Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Jumat, 05 April 2019

ELITE POLITIK DALAM TURBULENSI KORUPSI: REFLEKSI SOSIOLOGIS TERHADAP TRILOGI KASUS OPERASI TANGKAP TANGAN (OTT) BUPATI SUBANG

Korupsi merupakan fenomena penyimpangan sosial yang berbanding lurus dengan perkembangan peradaban manusia. Seolah-olah, korupsi adalah warisan kultural yang terus dipelihara dibalik nama “pemberantasan” dan “anti-korupsi”. Di sisi lain, korupsi diibaratkan sebagai patogen yang menginfeksi siapapun, baik di level individual maupun kelompok, mendarah daging, dan diwariskan ke generasi selanjutnya. Efeknya jelas berdampak luas bagi kemerosotan kemakmuran bangsa dan negara.

Sudah banyak literatur yang mengulas penyebab korupsi, seperti problem psikis dan rohani pribadi, hingga urusan libido kekuasaan struktural dan ekonomi yang menguasai diri. Begitu pula dengan lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti-korupsi. Hebohnya lagi, ditengah-tengah merebaknya orasi anti-korupsi, masyarakat justru dipertontonkan oleh drama Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Subang dari tahun 2008 hingga 2018. Peristiwa ini jelas-jelas menyayat hati publik yang telah menentukan pilihan pemimpin, namun menyaksikan atraksi koruptif elite politik yang berulang kali terjadi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tergoda untuk mengidentifikasi dan mendalami lebih jauh faktor-faktor penyebab turbulensi korupsi yang menimpa elite politik di tanah Subang secara beruntun. Selain itu, penulis berupaya menyegarkan kembali ingatan pembaca dengan membuka diskursus baru mengenai kasus-kasus korupsi dalam perspektif sosiologis.

1.      TINJAUAN PUSTAKA
1.1.       Pengertian Elite Politik
Elite diartikan sebagai golongan orang kaya dan orang yang menempati kedudukan atau pekerjaan yang dinilai tinggi oleh masyarakat (Haris Priyatna, 2013: 47). Dalam pengertian yang luas, elite adalah satu kalangan minoritas cerdik pandai yang berpengaruh dalam masyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun bidang sosial, administrasi, dan moral (Rahman, 2011: 15).

Gaetano Mosca menyebutkan lapisan elite yang berkuasa dengan sebutan classe politica/political elite. Elite politik ini merupakan kelompok terorganisasi yang memiliki kewenangan politik. Kelas elite ini terdiri dari minoritas terorganisasi yang akan memaksakan kehendaknya melalui “manipulasi ataupun kekerasan”, khususnya dalam demokrasi. Elite politik juga menunjukkan semua fungsi politik, monopoli kekuasaan, dan menikmati setiap keuntungan dari kekuasaan. Kekuasaan yang mereka miliki tidak berasal dari komunitasnya atau posisi ekonomi, tetapi dari organisasi yang berhubungan dengan kekuasaan publik negara (Mufti, 2011: 71).

Posisi elite yang begitu seksi tentu menstimulisasi individu untuk menggapai posisi strategis ini. Tidak heran, persaingan dan perbedaan kepentingan kerap terjadi dalam perebutan kekuasaan atau sirkulasi elite. Dalam perebutan kekuasaan atau sirkulasi elite, konflik bisa terjadi dalam internal elite, atau dengan elite lainnya yang bersaing satu sama lain. Menurut Pareto, sirkulasi elite terjadi dalam dua kategori. Pertama, pergantian terjadi di antara kelompok yang memerintah. Kedua, pergantian terjadi antara elite dengan penduduk lain. Pergantian model kedua berupa perekrutan yang terdiri atas individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elite baru, dan masuk dalam kancah perebutan kekuasaan dengan elite yang sudah ada (Varma, 1987: 203). Sementara Mosca melihat bahwa pergantian elite terjadi apabila elite menunjukkan kemampuan yang lebih baik, sehingga terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan atau digantikan oleh kelas penguasa yang baru (Varma, 1987: 205-206).

Elite politik memiliki kemampuan untuk mengakomodasi kepentingan publik dan mendistribusikan keadilan secara merata. Posisi ini begitu prestisius di mata masyarakat, karena hanya orang-orang berkompeten dan lihai dalam mengatur kekuasaan yang berhak mendudukinya. Namun, seringkali dijumpai justru elite politik beresiko menyalahgunakan status dan perannya yang berakibat pada perbuatan-perbuatan koruptif, demi memuaskan nafsu segelintir pemangku kepentingan. Sehingga, term “elite politik” menimbulkan distingsi dan sulit dicerna sebagai profesi suci memajukan kemaslahatan umat.

