Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Selasa, 01 Juni 2021

Penanggulangan Permasalahan Sosial akibat Aksi Terorisme Berbasis Kearifan Lokal

Terorisme menurut Conway Henderson (International Relations Conflict and Cooperaion at the turn of 21th Century) adalah suatu aksi kekerasan yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang atau jaringan, dimaksudkan untuk menciptakan suasana atau keadaan berbahaya serta penuh ketakutan dan bisa muncul dengan motif beragam demi kepentingan politik, ekonomi dan ideologi. Dalam sudut pandang sosiologi, terorisme merupakan salah satu bentuk penyimpangan sosial berupa tindak kriminalitas baik fisik maupun psikis karena bersifat mengancam masyarakat dan menimbulkan dampak negatif.

Terorisme cenderung berupa aksi berkelompok yang kemunculannya disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal munculnya terorisme diantaranya adalah minimnya pemahaman tentang agama, ideology dan wawasan kebangsaan. Sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan, kondisi sosial dan kondisi politik seperti ketidakadilan pemerintah dalam melakukan distribusi ekonomi pada rakyat.

Dampak terorisme bagi masyarakat tentu sangat beragam, yakni pada kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Ini yang menurut saya perlu menjadi perhatian lebih pemerintah dan akan menjadi titik bahas utamanya. Terorisme sendiri merupakan penyimpangan ideologis yang terstruktur dimana para oknumnya memiliki jaringan yang tersebar di beberapa wilayah dan memiliki motif aksi terencana.

Berdasarkan skema kajian Stanley Cohen, setelah aksi terorisme akan terjadi proses sosial berupa kepanikan moral, rasa cemas dan was-was. Kemudian beberapa waktu setelah itu, akan muncul fobia sosial atau fobia lingkungan. Dalam fase ini, individu dalam masyarakat akan mengalami Social Anxiety Disorder ditandai dengan kecemasan dalam proses interaksi dan rasa takut akan suatu hal secara berlebihan. Apabila ini tidak dapat diatasi, akan timbul ketidakstabilan sosial yang menghambat efektivitas kehidupan masyarakat. Hubungan sosial antar masyarakat juga akan terjadi keadaan "rentan konflik" yang memicu disintegrasi sosial karena rasa kecurigaan terhadap kelompok tertentu.

            Dampak sosial kasus terorisme yang berbahaya ini tentunya harus lebih diperhatikan oleh pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia. Mengacu pada Teori Cultural Studies menurut Stuart Hall yang mengkaji mengenai keterkaitan antara kekuasaan dengan kebudayaan dapat mempengaruhi kehidupan sosial-politik sebuah komunitas, kita dapat menemukan sebuah solusi sekaligus inovasi berupa pencegahan dan rehabilitasi korban terdampak terorisme berbasis kearifan lokal “Srawung Guyub Rukun” dan menerapkan pemikiran dengan sudut pandang terbuka dengan mengedepankan toleransi dan gotong royong.

Srawung dalam Bahasa Jawa artinya berinteraksi, guyub artinya kebersamaan sedangkan rukun memiliki makna keselarasan atau tanpa pertikaian. Kearifan lokal ini menggambarkan keadaan sosial yang aktif dalam interaksi, saling peduli dan penuh kedamaian karena nilai dan norma masih sepenuhnya dipegang teguh. Penerapan kearifan lokal “Srawung Guyub Rukun” dalam menanggulangi terorisme sekaligus dampaknya ini dapat dibiasakan oleh masyarakat yang sering menjadi tempat sasaran menyebarnya paham dan aksi terorisme. Dengan ini, diharapkan tingkat kepedulian sosial masyarakat perkotaan juga lebih tinggi serta memiliki hubungan keterikatan yang lebih kuat. Sehingga dampak sosial terorisme ditengah masyarakat dapat dikendalikan.

