Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknnologi memberikan kemudahan bagi manusia dalam rangka menjalankan pekerjaan dan membangun peradaban. Kecanggihan teknologi tidak menjadikan waktu dan jarak sebagai keterbatasan bagi setiap orang untuk berinteraksi secara daring. Kemudahan mendapatkan segala kebutuhan dengan akses yang instan menyebabkan tenaga manusia mulai tergantikan oleh mesin. Namun keberlangsungan proses sosial bersifat mengikat dimana pada akhirnya interaksi sosial menciptakan suatu kebutuhan yang beragam antar individu. Hal tersebut menjadikan setiap individu dapat mempengaruhi individu lain dalam memenuhi kebutuhan disetiap bidang kehidupan. Seringkali kebutuhan membangun relasi antar individu erat hubungan dengan tujuan guna mendapatkan keuntungan(finansial) maupun meningkatkan citra sosial. Namun sikap prososial yang muncul sebagai reaksi atas dasar kemanusiaan menjadi gambaran yang positif bagi kehidupan sosial. Kepedulian antar sesama individu adalah refleksi dari proses sosial yang tengah berlangsung dimasyarakat. Sikap prososial atas dasar kemanusiaan sering kali muncul mengabaikan alasan untuk sekedar mendapatkan keutungan. Tidak jarang pelaku prososial merelakan tenaga, pemikiran, ide, harta bahkan nyawa untuk kehidupan orang lain secara sukarela.
Dewasa ini muncul pernyataan tentang teknologi yang menyebabkan penurunan sikap prososial pada generasi milenial. Pada faktanya hal tersebut tidak dapat dipukul rata secara umum. Generasi milenial yang lahir dalam masa perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan tentu mendapatkan tantangan yang lebih besar daripada generasi sebelumnya. Filtrasi informasi menjadi semakin sulit, penduduk yang semakin bertambah, tingkat kebutuhan yang semakin variatif serta persaingan mendapatkan pekerjaan menjadi faktor penghambat perilaku prososial. Namun dalam beberapa kasus, muncul anak-anak muda yang begerak dan menciptakan ranah prososial. Media dan teknologi memberikan stimulus kepada para pengguna untuk ikut serta membuat perubahan. Banyak anak muda memanfaatkan teknologi dalam rangka membangun sikap prososial dengan cara yang baru. Tidak jarang sebagian dari generasi milenial melawan arus dan menciptakan kehidupan prososialnya sendiri. Alasan diatas membuktikan menjadi sangat dini untuk menyimpulkan milenial menjadi semakin kontra sosial.
Palang Merah Indonesia(PMI) sebagai organisasi perhimpunan pertama dan terbesar tingkat nasional yang bergerak dibidang sosial kemanusian tentu memilliki kontribusi dan sumbangsi yang penting bagi bangsa. Kader-kader PMI telah aktif bergerak membantu dan menyelesaikan tugas kemanusiaan secara profesional dan dipercaya oleh masyarakat. Sukarelawan PMI datang dari berbagai kalangan yang mengabdikan diri atas nama kemanusiaan termasuk anak muda. Secara konstitusi PMI telah diakui sebagai organisasi kemanusiaan di Indonesia menurut UU No.1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan. Berbagai kegiatan prososial PMI telah memberikan wadah besar bagi generasi milenial untuk memanfaatkan tehnologi guna menciptakan sikap prososial dimasyarakat.
Generasi milenial kini mulai masuk ke dalam pemerintahan, menjadi pemimpin perusahaan dan menjalankan roda perekonomian melalui teknologi. Namun banyak generasi milenial tergerak menggunakan kemajuan teknologi tersebut dalam peran-nya menggagas dan membentuk komunitas sosial. Media sosial menjalankan fungsi dalam rangka membentuk pertalian(linkage) dalam proses komunikasi masa yang terjadi diera digital. Banyak kader PMI berasal dari generasi milenial yang tertarik ikut bergabung sejak bangku sekolah menengah melalui ekstrakurikuler Palang Merah Remaja(PMR). Sebenarnya edukasi tentang pengenalan kesehatan dan jiwa kesukarelaan telah sejak dini telah diberikan melalui wadah Palang Merah Remaja(PMR). Mulai dari PMR Mula(SD/MI), PMR Madya(SMP/MTS) dan PMR Wira(SMA/SMK/MA). Hal inilah yang menjadi salah satu alasan adanya relawan yang secara konsisten peduli dan melakukan perilaku prososial dari stimulus yang ia dapatkan sejak dini. Stimulus dan penguatan muncul bersamaan dengan berbagai perilaku prososial yang menjadi sebab sekaligus yang menciptakan produk prososial dari permasalahan yang terjadi di dunia nyata. Sedangkan munculnya relawan yang aktif tanpa adanya stimulus sejak awal menjadi salah satu fenomena yang menarik untuk diteliti.
