Korupsi merupakan fenomena penyimpangan sosial yang berbanding
lurus dengan perkembangan peradaban manusia. Seolah-olah, korupsi adalah
warisan kultural yang terus dipelihara dibalik nama “pemberantasan” dan “anti-korupsi”.
Di sisi lain, korupsi diibaratkan sebagai patogen yang menginfeksi siapapun,
baik di level individual maupun kelompok, mendarah daging, dan diwariskan ke
generasi selanjutnya. Efeknya jelas berdampak luas bagi kemerosotan kemakmuran
bangsa dan negara.
Sudah banyak literatur yang mengulas penyebab korupsi,
seperti problem psikis dan rohani pribadi, hingga urusan libido kekuasaan
struktural dan ekonomi yang menguasai diri. Begitu pula dengan lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti-korupsi. Hebohnya lagi, ditengah-tengah merebaknya
orasi anti-korupsi, masyarakat justru dipertontonkan oleh drama Operasi Tangkap
Tangan (OTT) Bupati Subang dari tahun 2008 hingga 2018. Peristiwa ini
jelas-jelas menyayat hati publik yang telah menentukan pilihan pemimpin, namun
menyaksikan atraksi koruptif elite politik yang berulang kali terjadi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tergoda
untuk mengidentifikasi dan mendalami lebih jauh faktor-faktor penyebab turbulensi
korupsi yang menimpa elite politik di tanah Subang secara beruntun. Selain itu,
penulis berupaya menyegarkan kembali ingatan pembaca dengan membuka diskursus
baru mengenai kasus-kasus korupsi dalam perspektif sosiologis.
1. TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Pengertian Elite Politik
Elite diartikan sebagai golongan orang kaya dan orang
yang menempati kedudukan atau pekerjaan yang dinilai tinggi oleh masyarakat (Haris
Priyatna, 2013: 47). Dalam pengertian yang luas, elite adalah satu kalangan
minoritas cerdik pandai yang berpengaruh dalam masyarakat, baik dalam bidang
politik, ekonomi, maupun bidang sosial, administrasi, dan moral (Rahman, 2011:
15).
Gaetano Mosca menyebutkan lapisan elite yang berkuasa
dengan sebutan classe politica/political elite. Elite politik ini
merupakan kelompok terorganisasi yang memiliki kewenangan politik. Kelas elite
ini terdiri dari minoritas terorganisasi yang akan memaksakan kehendaknya
melalui “manipulasi ataupun kekerasan”, khususnya dalam demokrasi. Elite
politik juga menunjukkan semua fungsi politik, monopoli kekuasaan, dan
menikmati setiap keuntungan dari kekuasaan. Kekuasaan yang mereka miliki tidak
berasal dari komunitasnya atau posisi ekonomi, tetapi dari organisasi yang
berhubungan dengan kekuasaan publik negara (Mufti, 2011: 71).
Posisi elite yang begitu seksi tentu menstimulisasi
individu untuk menggapai posisi strategis ini. Tidak heran, persaingan dan
perbedaan kepentingan kerap terjadi dalam perebutan kekuasaan atau sirkulasi
elite. Dalam perebutan kekuasaan atau sirkulasi elite, konflik bisa terjadi
dalam internal elite, atau dengan elite lainnya yang bersaing satu sama lain.
Menurut Pareto, sirkulasi elite terjadi dalam dua kategori. Pertama, pergantian
terjadi di antara kelompok yang memerintah. Kedua, pergantian terjadi
antara elite dengan penduduk lain. Pergantian model kedua berupa perekrutan
yang terdiri atas individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok
elite baru, dan masuk dalam kancah perebutan kekuasaan dengan elite yang sudah
ada (Varma, 1987: 203). Sementara Mosca melihat bahwa pergantian elite terjadi
apabila elite menunjukkan kemampuan yang lebih baik, sehingga terdapat segala
kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan atau digantikan oleh
kelas penguasa yang baru (Varma, 1987: 205-206).