Tindakan progresif yang dapat diakukan berdasarkan Teori Cultural Studies, pemerintah melalui BNPT (Badan Penanggulangan Terorisme) sebagai pihak yang memiliki kekuasaan harus bersinergi dengan masyarakat untuk menanggulangi terorisme secara progresif dan berkelanjutan. Dengan kearifan lokal “Srawung Guyub Rukun”, pemerintah dapat mengaktifkan elemen lembaga sosial masyarakat seperti LSM sebagai media pelopor pencegahan berkembangnya paham terorisme melalui sosialisasi aktif tentang pendidikan pemahaman anti-terorisme.

Sosialisasi paham anti-terorisme melalui media sosial dengan bantuan influencer atau publik figur tentu akan sangat berpengaruh di masyarakat. Karena influencer memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam mempersuasi masyarakat. Dalam stratifikasi masyarakat modern, komponen publik figur baik pejabat, selebriti, maupun seniman merupakan role model yang tentunya memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan sosial masyarakat khususnya bagi kaum pemuda. Maka akan sangat efektif jika pemerintah juga merangkul komponen publik figure untuk ikut serta dalam upaya menolak dan mencegah aksi terorisme di Indonesia.

Masyarakat sendiri juga harus berupaya untuk lebih kooperatif bekerja sama dengan pemerintah dalam mencegah terorisme dengan menguatkan diri pada pondasi agama dan paham anti-terorisme yang kuat sehingga dapat memfilter masuknya ideologi-ideologi baru dengan bijak. Tanpa kerja sama dan sinergi menyeluruh, upaya penanggulangan terorisme akan sulit terealisasikan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, S. Husein. 2017. Empat Generasi dalam Sejarah Terorisme. Online (https://tirto.id/empat-generasi-dalam-sejarah-terorisme-cwpb). Diakses pada 14 April 2021.

Indra Astuti, Santi. 2003. Cultural Studies. Studi Komunikasi sebagai suatu Pengantar, 4(1), 58

Veeger, K.J. 1985. Realitas Sosial; Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta; Gramedia.

Wikipedia. 2018. Sociology of Terorism. https://en.wikipedia.org/wiki/Sociology_of_terrorism&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp&prev=search. Diakses tanggal 15 April 2021.


Karya: 

Nadia Muslimatul Ummah 

(MAN 1 BLITAR)

Juara 1 Olimpiade Sosiologi (OSUM) 2021


 


Gerakan RETIRE Sebagai Pencegahan Remaja dalam Terorisme

Fenomena terorisme di Indonesia hingga hari ini masih menjadi perbincangan yang menarik dan terus menghangat. Terorisme merupakan suatu kejahatan luar biasa yang sangat merugikan masyarakat, menimbulkan bahaya terhadap kedaulatan dan perdamaian, serta perkosaan terhadap hak asasi manusia. Terorisme menjadi masalah serius bagi semua kalangan. Hal tersebut menjadi peringatan bagi semua lapisan masyarakat, tidak hanya untuk pemerintah, tetapi elemen-elemen masyarakat juga ikut berperan di dalamnya. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Sidney Jones (2003) bahwa ancaman terorisme dan radikalisme di Indonesia itu nyata, meskipun saat ini hanya minoritas muslim yang radikal dan lebih sedikit lagi suka menggunakan kekerasan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perisitwa Pengeboman di Bali pada tahun 2002 yang berhasil merenggut nyawa 202 orang hingga aksi terorisme terbaru yaitu Pengeboman Gereja Katedral di Makassar pada 28 Maret 2021. Dampak yang ditimbulkan dari aksi terorisme ini tidak hanya berupa korban jiwa, tetapi juga harta benda, trauma, serta hilangnya generasi bangsa Indonesia.

