Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Jumat, 25 Agustus 2017

Temu Nasional Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik se-Indonesia (ILMISPI) 2017

 Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional ILMISPI 2017



Temu Nasional ILMISPI 2017



Minggu, 13 Agustus 2017

Sosiologi Pesantren : Menumbuhkan Solidaritas Santri dengan Berwirausaha

Fenomena solidaritas sosial telah banyak menyita perhatian para pemikir sosial. Salah satunya adalah Emil Durkheim. Dia menjelaskan tentang solidaritas sosial lewat karyanya yang sangat terkenal, yakni Division of labour in Society. Durkheim dalam Ritzer (2012) membagi solidaritas sosial kedalam dua jenis yaitu solidaritas Mekanik dan Organik. Jauh sebelum Emile Durkheim mencetuskan konsepnya tentang solidaritas sosial ini, ada satu ilmuan dari timur yang juga memiliki konsep solidaritasyang sama, beliau adalah Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun juga membagi konsep solidaritas sosialnya, Ashabiyah, menjadi dua jenis yaitu solidaritas masyarakat Badui dan kota.

Kesadaran kolektif adalah apa yang mendasari solidaritas sosial (Soekanto, 2014). Rasa kebersamaan dan kepercayaan yang mereka jalin diantara masyarakat hanya terjadi dalam solidaritas mekanik. Namun berbeda dengan masyarakat dengan solidaritas organik, tetapi tidak sebesar masyarakat solidaritas mekanik. Pandangan mereka lebih luas dari pada masyarakat sebelumnya. Peranan mereka juga jauh lebih bervariasi sehingga muncullah banyak inovasi kehidupan terutama dalam bidang pekerjaaan. Kojiro berpendapat bahwa penduduk menetap (ahl al-hadhar) hanya terpusat pada segala macam kesenangan. Hal ini dikarenakan mereka terbiasa dengan kemewahan dan kejayaan duniawi dan nafsu dunia. Oleh karena itu, mereka kehilangan kontrol diri atau solidaritas mereka melemah.Solidaritas yang ada dalam masyarakat ini mulai mengendur dan tidak kuat saat solidaritas yang berakar pada kerja sama dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok sudah mulai tergantikan oleh kebutuhan sekunder.

Agama merupakan hal yang sangat abstrak dalam masyarakat, ia tak berwujud. Masyarakat memiliki kepercayaaan kepada agamanya karena adanya kesadaran kolektif yang mempercayainya. Selain itu pengalaman kolektif juga menjadi menjadi indikasi eksistensi dari agama tersebut. Ketika masuk era modern maka kesadaran kolektif mulai menurun karena tingkat pembagian kerjan sudah kompleks. Sehingga masyarakat mulai terpecah berdasarkan spesialisasi masing-masing. Hal ini lah yang membuat kepercayaan mengenai agama mulai berkurang, karena kolektivitas sendiri juga mulai melemah. Agama disini menjadi ide belaka saja dalam kehidupan masyarakat.

Salah satunya Pondok Pesantren Al-Wahid salah satu Pondok Pesantren yang ada di Yogyakarta yang berdiri 10 tahun yang lalu. Pondok Pesantren ini memang tidak besar seperti Pondok Pesantren lainnya. Tapi Pondok Pesantren tersebut mengajarkan banyak hal mengenai kegiatan sosial serta makna kehidupan. Disisi lain gelar santri yang disandang anak didiknya tersebut tidak menjadi halangan untuk selalu berkarya dan berkiprah baik dibidang akademik maupun non akademik.

Tugas dan tanggung jawab menjadi seorang santri serta pelajar merupakan tugas yang sangat tidak mudah, Apalagi jenjang umur yang berbeda membuat para santri untuk belajar saling menghargai serta saling memberikan motivasi baik sesama maupun dengan juniornya. Sebagai seorang yang terpelajar mengharuskan seorang santri harus berprestasi disekolahnya masing masing. Tapi, dari sudut pandang yang lain seorang santri harus mempertanggung jawabkan gelar santri didalam sekolahnya dengan berbuat baik serta rajin ibadah untuk menjadi teladan siswa-siswi lainnya.

Dalam kesehariannya mereka mengenyam pendidikan yang berbeda – beda mulai dari Tk, SD, SMP, MA, Kuliah. Dengan perbedaan para santri hidup berdampingan dengan berbagai macam kegiatan yang ada di Pesantren. Sehingga muncullah kesadaran kolektif seperti yang menunjuk pada totalitas kepercayaan – kepercayaan yang rata-rata ada pada masyarakat yang sama yaitu mempunyai pekerjaan dan pengalaman yang sama sehingga banyak pula norma-norma yang dianut bersama. Pekerjaan yang dimaksud disini merupakan bentuk kegiatan dari santri seperti piket bersama, Ngaji Qur’an, dan memanfaatkan waktu liburan dengan berwira usaha. Terkhusus pada santri yang sedang menempuh jenjang pendidikan S1 mereka memanfaatkan waktu liburan dengan membantu usaha yang dijalankan pondok tersebut diantaranya membuka warung makan, membuka pusat oleh-oleh haji  dan busana muslim.

Dalam menjalankan wirausaha tersebut manajemen diserahkan kepada santri sepenuhnya dengan harapan, para santri dapat belajar memanajemen usaha tersebut dengan baik. Sehingga muncul pembagian kerja diantaranya ada yang bertugas menjadi kasir, masak, mengontrol barang keluar – masuk dll. Pelajaran serta pengalaman ini lah yang tidak dapat diperoleh didunia pendidikan. Maka timbul kerjasama dan rasa saling bertanggung jawab atas tugas yang ia peroleh. Sehingga kerja sama yang dibentuk bukan merupakan kesamaan profesi, akan tetapi karena adanya ketergantungan yang tinggi dalam suatu perusahaan ataupun industri pabrik.

Munculnya perbedaan pembagian kerja antar individu yang kuat dapat mengambil peran yang tadinya di isi oleh kesadaran kolektif bersama dapat menjadi hubungan kontraktual dalam masyarakat. Menurut George Ritzer (2012) “ Solidaritas organik dipersatukan oleh perbedaan-perbedaan di antara orang orang, oleh fakta bahwa semuanya mempunyai tugas-tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Sedangkan menurut Durkheim masyarakat organik “dipersatukan oleh spesialisasi orang-orang dan kebutuhan mereka untuk layanan-layanan dari banyak orang”. 

Sehingga dapat disimpulkan bahwa teori yang dikemukakan oleh George Ritzer dan Emil Durkheim masih sangat relevan untuk masa saat ini. Dengan contoh diatas sehingga dapat menambah wawasan dalam mengaplikasikan sebuah teori tersebut.