Elite politik memiliki kemampuan untuk mengakomodasi
kepentingan publik dan mendistribusikan keadilan secara merata. Posisi ini
begitu prestisius di mata masyarakat, karena hanya orang-orang berkompeten dan
lihai dalam mengatur kekuasaan yang berhak mendudukinya. Namun, seringkali
dijumpai justru elite politik beresiko menyalahgunakan status dan perannya yang
berakibat pada perbuatan-perbuatan koruptif, demi memuaskan nafsu segelintir
pemangku kepentingan. Sehingga, term “elite politik” menimbulkan distingsi dan
sulit dicerna sebagai profesi suci memajukan kemaslahatan umat.
1.2. Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio
atau corruptus. Selanjutnya dikatakan bahwa corruptio berasal
dari kata corrumpere, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa
Latin tersebut dikenal istilah corruption, corrupt (Inggris), corruption
(Prancis) dan korruptie atau corruptie (Belanda). Arti kata korupsi
secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketikdakjujuran, dapat
disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian. Di Malaysia terdapat
peraturan anti korupsi, dipakai kata “rasuah” berasal dari bahasa Arab “risywah”,
menurut Kamus Umum Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi. Risywah
(suap) secara terminologis yakni pemberian yang diberikan kepada seorang hakim
atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan
atau untuk memperoleh kedudukan (Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi,
2011: 23).
Dalam pemakaian sehari-hari terutama bahasa-bahasa modern
Eropa, seperti bahasa Inggris, kata korupsi dapat digunakan untuk menyebut
kerusakan fisik seperti naskah yang rusak (a corrupt of manuscript),
kerusakan tingkah laku (immoral), tidak jujur atau tidak percaya (dishonest)
dan lainnya (Horby, 1989: 266). Dalam kajian-kajian mengenai korupsi ada
berbagai definisi yang dikemukakan para ahli menyangkut terminologi korupsi.
Syed Hussein Alatas mengatakan bahwa esensi korupsi adalah pencurian melalui
penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan (Alatas, 1987: viii).
1.3. Korupsi dalam Perspektif Sosiologis
Korupsi merupakan fenomena sosiologis yang memiliki
implikasi ekonomi dan politik yang terkait dengan beberapa teori, seperti teori
means-ends scheme yang diperkenalkan Robert K. Merton. Dalam teori
Merton dinyatakan bahwa korupsi merupakan suatu perilaku manusia yang
diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma.
Lebih jauh lagi dielaborasi bahwa setiap sistem sosial memiliki tujuan dan manusia
berusaha untuk mencapainya melalui cara-cara (means) yang telah
disepakati. Mereka yang menggunakan cara-cara yang telah disepakati bersama
untuk mencapai tujuan bersama dalam golongan kompromis. Selain memberikan ruang
bagi anggota-anggotanya mewujudkan tujuan, sistem sosial tidak jarang juga
menimbulkan tekanan yang menyebabkan banyak orang tidak memiliki akses atau
kesempatan di dalam struktur sosial, karena adanya pembatasan-pembatasan atau
diskriminasi rasial, etnik, kapital, skill dan sebagainya (Handoyo,
2009: 55).
Golongan marjinal ini kemudian mencari berbagai cara
untuk mendapatkan pengakuan dan akses terhadap sumber-sumber yang ada di
masyarakat. Cara-cara kotor atau menyimpang dari norma masyarakat terpaksa
mereka lakukan demi menyambung kehidupan mereka atau melawan ketidakadilan yang
menimpa mereka. Teori Merton ini ditujukan untuk menjawab bagaimana kebudayaan
terlalu menekankan sukses ekonomi tetapi membatasi kesempatan untuk mencapai
dan menyebabkan tingkat korupsi yang tinggi (Angha,
2002).