Menurut Merton, di antara segenap unsur sosial dan budaya, terdapat dua unsur terpenting, yaitu kerangka aspirasi dan unsur-unsur yang mengatur segala kegiatan untuk mencapai aspirasi tersebut. Dengan kata lain, ada nilai-nilai sosial budaya yang merupakan rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup di dalam alam pikiran juga ada kaidah-kaidah yang mengatur kegiatan-kegiatan manusia untuk mencapai cita-cita tersebut. Apabila terjadi ketidakserasian antara aspirasi dengan saluran-saluran yang tujuannya untuk mencapai cita-cita tersebut, maka terjadilah perilaku menyimpang (Soerjono Soekanto, 2014: 189). Sama halnya dengan terorisme yang terjadi karena adanya ketidakserasian antara nilai-nilai yang ada dengan cita-cita. Sehingga jaringan teroris seperti Al-Qaeda dan ISIS melakukan pemberontakan untuk mengubah nilai-nilai serta kaidah-kaidah yang lama menjadi yang baru. Dengan mengatasnamakan agama, jaringan teroris ini mendoktrin pikiran semua kalangan untuk bergabung dan menjadi ‘pengantin’ untuk melakukan kekerasan dan bom bunuh diri yang dijanjikan surga. Jaringan teroris memilih tidak hanya dari kalangan dewasa tetapi juga dari kalangan remaja.

Kalangan remaja menjadi salah satu kalangan yang rentan untuk didoktrin oleh jaringan teroris. Menurut pengamat terorisme,  Nasir Abbas menilai usia remaja paling rentan terdoktrin ajaran radikalisme (Dina Manafe,2018). Remaja sedang memasuki masa transisi yaitu masa dimana anak-anak menuju dewasa. Masa itu juga dapat disebut masa badai topan sehingga remaja mempunyai jiwa yang meledak-ledak dan keinginan agar keberadaannya diakui juga tinggi. Pola pikir remaja yang labil membuat mereka mudah untuk dipengaruhi dengan ajaran-ajaran terorisme. Selain itu, remaja sedang mengalami krisis identitas dan berupaya untuk mencari jati dirinya. Remaja sudah mulai berani untuk memberontak dan keingintahuannya terhadap hal-hal baru juga semakin tinggi membuat  remaja semakin rentan untuk didoktrin dengan ajaran terorisme. Secara keseluruhan data narapidana terorisme, berdasarkan data sasaran program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Februari 2017, memperlihatkan bahwa lebih dari 52% napi teroris yang menghuni LP ialah generasi muda (usia 17-34 tahun).

Oleh karena itu, gagasan yang dipilih penulis untuk mencegah ancaman remaja yang rentan didoktrin oleh jaringan teroris yaitu dengan gerakan Remaja Anti Terorisme (RETIRE). Dengan adanya gerakan ini diharapkan dapat mencegah ancaman remaja yang rentan didoktrin oleh jaringan terorisme. Gerakan ini akan memberdayakan remaja agar dapat menjadi orang yang tidak mudah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada. Dengan memanfaatkan ekstrakurikuler jurnalistik sebagai penyalur untuk menyebarkan informasi-informasi yang berkaitan dengan gerakan anti terorisme seperti penguatan rasa cinta tanah air dan bahayanya terorisme. Penyebaran informasi ini menggunakan media sosial seperti instagram dan twitter yang dimiliki oleh ekstrakurikuler jurnalistik. Majalah dinding di sekolah dan juga majalah cetak karya ekstrakurikuler jurnalistik dapat dimanfaatkan sebagai salah satu media untuk menyampaikan informasi. Selain itu, adanya agenda ekstrakurikuler jurnalistik dengan mengajak BNPT serta KPAI untuk bekerja sama dalam memberikan bimbingan kepada remaja terkait bahaya ajaran terorisme yang dilakukan melalui webinar atau seminar.

Dengan adanya gerakan RETIRE ini diharapkan dapat mencegah ancaman remaja yang rentan didoktrin oleh jaringan teroris. Gerakan ini diharapkan dapat mengubah pola pikir remaja sehingga tidak mudah didoktrin oleh ajaran terorisme. Elemen-elemen masyarakat yang lain serta pemerintah juga dapat berperan sebagai pembimbing atau penunjuk bagi remaja yang labil dan berusaha mencari jati dirinya. Dengan adanya gerakan kecil ini diharapkan dapat mengurangi aksi-aksi terorisme yang sedang marak terjadi terutama di kalangan remaja.

