Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Minggu, 19 Februari 2017

Praktik Pariwisata Halal Masyarakat Senggigi, Lombok Barat

Kegiatan pariwisata merupakan suatu gerak aktivitas orang untuk sementara waktu keluar dari tempat atau hidup normal mereka. Ciri yang merupakan indikator dari pariwisata adalah adanya unsur perjalanan berpindah dari satu tempat ket tempat yang lain atau tinggal untuk sementara waktu (Demartoto, 2014 :10). Dewasa ini telah berkembang berbagai konsep tentang pariwisata, mulai dari pariwisata konvensional, sport hingga trend baru pariwisata yang berusaha mengembangkan konsep kenyamanan bagi wisatawan muslim untuk berwisata atau berlibur yang dikenal dengan pariwisata halal atau disebut juga dengan pariwisata syari’ah. Beberapa negara yang memiliki destinasi wisata yang bagus dan menarik telah mengangkat konsep pariwisata ini, seperti Malaysia, Dubai, Turki, bahkan negara yang memiliki penduduk muslim minoritas seperti Jepang dan Thailand pun telah mampu meraih keuntungan melalui trend pariwisata halal.
            Potensi Indonesia untuk menjadi pemain utama dunia dalam pariwisata halal atau pariwisata syariah begitu besar. Berdasarkan Global Muslim Travel Index pada 2013 lalu, tingkat kunjungan wisman halal Indonesia berada di rangking keempat di tingkat ASEAN, dengan jumlah kunjungan wisatawan muslim 1,7 juta. Selain itu juga indonesia telah memenangkan predikat pariwisata halal terbaik dalam ajang kompetisi anugerah pariwisata halal terbaik di dubai pada tahun 2016 lalu, dalam hal ini indonesia memenangkan tiga provinsi pariwisata halal yakni, Aceh, Sumatera barat dan NTB.
            NTB yang merupakan propinsi kecil dikawasan nusantara ini yang mana terdiri dari jejeran pulau-pulau kecil yang salah satunya adalah Lombok. Lombok merupakan pulau kecil yang di dalamnya juga memiliki jejeran pulau kecil lainnya yang disebut dengan Gili sebagai sebuah pesona keindahan pulau ini. Pulau ini memiliki banyak pantai – pantai indah yang menjadi daya tarik wisata alam, salah satunya adalah Pantai Senggigi yang dari dulu sudah menjadi primadona pantai di Lombok. Pulau kecil Lombok ini dihuni oleh penduduk yang mayoritas penganut Islam, di pulau ini juga banyak terdapat peninggalan – peninggalan Islam, seperti makam makam para wali pembawa Islam, cerita-cerita perjuangan Islam dan beberapa Masjid kuno bernafaskan sejarah Islam. Menjadi sebuah pulau yang telah mengalami peradaban dengan penduduk yang mayoritas Islam, tentunya masyarakat pulau Lombok khususnya Desa Senggigi yang terletak di Kabupaten Lombok Barat ini memiliki kebiasaan – kebiasaan, adat tradisi yang tidak terlepas dari nilai nilai Islami. Hal tersebut dapat menjadi penunjang utama terlaksananya pariwisata halal di pulau ini. Karena pariwisata akan terus berkembang jika terus dilestarikan oleh aktor-aktor wisata yang bermain di dalamnya. Masyarakat di daerah tujuan wisata adalah aktor yang sangat penting dalam mendukung kelansungan keberdayaan wisata yang ada didalamnya.
Pariwisata halal
