Fenomena terorisme di Indonesia hingga hari ini masih menjadi perbincangan yang menarik dan terus menghangat. Terorisme merupakan suatu kejahatan luar biasa yang sangat merugikan masyarakat, menimbulkan bahaya terhadap kedaulatan dan perdamaian, serta perkosaan terhadap hak asasi manusia. Terorisme menjadi masalah serius bagi semua kalangan. Hal tersebut menjadi peringatan bagi semua lapisan masyarakat, tidak hanya untuk pemerintah, tetapi elemen-elemen masyarakat juga ikut berperan di dalamnya. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Sidney Jones (2003) bahwa ancaman terorisme dan radikalisme di Indonesia itu nyata, meskipun saat ini hanya minoritas muslim yang radikal dan lebih sedikit lagi suka menggunakan kekerasan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perisitwa Pengeboman di Bali pada tahun 2002 yang berhasil merenggut nyawa 202 orang hingga aksi terorisme terbaru yaitu Pengeboman Gereja Katedral di Makassar pada 28 Maret 2021. Dampak yang ditimbulkan dari aksi terorisme ini tidak hanya berupa korban jiwa, tetapi juga harta benda, trauma, serta hilangnya generasi bangsa Indonesia.
Menurut Merton, di antara segenap unsur sosial
dan budaya, terdapat dua unsur terpenting, yaitu kerangka aspirasi dan
unsur-unsur yang mengatur segala kegiatan untuk mencapai aspirasi tersebut.
Dengan kata lain, ada nilai-nilai sosial budaya yang merupakan rangkaian
konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup di dalam alam pikiran juga ada kaidah-kaidah
yang mengatur kegiatan-kegiatan manusia untuk mencapai cita-cita tersebut.
Apabila terjadi ketidakserasian antara aspirasi dengan saluran-saluran yang
tujuannya untuk mencapai cita-cita tersebut, maka terjadilah perilaku
menyimpang (Soerjono Soekanto, 2014: 189). Sama halnya dengan terorisme yang
terjadi karena adanya ketidakserasian antara nilai-nilai yang ada dengan
cita-cita. Sehingga jaringan teroris seperti Al-Qaeda dan ISIS melakukan pemberontakan untuk mengubah
nilai-nilai serta kaidah-kaidah yang lama menjadi yang baru.
Dengan mengatasnamakan agama, jaringan teroris ini mendoktrin pikiran semua
kalangan untuk bergabung dan menjadi ‘pengantin’ untuk melakukan kekerasan dan
bom bunuh diri yang dijanjikan surga. Jaringan teroris memilih tidak hanya dari
kalangan dewasa tetapi juga dari kalangan remaja.
Kalangan remaja menjadi salah satu kalangan
yang rentan untuk didoktrin oleh jaringan teroris. Menurut pengamat terorisme,
Nasir Abbas menilai usia remaja paling rentan terdoktrin ajaran
radikalisme (Dina Manafe,2018). Remaja sedang memasuki masa transisi yaitu masa dimana anak-anak
menuju dewasa. Masa itu juga dapat disebut masa badai topan sehingga remaja mempunyai jiwa yang meledak-ledak dan
keinginan agar keberadaannya diakui juga tinggi. Pola pikir remaja yang labil
membuat mereka mudah untuk dipengaruhi dengan ajaran-ajaran terorisme. Selain
itu, remaja sedang mengalami krisis identitas dan berupaya untuk mencari jati
dirinya. Remaja sudah mulai berani untuk memberontak dan keingintahuannya
terhadap hal-hal baru juga semakin tinggi membuat remaja semakin rentan
untuk didoktrin
dengan ajaran terorisme. Secara keseluruhan data narapidana terorisme,
berdasarkan data sasaran program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) Februari 2017, memperlihatkan bahwa lebih dari 52% napi
teroris yang menghuni LP ialah generasi muda (usia 17-34 tahun).
Oleh karena itu, gagasan yang dipilih penulis untuk mencegah ancaman remaja yang rentan didoktrin oleh jaringan teroris yaitu dengan gerakan Remaja Anti Terorisme (RETIRE). Dengan adanya gerakan ini diharapkan dapat mencegah
ancaman remaja yang rentan didoktrin oleh jaringan terorisme. Gerakan ini akan memberdayakan remaja agar dapat menjadi
orang yang tidak mudah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan
nilai dan norma yang ada. Dengan memanfaatkan ekstrakurikuler jurnalistik sebagai penyalur untuk menyebarkan
informasi-informasi yang berkaitan dengan gerakan anti terorisme seperti
penguatan rasa cinta tanah air dan bahayanya terorisme. Penyebaran informasi
ini menggunakan media sosial seperti instagram dan twitter yang dimiliki oleh ekstrakurikuler
jurnalistik. Majalah dinding di sekolah dan juga majalah cetak karya ekstrakurikuler jurnalistik dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu media untuk menyampaikan informasi. Selain itu, adanya agenda ekstrakurikuler jurnalistik dengan mengajak BNPT serta KPAI untuk bekerja
sama dalam memberikan bimbingan kepada remaja terkait bahaya ajaran terorisme yang dilakukan melalui
webinar atau seminar.
Dengan adanya gerakan RETIRE ini diharapkan dapat mencegah ancaman remaja yang rentan didoktrin oleh jaringan teroris. Gerakan ini diharapkan dapat mengubah pola pikir remaja sehingga tidak mudah didoktrin oleh ajaran terorisme. Elemen-elemen masyarakat yang lain serta pemerintah juga dapat berperan sebagai pembimbing atau penunjuk bagi remaja yang labil dan berusaha mencari jati dirinya. Dengan adanya gerakan kecil ini diharapkan dapat mengurangi aksi-aksi terorisme yang sedang marak terjadi terutama di kalangan remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono. 2014. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Supriadi, Endang. 2018. “Radikalisme dan Kaum
Muda dalam Perspektif Sosiologi” dalam Living Islam: Journal of Islamic
Discourses Volume 1 (hlm. 69-82). Semarang: Universitas Islam Negeri Walisongo.
Alius, Suhardi. 2017. “Terorisme Menyasar
Generasi Muda”, https://m.mediaindonesia.com/opini/103385/terorisme-menyasar-generasi-muda, diakses pada 14 April 2021 pukul 10.00
0 komentar:
Posting Komentar