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. 2014. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Supriadi, Endang. 2018. “Radikalisme dan Kaum Muda dalam Perspektif Sosiologi” dalam Living Islam: Journal of Islamic Discourses Volume 1 (hlm. 69-82). Semarang: Universitas Islam Negeri Walisongo.

Alius, Suhardi. 2017. “Terorisme Menyasar Generasi Muda”, https://m.mediaindonesia.com/opini/103385/terorisme-menyasar-generasi-muda, diakses pada 14 April 2021 pukul 10.00

Manafe, Dina. 2018. “Anak-anak Rentan Terpapar Paham Radikal dan Terorisme”, https://www.beritasatu.com/nasional/492574/anakanak-rentan-terpapar-paham-radikal-dan-terorisme, diakses pada 14 April 2021 pukul 12.00

Karya: Nur Intan Rahmasari
SMAN 1 Jember 
Juara 2 Olimpiade Sosiologi (OSUM) 2021


MENENGOK TERORISME LEBIH DEKAT

Terorisme adalah upaya yang dilakukan oleh seorang, kelompok, atau bahkan negara untuk mencapai tujuan mereka melalui jalur kekerasan, intimidasi, atau teror untuk menciptakan kekacauan dan keresahan publik agar tunduk pada mereka, atau menyampaikan pesan ancaman, atau menyebarkan ideologi dan pengaruh mereka.[1]

Suatu kelompok memanfaatkan terorisme sebagai senjata psikologis[2], untuk menancapkan ketakutan pada masyarakat, karena sifat dari serangannya  mendadak. Kelompok ini tercipta karena ketidaksesuaian pandangan dan nilai yang ada di masyarakat dengan apa yang mereka pahami, mereka mengangkat pedang untuk menebarkan ancaman, sebagai protes terhadap penguasa[3] atau pemerintah, untuk menyetujui apa yang menjadi keinginan mereka. Terorisme bisa juga dijadikan wahana untuk menyampaikan aspirasi, bagi kaum yang termarjinalisasi dan dialienasi di tengah instabilitas politik.

Kelompok teror ini bisa terbentuk mulai dari skala kecil, seperti perseorangan (lone wolf) atau komunal kecil yang bergerak kurang terkoordinir, hingga skala besar seperti kelompok mujahidin di timur tengah, yang bahkan bisa bertindak seperti militer,  melalui kacamata teori permainan (game theory) kelompok mujahidin di timur tengah, mereka memainkan kekuatan militer dengan taktik pertempuran untuk menguasai dan mempengaruhi kekuatan negara, hal tersebut dibuktikan dengan melemahnya pengaruh negara-negara di jazirah arab yang tengah berkecamuk, digantikan dengan kekuasaan para kelompok-kelompok teroris ini.

Paham terorisme ini harus berterimakasih dengan jasa globalisasi dan internet, yang turut mengudarakan berbagai paham yang turut andil pada terorisme itu sendiri. Misalnya  melalui media sosial, media massa, bahkan difusi kebudayaan. Mereka juga bisa dengan leluasa berkomunikasi melalui internet, melalui jaringan jaringan nirkabel yang membuat pergerakan mereka sulit terdeteksi. Internet juga berjasa menyebarkan berbagai propaganda mereka serta menjadi alat untuk  menjaring calon-calon martir, yang rela mati demi tujuan mereka.