            Di beberapa negara di dunia, terminologi wisata syariah menggunakan beberapa nama yang cukup beragam diantaranya Islamictourism, Halal friendly tourism destination, Halal travel, Muslim friendly travel destinations, Halal lifestyle, dan lain-lain. Pariwisata syariah dapat berupa wisata alam, wisata budaya dan wisata buatan yang dibingkai dalam nilai-nilai Islam. Dalam peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat, No 51 tahun 2015, 29 Desember 2015 tentang wisata halal pada pasal 1 nomor 9 mendefinisikan wisata halal adalah kegiatan kunjungan wisata dengan destinasi dan industri pariwisata yang menyiapkan fasilitas produk, pelayanan, dan pengelolaan pariwisata yang memenuhi unsur syariah. Setidaknya ada 6 kebutuhan wisatawan muslim terkait prinsip agama yang seharusnya dapat dipenuhi oleh destinasi wisata yang ingin menjadi destinasi yang ramah muslim diantaranya ialah, makanan halal, masjid dan fasilitas sholat, air bersih, pelayanan untuk yang berpuasa, menghindari aktivitas non halal (judi dan minuman keras), privasi untuk pria dan wanita.
Praktik Pariwisata Halal Masyarakat Senggigi
             Tulisan ini mencoba menggambarkan praktik-praktik pariwisata halal yang dikembangkan oleh masyarakat Desa Senggigi. Penulis akan mencoba mengulas kebiasaan – kebiasaan Masyarakat Senggigi melalui teori praktik sosial Pierre Bourdieu dengan tujuan melihat kebiasaan – kebiasaan masyarakat tersebut sebagai sebuah praktik pariwisata halal yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.
            Bourdieu dalam menjelaskan tentang praktik sosial melalui persamaan generatif sederhananya yakni (habitus x modal) + ranah = praktik sosial. Habitus adalah nilai-nilai masyarakat yang sudah terinternalisasi, permainan sosial yang sudah ditubuhkan (the sosial embodied) yang diubah menjadi kedua alam bawah sadar seseorang. Habitus juga mencakup pengetahuan, pemahaman seseorang tentang dunia yang memberikan kontribusi tersendiri pada realitas dunia. Habitus berkaitan erat dengan modal, karena habitus tersebut berperan sebagai pengganda berbagai jenis modal. Dalam ilmu sosial, modal tidak hanya berwujud finansial semata atau yang disebut dengan modal ekonomi, dalam teori praktik sosial ini modal berkembang menjadi beberapa bentuk diantaranya modal sosial, modal ekonomi, modal budaya dan modal simbolik. Modal sosial adalah hubungan – hubungan serta jaringan hubungan yang merupakan sumberdaya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial. Modal sosial ini dapat berupa kepercayaan, interaksi, resiprositas, norma dan nilai sosial. Modal ekonomi merupakan modal yang dimiliki seseorang berupa materi dan finansial seperti tanah, rumah, perhiasan mobil dan lainnya. Modal budaya berupa bentuk-bentuk pengetahuan, keterampilan, pendidikan dan kelebihan yang dimiliki seseorang yang memberi mereka status yang lebih tinggi di dalam masyarakat. Modal simbolik menunjuk pada modal secara simbolik dimengerti dalam hubungannya dengan pengetahuan. Modal merupakan aset yang dimiliki individu dalam lingkungan sosialnya. Modal ini digunakan untuk menentukan posisidalam suatu ranah. Field (2010) dalam Demartoto (2014) menjelaskan modal harus selalu diproduksi dan direproduksi kembali. Permainan modal-modal tersebut biasanya dilakukan masyarakat atau aktor pemilik modal dalam sebuah arena.    Arena adalah pasar kompetitif yang di dalamnya dikembangkan permainan-permainan modal-modal tersebut. Arena merupakan suatu sistem posisi yang terstruktur yang dikuasai oleh individu atau institusi. Posisi dari individu di arena tersebut ditentukan oleh bobot relatif modal yang dikuasainya. Kemudian terbentuklah praktik yang merupakan hasil hubungan dialektis antara struktur dengan keagenan (individu/kelompok). Menurut Jenkins bahwa dalam praktik, aktor tidak hanya berhadapan dengan situasi yang tengah dihadapinya, melainkan berhadapan dengan situasi lainnya juga, karena mereka adalah bagian yang integral dalam situasi tersebut. Dalam praktik itulah masyarakat tumbuh, belajar dan mendapatkan pengalaman, kompetensi kultural praksis, dan posisi dalam ruang sosial.