Cat: Tulisan ini adalah Hasil Mini Research di Pondok Pesantren Al-Wahid Bantul Yogyakarta.

Daftar Pustaka 
  • Ritzer, G. 2012. Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Soekanto, S. 2014. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Karya : Lailatul Chodriyah
Mahasiswi Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selasa, 01 Agustus 2017

Kritik Terhadap Perspektif Labelling Dalam Studi Masalah Sosial

Manusia diciptakan sebagai makhluk multidimensional, memiliki akal pikiran dan kemampuan berinteraksi secara personal (individu) maupun secara sosial. Namun dalam konteks sosial-budaya, manusia tidak dapat hidup sendiri, mereka membutuhkan manusia lain untuk saling berhubungan dalam pemenuhan kebutuhan fungsi-fungsi sosial satu dengan lainnya. Dalam Bungin (2013:25-26) juga menyatakan bahwa fungsi-fungsi sosial yang diciptakan oleh manusia ditujukan untuk saling berkolaborasi dengan sesama fungsi sosial manusia. Meskipun dalam beberapa kondisi, manusia dengan kecerdasannya dapat pula memisahkan fungsi-fungsi tersebut berdasarkan pada kepentingan, kebutuhan serta kondisi sosial yang mengitarinya. Dalam hal pelabelan misalnya, seperti identitas di KTP, sebutan untuk perilaku tertentu yang menyimpang, sebutan atau ungkapan sopan dalam kebiasaan, sebutan pintar dan bodoh dalam belajar, bentuk pelabelan tersebut tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan menjadi berpengaruh bagi manusia lainnya. Itulah sebabnya mengapa perilaku, tindakan, serta fungsi yang dimiliki oleh manusia satu dengan manusia lainnya sampai kapanpun akan selalu memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia lainnya.

Pelabelan dalam interaksi sosial manusia dipusatkan pada reaksi orang lain. Dalam hal ini setiap orang yang memberikan definisi, pemberi label (difiners/ labelers) menganggap sesuatu yang dilabelkan olehnya kepada individu-individu lain adalah sesuatu yang cenderung bersifat negatif. Misalnya dalam konteks penyimpangan, penyimpangan saat ini tidak lagi ditetapkan oleh aturan norma, melainkan melalui reaksi dari penonton sosial yang akhirnya membentuk opini publik (Narwoko dan Suyanto, 2010:115).  Realitas hari ini menunjukkan konsep pemberian label berlangsung dalam kehidupan kita sehari-hari. Disadari atau tidak disadari, besar atau kecil, labelling menentukan sikap dan kondisi kita saat ini.  Dalam perkembangannya, pemberian label yang sering kita temui adalah cenderung bersifat negatif dan tertuju pada individu yang dianggap menyimpang oleh suatu kelompok masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka menjadi menarik jika membahas lebih lanjut bagaimana perspektif labelling itu sendiri serta pengaruhnya dalam kehidupan.

PERSPEKTIF LABELLING (TELAAH & KRITIK)

Perspektif labelling merupakan suatu pendekatan yang relatif baru dalam studi tentang masalah sosial. Perspektif ini didasari oleh teori interaksionisme simbolik, yang berkonsentrasi pada proses sosial sekitar penyimpangan. Interaksionisme simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dengan interaksi, serta inti dari pendekatannya adalah individu (Poloma, 2004:274). Dalam interaksionisme simbolik makna dan simbol yang diberikan akan memberikan dampak terhadap tindakan dan interaksi manusia (Ritzer dan Goodman, 2008:293). 

 Perspektif Labelling mempunyai beberapa cara pandang yang berbeda dengan perspektif-perspektif lainnya dalam memandang suatu masalah sosial. Sebagai contoh, jika dalam perspektif lain kejahatan dipandang sebagai sebuah masalah sosial dengan menanyakan bagaimana sebuah kejahatan tersebut dapat terjadi berdasarkan kriteria serta ukuran yang baku, maka dalam perspektif labelling kejahatan dilihat berdasarkan pendekatan subjektif. Sehingga fokus dari perspektif ini adalah lebih kepada bagimana suatu kejahatan tersebut didefinisikan sebagai masalah sosial/  penyimpangan (Julian, 1986:14). Oleh karenanya dalam perspektif ini masalah sosial menjadi relatif, tergantung pada interprestasi serta makna yang diberikan oleh seseorang atau kelompok masyarakat.

Menurut Becker (1963) dalam Narwoko dan Suyanto (2011) menyebutkan tindakan perilaku menyimpang sesungguhnya tidak ada. Setiap tindakan sebenarnya bersifat “netral” dan “relatif”. Hal ini mengandung makna tindakan itu bersifat relatif, tergantung pada sudut padang orang yang menilainya. Sebuah tindakan disebut perilaku menyimpang karena orang lain atau masyarakat memaknai dan menamainya sebagai perilaku menyimpang. Penyebutan tindakan sebagai sebuah penyimpangan sangat bergantung pada proses deteksi, definisi, dan tanggapan seseorang terhadap sebuah tindakan. Howard mengatakan sekelompok sosial yang melahirkan penyimpangan dengan cara melawan aturan yang ada di masyarakat itu sendiri. 

Diinspirasi melalui pelopor teori labelling Lemert dan interaksionisme simbolik dari Herbert Mead, Howard Becker (1963) mengembangkan perspektif labelling dengan menekankan kepada dua aspek, yaitu: 1) Penjelasan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu sampai diberi cap ataupun dilabel sebagai orang yang meyimpang, 2) Pengaruh label itu sendiri adalah sebuah konsekuensi penyimpangan tingkah laku. Dalam artian seseorang bisa sungguh-sungguh menjadi menyimpang jika orang tersebut diberi cap meyimpang. 

Aspek pertama seperti yang dikemukakan Lemert dalam Sunarto (2004), menyatakan bahwa labelling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut. Oleh karenanya labelling merupakan suatu perspektif yang muncul akibat reaksi masyarakat terhadap perilaku seseorang (Nitibaskara, 1994). Sedangkan pada aspek kedua, pengaruh yang ditimbulkan, pemberian label atau labelling ini kemudian merupakan salah satu penyebab seseorang melakukan penyuimpangan sekunder yang mana mereka mendapatkan citra diri atau definisi diri yang permanen. Disisi lain, seseorang yang diberikan label akan cenderung melakukan tindakan-tindakan lain yang juga termasuk ke dalam tindakan peyimpangan primer, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian label tersebut. Dalam hal ini seseorang yang diberikan label akan berusaha menghilangkan label yang diberikan, meskipun pada akhirnya mereka cenderung melakukan penyimpangan yang lain  (Martine, 2008). Berdasarkan kedua aspek tersebut, maka kemungkinan penyimpangan tingkah laku (kejahatan) yang pada akhrinya akan membentuk karir kriminal seseorang bisa jadi mengalami peningkatan. 

