Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Selasa, 19 September 2017

Mahasiswa dan Proses Pergerakan di Aras Lokal, Refleksi atas Pemikiran Gerakan Sosial Transformatif dari Mansour Fakih : Studi Kasus KOMPPAS (Komunitas Mahasiswa Peduli Pedagang Sunmor)

I. Pendahuluan 
Mahasiswa adalah sebuah lapisan masyarakat terdidik yang menikmati kesempatan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Sesuai dengan perkembangan usianya yang secara emosional sedang bergejolak menuju kematangan dan berproses menemukan jati diri, dan sebagai sebuah lapisan masyarakat yang belum banyak dicemari kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis, alam pikiran mahasiswa beorientasi pada nilai-nilai ideal dan kebenaran. Karena orientasi idealis dan pembelaannya pada kebenaran, sebagian ahli memasukkannya ke dalam kelompok cendekiawan. 

Mahasiswa menjadi obyek yang menarik. Hal ini disebabkan mahasiswa mempunyai "ciri khas tersendiri" yang membuat ia menjadi berbeda dengan masyarakat lainnya. Ciri khas dari mahasiswa adalah selain ia mempunyai pendidikan relatif tinggi, mahasiswa juga sebagai "mahluk" yang "kreatif" dalam perilakunya, "dinamis" dalam melakukan pencarian dan pengembangan potensi diri, "kritis" dalam melihat dan merespon realitasnya dan memiliki idealisme yang cukup tinggi. sehingga ia selalu sensitif terhadap apa yang terjadi pada lingkungan dimana ia hidup. 

Mahasiswa berusaha mengekspresikan idealitas dan kepekaan sosial melalui gerakan. Para mahasiswa melancarkan suatu gerakan yang tertuju pada masyarakat dan banyak membawa perubahan pada perkembangan sejarah. Peranan mahasiswa semakin menonjol dan lebih bermakna dengan perkembangan dinamika masyarakat, hal itu mencerminkan semangat mahasiswa yang penuh idealisme merupakan pancaran dari usia muda. Mereka amat peka melihat penderitaan masyarakat serta akan memperlihatkan sikap memberontak terhadap ketidakadilan dan kesewenangwenangan berdasarkan identitas mereka sendiri. Semua itu terpancar pada lingkungan sosial mereka dan terwujud pada suatu bentuk peranan unik, sentimen dan kritik dalam perspektif lampau, kini dan yang akan datang. 

Gerakan mahasiswa merupakan bagian dalam gerakan sosial, muncul karena adanya motivasi tertentu. Salah satu bentuk dari motivasi mahasiswa antara lain adanya keinginan untuk mengadakan perubahan atau koreksi terhadap hal yang menyimpang dalam kehidupan sosial. Sebagai gerakan mahasiswa cenderung bermuara idealisme subjektif mahasiswa akan kondisi sosialnya. Komunitas Mahasiswa Peduli Pedagang Sunday Morning (KOMPPAS) merupakan salah satu bentuk gerakan sosial yang diinisiasi para mahasiswa di UGM. KOMPPAS muncul atas kepekaan mahasiswa terhadap permasalahan yang muncul dalam kegiatan perdagangan di Sunmor. Munculnya KOMPPAS telah memiliki peran dalam pengelolaan Sunmor baik dalam membantu upaya penyelesaian permasalahan maupun terkait relokasi Sunmor. KOMPPAS telah menjadi gerakan sosial yang menunjukan adanya kepekaan mahasiswa terhadap masalah yang ada di lingkungan sekitarnya. KOMPPAS ternyata telah mencerminkan gerakan sosial transformatif yang dikonsepsikan oleh Mansour Fakih yang tercermin dalam berbagai kegiatan serta pergerakannya. Kajian ini dibuat dengan metode studi kasus untuk merefleksikan KOMPPAS sebagai cerminan gerakan sosial transformatif melakukan berbagai proses perlawanan terhadap ketidakadilan dan membantu proses tata kelola di aras lokal.

II. Tinjauan Pustaka
Mansour Fakih menjelaskan bahwa gerakan sosial transformatif sebenarnya tumbuh dari adanya kepekaan sosial, dimana apabila dilihat dari kacamata Freire sering disebut kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Paradigma kritis memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem atau struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja serta bagaimana mentransformasikannya. Kesadaran kritis berusaha menciptakan ruang dan kesempatan agar masyarakat terlibat dalam suatu proses dialog ‘penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik dan adil.’ 

Gerakan sosial transformatif berusaha meningkatkan peran intelektual organik. intelektual organik dalam gerakan sosialnya tidak cukup sekedar membuat konsep, melakukan riset, dan mendiskusikannya di ruang-ruang yang tidak menyentuh pada ranah akar rumput komunitas. Akan tetapi, turun langsung kepada komunitas untuk melakukan kerja-kerja fungsional dan pembelaan (advokasi) terhadap pihak yang lemah dan dilemahkan. Inilah kerja-kerja intelektual yang spesifik dan praksis itu, yaitu kerja intelektual yang diperoleh dari proses riset bersama komunitas, sekaligus proses pemecahan masalah dengan komunitas pula. Intelektual organik tidak menyusun konsep yang tidak menyentuh pada ranah kebutuhan masyarakat, melainkan menyusun konsep yang secara langsung mengenai sasaran komunitas. 