Sedangkan Didin S. Damanhuri melihat bahwa korupsi di
Indonesia lebih kepada gabungan dari sebab-sebab neo-patrimonialisme, kondisi
historis-struktural akibat penjajahan plus “kondisi transisi” dari masyarakat
tradisional dan agraris ke kompleksitas masyarakat baru yang lebih industrial
dengan ekonomi uang dan sofistifikasi dari struktur masyarakat modern yang
rasional dan sekuler (Damanhuri, 2010: 130-131).
Uraian tersebut di atas, akan dielaborasikan dengan
kasus-kasus korupsi yang melanda elite politik di tanah Subang dengan
mengidentifikasi faktor-faktor penyebab merebaknya perilaku koruptif disertai
resolusi sebagai upaya introspeksi diri untuk meminimalisasi
pelanggaran hukum positif.
2. PEMBAHASAN
1.
2.
3.
2.1. Trilogi Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati
Subang
Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Subang merupakan
fenomena koruptif yang secara beruntun terjadi. Trilogi korupsi Bupati Subang
menjadi bukti sahih bahwa kuasa elite menjadi komoditas laris. Berikut ini
rentetan penangkapan tersangka korupsi Bupati Subang:
Pertama, Eep Hidayat, Bupati
Subang yang menjabat pada periode 2003-2008 dan 2008-2013. Ia mengawali karir
politiknya sebagai anggota DPRD Kabupaten Subang dari Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan. Jelang akhir masa jabatannya di periode pertama, nama Eep
disebut-sebut terlibat dalam kasus korupsi upah pungut pajak bumi dan bangunan.
Akan tetapi ia masih bisa mengikuti dan memenangkan Pemilu 2008. Eep
awalnya diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung pada 2011 dan
divonis bebas. Namun putusan tersebut dimentahkan di tingkat kasasi oleh
Mahkamah Agung yang memutuskan Eep bersalah. Eep
divonis 5 tahun penjara dan membayar denda sebesar Rp 200 juta atau subsider 3
bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp2, 548 miliar.
Kedua, Ojang Suhandi. Sebelum
menjabat Bupati Subang, Ojang Sohandi merupakan ajudan Eep Hidayat. Pada 2008,
ia mendampingi Eep maju sebagai calon wakil bupati di Pilbup Subang. Mereka
memenangkan pilkada dengan mengumpulkan 34,10%
suara. Diberhentikannya
Eep Hidayat yang terkena kasus korupsi membuat Ojang menggantikan posisi Eep.
Ojang pun menjabat Bupati Subang sejak Agustus 2012. Karier politik Ojang Sohandi terbilang cemerlang. Di Pilbup Subang 2013, ia mampu
memenangkan pilkada dan kembali memimpin Kabupaten Subang bersama wakilnya,
Imas Aryumningsih. Belum tunai pengabdiannya sebagai kepala daerah Subang, Ojang ditetapkan
sebagai tersangka suap kasus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan pada 2016 divonis delapan tahun penjara, Ojang mengaku menerima keputusan
hakim. Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut
umum (JPU) KPK, yang menuntut 9 tahun penjara.
Ketiga, Imas Suryaningsih. Setelah Bupati Subang Ojang Sohandi
resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus suap oleh KPK pada 2016, Imas Aryumningsih kemudian menggantikan posisinya. Imas dilantik sebagai Bupati Subang untuk sisa masa jabatan
2013-2018. Ia menjadi bupati perempuan pertama dalam sejarah Subang. Namun,
di akhir masa jabatannya, Imas justru terjerat OTT KPK. Imas diduga terlibat
kasus korupsi terkait proyek pembangunan Pelabuhan Patimban. Seperti diketahui, Imas Aryumningsih kembali
mencalonkan diri menjadi Bupati Subang di Pilbup Subang 2018. Ia diusung Partai
Golkar dan PKB (https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2018/02/14/hattrick-tiga-bupati-subang-terjerat-korupsi-419518).
Jejak
digital yang diidentifikasi penulis merefleksikan bahwa korupsi sebagai
fenomena historis, berkelanjutan, dan berakar pada problem political will penguasa.