Perilaku prososial secara sederhana dapat diartikan sebagai segala perbuatan yang menguntungkan orang lain, menolong orang lain dan membuat keadaan orang lain menjadi lebih baik. Batson (dalam Taylor. dkk, 2009:457) mengemukakan prosocial behavior(perilaku prososial) adalah kategori yang lebih luas, ia mencakup pada setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong. Secara lebih khusus penulis menyimpulkan bahwa perilaku prososial mengacu pada segala tindakan seseorang untuk membantu orang lain ketika mendapatkan stimulus atau dorongan dengan atau tanpa adanya situasi atau kondisi tertentu. Sikap prososial menjadi ruh bagi adanya interaksi sosial yang ada dimasyarakat. Prososial menciptakan cara yang menjalin interaksi berjalan semakin dinamis antar individu. Oleh karena itu prososial dapat memiliki arti segala sesuatu yang dilakukan dalam rangka membangun pertalian positif dengan orang lain melalui berbagai methode dan media tertentu.
Eisenberg dan Mussen(dalam Dayakisni,2009) menyatakan prososial sebagai suatu tindakan yang lebih khusus mencangkup banyak tindakan seperti berbagi, menyumbang, kerjasama, kejujuran, kedermawanan, menolong dan mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain. Menurut Baron dan Byrne(2005), perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong. Perilaku prososial sebagai suatu risiko atas pilihan perilaku yang dilakukan oleh seseorang yang mengorbankan sumber daya dari dirinya. Dorongan yang ada dalam pribadi seseorang menuntut implementasi tidak menghiraukan keadaan seorang pelaku prososial demi mencapai tujuan guna membantu orang lain. Berdasarkan berbagai referensi di atas bahwa perilaku prososial memiliki tingkat pengaplikasian yang masif sehingga menjadi perilaku yang variatif untuk dipraktikan. Perilaku prososial adalah segala bentuk tindakan seseorang yang mencakup beragam bentuk yang menyebabkan keuntungan dan mengarahkan keadaan yang lebih baik pada kehidupan orang lain.
Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) generasi milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1980-an dan 2000-an yang kehidupanya tidak lepas dari teknologi. Generasi yang lahir ditengah perkembangan teknologi yang begitu masif. Generasi milenial mendapatkan pengaruh yang besar atas berbagai kontribusi teknologi termasuk teknologi informasi dan media sosial. Perilaku prososial pada generasi milenial mencerminkan perpaduan teknologi dengan tindakan sosial untuk memberikan pengaruh postif kepada orang lain. Teknologi menjadi pendorong sekaligus hambatan bagi terciptanya suatu perilaku prososial generasi milenial dimasyarakat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), relawan adalah orang- orang yang secara sukarela memberikan sumbangan pikiran, keahlian, tenaga, waktu, dan lain-lain, sebagai wujud kepedulian pada kemanusiaan, perubahan sosial atau lingkungan tertentu. Menurut Schoender(Bonar & Fransisca, 2012) relawan adalah individu yang rela menyumbangkan tenaga atau jasa, kemampuan, dan waktu tanpa mengharapkan upah secara finansial atau tanpa mengharapkan keuntungan materi dari organisasi pelayanan yang mengorganisasi suatu kegiatan tertentu secara formal. Berdasarkan referensi di atas bahwa relawan melakukan perilaku prososial dengan keahlian atau keterampilan dibidang sosial. Relawan menjadi sebutan bagi mereka yang secara tanpa dorongan melakukan tugas sosial guna memberikan manfaat kepada orang lain.
