga, (2017) https://www.dutaislam.com/2017/05/kitab-injil-ini-menggunakan-bahasa-arab-pegon-juga.html
Batik Kebumen
https://fitinline.com/article/read/batik-kebumen/Hindarto, Teguh (2018) Saadia Gaon dan Tumbuhnya Tradisi Penulisan Judeo Arabic Braindilogsociology.or.id
Kligour, Rev. R, D.D.,  Alkitab di Tanah Hindia Belanda
http://www.sabda.org/sejarah/artikel/alkitab_di_tanah_hindia_belanda.htm

Karya: Teguh Hindarto, S.Sos., MTh.


0 komentar:

Posting Komentar