Lantas bagaimana para kelompok ini bisa menjaring dan mencetak prajurit berani mati mereka? Pertama,  mereka mencari anggota yang memiliki krisis kepercayaan terhadap sistem sosio-politik yang ada dilingkungan atau negara mereka, mereka menawarkan berbagai tawaran sebagai pengganti sistem yang ada, misalnya bentuk pemerintahan tertentu, atau tujuan akhir yang mulia sebagai solusi dari permasalahan yang ada[4]. Kedua, mereka tanamkan mentalitas pahlawan pada diri calon prajurit mereka, melalui doktrin , propaganda, dan pencucian otak yang terstruktur, hingga para korban merasa mereka menjadi pahlawan, padahal rasa kepahlawanan tersebut hanya semu belaka dan dibelokkan untuk kepentingan politis atau kelompok tertentu, yang mengambil keuntungan dari ketidaktahuan mereka, mereka pun dipimpin oleh pemimpin yang kharismatik yang membuat mereka seakan terbutakan.

Dalam sudut pandang sosiologi faktor utama yang memunculkan gerakan terorisme di Indonesia adalah ketimpangan sosial, lemahnya fungsi dari lembaga sosial serta ideologi negara yang dianggap bertentangan dengan kepercayaan kelompok tertentu. Beberapa hal tersebut menyebabkan krisis kepercayaan pada masyarakat, yang mengakibatkan mudahnya masyarakat disusupi oleh berbagai kelompok yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik dan menjadi solusi atas berbagai permasalahan yang menimpa mereka, ditambah dengan fungsi di lembaga sosial yang lemah dan tidak mampu mengayomi masyarakat itu sendiri membuat masyarakat mencari alternatif solusi melalui pemberontakan ( rebellion)  atas norma dan aturan yang telah mapan.

Sosiologi memandang bahwa terorisme bukanlah peristiwa yang terjadi akibat satu faktor saja, melainkan permasalahan multifaktoral yang sangat kompleks. Sehingga kita harus membenahi berbagai faktor tersebut dengan menghidupkan berbagai fungsi di lembaga-lembaga sosial yang mati suri, menghilangkan berbagai ketimpangan yang ada di masyarakat, memperbaiki pemerintahan yang ada sebagai jawaban atas krisis kepercayaan yang terjadi di masyarakat. Terakhir adalah penanaman dan penguatan ideologi kebangsaan yang dapat menjadi benteng pertahanan terkuat suatu negara, serta menguatkan kembali elemen-elemen keamanan negara untuk menjaga negara dari berbagai faktor eksternal yang dapat merongrong kedaulatan negara. Berbagai hal ini tidak akan berhasil kecuali seluruh komponen masyarakat dan aparatur negara ikut berperan aktif dalam melawan paham radikal dan terorisme. 

DAFTAR PUSTAKA

Loqman, L. (1990). Analisis Hukum dan Perundang-Undangan terhadap Keamanan Negara di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mubarok, Z. (2012). Fenomena Terorisme di Indonesia: Kajian Aspek Teologi, Ideologi, dan Gerakan. SALAM: Jurnal Studi Masyarakat Islam, 240-254.

Suprapto. (2018). Aksi Terorisme : Dari Gerakan Ideologis Ke Gerakan Inkonstitusional. Jurnal Sosiologi USK, Volume 12, Nomor 2, Hal 149.


[1] Loqman, L. (1990). Analisis Hukum dan Perundang-Undangan terhadap Keamanan Negara di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.

[2] Loqman, L. Ibid.

[3] Suprapto. (2018). Aksi Terorisme : Dari Gerakan Ideologis Ke Gerakan Inkonstitusional. Jurnal Sosiologi USK, Volume 12, Nomor 2, Hal 149.

[4] Mubarok, Z. (2012). Fenomena Terorisme di Indonesia: Kajian Aspek Teologi, Ideologi, dan Gerakan. SALAM: Jurnal Studi Masyarakat Islam, 240-254.


Karya: Muhammad Haidar S.A
MAN 1 MALANG
Juara 3 Olimpiade Sosiologi (OSUM) 2021




Terorisme dalam Masyarakat Indonesia

 Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan rasa takut secara meluas. Hal ini dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan menimbulkan kerusakan terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, atau fasilitas internasional dengan berbagai macam motif. Terorisme dikenal sebagai kejahatan yang dikecam negara bahkan dunia karena dapat merusak perdamaian.

