Dewasa ini, konsumsi bukan hanya dikaitkan dengan kebutuhan nutrisi secara
biologis tetapi lebih dari itu, yakni sebuah pendekatan ideologi, cara pandang,
dan sistem nilai yang secara keseluruhan didorong oleh ideologi konsumerisme. Meminjam
istilah dari Sosiolog Amerika Robert G. Dunn, konsumerisme sebagai sebuah
ideologi yang merayu orang-orang masuk pada sistem produksi massal. Melihat
perilaku individu mengonsumsi bukan hanya sebagai praktik tetapi tujuan yang
menjadi dasar identitas dan pemaknaan tentang diri.
Fenomena yang cukup dekat
dengan kita dengan hadirnya aneka peralatan elektronik yang mengakibatkan gaya
hidup digital. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, Jean Baudrillard
menyebutkan bahwa masyarakat kontemporer saat ini berada pada era postmodern,
suatu kondisi dimana masyarakat tidak lagi memandang apa yang sebenarnya
dibutuhkan, tetapi lebih mengedepankan prestise dan gaya hidup sebagai citra
diri dari apa yang dibutuhkan. Kehadiran seperti gadget yang merupakan sebuah
benda yang digerakkan oleh seperangkat mesin yang menjadi lambang dari
masyarakat industri bahkan menjadi post-industri.
Dalam kenyataannya gadget
menjadi sebuah alat konsumsi melalui hilangnya secara relatif fungsi objek
(sebagai alat rumah tangga) demi sebuah fungsi tandanya (menjadi hal yang
berguna). Tetapi penggunaan gadget sebagai fungsi tanda menimbulkan dehumanisasi
pada tubuh masyarakat. Mengingat saat ini juga dunia memasuki era revolusi
industri 4.0, yang menandakan bahwa tidak ada satu pun sudu di dunia yang tidak
luput dari dampak dan perubahan yang diakibatkan dari disrupsi teknologi ini.
Perubahan Komunikasi dan Budaya
Kehilangan identitas diri di dalam kehidupan yang nyata
kemudian akan membawa seseorang ke dalam situasi terjebak dengan kondisi apa
yang disebut dengan cybercommunity
atau masyarakat siber. Teknologi media baru yang sangat giat digunakan menjadi
sebuah arena untuk mencari identitas dan membentuk sebuah citra diri. Arus
perkembangan teknologi inilah yang menjadikan manusia lupa terhadap realitas
sosial yang sesungguhnya dan membawa efek negatif bagi kehidupan manusia di
dunia nyatanya. Hal ini dikarenakan mereka terkungkung ke dalam realitas semu
yang disebut dengan hiperalitas (hypereality).
Dunia hiperalitas merupakan dunia dimana sebagai
simulakrum, yang dimana semua penampakan yang didapatkan merupakan sebuah objek
yang tercabut dari realitas sosialnya, atau sama sekali tidak mempunyai
realitas sosial. Teknologi yang seharusnya menjadi alternatif mendekatkan yang
jauh menjadi sebuah kenyataan yakni menjauhkan yang dekat. Masyarakat terutama
generasi yang disebut dengan generasi Z menjadi pengguna yang sangat aktif,
generasi yang lahir dimana teknologi sudah berada di lingkungannya (digital
native). Berdasarkan pengamatan penulis dalam menggunakan media sosial generasi
ini menjadi pelaku utama dalam menerapkan perilaku masyarakat siber.
Masyarakat siber atau masyarakat maya, atau yang sering
disebut dengan warganet/Netizen
memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi. Komunikasi yang dilakukan
merupakan suatu proses interaksi simbolik. Memberikan tanda-tanda dan simbol
bukan hanya berupa pesan teks secara langsung. Kajian interaksi simbolik
seperti yang diketahui tertarik pada cara manusia menggunakan simbol yang
merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan
sesamanya, juga pengaruh yang ditimbulkan oleh penafsiran simbol-simbol
tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial.
Kita bisa melihat perilaku dari masyarakat siber ini dalam
penggunaan media-media baru. yang saat ini menjadi primadona. Instagram,
Twitter, Tiktok bahkan aplikasi lainnya yang diunduh jutaan kali oleh pengguna gadget.
Terutama instagram, instagram agaknya merupakan salah satu media baru yang ikut
menyumbangkan sebuah kebiasaan baru dalam menciptakan masyarakat siber.
Aplikasi-aplikasi seperti ini mendorong perilaku masif bagi penggunanya untuk
melakukan segala aktifitas di dalamnya.
Saya mencoba melakukan serangkaian observasi singkat terhadap
beberapa remaja dalam aktivitasnya menggunakan sosial media Instagram. Saya
mencoba melihat perilaku remaja yang selama ini aktif berselancar di dunia
instagram. Mereka yang menjadi pengguna aktif dengan beberapa alasan tertentu.