            Melalui teori praktik sosial ini dapat digambarkan keadaaan atau fenomena yang terjadi di lingkungan Masyarakat Senggigi yang dapat dikembangkan menjadi sebuah praktik dari pariwisata halal berbasis masyarakat.
            Senggigi merupakan desa kecil yang terletak ditepian Pantai Senggigi, desa ini terdiri dari empat buah dusun, yakni Dusun Mangsit, Dusun Loco, Dusun Senggigi dan Dusun Kerandangan. Masyarakat di masing-masing dusun tersebut mayoritasnya beragama Islam. Terdapat sebuah makam wali di daerah sekitaran Desa Senggigi tersebut yang sering dikunjungi wisatawan untuk berziarah di Makam tersebut. Makam yang ada di kawasan Senggigi ini bukanlah seperti kuburan pada umumnya, namun makam ini merupakan suatu tempat persinggahan dari seorang wali penyebar Islam pada zamannya. Makam tersebut dikenal dengan Makam Batulayar. Selain makam tersebut daya tarik yang alam yang mempesona di senggigi adalah pantainya yang biru dengan ombak yang terlihat eksotis dan hamparan pasir putih yang berkilau seperti mutiara jika terkena sinar matahari. Pesona alam tersebut menjadi sebuah daya tarik alam yang mampu memikat wisatawan dari berbagai belahan negara.
            Berbicara tentang pariwisata seperti yang telah disinggung diatas bahwa pariwisata tentunya perlu dilestarikan dengan melibatkan aktor-aktor wisata di daerah tersebut, terutama masyarakat yang tinggal dikawasan daerah wisata. Dalam hal ini masyarakat Desa Senggigi sebagai aktor wisata juga memiliki peran penting dalam mengembangkan pariwisata di daerahnya demi mendukung keberdayaan dari daerah tersebut, baik dari segi ekonomi, sosial maupun kelestarian budayanya. Budaya yang unik juga dapat menjadi sebuah daya tarik wisata yang mampu menunjang kelestarian pariwisata.
            Dalam konsep pariwisata halal yang dikembangkan oleh pemerintah NTB saat ini, yang mana konsep pariwisata halal ini sangat mengutamakan keamanan dan kenyamanan berwisata bagi para konsumen wisata terutama wisatawan muslim, namun pariwisata halal ini tidak hanya diperuntukkan bagi wisatawan muslim saja akan tetapi wisatawan non muslim pun dapat menikmati sajian dari pariwisata halal tersebut.
            Berbicara tentang praktik sosial Pierre Boudieu biasanya diawali dengan diskusi tentang habitus, habitus yang secara sederhananya diartikan sebagai sebuah kebiasaan yang mana dalam teori ini Bourdieu melihat habitus sebagai pengetahuan, kebiasaan, sikap, watak dan perilaku individu (disposisi) ini juga dimiliki oleh masyarakat Desa Senggigi. Sebagai masyarakat yang mayoritas Islam, tentunya masyarakat Senggigi melandasi habitus yang mereka miliki pada prinsip-prinsip Islam. Adat (aturan/ norma), tradisi dan tindakan yang di aplikasikan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari melambangkan sebuah bentuk tindakan yang mencerminkan prinsip Islami. Seperti yang penulis amati beberapa bulan yang lalu ketika penulis melakukan observasi kecil di daerah ini, tampak seorang