Mengutip dari jurnal “Kasus Terorisme di Indonesia Ditinjau dari Hati Nurani Sesat” mencatat 130 kasus terorisme terjadi dari tahun 2010-2017 di Indonesia. Bahkan beberapa pekan lalu, kasus terorisme terjadi kembali di Indonesia pada tanggal 28 Maret 2021 di Gereja Katedral Hati Yesus Yang Mahakudus Makassar dan 31 Maret 2021 di Mabes Polri. Kasus yang terjadi di Makassar masih diselidiki oleh pihak berwajib, sedangkan kasus di Mabes Polri diselesaikan dengan upaya koersi. Hal ini didukung dengan teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf. Ralf memaparkan bahwa konflik kepentingan dalam asosiasi selalu ada, antara pihak sub-ordinat dan super-ordinat. Kepentingan keduanya adalah objektif dalam arti bahwa kepentingan tersebut merupakan tujuan dari pelaku. Setelah terjadinya tindak terorisme berdampak pada perubahan struktur sosial.

Kasus terorisme yang kian marak terjadi dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam individu, seperti kesalahpahaman akan suatu ideologi, sehingga berpengaruh terhadap pola pikir dan tindakannya dalam bersosialisasi. Hal ini didukung dengan teori tindakan rasional instrumental oleh Karl Max yang mengungkapkan bahwa dibutuhkan usaha untuk mendapatkan tujuan. Selain itu terdapat pula motivasi untuk melawan suatu kekuasaan serta timbulnya delusi superhero yang menyebabkan pemikiran dan tindakan yang menyimpang. Adanya rasa ketidaksukaan terhadap seseorang di luar kelompok sosial juga dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan terorisme. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan pandangan, kebiasaan, dan tata kelakukan. Faktor internal ini didukung dengan teori yang dikemukakan oleh William Graham Summer. William mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan perlakuan di dalam in-group dan out-group. Adapun faktor eksternal berasal dari lingkungan sekitar yang mendorong untuk melakukan terorisme, seperti kondisi sosial tidak stabil dan lemahnya pertahanan negara. Kedua hal ini berpotensi merubah pola pikir seorang individu yang mengalami ketidaksetaraan serta memberikan kemudahan bagi teroris untuk masuk ke dalam suatu wilayah dalam melancarkan aksi terorisme.

            Terorisme yang terjadi dapat menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya yakni, memperkokoh hubungan antar masyarakat, menciptakan aturan baru guna meningkatkan keamanan maupun bidang lainnya, dan individu menjadi lebih kritis dalam menghadapi konflik sosial lainnya. Sedangkan dampak negatif dari tindakan terorisme dapat menimbulkan perpecahan, permusuhan, dan kekerasan. Hal ini dikarenakan adanya provokasi dari media massa yang menyebarkan paham radikal. Paham radikal dapat diperoleh dari media massa sebagai bentuk kemajuan teknologi informasi di era globalisasi.

Terorisme yang masih terjadi hingga saat ini tentunya perlu ditangani oleh pemerintah. Pemerintah dapat menanganinya dengan cara memberdayakan masyarakatnya melalui penyediaan ruang untuk berpendapat dan pembentukan kelompok masyarakat guna mensosialisasikan anti-terorisme. Selain itu, ada pula sejumlah lembaga yang menanganinya. Lembaga tersebut antara lain lembaga keluarga, lembaga pendidikan dan lembaga hukum. Lembaga keluarga berperan dalam memberikan sosialisasi dan pengajaran sejak dini kepada anak mengenai pembentukan karakter dan nilai-nilai lainnya. Keluarga juga dapat memberikan afeksi dan mengawasi tindakan anak dalam bersosialisasi. Selanjutnya, dibutuhkan lembaga pendidikan dalam membantu penanaman dasar pendidikan moral dan sosial kepada peserta didik serta pemberian ajaran mengenai tindakan anti-terorisme. Apabila kedua lembaga tersebut tidak mampu menangangi terorisme, maka lembaga hukum merupakan lembaga terakhir dalam penanganannya. Hal ini dikarenakan lembaga hukum tersusun dari seperangkat aturan yang mutlak yang wajib dipatuhi, sehingga dapat memberikan efek jera kepada pelaku.