Mereka yang telah diberikan label menyimpang ini kemudian pada akhirnya akan menjadi perhatian orang-orang sekitarnya, hingga mengarah pada dua konsep yang juga dijelaskan dalam perspektif labelling seperti yang dijelaskan dalam  Azwar (2009), yaitu: 1) Master Status, label dominan atau permanen seperti yang telah dijelaskn di atas, pada akhirnya mengarah pada suatu keadaan yang disebut dengan master status. Hal ini mengarah tentang bagaimana karakteristik orang yang diberikan label tersebut terlihat dalam suatu kelompok masyarakat. Bagi sebagian orang label yang telah diterapkan, atau konsep diri yang telah melekaat, mereka akan menerima dirinya seperti apa yang telah dilabelkan kepadanya. Tentu hal ini kemudian akan membuat keterbatasan bagi seseorang yang diberi label tersebut dalam bertindak bahka mengaktualisasikan dirinya. 2) Deviant Carres, pada konsep ini seseorang yang diberi label telah benar-benar bersikap dan bertindak seperti label yang diberikan kepadanya secara penuh. Pada tahapan ini si pelaku penyimpangan atau pelanggar aturan sudah ditetapkan menjadi devian penuh (outsider).

Berdasarkan paparan yang telah disebutkan di atas mengenai perspektif labelling yang lebih mengarah kepada perilaku menyimpang, menurut hemat penulis persepktif ini kurang mendalam pada telaahnya dalam menjelaskan munculnya perilaku menyimpang itu sendiri. Perspektif ini tidak menjelaskan tahapan-tahapan secara konkret mengenai kapan dan bagaimana suatu perilaku itu dapat dikatakan menyimpang. Hal ini barangkali berangkat dari perspektifnya yang memang berada pada tataran penilaian subjektif. Penilaian yang dilakukan secara subjektif dalam hal ini kemudian menolak aturan baku ataupun aturan norma yang ada dalam masyarakat. Padahal setiap individu merupakan bagian dari masyarakat yang tidak lepas dari struktur sosial serta aturan norma yang telah disepakati, mengikat dan mendasari tata cara berperilaku pada suatu kelompok masyarakat. Hal ini mengartikan bawah struktur sosial dan aturan norma seharusnya juga menjadi rujukan dalam melihat, menilai, serta memaknai suatu perilaku, untuk kemudian memutuskan suatu perilaku itu disebut menyimpang. Sebagai contoh misalnya Festival Omed-Omedan (festival ciuman massal ala anak muda di Bali). Aksi ini bagi masyarakat Bali bukan merupakan aksi bugil dan bukan pula aksi pornografi, melainkan merupakan tradisi yang diselenggarakan setiap tahun untuk untuk melestarikan warisan leluhur. Pernah suatu waktu omed-omedan tidak dilaksanakan dan muncul musibah yang ditandai dengan perangnya 2 ekor babi di Banjar Kaja. Kemudian para sesepuh desa memutuskan untuk langsung menggelar prosesi omed-omedan untuk menjauhkan desa dari bencana yang lebih besar. Jika melalui perspektif labelling yang memandang suatu permasalahan sosial dianggap menyimpang dilakukan secara subjektif, maka barangkali festival ini akan dianggap menyimpang bagi sebagian masyarakat dari suku, budaya, serta agama yang berbeda dengan masyarakat Bali. Tetapi dari segi aturan norma, festival omed-omedan bukanlah suatu perbuatan menyimpang tetapi warisan leluhur yang harus dilestarikan.

Dalam hal lainnya, perspektif ini juga bersifat deterministik dan menolak pertanggungjawaban individual yang dikenai cap/ label oleh labelers. Sebagai contoh penjahat, penjahat (sebutan bagi pelaku menyimpang) bukanlan robot yang pasif dari reaksi masyarakat, hingga kemudian menerima begitu saja label yang diberikannya. Masih ada penyimpangan tingkah laku lainnya yang sudah secara interistik merupakan kejahatan, seperti memperkosa seorang perempuan, membunuh, dan lain-lain. Hal ini kemudia menjadikan perspektif ini kemudian tidak berlaku bagi semua jenis perbuatan menyimpang. Oleh sifatnya yang bersifat relatif, netral, dan bergantung pada tindakan subyektif, perspektif ini kemudian menjadikan siapa saja seakan-akan dapat memberikan cap/ label kepada siapapun tanpa ada rasa takut akan diberikan sanksi jika label yang diberikannya ternyata salah. Misalnya saja mereka yang memiliki kekuatan dan penguasaan sarana dapat dengan mudah membentuk opini publik dan akan terus merasa bebas dalam memberikan label hingga memunculkan konstruksi sosial bagi kelompok masyarakat yang dipengaruhinya. Tentu hal ini menjadi sangat tidak wajar, karena berpotensi akan memunculkan masalah sosial berupa konflik pertentangan dari mereka yang diberikan label.

Jika penyimpangan tingkah laku hanya merupakan persoalan reaksi masyarakat, maka bagaimana dengan bentuk penyimpangan tingkah laku yang tidak tampak atau tidak terungkap dari pelakunya. Perspektif ini mengabaikan faktor penyebab awal dari munculnya penyimpangan tingkah laku. Perspektif ini selalu beranggapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan  tampak argumentasinya adalah cap diletakan secara random (sesuai dengan interprestasi orang yang melihatnya). Hal ini kemudian menjadikan kejahatan yang sangat seriuslah atau yang terlihatlah memperoleh reaksi masyarakat hingga sampai persoalan pemberian cap. Jika memang seperti ini, lantas bagaimana suatu perbuatan menyimpang atau kejahatan yang sifatnya kecil atau tidak  terlihat?  Melalui sudut pandangnya perspektif labelliing ini sangat empatis pada korban atau devian, dan menempatkan masyarakat sebagai institusi pemberi label, seakan-akan masyarakatlah yang menjadi faktor penyebab awal masalah sosial itu terjadi. Padahal masih banyak faktor lain yang perlu pula untuk dijelaskan. 

KESIMPULAN
Perspektif labelling menganggap masyarakat sebagai agen opini pemberi label, padahal hakekatnya menjadi pertemuan yang disengaja atau tidak, individu yang diberi label juga memiliki keunikan (inheren) dalam bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri. Jika cara pandang perspektif yang dilakukan secara subjektif ini dilakukan tanpa adanya ukuran baku, maka tidak menutup kemungkinan pula rasa seperti teralienasi serta eksklusion yang dirasakan oleh seseorang yang diberikan label akan semakin meningkat.