Menurut Omoto dan Snyder(1995), ciri-ciri dari relawan yaitu:
a.Selalu mencari kesempatan untuk membantu. Dalam membantu ini pertolongan yang diberikan membutuhkan waktu yang relatif lama serta tingkat keterlibatan yang cukup tinggi.
b.Komitmen diberikan dalam waktu yang relatif lama.
c.Memerlukan personal cost yang tinggi(waktu, tenaga, uang dan sebagainya).
d.Mereka tidak kenal orang yang mereka bantu.
e.Tingkah lakuyang dilakukan relawan adalah bukan keharusan.
Berdasarkan beberapa referensi di atas bahwa pada tingkatan ini relawan merupakan sebuah pelaku perilaku prososial yang mengimplementasikan berbagai dukungan postif melalui tindakan guna menolong, bergerak atif dan terjun untuk mengetahui serta menyelesaikan permasalahan sosial. Perilaku prososial muncul sebagai proses berkelanjutan dalam waktu tertentu. Keberadaan stimulus dalam proses mempegaruhi adanya reaksi perilaku prososial seorang relawan. Munculnya komitmen sebagai ciri-ciri sebagai keberlangsungan perilaku secara tetap yang menunjukan keseriusan dalam bertindak dalam kurun waktu tertentu.
Palang Merah Indonesia merupakan organisasi perhimpunan nasional di Indonesia yang bergerak dalam bidang sosial kemanusiaan. Dilansir dari PMI.or.id, Sukarelawan PMI secara aktif bergerak dalam berbagai perilaku prososial seperti pelayanan berbasis masyarakat, pelayanan donor darah, pertolongan pertama, bencana dan konflik, layanan konseling dan sosialisasi pendidikan remaja sebaya, dapur umum, rekuitmen sukarelawan, pelatihan spesialisasi, pengembangan organisasi serta bimbingan sukarelawan muda dalam lingkup Palang Merah Remaja(PMR). Selama 74 tahun, PMI seacara konsisten telah membuktikan eksitensinya dalam membantu dan berkontribusi bagi bangsa sesuai 7 prinsip Kepalangmerahan dan Bulan Sabit Merah Internasional. Beberapa sukarelawan yang tergabung dalam Palang Merah Indonesia(PMI), sebagai berikut :
1. Korps Sukarela (KSR)
Korps sukarela adalah kesatuan unit PMI yang menjadi wadah bagi anggota biasa dan perseorangan yang atas kesadaran sendiri menyatakan menjadi anggota KSR.
2. Tenaga Sukarela (TSR)
Tenaga sukarela adalah anggota PMI yang direkrut dari kalangan masyarakat yang berlatar belakang profesi atau memiliki keterampilan tertentu.
Sedangkan Palang Merah Remaja(PMR) adalah calon relawan yang terdiri dari usia 11-18 tahun yang mendapatkan pendidikan sebagai calon relawan masa depan. Palang merah Indonesia(PMI) berdiri pada tanggal 17 September 1945. Organisasi ini didirikan atas alasan membantu sesama dibidang sosial kemanusiaan sesuai secara profesional, independen dan sukarela.
B.F Skinner memiliki nama lengkap Burrhus Fredic Skinner adalah seorang
anak pengacara yang lahir di Susquehana, Pensylvania , Amerika serikat pada tanggal 20 maret 1904. Skinner kecil merupakan anak yang kreatif dan telah mewarisi kecerdasan ibunya. Ayah skinner adalah seorang pengacara yang menjadi General Counsel disebuah perusahan batu bara. Sejak kecil, Skinner suka menulis beberapa karya sastra seperti puisi dan cerita pendek. Setelah lulus sekolah menengah, Skinner melanjutkan pendidikan tinggi di Hamilton College di dekat Uthica, Pada tahun 1932, Skinner meneruskan pendidikan di Hanvard mengambil kuliah jurusan psikologi yang mengkhusukan diri pada bidang tingkah laku hewan. Sebelum ia berkuliah di jurusan psikologi, Skinner telah terlebih dahulu meraih gelar doktor pada tahun 1931. Kemudian pada tahun berikutnya, Skinner menjalani peran sebagai salah satu pengajar di Universitas Minnesota. Skinner juga pernah menjabat sebagai dekan fakultas psikologi di Universitas Indiana sebelum akhirnya kembali ke Hanvard sebagai salah satu guru besar psikologi di Universitas Hanvard.