Mansour Fakih menjelaskan terdapat beberapa karakteristik dari gerakan sosial transformatif yaitu : 
Pertama, adanya proses reposisi ideologi yang dilakukan oleh aktivis. Aktivis memegang suatu posisi dalam gelanggang produksi pengetahuan. Mereka dapat menciptakan ruang, sehingga rakyat dapat menganalisa struktur dan sistem yang ada yang memarginalkan, mendominasi dan mengeksploitasi mereka serta menyebarkan hasil analisis kepada seluruh masyarakat. Mereka dapat menciptakan ruang guna memunculkan kesadaran kritis. Proses penyadaran ini dilakukan dengan membantu rakyat memahami eksploitasi kelas, penindasan politik, maupun hegemoni kultural yang menjinakkan mereka. Metode yang biasa dipakai untuk menumbuhkan kesadaran kritis ini adalah popular education dan riset partisipatif.

Kedua, adanya pendidikan alternatif bagi aktivis. Sebuah “komite” pendidikan politik dibentuk untuk mengembangkan jenis pendidikan ini. Aktivis yang terlibat dalam komite pendidikan terdiri atas mereka yang memiliki sejumlah pengalaman dalam riset partisipatif, pendidikan rakyat dan pengalaman dalam mengorganisir berbagai jenis gerakan sosial. Ketiga, adanya perbaikan manajemen dan organisasi yang mampu menjawab tantangan perubahan sosial. Jenis manajemen akan turut andil dalam masalah keorganisasian yang dihadapi oleh organisasi demokratis partisipatif bagi transformasi sosial.

III. Pembahasan 

3.1. KOMPPAS dan Dinamika Permasalahan Sunmor
Menurut berbagai media, KOMPPAS berdiri pada 21 Mei 2014, berawal dari gerakan advokasi mahasiswa terhadap masalah Sunmor. Munculnya banyak aliansi mahasiswa yang berusaha terlibat dalam kegiatan advokasi permasalahan relokasi Sunmor, mulai dari elemen BEM KM UGM, Dema Fisipol, dan lain-lain. Dimulai dengan kegiatan sederhana berupa pembicaraan santai di warung kopi dan berbagai diskusi, muncullah pencetusan sebuah gerakan advokasi untuk menjembatani permasalahan Sunmor. Dengan munculnya masalah habisnya kontrak pedagang Sunmor dengan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang berujung pada kebingungan pedagang akan nasibnya mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam memperjuangkannya.

Munculnya berbagai gerakan independen yang terpisah-pisah dalam mengawal permasalahan Sunmor menyebabkan perjuangan advokasi kurang berjalan maksimal. Sampai akhirnya muncul usulan dari Tondy DMR untuk membentuk gerakan khusus yang diberinama KOMPPAS(Komunitas Mahasiswa Peduli Pedagang Sunmor). Namun terkait kapan tanggal pasti berdirinya, Tondy tidak dapat memastikannya. 

Namun, seiring dengan berjalannya waktu ternyata antusiasme mahasiswa yang tergabung di dalam KOMPPAS semakin menurun. Penurunan eskalasi isu Sunmor yang semakin berkurang menyebabkan ketertarikan anggota KOMPPAS untuk bergerak juga semakin menurun. Hal mengakibatkan munculnya kekhawatiran akan eksistensi organisasi. Isu Sunmor berusaha digulirkan kembali, namun kurang berhasil karena dimungkinkan mahasiswa UGM secara umum sudah bosan terkait dengan masalah tersebut. Menurutnya antusiasme mahasiswa dalam KOMPPAS ini, di satu sisi memperlihatkan berkurangnya fokus anggota terhadap organisasi yang mendorong untuk mengurangi tingkat partisipasi.

Beruntung pedagang Sunmor menginformasikan kepada KOMPPAS bahwasannya terdapat slot lapak khusus mahasiswa. Pedagang Sunmor meminta agar lapak mahasiswa dikelola oleh KOMPPAS. KOMPPAS sendiri pada awalnya tidak mengerti bagaimana tata cara mengelola lapak mahasiswa tersebut, sampai akhirnya berusaha meminta izin kepada UGM. Namun, pihak UGM menolak lapak mahasiswa tersebut dikelola oleh KOMPPAS. Dengan dorongan dari pedagang Sunmor, KOMPPAS memberanikan diri untuk mengelola lapak mahasiswa itu sendiri. 