Semacam patogen yang menempel dan menginfeksi tubuh sosial serta menderivasikannya
ke tubuh sosial lainnya sebagai inang baru. Dengan gamblang, elite politik
mempraktikkan korupsi struktural dihadapan publik.
2.2. Rekanalisasi Korupsi Struktural
Telah diuraikan sebelumnya bahwa trilogi korupsi yang
melanda pemimpin Subang bersinggungan erat dengan political will yang
mereka miliki. Rentetan peristiwa tersebut, memprakarsai penulis menempatkan
problem korupsi sebagai ranah struktural. Oleh karena itu, penting dalam hal
ini dilakukan rekanalisasi atau membuka kembali saluran korupsi dari akar
kebudayaan yang termanifestasikan ke dalam institusi pemerintahan.
Ajip Rosidi (2006: 189-191) berpendapat bahwa korupsi
sangat identik dengan kehidupan masyarakat pada zaman kerajaan Nusantara, di
mana konflik internal dan eksternal kerajaan ditandai sebagai sinyal lahirnya
mentalitas koruptif dengan mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok dibandingkan
persatuan dan kemakmuran masyarakat. Begitu pula dengan jejak kolonialisme dan
imperalisme Belanda melalui institusi VOC-nya terbentuk karena didukung oleh
watak pemimpin kerajaan yang koruptif pula. Bahkan, penyakit ini menggerogoti internal
pemerintahan kerajaan melalui suap dikalangan bangsawan dengan pihak kolonial
berupa jual beli status dan aset.
Zaman silih berganti, tapi watak koruptif elite kerajaan masih
relevan dengan elite politik masa kini, karena sama-sama bernafsu memonopoli
kekayaan negara. Patron-client elite politik mencapai titik nadir dengan
terus-menerus mengkapitalisasi juncto mengeksploitasi birokrasi. Mencermati
konsep means-ends scheme Merton, bahwa oportunitas penguasa Subang semata-mata
untuk melakukan optimalisasi profit pribadi melalui kapitalisasi proyek
pembangunan dan pendapatan daerah. Tekanan sosial sebagai pemangku kepentingan
mendorong penguasa Subang melakukan kompromi dengan pemilik modal demi
mempermulus perizinan atau melunakkan implementasi kebijakan daerah.
Nee (dalam Rachman, 2014: 112-113) mengemukakan bahwa
lingkungan institusional adalah akumulasi dari mekanisme pemerintahan yang
justru membentuk lingkungan transaksional di antara aktor-aktor berkepentingan,
bertipikal makro, dan berfokus pada pengelolaan. Setiap skema institusionalitas
menciptakan ruang dan organisasi dalam konteks bisnis. Hal-hal yang berpengaruh
pada skema institusional berupa sistem, standar operasional, input dan output
organisasi, dan relasi birokrat antarorganisasi. Komponen-komponen ini sangat seksis bagi aktor guna memaksimalkan
tujuan-tujuan struktural baik secara terintegrasi maupun terisolasi.
Dalam hal ini, elite politik yang telah bermetamorfosa
menjadi elite pemerintahan tentu memiliki segudang fasilitas yang mendukung
dirinya untuk merealisasikan visi dan misi. Melalui kerangka institusi bernama
pemerintahan Kabupaten Subang, elite politik dapat berpraktek di zona formal
dengan menjalankan roda pelayanan dan pembangunan secara terstruktur sekaligus
zona informal dengan membuka keran-keran negosiasi untuk mempercepat pencapaian
tujuan pemilik modal. Patrimonialisme elite politik akan diderivasikan ke
organisasi-organisasi pemerintahan lainnya yang bersinggungan dengan proyek
pemilik modal. Sehingga, sirkulasi zona informal-transaksional tetap
berlangsung secara simultan dan menguntungkan berbagai pihak yang terlibat,
sedangkan masyarakat tetap dirugikan.
Maraknya praktek patriominalisme elite politik juga
dibuktikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), melalui
rilisnya yang menyatakan terdapat 5 sektor yang paling banyak di korupsi.