ketua RT dengan peci putihnya menyapa wisatawan yang lewat di depan rumahnya, keramahan pak RT tersebut mengundang senyum wisatawan dan sapaan salam (assalamu’alaikum) dari wisatawan mancanegara tersebut. Dari perilaku sederhana tersebut penulis melihat bahwa terlihat simbol Islami dari pak RT tersebut melalui pakaian yang dikenakannya yang mana simbol tersebut dapat ditangkap oleh wisatawan dengan ucapan salamnya, sapaan ramahnya tampak sebagai sebuah kebiasaan yang terus menerus sebagai aktor wisata di kawasan Senggigi dalam menyapa tamu atau wisatawan yang berada dilingkungan tersebut.
            Selain itu juga dilingkungan Senggigi ini terdapat banyak homestay-homestay yang dimiliki oleh penduduk desa sebagai tempat tinggal sementara bagi para wisatawan yang sedang menikmati keindahan alam Senggigi. Dimasing-masing dusun tentunya juga terdapat bangunan Masjid dan Musolla yang menyediakan fasilitas ibadah yang selalu  dijaga kebersihannya oleh masyarakat. Hal ini dalam analisis praktik sosial dapat dilihat sebagai sebuah modal ekonomi yang dimiliki Masyarakat Senggigi untuk menciptakan kenyamanan ibadah wisatawan muslim. Masyarakat juga menyediakan warung-warung makanan yang terjamin kebersihan dan kehalalan makanannya, makanan yang terdiri dari hasil olahan penduduk sebagai suatu khas makanan Lombok sangat disukai oleh wisatawan, seperti sate bulayak, pelecing dan lontongnya, bebalung dan berbagai jenis makanan lainnya. Hal ini merupakan sebuah warisan budaya yang dapat diolah menjadi modal budaya masyarakat Senggigi untuk menciptakan daya tarik wisata halal. Selain itu juga beberapa seni budaya lainnya yang juga bernafaskan Islami seperti tari zikir zaman,peresean dan berbagai tarian lainnya juga sering dipertunjukkan melalui festival seni budaya masyarakat Lombok pada umumnya, yang mana semua itu adalah sebuah skill yang dimainkan masyarakat dalam arena pariwisata halal. Menurut ketua RT yang penulis temui, tidak jarang juga masyarakat Senggigi diundang di beberapa hotel yang ada di Senggigi sewaktu-waktu dalam acara Islami untuk mengadakan pengajian, zikir do’a bersama serta tahlilan bersama yang mana hal tersebut menjadi perhatian juga oleh wisatawan, terkadang beberapa wisatawan sering antusias menanyakan kegiatan yang dilakukan masyarakat tersebut. Salah satu warga ( Ibu Asmiatun) yang penulis temui juga mengatakan,
“Di homestay yang saya kelola (Murni Homstay) banyak dikunjungi wisatawan dari mancanegara, mereka pernah minta saya untuk membuatkan makanan vegetarian, yang saya sediakan sama mereka itu pelecing dan pecel kangkung dan mereka sangat suka, dan waktu lebaran topat kemarin saya mengundang turis-turis itu kerumah, buat makan ketupat dan makanan khas sini, mereka sangat senang dan suka”(Senggigi, 18 juli 2016). 
            Kegiatan Ibu Asmiatun tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu upaya pengembangan modal sosial dan budaya untuk melestarikan konsep wisata halal. Sedang dalam  Modal simbolik yakni yang menunjuk kepada modal yang secara simbolik dimengerti dalam hubungan dengan pengetahuan. Hal ini  dilakukan masyarakat senggigi misalnya dengan menjaga kebersihan di lingkungan masyarakat dan tempat wisata yang dapat menunjukkan sebuah simbol masyarakat Desa Senggigi sangat menghargai kebersihan lingkungan. Dengan memakai pakaian yang rapi misalnya atau bagi penduduk muslim senantiasa berpakaian sesuai dengan tuntunan prisnsip Islami dan Mengucap salam hangat setiap bertemu merupakan salah satu tindakan yang mencerminkan gaya hidup Islami, ini juga dapat menjadi sebuah simbol bagi wisatawan bahwa masyarakat Desa Senggigi sangat menghargai bentuk kehidupan yang didasarkan prinsip Islami.