1.2.       Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya dikatakan bahwa corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut dikenal istilah corruption, corrupt (Inggris), corruption (Prancis) dan korruptie atau corruptie (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketikdakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian. Di Malaysia terdapat peraturan anti korupsi, dipakai kata “rasuah” berasal dari bahasa Arab “risywah”, menurut Kamus Umum Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi. Risywah (suap) secara terminologis yakni pemberian yang diberikan kepada seorang hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan (Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, 2011: 23).

Dalam pemakaian sehari-hari terutama bahasa-bahasa modern Eropa, seperti bahasa Inggris, kata korupsi dapat digunakan untuk menyebut kerusakan fisik seperti naskah yang rusak (a corrupt of manuscript), kerusakan tingkah laku (immoral), tidak jujur atau tidak percaya (dishonest) dan lainnya (Horby, 1989: 266). Dalam kajian-kajian mengenai korupsi ada berbagai definisi yang dikemukakan para ahli menyangkut terminologi korupsi. Syed Hussein Alatas mengatakan bahwa esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan (Alatas, 1987: viii).

1.3.       Korupsi  dalam Perspektif Sosiologis
Korupsi merupakan fenomena sosiologis yang memiliki implikasi ekonomi dan politik yang terkait dengan beberapa teori, seperti teori means-ends scheme yang diperkenalkan Robert K. Merton. Dalam teori Merton dinyatakan bahwa korupsi merupakan suatu perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma. Lebih jauh lagi dielaborasi bahwa setiap sistem sosial memiliki tujuan dan manusia berusaha untuk mencapainya melalui cara-cara (means) yang telah disepakati. Mereka yang menggunakan cara-cara yang telah disepakati bersama untuk mencapai tujuan bersama dalam golongan kompromis. Selain memberikan ruang bagi anggota-anggotanya mewujudkan tujuan, sistem sosial tidak jarang juga menimbulkan tekanan yang menyebabkan banyak orang tidak memiliki akses atau kesempatan di dalam struktur sosial, karena adanya pembatasan-pembatasan atau diskriminasi rasial, etnik, kapital, skill dan sebagainya (Handoyo, 2009: 55).

Golongan marjinal ini kemudian mencari berbagai cara untuk mendapatkan pengakuan dan akses terhadap sumber-sumber yang ada di masyarakat. Cara-cara kotor atau menyimpang dari norma masyarakat terpaksa mereka lakukan demi menyambung kehidupan mereka atau melawan ketidakadilan yang menimpa mereka. Teori Merton ini ditujukan untuk menjawab bagaimana kebudayaan terlalu menekankan sukses ekonomi tetapi membatasi kesempatan untuk mencapai dan menyebabkan tingkat korupsi yang tinggi (Angha, 2002).

Sedangkan Didin S. Damanhuri melihat bahwa korupsi di Indonesia lebih kepada gabungan dari sebab-sebab neo-patrimonialisme, kondisi historis-struktural akibat penjajahan plus “kondisi transisi” dari masyarakat tradisional dan agraris ke kompleksitas masyarakat baru yang lebih industrial dengan ekonomi uang dan sofistifikasi dari struktur masyarakat modern yang rasional dan sekuler (Damanhuri, 2010: 130-131).

Uraian tersebut di atas, akan dielaborasikan dengan kasus-kasus korupsi yang melanda elite politik di tanah Subang dengan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab merebaknya perilaku koruptif disertai resolusi sebagai upaya introspeksi diri untuk meminimalisasi pelanggaran hukum positif.

2.      PEMBAHASAN
2.1.       Trilogi Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Subang
Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Subang merupakan fenomena koruptif yang secara beruntun terjadi. Trilogi korupsi Bupati Subang menjadi bukti sahih bahwa kuasa elite menjadi komoditas laris. Berikut ini rentetan penangkapan tersangka korupsi Bupati Subang:

Pertama, Eep Hidayat, Bupati Subang yang menjabat pada periode 2003-2008 dan 2008-2013. Ia mengawali karir politiknya sebagai anggota DPRD Kabupaten Subang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Jelang akhir masa jabatannya di periode pertama, nama Eep disebut-sebut terlibat dalam kasus korupsi upah pungut pajak bumi dan bangunan. Akan tetapi ia masih bisa mengikuti dan memenangkan Pemilu 2008. Eep awalnya diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung pada 2011 dan divonis bebas. Namun putusan tersebut dimentahkan di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung yang memutuskan Eep bersalah. Eep divonis 5 tahun penjara dan membayar denda sebesar Rp 200 juta atau subsider 3 bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp2, 548 miliar.