REFERENSI
Bungin, Burhan. (2013). Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana

Azwar, S. 2009. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya (Edisi ke 2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Julian, Joseph. 1986. Social Problem. New Jersey: Prentice-Hall

Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. 2010. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Ketiga. Jakarta: Prenada Media Group

Nitibaskara, T.R. 1994. Psikologi Hukum. Jakarta: Jayabaya University
Poloma, M. Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Media Group

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia


Marini Kristina Situmeang
Email:  marinikristinasitumeang@gmail.com






Menakar Fakta Dibalik Perdebatan Islam Dan Etika Medik Pelayanan Kesehatan Di Indonesia (Studi Kasus Di Kota Makassar)

I. PENDAHULUAN
Imhotep dari Mesir, Hipocrates dari Yunani, dan Galenus dari Roma adalah pelopor Kedokteran Kuno yang menarapkan sendi-sendi permulaan untuk terbinanya suatu tradisi kedokteran yang mulia. Etika berlaku sepanjang masa dengan menjamin keselamatan manusia dan kepentingan penderitanya (Pasien). Etik ini menghadirkan prinsip benefince (kemurahan hati), non melefience (tak mencelakai), autonomy (mandiri), dan Justice (keadilan)  . Namun hingga hari ini masih saja ada perdebatan soal kredibilitas paramedis dalam profesionalisme tanggung-jawabnya, khususnya di Indonesia.

Seiring zaman, dengan hadirnya (Agama) Islam, berkat perjuangan seorang Muhammad SAW sejak kurang lebih Tahun 613 Masehi hingga wafatnya (632 Masehi), Islam berhasil berkembang dan berevolusi menjadi suatu agama yang memiliki daya pikat peradaban sebab memiliki dasar hukum dan etika kehidupannya yang kuat, adil dan toleransi,  serta berkembang dinamis seiring zaman saat ini, olehnya mengapa Islam menjadi salah satu agama terbesar diantara agama lainnya. Al Quran sebagai kitab suci Islam berisi kumpulan wahyu ilahi yang diturunkan kepada nabi Muhammad selama kurang 23 tahun  . Al quran sendiri adalah kitab risalah unik yang berisi tentang sejarah, hukum, ilmu alam, bahkan ramalan masa depan yang luar biasa yang menjadi pekerjaan rumah bagi para kaum Atheis tuk membuktikannya. Demikian pula pada ilmu sosial, Al Quran hadir menawarkan teori, empiristik dan solusi yang mampu menjawab semua realitas masalah kehidupan. Keajaiban Al Quran dalam menjawab kisruh perdebatan ulama dan pekerja kesehatan dapat kita lihat dalam penjabarannya nanti. 
Sejak masa perkembangan Islam, di Asia Tengah pun mulai banyak melahirkan pakar medis dari kaum muslim, sebut saja Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi / Rhezes (864-930), dan Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina / Avicenna (980-1037) yang pada akhirnya berhasil menyusun kapita selekta Kedokterannya yakni Al Qanun fi At Tibb (The Book of healing / Canon Medicine) dan Ibnu Al-Nafis (1210-1288) yang karyanya berhasil diadopsi Eropa dalam ilmu sirkulasi darah. Seiring berkembangnya dunia keilmuan kedokteran, etika dalam pelayanan tetap menjadi sandaran khusus, sebagaimana peran dokter Yunani Hipokrates (460 SM-370 SM) dalam menjunjung tinggi arti sumpah sebagai ikatan khusus seorang tabib / dokter dalam memegang teguh pengabdiannya. Ini wajar, sebab dari Hipokrates lah yang memodernisasi penjaminan kesehatan manusia dari pengaruh ideologi takhyul menjadi peran manusia sepenuhnya. Sebagai murid teladan Phyatgoras (570 SM-495 SM), ia mendeskripsikan bahwa penyakit bukanlah sesuatu yang alami dan takhyul melainkan ada penyebabnya. Maka dari ia-lah berkembang ilmu patologi yang menjadi induk dari semua ilmu kedokteran, hingga diteruskan pada penerusnya hingga ke Asia tengah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Durkheim sedikit membuka cakrawala sosiologis kita menerangkan Agama tak harus dipandang sebagai kualitas supranatural (Sacred) tapi juga sesuatu yang dipandang dalam kesehariannya (Profane). Hal ini menguatkan posisi agama harus menjadi bagian dari hukum dan kajian kritis dalam sebuah fondasi peradaban. Seperti halnya Islam. Islam kini bukan saja sebagai agama spiritual, tapi menjadi fondasi hukum yang mengatur setiap kehidupan pengikutnya. Olehnya itu Islam menjadi pilihan dalam pengkajian kontroversial paradigma masyarakat dalam berkembangannya pelayanan kesehatan di masa depannya. Namun sayangnya ditengah berkembangnya sistim pelayanan kesehatan yang selalu disesuai dengan etika Kedokteran, Islam (Agama)  hadir menjadi penghalang bukan sebagai solusi yang harus diharapkan bagi setiap penggagasnya. Olehnya itu Islam (Agama) harus mampu tampil progresif dan adaptatif dalam setiap perubahan sosial agar mendapat tempat dalam zaman dan menjadi panutan dan pegangan norma dan nilai spritual bagi setiap pengikutnya. Mengutip pemikiran Tan Malaka bahwasanya masalah hadir tidak dengan sendirinya, sebab problema hadir karna adanya suatu perjumpaan titik dari dua jalan. 

Dengan lahirnya pandangan baru agama (Islam) dan setiap tafsirannya, kontradiksi pelayanan tabib (medis) pada masyarakat senantiasa diamati dan dikritisi. Hal ini tak terlepas sensitifitas hubungan sosial yang sangat ketat diatur dalam adab Islam sesuai Firman Quran dan Hadist Rasul (Muhammad SAW). Pria dan wanita adalah dua makhluk yang diikat dalam hukumnya tersendiri, dimana tak semua orang tak boleh bebas berhubungan seksual, sebab Islam melarang mereka yang memiliki hubungan darah atau persusuan saling berhubungan dan memiliki keturunan, bahkan hubungan baur yang dapat menimbulkan syahwat yang tak seharusnya (kecuali dalam ikatan pernikahan). Demikian Islam begitu detail dalam ikhtiarnya menata adab sosial agar tidak terjadi kemudaratan (Kerugian). Sebagaimana Islam bersandar pada Firman Quran bahwasanya : Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka”. (Surah An-Nuur ayat 30-31) .

