Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Minggu, 01 Maret 2020

DE HEREN ZEVENTIEN: ANTARA WACANA ANTI TESA DAN NALAR HISTORIS-SOSIOLOGIS KITA

"Di atas PBB itu De Heeren Zeventien. De Heeren Zeventien adalah kekaisaran Sunda!”, demikianlah penggalan kalimat yang akhir-akhir ini menjadi viral di berbagai media baik media elektronik maupun media cetak serta media sosial. Ya, siapa lagi yang mengucapkan dan memperkenalkan istilah De Heeren Zeventien selain Rangga Sasana yang dianggap mewakili Sunda Empire, sebuah “kerajaan baru” yang akhir-akhir ini menambah hiruk pikuk dikaitkan dengan kemunculan dan klaim kerajaan-kerajaan yang hendak mengganti sistem dan tatanan Republik Indonesia.

De Heeren XVII atau De Heeren Zeventien sendiri adalah sebuah istilah dalam bahasa Belanda  yang merujuk dewan direksi yang menjalankan perusahaan VOC dimana para direktur ini bertanggungjawab kepada Parlemen Belanda. Dewan ini memiliki kekuasaan untuk menyetujui atau menolak kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan VOC, termasuk urusan pemilihan gubernur jenderal. Boleh dikatakan De Heeren Zeventien adalah pemegang kekuasaan tertinggi di dalam Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)

VOC sendiri terbentuk pada tahun 1602 dari penggabungan enam perusahaan kecil. Setelah Compagnie van Verre yang berpangkal di Amsterdam menyelenggarakan ekspedisi yang pertama ke Asia (1595-1597) dan dengan demikian membuktikan bahwa orang Belanda pun sanggup melakukan pelayaran ke Asia, langsung juga didirikan perusahaan-perusahaan serupa di Amsterdam, Rotterdam, dan di provinsi Zeeland. Dalam badan ini Amsterdam akan diwakili oleh delapan utusan, Zeeland mendapat empat wakil, dan keempat kamer lainnya masing-masing satu wakil, sedangkan wakil yang ketujuh belas akan ditunjukkan secara bergilir oleh salah satu kamer di luar Amsterdam.

Wakil-wakil dari Amsterdam menganggap wajar bahwa badan pengurus umum ini, yang biasanya disebut dengan nama singkat Heren Zeventien (Tujuh Belas Tuan), akan berkumpul di Amsterdam, tetapi dalam hal ini mereka melakukan konsesi untuk menenggang rasa Zeeland. Diputuskan untuk menetapkan putaran delapan tahunan. Selama enam tahun berturut-turut Amsterdam akan menjadi tempat persidangan dan selama jangka waktu itu Kamer Amsterdam akan bertindak selaku ketua sidang; sesudah itu untuk dua tahun lamanya Middelburg akan menjadi tempat kedudukan Heren Zeventien dan jabatan ketua akan dipangku oleh pengurus Kamer Zeeland (F.S. Gaastra, “The Organization of the VOC” dalam The Archives of the Dutch East India Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia (Jakarta), 2007:15).

Bagaimana bisa istilah De Heeren Zeventien tiba-tiba diklaim oleh seorang Rangga Sasana sebagai Sunda Empire bahkan dipertahankan dengan nada meyakinkan dan emosional saat banyak orang menertawakan dan menuding kekacauan nalar sejarah tersebut? Entahlah darimana argumen dan keyakinan tersebut dibangun oleh Rangga Sasana. 

Kemunculan sejumlah kelompok yang menamakan dirinya “Sunda Empire”, “Kraton Agung Sejagat”, “King of the King”, “Negara Rakyat Nusantara” dan mungkin masih akan ada lagi, tidak muncul dari ruang hampa. Selalu ada konteks sosial yang melatarbekangi kemunculannya.

Ketika sejumlah orang atau kelompok menganggap sistem sosial dan politik serta ekonomi yang dijalankan oleh negara dianggap tidak lagi mampu mengakomodir kepentingan mereka maka munculah sebuah wacana anti tesis yaitu dengan membangun masyarakat alternatif. Masyarakat alternatif ini bisa berupa fenomena masyarakat berbasiskan kejayaan masa silam yang bersifat lokal/nasional (sistem monarki) dengan merujuk keberadaan kerajaan-kerajaan masa silam. Namun dapat pula berupa fenomena masyarakat berbasiskan kejayaan masa silam yang bersifat transnasional (sistem teokrasi) dengan merujuk sistem khilafah sebagai simbol ideologis. 

Selain itu dapat pula menjadikan visi masa depan ideal melalui kedatangan seorang figur pemimpin futuristik sebagaimana munculnya konsep Ratu Adil yang selalu terjadi dalam setiap abad di Indonesia. Mengenai kerinduan terhadap masa depan ideal ini, Charles Kimball menuliskan dalam bukunya When Religion Becomes Evil, “Some religious communities place a great deal of emphasis on a this worldly hope. They may look back to a time when the ideal was achived and yern to recapture those circumtances” (Beberapa komunitas agama sangat menekankan harapan duniawi ini. Mereka mungkin melihat kembali ke masa ketika cita-cita itu tercapai dan mereka ingin menangkap kembali keadaan-keadaan itu – 2002:115).

