Selasa, 01 Juni 2021

Gerakan RETIRE Sebagai Pencegahan Remaja dalam Terorisme

Fenomena terorisme di Indonesia hingga hari ini masih menjadi perbincangan yang menarik dan terus menghangat. Terorisme merupakan suatu kejahatan luar biasa yang sangat merugikan masyarakat, menimbulkan bahaya terhadap kedaulatan dan perdamaian, serta perkosaan terhadap hak asasi manusia. Terorisme menjadi masalah serius bagi semua kalangan. Hal tersebut menjadi peringatan bagi semua lapisan masyarakat, tidak hanya untuk pemerintah, tetapi elemen-elemen masyarakat juga ikut berperan di dalamnya. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Sidney Jones (2003) bahwa ancaman terorisme dan radikalisme di Indonesia itu nyata, meskipun saat ini hanya minoritas muslim yang radikal dan lebih sedikit lagi suka menggunakan kekerasan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perisitwa Pengeboman di Bali pada tahun 2002 yang berhasil merenggut nyawa 202 orang hingga aksi terorisme terbaru yaitu Pengeboman Gereja Katedral di Makassar pada 28 Maret 2021. Dampak yang ditimbulkan dari aksi terorisme ini tidak hanya berupa korban jiwa, tetapi juga harta benda, trauma, serta hilangnya generasi bangsa Indonesia.

Menurut Merton, di antara segenap unsur sosial dan budaya, terdapat dua unsur terpenting, yaitu kerangka aspirasi dan unsur-unsur yang mengatur segala kegiatan untuk mencapai aspirasi tersebut. Dengan kata lain, ada nilai-nilai sosial budaya yang merupakan rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup di dalam alam pikiran juga ada kaidah-kaidah yang mengatur kegiatan-kegiatan manusia untuk mencapai cita-cita tersebut. Apabila terjadi ketidakserasian antara aspirasi dengan saluran-saluran yang tujuannya untuk mencapai cita-cita tersebut, maka terjadilah perilaku menyimpang (Soerjono Soekanto, 2014: 189). Sama halnya dengan terorisme yang terjadi karena adanya ketidakserasian antara nilai-nilai yang ada dengan cita-cita. Sehingga jaringan teroris seperti Al-Qaeda dan ISIS melakukan pemberontakan untuk mengubah nilai-nilai serta kaidah-kaidah yang lama menjadi yang baru. Dengan mengatasnamakan agama, jaringan teroris ini mendoktrin pikiran semua kalangan untuk bergabung dan menjadi ‘pengantin’ untuk melakukan kekerasan dan bom bunuh diri yang dijanjikan surga. Jaringan teroris memilih tidak hanya dari kalangan dewasa tetapi juga dari kalangan remaja.

Kalangan remaja menjadi salah satu kalangan yang rentan untuk didoktrin oleh jaringan teroris. Menurut pengamat terorisme,  Nasir Abbas menilai usia remaja paling rentan terdoktrin ajaran radikalisme (Dina Manafe,2018). Remaja sedang memasuki masa transisi yaitu masa dimana anak-anak menuju dewasa. Masa itu juga dapat disebut masa badai topan sehingga remaja mempunyai jiwa yang meledak-ledak dan keinginan agar keberadaannya diakui juga tinggi. Pola pikir remaja yang labil membuat mereka mudah untuk dipengaruhi dengan ajaran-ajaran terorisme. Selain itu, remaja sedang mengalami krisis identitas dan berupaya untuk mencari jati dirinya. Remaja sudah mulai berani untuk memberontak dan keingintahuannya terhadap hal-hal baru juga semakin tinggi membuat  remaja semakin rentan untuk didoktrin dengan ajaran terorisme. Secara keseluruhan data narapidana terorisme, berdasarkan data sasaran program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Februari 2017, memperlihatkan bahwa lebih dari 52% napi teroris yang menghuni LP ialah generasi muda (usia 17-34 tahun).

Oleh karena itu, gagasan yang dipilih penulis untuk mencegah ancaman remaja yang rentan didoktrin oleh jaringan teroris yaitu dengan gerakan Remaja Anti Terorisme (RETIRE). Dengan adanya gerakan ini diharapkan dapat mencegah ancaman remaja yang rentan didoktrin oleh jaringan terorisme. Gerakan ini akan memberdayakan remaja agar dapat menjadi orang yang tidak mudah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada. Dengan memanfaatkan ekstrakurikuler jurnalistik sebagai penyalur untuk menyebarkan informasi-informasi yang berkaitan dengan gerakan anti terorisme seperti penguatan rasa cinta tanah air dan bahayanya terorisme. Penyebaran informasi ini menggunakan media sosial seperti instagram dan twitter yang dimiliki oleh ekstrakurikuler jurnalistik. Majalah dinding di sekolah dan juga majalah cetak karya ekstrakurikuler jurnalistik dapat dimanfaatkan sebagai salah satu media untuk menyampaikan informasi. Selain itu, adanya agenda ekstrakurikuler jurnalistik dengan mengajak BNPT serta KPAI untuk bekerja sama dalam memberikan bimbingan kepada remaja terkait bahaya ajaran terorisme yang dilakukan melalui webinar atau seminar.

Dengan adanya gerakan RETIRE ini diharapkan dapat mencegah ancaman remaja yang rentan didoktrin oleh jaringan teroris. Gerakan ini diharapkan dapat mengubah pola pikir remaja sehingga tidak mudah didoktrin oleh ajaran terorisme. Elemen-elemen masyarakat yang lain serta pemerintah juga dapat berperan sebagai pembimbing atau penunjuk bagi remaja yang labil dan berusaha mencari jati dirinya. Dengan adanya gerakan kecil ini diharapkan dapat mengurangi aksi-aksi terorisme yang sedang marak terjadi terutama di kalangan remaja.

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. 2014. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Supriadi, Endang. 2018. “Radikalisme dan Kaum Muda dalam Perspektif Sosiologi” dalam Living Islam: Journal of Islamic Discourses Volume 1 (hlm. 69-82). Semarang: Universitas Islam Negeri Walisongo.

Alius, Suhardi. 2017. “Terorisme Menyasar Generasi Muda”, https://m.mediaindonesia.com/opini/103385/terorisme-menyasar-generasi-muda, diakses pada 14 April 2021 pukul 10.00

Manafe, Dina. 2018. “Anak-anak Rentan Terpapar Paham Radikal dan Terorisme”, https://www.beritasatu.com/nasional/492574/anakanak-rentan-terpapar-paham-radikal-dan-terorisme, diakses pada 14 April 2021 pukul 12.00

Karya: Nur Intan Rahmasari
SMAN 1 Jember 
Juara 2 Olimpiade Sosiologi (OSUM) 2021


0 komentar:

Posting Komentar