Dengan hadirnya ayat ini, baik laki-laki dan perempuan yang telah dewasa tak bisa semena-mena saling menyentuh kecuali ia terikat tali darah dan pernikahan. Ditambah penegasan Hadist maka sebagian ulama senantiasa menjaga marwah pesan ini tuk menjadikan sebuah aturan keras yang membatasi hubungan fisik ini secara Islami yang dipandang berpotensi menghalangi kebebasan medis dalam bertindak melaksanakan kewajibannya. Sebagaimana Hadis riwayat sebagai berikut : (1) Telah berkata ‘Aisyah Ra : “Tidak pernah sekali-kali Rasulullah Saw menyentuh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya.” ([HR. Bukhari dan Muslim). Pendapat yang mengharamkan berjabat tangan antara pria dan wanita bukan mahram juga di dasarkan pada sabda Rasulullah SAW : (2) “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” (HR. Malik, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i). (3)  “Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.”  (HR. ath-Thabarani). (4)  “Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badanya kecuali wajahnya dan selain ini digenggamnya pergelangan tangannya sendiri  dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” (HR. ath-Thabari dari ‘Aisyah r.a.). Dari sinilah ada batasan yang menghalangi antara pelayan kesehatan dan pasiennya.

Fritjof Copra mengemukakan bahwa Esensi pelatihan dokter kedokteran dewasa ini adalah menanamkan pengertian bahwa perhatian kesejahteraan dokter bersifat sekunder. Hal ini dianggap perlu untuk menghasilkan komitmen dan rasa tanggung jawab, dan untuk memupuk sikap macam itu pelatihan kedokteran  terdiri atas jam-jam yang sangat panjang dengan waktu istirahat yang sangat kecil. Olehnya itu bukalah suatu yang aneh bila mereka senantiasa didera dengan berbagai stress yang dapat memicu pengabaian nilai dari etika yang melekat dalam dirinya  . Olehnya wajar harus adanya suatu evaluasi dan pembekalan kualitas mental khususnya keimanan dan ketakwaan seorang dokter agar senantiasa paham terhadap adab-adab (agama) yang telah diatur yang tak semena-mena dilanggar. Dan Islam dan Kedokteran harus duduk bersama menyepakati hal-hal yang diatur secara khusus demi menjamin pelayanan masyarakat di masa depannya.

III. PEMBAHASAN

Di era modern dan perkembangan sosial dan pengetahuan ini, Kepentingan perdagangan dan industri di luar kepentingan manusia seutuhnya pada akhirnya sungguh-sungguh mempersempit cara pandang dan membuat kita kian sulit untuk melihat permasalahan,khususnya, tentang kesehatan, pula tentang masyarakat. Hal ini justru membuat kita membayar mahal setiap tindakan yang kita lakukan baik pada tingkat individual, maupun di masyarakat. 

A. Dinamika Kedokteran Modern
Seiring berkembangannya studi kajian kedokteran, ilmu kedokteran akhirnya berkembangan secara subtansi dalam menyelesaikan persoalan medis yang lebih detail. Olehnya lahirlah kedokteran spesialis yang menangani hal itu. Kedokteran spesialis Kulit dan Kelamin, Andrologi (Ilmu reproduksi pria), Urologi (Ilmu saluran kemih), dan Obsetri-Ginekologi (Ilmu persalinan, dan reproduksi wanita) sangat tertuju pada pemeriksaan fisik mengharuskan adanya pemeriksaan visual (penglihatan) dan sentuhan (kontak fisik) pada area-area genital (kelamin) yang paling menjadi perhatian khusus pada hukum Islam berdasarkan fondasi Quran dan hadist. Sebab biar bagaimanapun, tanpa tindakan itu keempat spesialis tersebut mustahil menentukan diagnosisnya dengan tepat. Sebut juga kedokteran Andrologi yang dalam suatu usaha pengambilan sampel cairan sperma dengan menggunakan alat suntik khusus, Spesialis kulit dan kelamin yang sebagian pemeriksaannya mengandalkan visualisasi (penglihatan) dalam menentukan kelainan fisik di jaringan maupun kimia pada alat kelamin. Spesialis Obsetri dan ahli bidan yang sepenuhnya mengandalkan perabaan seperti teknik menentukan pembukaan bibir rahim / posisi janin pada masa hendak dan proses melahirkan demikian juga Ginekologi yang mengandalkan pula visualisasi dan perabaan dalam menentukan suatu tumor pada kelamin maupun payudara wanita.

Tentu kita tahu, bahwa dalam perekrutan calon paramedis, tak ada hukum yang begitu mengatur terkait beda kelamin dalam hak berpendidikan.  Sebab kualitas sumber daya manusia adalah harga mati yang tak bisa digugat dalam memenuhi kriteria seorang paramedis dalam dunia kesehatan. Namun apakah interaksi paramedis dan pasien yang beda muhrim atau beda kelamin menjadi batu kerikil dalam perjuangan penjaminan hidup suatu nyawa manusia ? Dalam dunia kedokteran, pemeriksaan fisik baik secara teknik visual (melihat), sentuhan / perabaan merupakan suatu kewajiban yang tak dapat diganggu-gugat dalam menunjang keputusan diagnosis, contohnya dalam menentukan suatu potensi keganasan Tumor maupun perubahan jaringan dan kimia pada permukaan organ. Mengapa ? sebab kedokteran modern hingga abad ini masih belum dapat mencari solusi terbaik untuk menyusun suatu metode atau alat perantara mengganti sepenuhnya penggunaan sistim indra manusia (Penglihatan, penciuman, pendengaran, dan perabaan) dalam menentukan 100 % diagnostik medis. 

Teknik yang digunakan para ahli medis di sebagian besar dunia ini masih menggunakan dan menggunggulkan teknik pengindraan, meski ada spesialis kedokteran yang sangat menggantungkan diagnostik pada mesin dan sistim indra seperti pada spesialis kedokteran Radiologi (Ilmu diagnostik dengan bantuan pencitraan/foto), kedokteran Kardiologi (Ilmu Jantung) yang sangat memperhatikan suara irama, denyut, dan ukuran Jantung dengan alat bantu lihat dan dengar seperti Elektrokardiograf (EKG), Tensi dan Steteskop, namun senantiasa terjadi perdebatan soal ini. Hal ini wajar, sebab para pakar kedokteran belum mutlak memiliki suatu kesepakatan dalam membuat standar diagnosis dan mengandalkan sistim indra. Bila masalah-masalah ini tersolusi, maka sudah tentu paramedis takkan lagi menggunakan 100 % indranya, melainkan menggunakan semua alat perantara (mesin) tanpa adanya kontak langsung dalam menentukan diagnosis seseorang.