Daftar Pustaka

Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Universitas Indonesia. 2018. Menelaah Tren Terorisme dari Masa ke Masa, diakses dari https://www.ui.ac.id/menelaah-tren-terorisme-di-indonesia-dari-masa-ke-masa/ pada 15 April 2021 pukul 11.37

CNN Indonesia. 2021. Teror Lonewolf di Jantung Markas Polri, diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210401055003-12-624696/teror-lonewolf-di-jantung-markas-polri pada 15 April 2021 pukul 11.46

Kompas.com. 2021. Bom Gereja Katedral Makassar: Kronologi Kejadian, Keterangan Polisi, dan Sikap Presiden, diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/29/100000165/bom-gereja-katedral-makassar-kronologi-kejadian-keterangan-polisi-dan-sikap?page=all pada 15 April 2021 pukul 11.47

Karya: Ryan Ivander Aldino

SMA Kristen Immanuel Pontianak

Juara Harapan 1 Olimpiade Sosiologi (OSUM) 2021



ORGANIZED CRIME (TERORISME) SEBAGAI PENYIMPANGAN SOSIAL

 

Terorisme adalah hal cukup familiar bagi masyarakat di Indonesia. antaranews.com (2021)[1] merilis sudah 94 terduga teroris ditangkap selama operasi pencegahan dan penindakan terorisme yang dilaksanakan sejak Januari hingga Maret 2021. Tindakan ini dapat dilatar belakangi oleh faktor-faktor tertentu seperti ekonomi, harga diri, politik. Tukina (2011)[2]. Dengan penyebab yang cukup luas maka perilaku teror ini dapat dikaji melalui cabang ilmu sosiologi.  Lantas apa kaitan sosiologi dengan terorisme?

Ditinjau dari kajian sosiologi, perilaku yang meneror merupakan perilaku menyimpang (devian personality), dapat juga dikatakan kepribadian yang sulit (difficult personality). Apabila dilihat secara umum tindakan meneror orang lain dapat disebabkan oleh pembangkangan. Istilah pembangkang sendiri sebenarnya juga dapat diartikan sebagai teroris. Paham terorisme sendiri dilakukan dengan menebar teror atau aksi yang menimbulkan ketakutan kepada masyarakat atau kelompok untuk tujuan tertentu. Pelaku teror dapat menjalankan aksinya secara individu maupun kelompok yang terorganisir.

Menurut Robert K. Merton terdapat lima tipe pola adaptasi social individu terhadap situasi tertentu yaitu konformitas, inovasi, ritualisme, retreatisme, dan pemberontakan. Tukina (2011)[3]. Diantara lima tipe tersebut yang termasuk dalam kategori menyimpang adalah retreatisme dan pemberontakan.

Bentuk dari retreatisme adalah  perilaku seseorang tidak mengikuti tujuan dan cara yang dikehendaki. Salah satu contoh dari tindakan ini adalah terorisme karena para pelaku teror memiliki pandangan yang tentunya berbeda dan menolak  ideologi atau nilai dan norma yang dianut di lingkungan sekitar mereka. Namun penolakan tersebut tidak didukung dengan solusi yang dapat mereka berikan. Sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan yang meresahkan masyarakat seperti bom bunuh diri kepada orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.