Kedua, Ojang Suhandi. Sebelum menjabat Bupati Subang, Ojang Sohandi merupakan ajudan Eep Hidayat. Pada 2008, ia mendampingi Eep maju sebagai calon wakil bupati di Pilbup Subang. Mereka memenangkan pilkada dengan mengumpulkan 34,10% suara. Diberhentikannya Eep Hidayat yang terkena kasus korupsi membuat Ojang menggantikan posisi Eep. Ojang pun menjabat Bupati Subang sejak Agustus 2012. Karier politik Ojang Sohandi terbilang cemerlang. Di Pilbup Subang 2013, ia mampu memenangkan pilkada dan kembali memimpin Kabupaten Subang bersama wakilnya, Imas Aryumningsih. Belum tunai pengabdiannya sebagai kepala daerah Subang, Ojang ditetapkan sebagai tersangka suap kasus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2016 divonis delapan tahun penjara, Ojang mengaku menerima keputusan hakim. Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK, yang menuntut 9 tahun penjara.

Ketiga, Imas Suryaningsih. Setelah Bupati Subang Ojang Sohandi resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus suap oleh KPK pada 2016, Imas Aryumningsih kemudian menggantikan posisinya. Imas dilantik sebagai Bupati Subang untuk sisa masa jabatan 2013-2018. Ia menjadi bupati perempuan pertama dalam sejarah Subang. Namun, di akhir masa jabatannya, Imas justru terjerat OTT KPK. Imas diduga terlibat kasus korupsi terkait proyek pembangunan Pelabuhan Patimban. Seperti diketahui, Imas Aryumningsih kembali mencalonkan diri menjadi Bupati Subang di Pilbup Subang 2018. Ia diusung Partai Golkar dan PKB (https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2018/02/14/hattrick-tiga-bupati-subang-terjerat-korupsi-419518).

Jejak digital yang diidentifikasi penulis merefleksikan bahwa korupsi sebagai fenomena historis, berkelanjutan, dan berakar pada problem political will penguasa. Semacam patogen yang menempel dan menginfeksi tubuh sosial serta menderivasikannya ke tubuh sosial lainnya sebagai inang baru. Dengan gamblang, elite politik mempraktikkan korupsi struktural dihadapan publik.

2.2.       Rekanalisasi Korupsi Struktural
Telah diuraikan sebelumnya bahwa trilogi korupsi yang melanda pemimpin Subang bersinggungan erat dengan political will yang mereka miliki. Rentetan peristiwa tersebut, memprakarsai penulis menempatkan problem korupsi sebagai ranah struktural. Oleh karena itu, penting dalam hal ini dilakukan rekanalisasi atau membuka kembali saluran korupsi dari akar kebudayaan yang termanifestasikan ke dalam institusi pemerintahan.

Ajip Rosidi (2006: 189-191) berpendapat bahwa korupsi sangat identik dengan kehidupan masyarakat pada zaman kerajaan Nusantara, di mana konflik internal dan eksternal kerajaan ditandai sebagai sinyal lahirnya mentalitas koruptif dengan mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok dibandingkan persatuan dan kemakmuran masyarakat. Begitu pula dengan jejak kolonialisme dan imperalisme Belanda melalui institusi VOC-nya terbentuk karena didukung oleh watak pemimpin kerajaan yang koruptif pula. Bahkan, penyakit ini menggerogoti internal pemerintahan kerajaan melalui suap dikalangan bangsawan dengan pihak kolonial berupa jual beli status dan aset.

Zaman silih berganti, tapi watak koruptif elite kerajaan masih relevan dengan elite politik masa kini, karena sama-sama bernafsu memonopoli kekayaan negara. Patron-client elite politik mencapai titik nadir dengan terus-menerus mengkapitalisasi juncto mengeksploitasi birokrasi. Mencermati konsep means-ends scheme Merton, bahwa oportunitas penguasa Subang semata-mata untuk melakukan optimalisasi profit pribadi melalui kapitalisasi proyek pembangunan dan pendapatan daerah. Tekanan sosial sebagai pemangku kepentingan mendorong penguasa Subang melakukan kompromi dengan pemilik modal demi mempermulus perizinan atau melunakkan implementasi kebijakan daerah.