Standar penanganan medis hanya berlaku pada struktur pemeriksaan dan diagnosa, namun seni dalam kecepatan menganalisis pada pemeriksaan fisik masih sepenuhnya mengandalkan pengalaman. Semakin tinggi jam terbang, maka semakin pengalamanlah seorang paramedis itu, semakin berpengalaman, maka semakin seni-lah seorang paramedis itu melakukan kewajibannya. Mereka yang memegang paham ini percaya bahwa mereka memiliki khas (seni) atau metode khusus dalam penegakkan diagnosis dengan cara tidak menggunakan alat (mesin) melainkan dengan pengalaman yang mengandalkan sepenuhnya analisis Indra. Hal ini dapat diperhatikan di praktik-praktik klinik yang dikerjai oleh para dokter senior di Indonesia. Dan  luar biasanya, masyarakat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap dokter senior karena tinggi pengalaman dibanding dokter muda (amatir). Dan inilah yang menjadi subtansi masalah dalam bagi para kaum muslimin dan muslimah terkait pemeriksaan fisik yang menurut pandangannya sebagian tak berpihak pada aturan hukum Quran terkait tentang hak mengelola, dan menggunakan aurat seseorang yang beda muhrim. Keraguan ini hampir didapati pada para dokter muda secara mayoritas di Indonesia.

Meskipun derasnya hujatan dan kritik dari masyarakat, baik dalam kehidupan publik maupun privasi dalam hubungan dokter dengan pasien. Namun para syukurnya para dokter muslim dengan teguh bersandar pada QS Al-Maidah ayat 2 yang dijadikan landasan hukum dan pendapat yang dapat dipertimbangkan di tengah masyarakat. “Dan tolong - menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”. (Q.S. Al-Maidah : 2). “ Dan Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu lakukan”. (Q.S. Al-An’am : 119).

Segala tindakan medis pada pasien, tak lain adalah perbuatan yang bajik (Mendatangkan kebaikan), namun tak semua bajik, olehnya itu hukum etik mengaturnya dalam sebuah aturan dan sanksi yang berat. Dengan hadirnya fatwa ulama, tentu bukan saja sanksi formal yang didapatkan secara pribadi bagi kaum medis, melainkan sanksi moral dan etik pun mengenainya. Suatu sanksi yang sangat berat bagi para profesi medis. Terjadi banyak perdebatan di kalangan Ulama dunia terkait pergaulan bebas (Ihktilath) yang mengkaji hubungan eklusif pelayanan dokter dan pasien. Sebagaimana Komite Riset Dan Fatwa Saudia Arabia (Lajnah Da’imah) yang kemudian pun angkat bicara hingga mengeluarkan fatwanya bahwa “Seorang wanita muda menemukan dokter yang cakap menangani penyakitnya, maka ia tidak boleh berobat ke dokter laki-laki”.

Dalam urusan Fatwa, Ulama tak dapat semena-mena mengeluarkan fatwa. Ada kriteria dan alasan mengapa fatwa itu dibuat. Lihatlah bagaimana organisasi Ulama Pakistan Tanzeem Ittehad I Ummat mengeluarkan fatwa kontroversial yang pada akhirnya menaikan pitam kaum muslim di dunia dengan menghalalkan pernikahan Transgender. Fakta ini pun dilaporkan oleh media Pakistan pada tanggal 27 Juni 2016 yang kemudian mencengangkan dunia. Niatan yang dianggap penting untuk dilakukan selalu terlupakan karena gangguan motif yang tidak disadari. Demikian ungkap Sigmund Freud  .

B. Temuan Fakta Perdebatan yang tak kunjung usai
Indonesia sendiri memiliki lembaga musyawarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memiliki otoritas pengakuan dalam melaksanakan sebuah Istjihad dalam melahirkan Fatwa. Namun soal adab hubungan paramedis dan pasien sampai hari ini belum terdengar dalam keputusan fatwanya. Pada bulan Mei 2016, beberapa media cetak di Makassar tiba-tiba mengkritisi hubungan dokter dan pasien yang non muhrim dalam sebuah tajuk. Tak disangka, hal ini direspon cepat oleh Perhimpunan Mahasiswa Malaysia Di Makassar dengan dijadikan tema hangat dalam sebuah dialog ilmiah Halawatul Halaqah dengan tema‘Kelambu terkoyak’. Tema ini mengangkat pro-kontra pelayanan dokter obsetri dengan pasien muslimah dengan isu beda muhrim. Dialog ini dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 2016 di Masjid Raya Kota Makassar dengan menghadirkan pakar Obsetri dan Ginekologi Dr.dr.Nasruddin A.Mappaware dan perwakilan kalangan ulama. Dialog yang bekerjasama dengan stasiun televisi swasta islam asal Malaysia dan disiarkan beberapa bulan kemudian di negeri Jiran itu dalam program Ramadhan 2016-nya menjadi perhatian menarik masyarakat di sana hingga mereduksi tarik ulur pendapatdi dua kalangan itu.  Hal ini membuktikan bahwa adab pelayanan kesehatan di Indonesia masih menjadi perhatian besar di kalangan muslim luar negeri terutama di Malaysia. 

Walaupun Quran telah memberikan toleransi hubungan sosial beda muhrim lewat Firmannya “Dan Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu lakukan. (Q.S. Al-An’am : 119) yang dapat dijadikan alasan paramedis muslim dalam bertindak, namun beberapa kalangan muslim masih berpotensi menginginkan keinginan untuk diaturnya peraturan dan ketetapan lewat fatwa ulama terkait adab pelayanan ini. Sebagaimana Lembaga Ulama Saudia Arabia telah melakukannya. Padahal ada beberapa hukum etika profesi yang menghadang upaya itu, kita ambil contoh salah satu pasal hukum dalam etika kedokteran Indonesia yakni “dalam melakukan pekerjaan Kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi”.

C. Landasan Profesionalisme Paramedis
Mari kita angkat suatu subjek dalam golongan paramedis dalam suatu kasus studi komparasi. Yakni dokter. Seorang dokter takkan mungkin memiliki kehendak menyelewengkan perasaan manusiawinya pada profesionalitas kerjanya. Meskipun pada dasarnya dokter adalah manusia, tentu ia memiliki sifat dasar manusia yang sama dengan masyarat, baik itu pasien, maupun sejawat profesi atau paramedis lainnya. Dokter terikat pada Sumpah dokternya yang diatur secara etik dalam kelembagaan kedokteran yang berfondasi pada sumpah dasar global (Sumpah Hippocrates) yang kemudian disusun secara modern, mari kita kaji. 