(https://nasional.kompas.com/read/2019/02/08/12301311/5-sektor-yang-paling-banyak-dikorupsi-selama-2018-dana-desa-peringkat-satu):
1. Dana desa, 49 kasus infrastruktur yang merugikan negara
Rp17,1 miliar dan 47 kasus non-infrastruktur yang merugikan negara Rp20 miliar.
2. Pemerintahan, 13 kasus infrastruktur
pemerintahan yang merugikan negara Rp26,6 miliar dan 44 kasus non-infrastruktur
yang merugikan negara Rp260 miliar.
3. Pendidikan, 15 kasus infrastruktur yang
merugikan negara Rp34,7 miliar dan 38 kasus non-infrastruktur yang merugikan
negara Rp30 miliar.
4. Transportasi, 23 kasus infrastruktur yang
merugikan negara Rp366 miliar dan 9 kasus non-infrastruktur yang merugikan
negara Rp104 miliar.
5.
Kesehatan, 5 kasus infrastruktur kesehatan yang merugikan
negara Rp14,5 miliar dan 16 kasus non-infrastruktur yang merugikan negara
Rp41,8 miliar.
Apabila mengintrodusir penyebab korupsi dari perspektif
Didin S. Damanhuri, maka dapat dipahami bahwa akrobat elite politik merupakan
kompleksitas struktural yang sulit dikontrol. Pasalnya, bukan hanya karena
jabatan, tapi karena ada pertimbangan rasional untuk melakukan tindakan
koruptif. Corak tiga generasi Bupati Subang juga demikian, mereka mewarisi
peristiwa kelam dan meruntuhkan integritas demi beberapa nominal rupiah. Jika
roda pemerintahan semacam ini terus berlanjut, maka tidak menutup kemungkinan,
di pemerintahan tingkat bawah maupun di tingkat grassroot, elite politik
tidak akan sungkan mempublikasikan praktek korupsinya dihadapan masyarakat.
2.3. Restrukturalisasi Elite Politik: Upaya
Menegasikan Korupsi
Elite acapkali dipandang sebagai kalangan yang
mementingkan diri sendiri. Kemampuannya menguasai tatanan dimanfaatkan untuk
kepentingan sepihak, terlepas dari apakah hal itu sesuai atau tidak dengan
kepentingan masyarakat yang lebih luas. Karena itu, paradigma kita dalam
melihat persoalan korupsi dari hari ke hari mesti dimatangkan. Kiranya, elite
politik perlu melakukan restrukturalisasi baik dari aspek integritas hingga
kapabilitas.
Salah satu rekomendasi yang dapat dilakukan adalah dengan
menyelenggarakan kurikulum pendidikan anti-korupsi. Cara ini sebetulnya dapat
diamalkan pada pendidikan tingkat dasar (SD/MA) sampai perguruan tinggi
(PT/Universitas) sebagaimana dipelopori oleh KPK sebelumnya. Dengan asumsi transformasi
sekaligus internalisasi nilai-nilai moralitas, sensibilitas sosial, dan jagat
tata nilai lainnya bakal efektif melalui perantara bangku pendidikan (Agus
Wibowo, 2013: 10).
Kendati demikian, apakah pendidikan anti-korupsi juga termaktub
di dalam AD/ART partai politik di mana elite politik berkiprah? Sebagian dari
partai memang sudah mencantumkan bahkan mempraktekkannya di dalam program
kaderisasi. Tetapi, belum tentu pendidikan anti-korupsi benar-benar
diinternalisasi oleh elite politik. Padahal, banyak manfaat yang dapat dipetik
dari program ini apabila benar-benar direalisasikan oleh partai politik.
Kurikulum pendidikan anti-korupsi dapat meningkatkan tiga
aspek kecerdasan elite politik. Internalisasi aspek kognitif dilakukan dengan
memberikan informasi mengenai praktek KKN, konsekuensi hukum, dan dampaknya
bagi keberlangsungan bangsa. Aspek afektif dengan menumbuhkembangkan minat,
sikap, nilai, dan apresiasi dalam praktek non-KKN. Sedangkan aspek psikomotorik
akan menciptakan resistansi dikalangan elite politik untuk berpraktek KKN.