Mulai pada tahun 1930-1940-an, Skinner melakukan beberapa penelitian untuk tingkah laku hewan.Skinner meneliti tentang pengondisian operan (operant conditioning). Ia meneliti tingkah laku tikus dalam sebuah box yang disebut dengan skinner box. Pada tahun 1954, Sebuah symposium tentang kecendeungan-kecenderungan psikologi dikuti oleh Skinner. Pada tahun yang sama Skinner mendapatkan pengakuan sebagai “pencipta tehnologi pendidikan” setelah dirinya memamerkan hasil temuanya tentang penggunaan media dalam pembelajaran yang ia presentasi dalam Hanvard Educational Review pada tahun 1954. Dalam teori yang dikemukakan oleh thorndike bahwasanya skinner menyatakan tentang penguatan terhadap suatu perilaku yang cenderung akan diulangi sedangkan pada perilaku yang tidak ada unsur penguatnya cenderung akan menghilang atau terhapus. Konsep inilah yang menjadi dasar teori perubahan perilaku dari skinner. Skinner telah membutikan bahwa suatu perilaku muncul sebagai hasil adanya stimulus spesifik yang ada mempengaruhi suatu individu(Innate behavior) ataupun individu memunculkan stimulus itu sendiri setelah mendapat penguatan.
Stimulus dan penguat(reinforcement) perilaku prososial
Dalam teori perubahan perilaku B.F Skinner tentang pengondisian operan(operant conditioning) menyatakan bahwa stimuli yang diberikan kepada seseorang akan mempersuasi seseorang untuk merubah sikapnya. Hal tersebut dapat terjadi apabila seseorang komunikator berhasil meyakinkan komunikan untuk menerima pesan yang disampaikan. Teori yang disebut dengan teori S-O-R (Stimuli-Organisme-Respon) menjadi salah satu cara yang efektif untuk melakukan kajian secara mendalam tentang cara paling efektif untuk menyampaikan informasi kepada komunikan(penerima informasi). Sebagai contoh, seorang guru menjelaskan materi pelajaran(mapel) kepada muridnya dengan metode ceramah dalam waktu yang lama tanpa adanya perubahan cara. Stimuli yang konstan yang diberikan kepada murid melalui teknik ceramah menyebabkan beberapa murid merasa mengantuk dan sulit menerima informasi. Hal inilah yang disebut sebagai respon(efek) dari adanya stimuli diawal tadi.
Stimulus dan penguat(reinforcement) perilaku prososial anggota KSR PMI Kabupaten Pekalongan
Pada penelitian ini, peneliti hendak mengetahui tentang pemberian stimuli terhadap tingkat partisipatif anggota milenial KSR PMI Kabupaten Pekalongan yang dikaji melalui metode studi kasus dengan tehnik wawancara(menanyakan beberapa pertanyaan kepada partisipan). Peneliti hendak mengelompokan anggota KSR menjadi 4 jenis kelompok yakni, sebagai berikut :
1. Kelompok A
Merupakan seorang generasi milenial(18-35tahun) yang telah mendapatkan stimuli(pelatihan dan pendidikan dasar PMR) ditingkat sekolah menengah dan melanjutkan diri sebagai anggota Korps sukarela(KSR)
2. Kelompok B
Merupakan seorang generasi milenial(18-35tahun) yang telah mendapatkan stimuli(pelatihan dan pendidikan dasar PMR) secara aktif ditingkat sekolah menengah namun memutuskan tidak melanjutkan menjadi anggota korps sukarela(KSR).
3. Kelompok C
Merupakan seorang generasi milenial(18-35tahun) yang tidak pernah mendapatkan stimuli(pelatihan dan pendidikan dasar PMR) ditingkat sekolah menengah namun memilih bergabung menjadi anggota Korps Sukarela(KSR).
4. Kelompok D
Merupakan seorang generasi milenial(18-35tahun) yang tidak pernah mendapatkan stimuli(pelatihan dan pendidikan dasar PMR) ditingkat sekolah menengah dan tidak menjadi anggota korps sukarela(KSR).