Pada Sumpah kedokteran, ada 2 (Dua) kalimat sumpah yang sangat terkait dengan kekhawatiran kaum muslim akan masalah pengelolaan aurat. Kalimat sumpah itu antara lain ; (Paragraf VI Sumpah kedokteran) “Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial”. Pada paragraf ini menjelaskan bahwa ia bersumpah tidak akan terikat / patuh pada suatu hukum yang mencoba menghalangi ia berjuang demi keselamatan suatu manusia olehnya itu ia harus merdeka secara hukum terlebih dahulu, meskipun ia harus terikat dengan hukum apapun itu demi menyelamatkan nyawa seorang manusia. Baik politik maupun agama. 

(Paragraf VIII Sumpah kedokteran) “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan”. Pada peragraf ini  sudah jelas bahwa seorang dokter senantiasa menghormati hak dasar manusia baik itu hak berserikat, berideologi, beragama, hak martabat atau apapun yang dimiliki oleh seeorang (Aset fisiologi) dengan cara menjaga kerahasiaan dengan apa yang ia ketahui.

Namun yang paling kongkrit adalah pada dasar fondasi hukum utama yakni hukum historis yang tertera dalam Hukum Hipocrates sebagaimana pada poin kelimanya berbunyi : Into whatsoever houses I enter, I will enter to help the sick, and I will abstain from all intentional wrongdoing and harm, especially from abusing the bodies of man or woman, slave or free. (Ke dalam rumah siapa pun yang saya masuki, saya akan masuk untuk menolong yang sakit dan saya tidak akan berbuat suatu kesalahan dengan sengaja dan merugikannya, terutama menyalahgunakan tubuh laki-laki atau perempuan, hamba atau bebas). Olehnya itu tiada alasan bagi seorang dokter atau paramedis lainnya mengambil keuntngan dari sifat dasar manusia (nafsu syahwatnya) dalam kondisi ia melakukan pengabdiannya meskipun hal itu lahir secara alamiah. 

D. Sebuah jalan keluar
Meskipun Indonesia belum berani menjawab kisruh ini, menurut kaidah Ushul fiqh yang disepakati oleh sekalian ulama ushul. Dengan demikian, dokter boleh melihat dan memegang bagian badan yang memerlukan pengobatan dan pemeriksaan sekalipun kepada aurat terbesar. Ini dapat berlaku umum baik terhadap tubuh pria maupun tubuh wanita atau sebaliknya  . Namun pada Fatwa Lajnah Daimah dalam fatwa bi ruqmi, wa tarikhul. Jannatiddaimati lil buhusil alamiyati wal ifta’i No. 3201 tanggal 1/9/1400 H.

إذا تيسر الكشف على المرأة وعلاجها عند طبيبة مسلمة لم يجز أن يكشف عليها ويعالجها طبيب ولو كان مسلما , وإذا لم يتيسر ذلك واضطرت للعلاج جاز أن يكشف عليها طبيب مسلم بحضور زوجها أو محرم لها , خشية الفتنة أو وقوع ما لا تحمد عقباه , فإن لم يتيسر المسلم فطبيب كافر بالشرط المتقدم . وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Jika memungkinkan membuka aurat wanita tersebut dan mengobatinya pada dokter wanita yang muslimah, maka tidak boleh baginya membuka auratnya dan melakukan pengobatan kepada dokter lelaki meskipun dia seorang muslim. Namun jika tidak memungkinkan, dan ia terpaksa melakukannya karena pengobatan, maka boleh dibuka auratnya oleh dokter lelaki muslim dengan kehadiran suaminya atau mahramnya, karena dikhawatirkan fitnah atau terjatuh kedalam perkara yang tidak disukai akibatnya. Jika tidak ditemukan dokter lelaki muslim, maka dibolehkan dokter lelaki kafir dengan syarat yang telah disebutkan. Rasa keterasingan dengan seorang yang tak dikenal hadir secara lahiriah, adanya ketidaknyamanan dapat diketahui dari gerak dan tindakan pasien, inilah yang menjadi kekuatan dalam pentingnya kehadiran seorang yang yang dapat dipercayai.

  Sebagaimana dijelaskan secara empiris bahwa Ide ide religius seringkali dikaitkan dengan perasaan lemah dan tertindas atau rasa takut dan was-was, yang barangkali memerangkan manusia saat mereka kontak dengan dunia luar. Manusia menjadi mimpi buruk bagi mereka sendiri, manusia mengimajinasikan dirinya dikelilingi oleh daya-daya yang sama jahatnya dan menakutkan  

IV. PENUTUP

Islam sangat menghargai perjuangan paramedis, sebab hal itu tentu adalah perbuatan yang mulia. Olehnya itu ada beberapa toleransi yang diberikan Islam dalam perjuangan mereka, hal ini karena Islam menganggap hubungan antara tugas kesehatan dan pasien (keduanya) dinilai sebagai hubungan penjual jasa dengan pemakai jasa. Islam melihat ini karena terjadinya suatu akad Ijarah antara keduanya yakni dimana satu pihak memanfaatkan barang, tenaga, pikiran, keterampilan, dan keahlian pihak lain, dengan memberi imbalannya  . Dari argumen ini sangat diperhatikan Islam sangat ikhtiar dalam memberikan toleransinya sebab kebebasan yang tak berlandaskan hukum tentu dapat sebaliknya mendatang kemudaratan (kerugian) dan dosa, dan inilah keunggulan Islam meski masih tetap dipertentangkan para idealisme medis. Sebab menurut mereka, melayani manusia bukanlah suatu transaksi dagang tapi keikhlasan. 

Dari salah satu fatwa ulama di atas, sedikit ada rujukan solusi bahwa meskipun mereka para pasien yang senantiasa taat akan adab Islam tentu harus menghadirkan seorang keluarga menjadi pihak ketiga sebagai saksi dan perlindungan dalam pelayanan medis. Sebagaimana seharusnya seorang muslimah membawa suaminya dan menemaninya hadir dalam ruang  pemeriksaan kehamilan dengan seorang dokter yang juga bukan muhrimnya. Tentu semua lahir dari adanya kesepakatan dan toleransi dari kedua pihak, baik pihak muslim dan petugas kesehatan.