Nee (dalam Rachman, 2014: 112-113) mengemukakan bahwa lingkungan institusional adalah akumulasi dari mekanisme pemerintahan yang justru membentuk lingkungan transaksional di antara aktor-aktor berkepentingan, bertipikal makro, dan berfokus pada pengelolaan. Setiap skema institusionalitas menciptakan ruang dan organisasi dalam konteks bisnis. Hal-hal yang berpengaruh pada skema institusional berupa sistem, standar operasional, input dan output organisasi, dan relasi birokrat antarorganisasi. Komponen-komponen ini sangat seksis bagi aktor guna memaksimalkan tujuan-tujuan struktural baik secara terintegrasi maupun terisolasi.

Dalam hal ini, elite politik yang telah bermetamorfosa menjadi elite pemerintahan tentu memiliki segudang fasilitas yang mendukung dirinya untuk merealisasikan visi dan misi. Melalui kerangka institusi bernama pemerintahan Kabupaten Subang, elite politik dapat berpraktek di zona formal dengan menjalankan roda pelayanan dan pembangunan secara terstruktur sekaligus zona informal dengan membuka keran-keran negosiasi untuk mempercepat pencapaian tujuan pemilik modal. Patrimonialisme elite politik akan diderivasikan ke organisasi-organisasi pemerintahan lainnya yang bersinggungan dengan proyek pemilik modal. Sehingga, sirkulasi zona informal-transaksional tetap berlangsung secara simultan dan menguntungkan berbagai pihak yang terlibat, sedangkan masyarakat tetap dirugikan.

Maraknya praktek patriominalisme elite politik juga dibuktikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), melalui rilisnya yang menyatakan terdapat 5 sektor yang paling banyak di korupsi.
(https://nasional.kompas.com/read/2019/02/08/12301311/5-sektor-yang-paling-banyak-dikorupsi-selama-2018-dana-desa-peringkat-satu):
1.     Dana desa, 49 kasus infrastruktur yang merugikan negara Rp17,1 miliar dan 47 kasus non-infrastruktur yang merugikan negara Rp20 miliar.
2.      Pemerintahan, 13 kasus infrastruktur pemerintahan yang merugikan negara Rp26,6 miliar dan 44 kasus non-infrastruktur yang merugikan negara Rp260 miliar.
3.      Pendidikan, 15 kasus infrastruktur yang merugikan negara Rp34,7 miliar dan 38 kasus non-infrastruktur yang merugikan negara Rp30 miliar.
4.      Transportasi, 23 kasus infrastruktur yang merugikan negara Rp366 miliar dan 9 kasus non-infrastruktur yang merugikan negara Rp104 miliar.
5.      Kesehatan, 5 kasus infrastruktur kesehatan yang merugikan negara Rp14,5 miliar dan 16 kasus non-infrastruktur yang merugikan negara Rp41,8 miliar.

Apabila mengintrodusir penyebab korupsi dari perspektif Didin S. Damanhuri, maka dapat dipahami bahwa akrobat elite politik merupakan kompleksitas struktural yang sulit dikontrol. Pasalnya, bukan hanya karena jabatan, tapi karena ada pertimbangan rasional untuk melakukan tindakan koruptif. Corak tiga generasi Bupati Subang juga demikian, mereka mewarisi peristiwa kelam dan meruntuhkan integritas demi beberapa nominal rupiah. Jika roda pemerintahan semacam ini terus berlanjut, maka tidak menutup kemungkinan, di pemerintahan tingkat bawah maupun di tingkat grassroot, elite politik tidak akan sungkan mempublikasikan praktek korupsinya dihadapan masyarakat.

2.3. Restrukturalisasi Elite Politik: Upaya Menegasikan Korupsi
Elite acapkali dipandang sebagai kalangan yang mementingkan diri sendiri. Kemampuannya menguasai tatanan dimanfaatkan untuk kepentingan sepihak, terlepas dari apakah hal itu sesuai atau tidak dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Karena itu, paradigma kita dalam melihat persoalan korupsi dari hari ke hari mesti dimatangkan. Kiranya, elite politik perlu melakukan restrukturalisasi baik dari aspek integritas hingga kapabilitas.

Salah satu rekomendasi yang dapat dilakukan adalah dengan menyelenggarakan kurikulum pendidikan anti-korupsi. Cara ini sebetulnya dapat diamalkan pada pendidikan tingkat dasar (SD/MA) sampai perguruan tinggi (PT/Universitas) sebagaimana dipelopori oleh KPK sebelumnya. Dengan asumsi transformasi sekaligus internalisasi nilai-nilai moralitas, sensibilitas sosial, dan jagat tata nilai lainnya bakal efektif melalui perantara bangku pendidikan (Agus Wibowo, 2013: 10).