Gagasan ini sebetulnya disadur dari KPK yang berupaya
memutus jaringan KKN tidak hanya pada aspek legalitas hukum saja, tetapi juga
secara kultural maupun multikultural dengan memutus akar budayanya. Kedepan,
secara personalia elite politik tidak hanya mengamalkan kurikulum pendidikan
anti-korupsi secara struktural, tetapi juga hidden kurikulum secara
behavioral melalui politik administrasi pemerintahan yang akan dia jalankan di
masa yang akan datang.
KESIMPULAN
Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Subang merupakan
peristiwa fenomenal yang mengguncang pemerintahan, tetapi juga moral
intelektual dan nurani masyarakat. Deretan peristiwa yang berlangsung dari
tahun 2008 hingga 2018 ini menjadi bukti sahih betapa mencekamnya jerat KKN di
tangan elite politik. Mampu melumpuhkan inteligensi elite dengan bermodalkan political
will dan regulasi, dua prasyarat ini menjadi akses menarik memenuhi
kepentingan golongan dan pribadi. Meskipun terkesan retorik, tetapi upaya
rekanalisasi korupsi struktural hadir untuk menyadarkan publik, bahwa praktek
korupsi begitu kompleks dan masih eksis di bumi pertiwi, sampai saat ini.
Kendati demikian, kita sebagai golongan yang punya collective consciousness berperan
penting mengangkat isu-isu semacam ini. Rekomendasi pendidikan anti-korupsi
dipilih sebagai upaya untuk memanipulasi algoritma elite politik untuk berlaku
adil dan resistan terhadap KKN. Sehingga, perlahan tapi pasti urgensi anti-KKN
dan anti-korupsi dapat menyebar dari segala lini dan menginternalisasi civil
society.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Syeid Hussein.
1987. Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi. Terjemahan Nitwono. Jakarta:
LP3ES.
Angha, Nader. 2002. Teori I Kepemimpinan Berdasarkan
Kecerdasan Spiritual. Jakarta: Serambi.
Ardiansyah, Fitrah. 2018. “Hattrick, Tiga Bupati Subang
Terjerat Korupsi.” (https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2018/02/14/hattrick-tiga-bupati-subang-terjerat-korupsi-419518,
diakses 19 Januari 2019).
Damanhuri, Didin S. 2010. Ekonomi Politik dan
Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang
Berkembang. Bogor: IPB Press.
Gabrillin, Abban. 2019. “5 Sektor yang Paling Banyak
Dikorupsi Selama 2018, Dana Desa Peringkat Satu.” (https://nasional.kompas.com/read/2019/02/08/12301311/5-sektor-yang-paling-banyak-dikorupsi-selama-2018-dana-desa-peringkat-satu,
diakses 12
Maret 2019).
Handoyo, Eko. 2009. Pendidikan Anti Korupsi.
Semarang: Widyakarya.
Horby. 1989. Oxford Advanced Learner's Dictionary
(ed.). Oxford: Oxford University Press.
Mufti, Muslim. 2012. Teori-teori Politik.
Bandung: Pustaka Setia.
Priyatna, Haris. 2013. Kamus Sosiologi: Deskriptif
dan Mudah Dipahami. Bandung: Nuansa Cendekia.
Rachman, Meutia Ganie. 2014. Sosiologi Korupsi.
Jakarta: UI-Press.
Rosidi, Ajip. 2006. Korupsi dan Kebudayaan Sejumlah
Karangan Lepas. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi. 2011. Pendidikan
Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbud.
Varma, S.P. 1987. Teori Politik Modern. Jakarta:
Rajawali Pers.
Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Antikorupsi di
Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Karya: Budiman Pohan, S.Sos.
Mahasiswa Program Magister Sosiologi Universitas
Padjadjaran
bpohan22@gmail.com