1. Fatwa harus menjamin solusi masalah
Fatwa ulama tak dapat menjadi suatu ukuran dan kepastian kesadaran umat muslim dalam mengetahui pentingnya profesionalisme pelayanan kesehatan kepada masyarakat terutama bagi umat muslim. Kualitas keimanan (Yakin dan taat terhadap aturan Kitab Suci) dan loyalitas kemanusiaan adalah solusi kongkrit dalam upaya menjawab permasalahan tersebut. Tapi kualitas keimanan hanya didapat dari suatu kesadaran yang hakiki, tumbuh dari keikhlasan dan komitmen yang terlatih. Demikian juga loyalitas kemanusiaannya yang teruji dan terbukti secara formalitas demi membentuk suatu jaminan bagi masyarakat. Pemerintah dan para Ulama harus bekerjasama dan sinergi dalam membentuk wadah tambahan yang menjamin kualitas keimanan, akhlak, dan profesionalisme bagi paramedis muslim. Hal ini agar penjaminan keselamatan dan kesehatan umat tetap berjalan bergiringan dengan fatwa dan adab sosial muslim itu sendiri. Hal ini tentu agar progresifitas umat dalam sosialnya tidak keluar dari garis ketentuan Quran sebagai suatu pegangan representatif hukum Tuhan yang diimani.

2. Input Penguatan akhlak dan keimanan dalam etika kerja sebagai solusi
Salah satu tinjauan fakta adalah sebuah institusi pendidikan di kota Makassar yakni Universitas Muslim Indonesia (UMI) yang telah mengambil langkah peduli dengan persoalan ini. Sebuah program pembekalan akhlak dan pencerahan kalbu oleh Universitas swasta Islam di Makassar ini dapat dijadikan rujukan fakta bahwa mereka telah memulai langkah berani dengan menjadikan Pesantren sebagai basis pemantapan akhlak dalam civitas akademikanya. Sejak tahun 2000, Universitas ini menjadikan Pesantren Darul Mukhlisin tepatnya di desa Padang Lampe Kabupaten Pangkep ini sebagai mitra pembinaan akhlak dan pencerahan kalbu. Pihak Universitas mewajibkan seluruh fakultasnya untuk mengikuti program ini termasuk seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran. Program ini hadir dalam program masa orientasi mahasiswa baru, syarat pasca yudisium gelar sarjana, maupun agenda yang dilakukan diluar jadwal program kampus yang disediakan bagi peminat institusi dari luar. Bagi anak didik (mahasiswa) yang gagal dalam memenuhi setiap programnya, mereka dinilai belum siap menjadi seorang cendekiawan muslim yang memiliki syarat-syarat kemantapan akhlak yang diatur dalam kurikulum pembekalan. 

Pada tahun 2007, pihak Rektorat memberikan keterangan bahwa terbukti beberapa instansi pemerintah telah menaruh minat dengan melakukan kerjasama dengan pesantren Darul Mukhlisin UMI ini, seperti Polda Sulawesi Selatan (Siswa Bintara SPN Batua), dan Kopertis Wil. IX Sulawesi, Departemen Agama Prov. Sul-Sel, Makassar, Universitas Gorontalo, Pemerintah Kab. Pangkep, Badan Diklat Pemda Kab. Pangkep, Pemerintah Kab. Kolaka Majelis Taklim. Dan juga ada masyarakat umum yang menitipkan anak-anaknya, khususnya pecandu narkoba (obat-obat terlarang). UMI Makassar sendiri memiliki 6 (enam) fakultas kesehatan yakni Kedokteran, Kedokteran Gigi, Farmasi, Keperawatan, Kebidanan, dan Kesehatan Masyarakat. Dengan pembekalan seperti ini, tentu ketangguhan akhlak dan keimanan paramedis muslim dalam profesionalitas pelayanan dapat terjamin tanpa ada potensi penyalahgunaan profesi dalam pelecehan sosial yang dapat dikhawatirkan. UMI Makassar bisa dijadikan sebagai contoh keberhasilan sosial dan institusi dalam menjawab problematika masalah etika profesi di Indonesia. Tujuan adanya wadah penguatan keimanan yang dicontohkan ini tentu agar cendekiawan muslim senantiasa mantap secara lahiriah, naluriah dan batiniah dalam setiap pelaksanaan etika profesi, khususnya etika pelayanan kesehatan berbasis adab islamiyah yang berfondasi pada Al Quran dan Al Hadis.

3. Hukum yang menghantui
Banyaknya seminar-seminar ilmiah berbasis islami tak mampu menjawab secara utuh proses pemantapan akhlak seorang pelayan kesehatan, perlu adanya keseriusan dan kerjasama wadah yang lebih besar dalam mengambil peran ini. Di Indonesia, pekerja kesehatan yang berada dibawah otoritas lembaga kesehatan baik formal maupun swasta maupun itu muslim / non muslim yang tidak toleransi pada kewenangan dan kewajiban profesionalitas kerja dapat berpotensi melawan hukum. Sebab undang-undang di Indonesia telah mengatur tentang kewajiban pekerja kesehatan (dalam institusi) guna menjamin kesehatan dan keselamatan seseorang berdasarkan etika profesi mereka. Namun apakah adanya potensi kekhawatiran medis muslim dengan tidak menjalankan profesi mereka karena ketentuan Quran dan Hadis dapat membuat mereka berada dibalik jeruji di masa depan kelak. Jawabnya ‘iya’.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Taufik Adnan Amal, (2001). Rekonstruksi Sejarah Al Quran. Penerbit : Forum Kajian Budaya dan Agama (FkBA). Yogyakarta
  2. Kode Etik Kedokteran Indonesia Dan Pedoman Pelaksanaan Kode etik Kedokteran Indonesia
  3. Sigmund Freud (2015). Psikopatologi dalam kehidupan sehari-hari. Penerbit Forum. Yogyakarta.
  4. Said Abdullah Al-Hamdani, Risalah Djanaiz, (Bandung: P.T. Al-Ma’arif, t.th.),
  5. Tan Malaka. (2015). MADILOG. ; Materialisme, Dialektika dan Logika. Penerbit Tim Narasi, Yogyakarta.
  6. Tan Shot Yen. (2009). Dari Mekanisasi sampai Medikalisasi ; Tinjauan Kritis Atas pereduksian tubuh manusia,. (Jakarta)
  7. Emile Durkheim (2011), The Elementery Forms Of The Religious Life. Sejarah bentuk-bentuk agama yang paling besar.
  8. Sayid Sabiq. (1981), Fiqh al-Sunnah, vol. III, Libanon. Darul Fikar.
  9. Fatwa Lajnah Daimah dalam fatwa bi ruqmi, wa tarikhul. Jannatiddaimati lil buhusil alamiyati wal ifta’i 
  10. Frijof Capra (1997). The Turning of point, Science, Society, And The Rising Culture. Bantam Book. Diterbitkan kembali dengan judul : Titik balik peradaban ; Sains, Masyarakat Dan Kebangkitan Kebudayaan (2004) oleh penerbit Jejak, Bandung, Indonesia.
Fatir M.Natsir
LSM Lemari Malut | Fasilitator | Pegiat sosial dan kesehatan