Adalah Alm. Sartono Kartodirjo, seorang sejarawan telah mengamati gerakan-gerakan keagamaan di Jawa yang menghubungkan dengan konsep Ratu Adil. Dalam buku Ratu Adil hasil kompilasi sejumlah makalahnya, Sartono menderetkan sejumlah fenomena sosial keagamaan di Abad 19-20 Ms yang dipimpin oleh beberapa orang yang menamai dirinya “Ratu Adil” dengan memiliki sejumlah pengikut dan ada yang memobilisasi massanya untuk melakukan sejumlah perlawanan pada pemerintahan Belanda.

Beberapa gerakan keagamaan yang disebutkan al., gerakan yang dipimpin Baujaya di Semarang tahun 1841, gerakan di Ciomas tahun 1886, gerakan Haji Jenal Ngarip di Kudus tahun 1847, gerakan di Cikandi tahun 1845, gerakan Kiai hasan Mukmin dari Gedangan tahun 1904, gerakan pak Jebrak di Brangkal tahun 1919 dll (1984:17).

Dari sekian banyak kasus gerakan sosial keagamaan yang menjamur di Abad 19 dan 20 khususnya di Jawa, Sartono memilih empat kasus dan menyimpulkan pola dan karakteristik gerakan tersebut sbb: “ciri messianistic, millenaristic, nativiastic serta segi ramalan, ide tentang perang suci, kebencian terhadap apa saja yang bersifat asing, magico-mysticism dan pujaan kepada nenek moyang” (1984:27). 

Kelompok-kelompok yang menamakan dirinya dengan “Sunda Empire” dsj menggemakan keyakinan-keyakinan “messianistic” dan “millenaristic” dalam setiap klaimnya. Sebutlah “pemerintahan dunia akan dinolkan pada Agustus 2020” atau “kemampuan mengendalikan nuklir” atau “penghapusan hutang negara”, “pembagian uang kepada orang miskin” melalui pencairan dana di bank Swiss dll. 

Kemunculan kelompok-kelompok yang mengklaim sebagai “kerajaan baru” bukan sekedar fenomena sosial yang lahir sebagai sebuah anti tesis terhadap sistem sosial politik dan ekonomi yang dianggap telah mengalami kerusakan sistemik oleh mereka yang meyakininya. Fenomena ini sekaligus menjadi sebuah cermin yang mengingatkan kita bersama perihal pentingnya memahami sejarah dengan baik.
Kita hidup di sebuah era yang bukan saja kebenaran-kebenaran absolut dipertanyakan dan ditafsirkan ulang (postmodernisme) namun juga kita semakin sulit untuk membedakan fakta dan fiksi (posttruth). Dalam bahasa sosiolog Prancis Jean Baudrillard sebagai “hyperreality” (hiperealitas) alias ketidakmampuan membedakan lagi antara kenyataan dan fantasi, fakta dan fiksi, realitas dengan iklan.

Berbagai klaim historis dan utopis yang meyakinkan semakin membuat masyarakat untuk mempercayai apapun yang dikatakan dan dijanjikan kelompok-kelompok yang menawarkan masyarakat alternatif. Mereka hampir tidak mampu membedakan apakah klaim historis dan utopis ini kenyataan ataukah hanya fantasi saja.

Sejarah, sebagai sebuah ilmu dan sebuah peristiwa semakin rentan dipergunakan oleh kelompok sosial yang memiliki sejumlah kepentingan untuk dipergunakan sebagai sebuah senjata yang melegitimasi eksistensi dan relevansi mereka.

Istilah “De Heeren Zeventien” yang secara genealogis historis merujuk pada dewan direksi penentu kebijakan VOC dibajak menjadi sebuah istilah yang menunjuk pada kekuasaan yang dimiliki Sunda Empire. Untunglah sejumlah reaksi banyak orang yang mempertanyakan klaim tersebut masih membuktikan bahwa nalar historis kita masih ada dan befungsi sebagaimana mestinya.

Kegaduhan apapun yang saat ini memenuhi ruang publik dengan kehadiran sejumlah “kerajaan-kerajaan baru” yang melakukan klaim historis dan utopis semakin mendorong kita untuk mengetahui, mempelajari, memahami, menganalisis sejarah dengan baik. Bisa dibayangkan jika tumpukkan dokumen, arsip serta buku yang melaporkan masa lalu dimusnahkan ataupun tidak dipelajari oleh generasi masa kini? Maka dengan mudah setiap orang atau kelompok akan muncul dan mengklaim dirinya dengan menggunakan nama dan kisah yang pernah hidup di sebuah zaman yang telah kita lupakan bersama. 

Referensi:
Kimball, Charles (2002),When Religion Becomes Evil, New York: Harper San Francisco
Kartodirjo, Sartono (1984), Ratu Adil, Jakarta: Sinar Harapan
Arsip Nasional Republik Indonesia & Leiden-Boston: Brill (2007), The Archives of the Dutch East India Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia (Jakarta)

Karya:
Teguh Hindarto, s.Sos., MTh.