Sedangkan pemberontakan (rebellion) orang tidak lagi mengakui struktur social yang ada dan berupaya menciptakan struktur social yang baru. Karena mereka memiliki pandangan yang berbeda dan ingin mengubah sistem sosial di lingkungan tersebut dan merekamemiliki solusi yang dapat diterapkan untuk mengubah tatanan tersebut. Contohnya adalah ISIS. ISIS menjadi kelompok jihad pertama yang memerangi pasukan pemerintah di Suriah dan membangun kekuatan militer di Irak Sukawarsini, dkk. (2016)[4]. Ancaman yang ditimbulkan pun tak hanya dari kehidupan politik dan kekuatan militer saja, namun juga mengancam bagi kemanusiaan, kehidupan ekonomi, lingkungan, sosial-budaya, kesejahteraan individu dan masyarakat.

Terorisme dan penyimpangan sosial

Pemberontakan yang terjadi pada individu atau kelompok tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang mengakibatkan mereka melakukan pemberontakan. Pemberontakan yang terjadi dapat digolongkan sebagai suatu penyimpangan. Mengutip pendapat Profesor Robert M. Z. Lawang, perilaku menyimpang juga dapat didefinisikan sebagai semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial, serta menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem untuk memperbaiki perilaku tersebut Murniaseh (2021)[5].

Dari luasnya akar masalah terorisme, maka penyelesaian masalah terorisme perlu dilakukan secara menyeluruh tidak dapat sepotong-sepotong. Sepanjang 2021, sudah ratusan terduga teroris yang ditangkap Densus 88 Antiteror di beberapa wilayah di Indonesia[6]. Namun, jika hanya diberangus atau ditumpas tanpa pemahaman secara mendasar justru akan memunculkan terorisme dalam bentuk baru. Pemahaman terhadap terorisme secara baik dan holistik, dapat mempermudah mencari tahu duduk perkara serta merumuskan solusi secara tepat. Selain itu juga diperlukan komunikasi secara baik dan tepat. Tanpa ada komunikasi yang baik dan tepat berakibat pemberantasan terhadap terorisme dapat berujung pada munculnya terorisme dalam bentuk baru. 

KAJIAN PUSTAKA


antaranews.com.(2021). “Polri: Sudah 94 terduga teroris ditangkap sepanjang 2021”  diakses Kamis. 15 April 2021


Bbc.com. (2021). “Bom Makassar: Pelaku diduga anggota kelompok JAD sebagai 'balas dendam dan aksi jelang bulan Ramadan', kata pengamat terorisme”diakses Kamis. 15 April 2021

 

Djelantik,dkk.(2016). “Terorisme Internasional dan Genomena ISIS di Indonesia”. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat  Universitas Katolik Parahiyangan.(online) diakses Kamis. 15 April 2021

 

Murniaseh,Endah. (2021). “Macam-Macam Penyimpangan Sosial dan Contoh Perilaku Menyimpang” (online) diakeses Rabu, 14 April 2021

 

Tukina. (2011). Tinjauan Kritis Sosial: Terorisme di Indonesia. Jurnal Humaniora 2. 731-742. (online)  diakses Kamis. 15 April 2021



[2] Tukina. (2011). Tinjauan Kritis Sosial: Terorisme di Indonesia. Jurnal Humaniora 2. 731-742 dikutip pada kamis. 15 April 2021

[3] Tukina. (2011). Tinjauan Kritis Sosial: Terorisme di Indonesia. Jurnal Humaniora 2 731-742 dikutip pada kamis. 15 April 2021

[4]Djelantik,dkk.(2016). “Terorisme Internasional dan Genomena ISIS di Indonesia”. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat  Universitas Katolik Parahiyangan. dikutip pada kamis. 15 April 2021

[5] Murniaseh,Endah. (2021). “Macam-Macam Penyimpangan Sosial dan Contoh Perilaku Menyimpang”  dikutip pada kamis. 15 April 2021

[6] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56556322 dikutip pada kamis. 15 April 2021

Karya: Kirana Ai
MAN 1 MALANG
Juara Harapan 2 Olimpiade Sosiologi (OSUM) 2021