            Pariwisata halal yang menjadi trend pariwisata saat ini adalah sebuah arena bagi masyarakat Desa Senggigi dalam memainkan modal yang dimilikinya. Potensi-potensi yang terdapatpada masyarakat tersebut merupakan modal yang belum tergali untuk menciptakan pariwisata halal di daerah Senggigi. Habitus – habitus sederhana seperti yang dijelaskan diatas dapat mendukung pengembangan praktik pariwisata halal di Senggigi, Bourdieu menyatakan bahwa habitus  dianggap sebagai bagian dari individu, hal itu berarti habitus antara satu orang dengan orang lain adalah berbeda – beda ( Jenkins, 2013). Oleh karenanya habitus yang dapat meningkatkan kualitas pariwisata di daerah tersebut harus dimanfaatkan dan perlu untuk dilestarikan sebagaimana mestinya.
            Bourdieu berpandangan bahwa habitus terbentuk dari hasil interaksi dengan orang lain, kebiasaan masyarakat merupakan sikap mental atau tindakan yang dilakukan secara tidak langsung merupakan kontribusi dari hasil interaksi dengan individu atau kelompok lain. Dalam kehidupan sehari-harinya juga masyarakat Senggigi ini masih dipengaruhi oleh adat-adat atau tradisi lokal yang berlaku di Desa tersebut, yang mana tradisi itu dilakukan turun temurun sebagai hasil dari interaksi dan internalisasi masyarakat terhadap nilai dan norma yang berlaku. Seperti yang dijelaskan diatas, setiap ada acara selalu diadakan makan bersama diiring dengan tahlilan dan zikir bersama hal ini di sebut masyarakat dengan “roah”, kegiatan ini mencerminkan solidaritas dan keyakinan masyarakat bahwa segala sesuatu yang dilakukan harus di iringi oleh do’a agar apa yang dilakukan tidaklah sia-sia, mendapat berkah dan bernilai ibadah.
            Berkembangnya Senggigi menjadi kawasan wisata tentunya menjadi sebuah persaingan bagi masyarakat dalam memainkan skill yang mereka miliki untuk bertahan diarena pariwisata ini. Dalam konsep pariwisata halal yang dikembangkan pemerintah NTB dengan masyarakat yang belum terlalu faham dengan konsep tersebut namun terlihat menjalani dan memainkan modal yang mereka miliki sebagaimana mestinya. Namun dalam modal yang mereka kembangkan tentunya secara tidak sadar masyarakat sedang memainkan modal-modal yang didalamnya terdapat nilai-nilai atau prinsip yang dibutuhkan dalam konsep pariwisata halal. Seperti makanan halal, fasilitas ibadah, nilai dan norma lingkungan wisata yang islami yang mana hal tersebut dapat mewujudkan keamanan dan kenyamanan berwisata terutama bagi wisatawan muslim.
            Maka dari gambaran diatas penulis dapat melihat terbentuknya praktik praktik pariwisata halal pada masyarakat Desa Senggigi. Hal ini tampak pada habitus – habitus islami masyarakat dilengkapi dengan modal-modal sosial, ekonomi, budaya dan simbolik yang tidak terlepas dari prinsip islam yang dimainkan masyarakat pada ranah pariwisata dikawasan lingkungan Senggigi yang mayoritas penduduknya adalah muslim akan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan pariwisata halal melalui praktik – praktik sosial islami yang dilakukan oleh Masyarakat Senggigi.