Peneliti memilih 10 orang(sesuai kriteria kelompok) dan melakukan wawancara(mengajukan pertanyaan terbuka) melalui media sosial whatsapp. Daftar partisipan yang mengikuti wawancara adalah sebagai berikut :
1. SH, 23 tahun (Kelompok A)
2. KS, 23 tahun(Kelompok B)
3. FT, 22 tahun(Kelompok B)
4. AK, 21 tahun (Kelompok A)
5. DR, 20 tahun(Kelompok B)
6. NHA, 20 tahun(Kelompok A)
7. MIH, 20 tahun(Kelompok B)
8. FN, 19 tahun(Kelompok A)
9. WI, 19 tahun(Kelompok A)
10. HM, 19 tahun(Kelompok A)
Berdasarkan penelusuran, peneliti tidak mendapatkan anggota milenial Korps Sukarela PMI Kabupaten Pekalongan yang merupakan kelompok C. Hal ini berarti sepuluh partisipan adalah seseorang yang pernah mendapatkan stimuli(pelatihan dan pendidikan dasar PMR) di sekolah menengah namun memiliki respon(efek) yang berbeda. Peneliti menemukan bahwa 3 dari 10 partisipan yakni KS, DR, dan MIH adalah anggota kelompok B yang telah mengikuti kegiatan PMR secara aktif mulai dari PMR Madya(SMP/MTS) hingga PMR Wira(SMA/SMK/MA) selama dua kali masa periode(dua tahun sebagai PMR Madya dan dua tahun sebagai PMR Wira). Sedangkan 5 anggota kelompok A yakni SH,WI,HM,FN,AK mendapatkan stimuli lebih pendek dan hanya pernah menjadi anggota PMR Wira(SMA/SMK/MA) selama satu kali masa periode(satu tahun sebagai anggota dan satu tahun sebagai pengurus). Sedangkan tersisa, satu orang(kelompok A) yakni NHA yang pernah mengikuti kegiatan PMR dari PMR Madya(SMP/MTS) hingga PMR Wira(SMA/SMK/MA) serta satu anggota kelompok B yakni FT yang pernah mengikuti PMR hanya dari PMR Wira(SMA/SMK/MA) selama satu kali masa periode. Dari temuan subjektif di atas, peneliti mengajukan pertanyaan kembali kepada tiga orang yakni KS,DR, dan MIH untuk menemukan respon(efek) dari stimuli(Keikutsertaan PMR dalam 2 kali periode). Pertanyaan yang diberikan kepada KSR, DR dan MIH,adalah sebagai berikut :
“ Apakah saudara mengikuti komunitas/lembaga sosial lain selain PMI?”
Dari pertanyan kepada tiga partisipan di atas, peneliti menemukan 2 dari 3 partisipan tidak mengikuti komunitas/lembaga sosial selain PMI. Sedangkan peneliti kembali mengajukan pertanyaan yang sama 7 partisipan lain yakni FT,SH,WI,HM,FN,NHA dan AK. Peneliti menemukan bahwa empat partisipan tidak mengikuti komunitas/lembaga sosial selain PMI yakni SH,FT,NHA dan WI. Sedangkan ada tiga partisipan mengikuti komunitas/lembaga sosial selain PMI yakni AK,FN dan HM. Sehingga dapat disimpulkan bahwa 4 dari 10 partisipan aktif mengikuti komunitas/lembaga sosial selain PMI dimana 3 diantaranya dari kelompok A. Berdasarkan beberapa temuan subjektif diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa semakin banyak dan semakin lama stimuli(Pendidikan dan pelatihan dasar PMR) dijalani oleh partisipan maka respon(efek) yang diteima oleh partisipan untuk terpersuasi menjadi anggota Korps Sukarela menjadi semakin kecil. Hal tersebut tersebut sangat relevan dengan hukum law extincion, dimana jika suatu tingkah laku stimulus penguat dalam kondisioning tidak diringi oleh stimulus penguat, maka tingkah laku akan menurun bahkan musnah. Gambaran teori tersebut dapat menjelaskan fenomena bahwa tiga partisipan pada kelompok B yang menerima stimuli(Pendidikan dan Pelatihan dasar PMR) lebih lama dan lebih besar daripada lima partisipan yang hanya menerima stimuli terbatas justru memiliki motivasi yang lebih kecil untuk bergabung menjadi relawan. Perilaku Alami(Innate Behavior) yang diharapkan dari pemberian stimulus yang spesifik ternyata melahirkan hasil berbeda. Sedangkan hal yang berlawanan terjadi pada partisipan dikelompok A. Dimana partisipan kelompok A yang mendapatkan stimuli terbatas(lebih pendek) cenderung mendapatkan motivasi lebih untuk bergabung menjadi anggota Korps sukarela. Hal tersebut sesuai dengan hukum pengondisian operan(operant condiotioning) dimana partisipan kelompok A mendapatkan penguat( aktif di beberapa organisasi/komunitas sosial lain) sehingga tingkah laku(motivasi) bergabung menjadi anggota Korps Sukarela semakin meningkat. Hal tersebut membuktikan adanya perilaku operan(operant behavior) dimana perilaku yang timbul berasal dari stimulus yang tidak diketahui dan semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri.