Kendati demikian, apakah pendidikan anti-korupsi juga termaktub di dalam AD/ART partai politik di mana elite politik berkiprah? Sebagian dari partai memang sudah mencantumkan bahkan mempraktekkannya di dalam program kaderisasi. Tetapi, belum tentu pendidikan anti-korupsi benar-benar diinternalisasi oleh elite politik. Padahal, banyak manfaat yang dapat dipetik dari program ini apabila benar-benar direalisasikan oleh partai politik.

Kurikulum pendidikan anti-korupsi dapat meningkatkan tiga aspek kecerdasan elite politik. Internalisasi aspek kognitif dilakukan dengan memberikan informasi mengenai praktek KKN, konsekuensi hukum, dan dampaknya bagi keberlangsungan bangsa. Aspek afektif dengan menumbuhkembangkan minat, sikap, nilai, dan apresiasi dalam praktek non-KKN. Sedangkan aspek psikomotorik akan menciptakan resistansi dikalangan elite politik untuk berpraktek KKN.

Gagasan ini sebetulnya disadur dari KPK yang berupaya memutus jaringan KKN tidak hanya pada aspek legalitas hukum saja, tetapi juga secara kultural maupun multikultural dengan memutus akar budayanya. Kedepan, secara personalia elite politik tidak hanya mengamalkan kurikulum pendidikan anti-korupsi secara struktural, tetapi juga hidden kurikulum secara behavioral melalui politik administrasi pemerintahan yang akan dia jalankan di masa yang akan datang.

KESIMPULAN

Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Subang merupakan peristiwa fenomenal yang mengguncang pemerintahan, tetapi juga moral intelektual dan nurani masyarakat. Deretan peristiwa yang berlangsung dari tahun 2008 hingga 2018 ini menjadi bukti sahih betapa mencekamnya jerat KKN di tangan elite politik. Mampu melumpuhkan inteligensi elite dengan bermodalkan political will dan regulasi, dua prasyarat ini menjadi akses menarik memenuhi kepentingan golongan dan pribadi. Meskipun terkesan retorik, tetapi upaya rekanalisasi korupsi struktural hadir untuk menyadarkan publik, bahwa praktek korupsi begitu kompleks dan masih eksis di bumi pertiwi, sampai saat ini. Kendati demikian, kita sebagai golongan yang punya collective consciousness berperan penting mengangkat isu-isu semacam ini. Rekomendasi pendidikan anti-korupsi dipilih sebagai upaya untuk memanipulasi algoritma elite politik untuk berlaku adil dan resistan terhadap KKN. Sehingga, perlahan tapi pasti urgensi anti-KKN dan anti-korupsi dapat menyebar dari segala lini dan menginternalisasi civil society.


DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Syeid Hussein. 1987. Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi. Terjemahan Nitwono. Jakarta: LP3ES.
Angha, Nader. 2002. Teori I Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Spiritual. Jakarta: Serambi.
Ardiansyah, Fitrah. 2018. “Hattrick, Tiga Bupati Subang Terjerat Korupsi.” (https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2018/02/14/hattrick-tiga-bupati-subang-terjerat-korupsi-419518, diakses 19 Januari 2019).
Damanhuri, Didin S. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang. Bogor: IPB Press.
Gabrillin, Abban. 2019. “5 Sektor yang Paling Banyak Dikorupsi Selama 2018, Dana Desa Peringkat Satu.” (https://nasional.kompas.com/read/2019/02/08/12301311/5-sektor-yang-paling-banyak-dikorupsi-selama-2018-dana-desa-peringkat-satu, diakses 12 Maret 2019).
Handoyo, Eko. 2009. Pendidikan Anti Korupsi. Semarang: Widyakarya.
Horby. 1989. Oxford Advanced Learner's Dictionary (ed.). Oxford: Oxford University Press.
Mufti, Muslim. 2012. Teori-teori Politik. Bandung: Pustaka Setia.
Priyatna, Haris. 2013. Kamus Sosiologi: Deskriptif dan Mudah Dipahami. Bandung: Nuansa Cendekia.
Rachman, Meutia Ganie. 2014. Sosiologi Korupsi. Jakarta: UI-Press.
Rosidi, Ajip. 2006. Korupsi dan Kebudayaan Sejumlah Karangan Lepas. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi. 2011. Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbud.
Varma, S.P. 1987. Teori Politik Modern. Jakarta: Rajawali Pers.
Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Antikorupsi di Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Karya: Budiman Pohan, S.Sos.
Mahasiswa Program Magister Sosiologi Universitas Padjadjaran
bpohan22@gmail.com