Karya: Widiastuti Fikliana, S.Pd
Desa Rensing Raya, Kecamatan Sakra Barat, Lombok Timur

DAFTAR PUSTAKA

  • Demartoto, Argyo. R.B. Soemanto, Nur Indah Ariyani, 2014. Habitus Pengembangan Pariwisata: Konsep Dan Aplikasi. Surakarta. UNS Press. 
  • Jenkins, Ricahard. 2016. Membaca pikiran Pierre Bourdieu. Bantul. Kreasi Wacana. 
  • Slamet, Y. 2012. Modal Sosial dan Kemiskinan. Surakarta. UNS Press. 
  • Andriani, Dkk. 2015. Laporan akhir kajian pengembangan wisata syariah. Jakarta . Deputi Bidang Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan Kementrian Pariwisata. 
  • Bourdieu, Pierre. 2005. (Habitus x Modal ) + Ranah = Praktik. Yogyakarta.Jalasutra. 
  • Peraturuan Gubernur Nusa Tenggara Barat. Nomor 51 Tahun 2015 Tentang Wisata Halal. Http:// www. Wisatadilombok.com. diakses 24 Agustus 2016.

 

Jumat, 17 Februari 2017

Problematika Glokalisasi di Indonesia : Melestarikan Vs Menghilangkan Budaya Indonesia

Globalisasi ??
Apa itu globalisasi ? sepertinya kata tersebut sudah sangat sering terdengar di telingan kita sehari-hari dan sejatinya kita sudah berada di dalam pusaran arus globalisasi tersebut. Globalisasi dipandang oleh Ulrich Beck (2000) dalam  (Suyanto, 2013) yakni suatu proses yang tidak monokausal atau linear (satu arah), melainkan dipahami sebagai proses interaksi yang multidimensional dan multidireksional. Secara sederhana pendapat dari Beck adalah bahwa proses globalisasi itu memiliki interaksi yang sangat kompleks.
Sementara tokoh lain,yakni George Ritzer mendefiniskan globalisasi sebagai proses penyebaran kebiasaan-kebiasaan yang mendunia, ekspansi hubungan yang melintasi benua, organisasi dari kehidupan sosial pada skala global, dan pertumbuhan dari sebuah kesadaran global bersama (Ritzer, 2006: 96). Gagasan tentang globalisasi mencakup sejumlah proses transnasional yang dapat dipisahkan satu sama lain. Lebih jauh lagi, Anthony Giddens menyebut globalisasi sebagai suatu proses yang dialektis (Kristiatmo, 2007: 77). Sebagaimana dikatakan oleh Giddens bahwa globalisasi merupakan suatu proses yang dialektis, maka muncul anti-tesis terhadap globalisasi, khususnya glokalisasi. Apa itu glokalisasi ?
Glokalisasi ??
Glokalisasi (Suyanto, 2013) adalah konsep yang dilahirkan paradigma hibridasi budaya yakni percampuran budaya sebagai akibat dari globalisasi dan produksi, semacam budaya hibridasi yang unik, yang tidak bisa direduksi secara hitam putih sebagai budaya lokal maupun global.
Menurut Roland Robertson (2001) dalam (Suyanto, 2013), unsur-unsur penting dalam proses glokalisasi, antara lain : pertama, dunia sedang berkembang menjadi lebih pluralistis. Kedua, para individu dan semua kelompok lokal memiliki kekuatan yang luar biasa untuk beradaptasi, berinovasi, dan bermanuver di dalam sebuah dunia yang mengalami glokalisasi. Teori glokalisasi memandang individu dan kelompok lokal sebagai agen sosial yang penting dan kreatif. Ketiga, semua proses sosial bersifat saling berhubungan dan bergantung satu dengan lainnya. Keempat, komoditas dan media tidak dipandang (sepenuhnya) koersif, tetapi tepatnya menyediakan materi untuk digunakan dalam ciptaan individu atau kelompok di seluruh dunia yang mengalami glokalisasi.
Sederhananya glokalikasi merupakan proses penawaran/masuknya produk global dengan memperhatikan isu lokal yang ada. Produk global ini tetap memanfaatkan global-brand yang dimilikinya, namun melakukan adaptasi sesuai dengan konteks budaya lokal yang ada. Perubahan yang dilakukan tidaklah selalu berupa produk, melainkan dari segi strategi pemasaran untuk menarik pasar baru.
Serba-Serbi Glokalisasi di Sekitar Kita
Glokalisasi muncul sebagai efek dari globalisasi, dimana di dalamnya terdapat penyesuaian dengan budaya atau kebiasaan masyarakat setempat yang terkena terpaan global. Secara umum glokalisasi dapat dilihat sebagai upaya untuk menunjukan identitas kelokalan kita, tapi di sisi lain, glokalisasi menjadi alat untuk masuknya budaya global.
Beberapa hal sebagai contoh fenomena glokalisasi di Indonesia anatara lain, sajian KFC dengan rasa pedas, McD dengan sajian rasa balado, kemudian steak yang disantap menggunakan nasi, batik yang dipadukan dengan klub-klub bola luar negeri.
 