Alasan-alasan ini biasanya dipengaruhi oleh dorongan atas keinginan dari remaja
tersebut dan juga dari pengaruh lingkungannya. Dorongan ini didukung karena
menganggap instagram sebagai ruang publik bagi remaja. Remaja dapat
menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggunakan aplikasi sosial media
instagram. Mereka dengan leluasa menggunakan aplikasi tersebut, entah untuk
mengunggah atau berbagi cerita, foto, video, atau hanya sekadar memberikan
komentar di akun teman mayanya.
Media baru seperti ini merupakan sebuah hibridasi dari
kemampuan media-media konvensional yang selama ini kita kenal. Sehingga hal ini
dapat membentuk media dengan dimensi ganda. Seperti yang dikatakan Holmes dalam
bukunya “Virtual Politics: Identity &
Community Cyberspace” mengungkapkan bahwa ruang maya merupakan dunia dimana
terbentuk nilai budaya yang terbentuk melalui interaksi keseharian diantara
penggunanya melalui mediasi teknologi. Ruang siber ini memungkinkan terjadinya
pertukaran makna dan membentuk sebuah realitas dan identitas baru di dalam
penggunanya.
Alhasil, perubahan wujud komunikasi ini merupakan
determinasi dari sebuah kemajuan sosial. Tetapi di satu sisi, penemuan teknologi
informasi ini juga memberikan dampak pada perubahan sosial hingga perubahan terkecil
yakni perilaku pada diri individu.
Dari Konsumerisme Menuju
Alienasi
Hingga pada akhirnya, pencaharian identitas yang
melibatkan penggunaan atas teknologi mutakhir menciptakan kelas masyarakat
maya. Perilaku-perilaku pengguna sosial media didukung oleh pembaharuan yang
dilakukan oleh pengelola media sosial. Kecanggihan ini membuat para pemakai
mendapatkan segalanya ketika mereka aktif melakukan interaksi di dalamnya. Aktivitas
simpelnya ialah seperti kolom komentar, pesan langsung, jumlah follower dan fitur-fitur
lain yang ada di dalamnya. Mereka yang telah terkungkung oleh kenikmatan arus
sosial media akan merasakan kesenangan jika mendapatkan komentar yang beragam
di sosial media, menampilkan unggahan foto atau video yang dirasakan menarik
dan memantik banyak komentar.
Tentu hal ini menciptakan sebuah kebiasaan baru di kalangan
masyarakat maya, terutama masyarakat maya dengan rentang usia remaja yang
memiliki kemungkinan lebih besar teralienasi di dunia nyatanya. Aktualisasi dan
eksistensi diri menjelma di dalam masyarakat jaringan (Network Society), gejala
yang asyik sendiri tapi tidak merasakan kesepian. Hal inilah yang disebut
dengan alienasi (keterasingan) sosial.
Agaknya dewasa ini, aplikasi media baru bertanggung jawab
atas perubahan perilaku masyarakat terutama para remaja. Menciptakan kehidupan
baru struktur masyarakat guna pemenuhan kebutuhan pencarian identitas yang
berujung pada teralienasinya identitas diri seseorang di dalam realitas
sosialnya. Alienasi seperti yang dikemukan oleh sosiolog klasik Karl Marx
sebagai suatu keterasingan. Keterasingan ini merujuk pada alienasi diri dari
keluarga, lingkungan benda, bahkan diri sendiri. Keterasingan yang diakibatkan
dari penggunaan aplikasi media baru ini membuat kita semakin jauh dari
realitas-realitas manusia sebagai makhluk individu maupun sosial. Semua yang
dilakuan di dalam aktifitas onlinenya merujuk pada kesadaran palsu saja.
Seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx terkait konsep
kesadaran ini adalah “Bukan kesadaran seseorang yang menentukan keberadaannya,
melainkan keberadaan sosial yang menentukan keberadaanya”. Sebagaimana yang
telah dijelaskan bahwa masyarakat siber keberadaanya sudah direpresentasikan
oleh media internet. Hal ini tentu telah membentuk sebuah kultur dan sebuah
kehidupan sosial sendiri
Dunia teknologi informasi akan terus berkembang seiring
penggunaan internet yang tumbuh secara pesat. Alienasi atau keterasingan ini
akan terus melanda bagi mereka yang menciptakan kehidupan sosial di media sosial
atau ruang maya. Aktualisasi di media online menjadi penanda sosial bahwa di
kehidupan nyata esensi diri seseorang akan tergerus. Para generasi yang terus
mengakses dan mengaplikasikan gadget sebagi fungsi tanda membutuhkan usaha yang
lebih keras agar kedua dunia yang mereka lakukan seimbang dan tidak terjebak dalam
masyarakat siber yang semu.
Karya: Alfin Dwi Rahmawan
Sosiologi Universitas Bangka Belitung |