KESIMPULAN
Peneliti percaya dan meyakini bahwa penelitian yang menggunakan studi kasus ini akan menjadi subjektif dan hanya berlaku pada suatu kelompok yang diteliti. Penelitian dilakukan dengan waktu yang terbatas dan perlu kajian secara mendalam kembali dengan menggunakan lebih banyak sample dan memerlukan lebih banyak variabel penelitian, Oleh karena itu penelitian ini hanya dapat menjadi referensi tambahan dan masih membutuhkan penelitian lanjutan dikemudian hari. Peneliti dapat menyimpulkan bahwa hasil-hasil temuan subjektif di atas dapat membuktikan relasi teori B.F skinner dalam kehidupan nyata. Peneliti membuktikan bahwa stimuli diberikan tanpa adanya penguat akan menjadi semakin hilang atau terhapus. Prososial dalam bentuk perilaku menjadi penting untuk diciptakan agar menumbuhkan relawan-relawan milenial masa depan yang konsisten,loyal dan profesional.
SARAN
Peneliti percaya dan yakin pengubahan metode dan media pembelajaran dalam organisasi Palang Merah Remaja(PMR) sebagai proses pemberian stimuli perlu diperbaharui melalui cara-cara belajar yang ‘out of the box’ dan inovatif. 7 materi PMR sebagai bahan yang sangat cocok apabila mampu dikolaborasi melalui tehnik S-O-R dengan media dan metdode yang menarik. Peneliti percaya dan yakin pentingnya keaktifan generasi milenial dalam organisasi/komunitas sosial agar terus ditingkatan dan dielaborasikan dengan permasalahan yang relevan pada keadaan zaman. Kolaborasi menjadi iklim yang perlu dibangun untuk menciptakan kader-kader relawan harapan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Isti’adah, Feida Noorlail. 2020. Teori-Teori Belajar dalam Pendidikan. Tasikmalaya: EDU PUBLISHER
Ningrum, Hesti yunita,. Suprapti, Sri. “Pengaruh Karakteristik Informasi Akutansi dan desentralisasi terhadap kinerja manajerial (Studi kasus Palang Merah Indonesia Provinsi Jawa Tengah)”
(http://jurnal.untagsmg.ac.id/index.php/sa/article/viewFile/475/515 ,diakses 5 Juni 2020) Jurnal UNTAG Semarang Volume 5 Nomor 2 tahun 2016
Sidiq, Ilham. 2015. “Gambaran Perilaku Prososial Pada Seorang Lansia(Studi Kasus Pada Seorang Relawan Lanjut Usia Yang Masih Aktif Dan Berkontributif Sebagai Sukarelawan Di PMI Kabupaten Bandung”. Diploma Thesis, UIN Sunan Gunung Djati.
Irwanto,Filipus Neri. 2008. “Hubungan Motif Prososial dan Semangat Kerja Relawan dilembaga PMI Yogyakarta.” Skripsi , Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
www.pmi.r.id diakses pada tanggal 06/06/2020 pukul 14:02 WIB
|
Karya: Suwandi Aris Wibowo
Mahasiswa Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam
Fakultas Ushuluddin, Adab dan
Dakwah
Institut Agama dan Islam Negeri
PekalonganAdd caption
|