KFC merupakan produk luar negeri yang masuk ke Indonesia layaknya McD yang berkonsep makanan siap saji. Rasa pedas pada varian KFC merupakan adopsi dari identitas masyarakat Indonesia yang gemar akan rasa pedas, demikian pula dengan burger balado, karena balado merupakan salah satu jenis keanekaragaman kuliner di Indonesia. Beberapa daerah mengenal sajian steak yang disantap beserta nasi, iya, orang Indonesia yang memiliki semacam sugesti bahwa “kalau belum makan nasi itu bukan makan namanya”, makan nasi di Indonesia bukan sekedar kebutuhan tetapi sudah membudaya, meskipun sebagian daerah di Indonesia memiliki makanan pokok bukan nasi (papeda). Batik juga merupakan hasil kreasi budaya milik Indonesia khas Jawa, Batik memang sudah merambah ke dunia internasional, sehingga tidak jarang aksesn batik digunakan oleh beberapa brand dunia.
Adopsi nilai-nilai global yang kemudian di kombinasikan dengan budaya-budaya lokal merujuk pada upaya penyeimbangan antara budaya global dan budaya lokal. Untuk maksud tersebut identitas ke-Indonesiaan harus  mengandung unsur universal yang dapat diterima dunia dan pada saat yang sama menunjukkan keunikan hanya ada di Indonesia. Hal itu berarti kita harus mencari nilai tertinggi yang ada dalam budaya ini yang bisa diangkat sebagai milik dunia.
Kemunculan glokalisasi tidak semata merupakan reaksi alami atas masuknya budaya global, tetapi dari sudut pandang ekonomi, fenomena glokalisasi dapat dikatakan merupakan hal yang sengaja diciptakan sebagai sarana marketing atau pemasaran produk. Suatu pertimbangan yang sulit dilakukan karena budaya lokal Indonesia selalu memiliki makna yang tinggi dan dengan posisinya yang sangat di hargai sekaligus sebagai hal yang mahal sehingga budaya lokal dapat digunakan sebagai jalan yang mudah diterima masuknya budaya global melalui wajah glokalisasi.
Jadi, Glokalisasi : Melestarikan atau Menghilangkan identitas Indonesia ??Perkara tersebut sedikit pelik karena dengan hadirnya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang menuntut adanya keunikan tersendiri dan memasarkannya ke berbagai negara hingga ranah global. Kebijakan yang akan sulit bagi Indonesia apabila tidak menunjukkan identitas sebagai daya tarik tersendiri diantara produk-produk pasar bebas lainnya.
Beberapa perusahaan multinasional atau bisnis waralaba seperti McD, KFC, Pizza Hut memiliki strategi dalam hal “menaklukan lidah” orang Indonesia, yaa...dengan cara memberikan inovasi rasa Indonesia, sehingga konsumen merasakan adanya perceived image yang positif terhadap produk-produk luar sehingga secara disadari atau tidak budaya global akan mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat, bahkan mendapatkan suatu added value atas upaya yang dilakukan oleh perusahaan atau waralaba asing.
Jika ditelisik lebih jauh tentang bagaimana glokalisasi terjadi, sempat terpikirkan adakah kemungkinan bahwa budaya Indonesia akan semakin terkomodifikasi. Kembali pada realitas masuknya budaya global, sangat erat kaitannya dengan suatu mekanisme yang disebut promosi, menurut Marshall McLuhan (Bungin, 2008) mengatakan, “kecenderungan yang tetap dari periklanan (promosi) adalah menyatakan produk sebagai sebuah bagian yang integral dari berbagai tujuan dan proses sosial yang luas”. Artinya promosi menjadi cara untuk menunjukkan hal-hal domestik ke dunia publik.
Melalui tulisan ini saya tidak mendikte tentang bagaimana kita harus melestarikan budaya lokal. Unsur ke-Indonesiaan tentu harus menjadi karakter bagi pemilik budaya tersebut, kita tidak hanya mengakui adanya suatu budaya tetapi benar-benar menunjukkan sebagai jati diri yang menjiwai budaya tersebut. Glokalisasi yang mengimplementasikan akses lokal dalam upaya menyebarkan globalisasi menjadi hal yang  harus di pahami betul-betul, karena kita pada posisi untuk melestarikan dan mem-filter budaya Indonesia yang dipublikasikan ke dunia global.
Dalam gambaran Roland Robertson (Featherstone, 1995: 25) dalam (Bungin, 2008) menjelaskan, kehidupan masyarakat di masa mendatang, tidak lagi dibatasi pada persoalan global ataupun persoalan lokal, akan tetapi kedua persoalan itu menjadi satu, yaitu dunia ini terdiri dari bagian-bagian kecil yang berinteraksi secara global melalui tata hubngan informasi, membentuk cybernetic raksasa.
Dapat diprediksi masa depan budaya lokal tidak lagi bersifat personal, eksklusif dan sakral tetapi akan menjadi bagian dari sebuah entitas global yang homogen, sporadis dan menjadi aksesoris bagi siapa saja yang mengenakan. Mungkin konsep melestarikan akan melebur pada tujuan produksi dan semakin banyak budaya yang menjadi komoditas. Namun dikatakan hilang pun tidak bisa, karena secara kongkret budaya lokal masih ada, hanya saja entitas budaya lokal berada pada posisi yang dikotomis, dimana fungsi nilai dan fungsi nilai saling mensupport mengakarnya budaya globalisasi.
Kesimpulan
Dari burger ke balado layaknya dua dimensi yang sangat jauh dan berbeda konsep namun menyatu dalam satu gigitan siap saji di McD Indonesia. Sebuah gambaran yang jelas untuk mengartikan konsep glokalisasi, merujuk pada adopsi budaya lokal dalam produk global sebagai bentuk lain dari globalisasi.
Dua entitas yang di masa depan nanti tidak bisa dipisahkan menjadi masing-masing bagian personal, melainkan saling melebur dan beriringan di bawah payung modernisasi. Sebagai bangsa Indonesia, saya pribadi tidak bisa mengatakan hal tersebut merupakan upaya pelestarian maupun penghilangan. Hemat saya, budaya lokal saat ini berada dalam posisi ambivalensi disatu sisi budaya semakin dikenal oleh masyarakat dan memiliki dampak penerimaan yang besar dengan adanya local branding yang diusung, namun di sisi lain, mulai pudarnya keunikan dan eksklusivitas budaya lokal karena tidak ada batasan untuk menjangkau budaya tersebut dalam konteks ruang maupun waktu.
Budaya semakin tenar dan semakin kehilangan makna, sama seperti ungkapan kasih sayang, semakin sering diucapkan maka semakin hambar rasanya dan menjadi biasa. Analogi yang dapat menggambarkan glokalisasi, semakin sering budaya di komodifikasikan maka masyarakat akan semakin tercerabut dari akar budayanya yang moralis kemudian perlahan berubah menjadi masyarakat “materi” dan kosmopolitan.


Karya: Dani Bina Margiana, S.Sos
Mahasiswi Pascasarjana Sosiologi UNS
 
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Prof. Dr. H. M. Burhan, S.Sos, M.Si. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa : Kekuatan Penhgaruh Media Massa, Iklan Televisi, Dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L.Berger & Thomas Luckman. Jakarta : Prenada Media Group.
Kristiatmo, Thomas. 2007. Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan: Pengantar Memahami Subjektivitas Modern Menurut Perspektif Slavoj Zizek, Yogyakarta: Jalasutra.
Kompasiana, 2014. Kami Tidak Lupa Indonesia. Yogyakarta : Bentang Pustaka.
Ritzer, George. 2006. The Globalization of Nothing: Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi Ekonomi : Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme Edisi Pertama. Jakarta : PT. Kharisma Putra Utama.

Kamis, 16 Februari 2017

Undangan Menulis Artikel Ilmu Sosiologi


Silahkan klik sistematika penulisan, Apa bila ada yang kurang jelas silahkan tanyakan dengan berkomentar dan kami akan membalasnya. Terimakasih.