Pada tahun 2014-2015, sifat gerakan yang masih bersifat advokatif didorong untuk terus memperjuangkan nasib pedagang Sunmor. Mahasiswa yang tergabung dalam KOMPPAS aktif dalam demonstrasi untuk memperjuangkan nasib Sunmor. Perjuangan mahasiswa di KOMPPAS pada dasarnya menghadapi upaya relokasi Sunmor yang akan dilakukan oleh pihak UGM yang terjadi selama dua kali. Relokasi yang pertama terjadi pada tahun 2014, pasca telah setelah selesainya kontrak pedagang dengan UGM. Ketika kontrak selesai, UGM mengeluarkan surat himbauan untuk mendorong pedagang Sunmor berpindah dari Jalan Olahraga ke Jalan Lingkar Timur. Namun, pedagang menganggap kebijakan UGM sebagai tindakan sepihak. Pedagang pada akhirnya pindah ke Jalan Lingkar Timur selama lima minggu. Akibat dari keadaan yang kurang menguntungkan bagi perdagangan, pedagang memberanikan diri kembali ke Jalan Olahraga setelah lima minggu berjualan di Jalan Lingkar Timur. 

Relokasi kedua dilaksanakan pada akhir tahun 2016, dimana dilaksanakan proyek pembangunan di lingkar Filsafat UGM, yang pada akhirnya memaksa pedagang untuk kembali berjualan di Jalan Lingkar Timur. Jika tetap bertahan di Jalan Olahraga dikhawatirkan nasib Sunmor akan semakin tidak dapat dipertahankan, sehingga pedagang memutuskan untuk menerima relokasi ke Jalan Lingkar Timur. 

Munculnya P2SM dalam menerima relokasi Sunmor juga tidak terlepas dari peran mahasiswa yang tergabung dalam KOMPPAS untuk ikut mengadvokasikan masalah Sunmor. Mahasiswa yang tergabung dalam KOMPPAS bahkan menginiasi untuk mengajak pedagang yang tergabung dalam P2SM untuk ikut dalam demonstrasi pada bulan November 2016. Demonstrasi itu dirancang oleh mahasiswa yang tergabung dalam KOMPPAS untuk memperlihatkan eratnya hubungan dengan pedagang Sunmor. Hal ini adalah strategi organisasi yang dilakukan KOMPPAS untuk membangun citra bahwa mahasiswa dan elemen masyarakat berjuang bersama untuk mempertahankan Sunmor.

3.2. Peran Serta KOMPPAS sebagai Gerakan Sosial Transformatif.
KOMPPAS sebagai organisasi yang berbentuk komunitas pada dasarnya tidak memiliki struktur dan peraturan yang rigid dalam menunjang aktivitasnya. KOMPPAS dikelola dengan metode kolektif kolegial, sehingga setiap anggota memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Secara umum, KOMPPAS memiliki Ketua, Sekretaris, Bendahara dan divisi-divisi. Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan tantangan yang dihadapi organisasi, model pengelolaan yang digunakan berubah-ubah. Akhir tahun 2014-2015 model kolektif kolegial dijalankan. Semua pengurus KOMPPAS menjadi berhak dalam proses pengambilan keputusan. Semenjak tahun 2015/2016 mulai ada pemilihan pimpinan seiring dengan berkurangnya jumlah anggota. Dahulu KOMPPAS juga memiliki berbagai divisi termasuk Kewirausahaan. Namun, kini tinggal tersisa Divisi Publikasi, Divisi Advokasi, dan Divisi Kesekterariatan. Divisi Kewirausahaan dihilangkan dengan pertimbangan bahwa seluruh anggota KOMPPAS pada dasarnya bisa melakukan kegiatan usaha kapan pun dengan bantuan organisasi. 

Untuk menarik antuasiasme di luar anggota, KOMPPAS juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa yang ingin secara langsung terlibat dalam kegiatan kewirausahaan. KOMPPAS bekerja sama dengan pedagang Sunmor menyediakan lapak khusus dimana hasil penjualan akan dibagi rata. Mahasiswa di luar anggota KOMPPAS dapat ikut serta untuk berjualan di lapak khusus tersebut. KOMPPAS juga menyediakan upah bagi mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan bersih-bersih Sunmor. Anggota KOMPPAS juga mendapatkan pelatihan kewirausahaan dengan kerjasama dengan pedagang tersebut, agar mereka tetap bertahan di KOMPPAS. 

KOMPPAS setidaknya memainkan dua peran yaitu sebagai pengelola lapak mahasiswa dan advokasi permasalahan Sunmor. Peran mengelola lapak mahasiswa adalah kegiatan utama yang dilakukan oleh KOMPPAS, sedangkan fungsi advokasi dilakukan untuk menunjang kegiatan utama. Peran mengelola lapak mahasiswa awalnya berasal dari ketidaktahuan KOMPPAS perihal adanya slot khusus tersebut. Justru ketika konflik relokasi pertama, munculah inisiasi dari pedagang untuk menyerahkan pengelolaan lapak mahasiswa pada KOMPPAS. Di satu sisi hal ini dapat dimaknai sebagai upaya pedagang untuk membangun relasi dengan mahasiswa, agar dapat bersatu menghadapi relokasi Sunmor yang akan dilakukan oleh pihak UGM. Lapak mahasiswa sebelum relokasi kedua (Sebelum Tahun 2016) berada di Timur Fakultas Hukum, UGM. Terdapat lahan sepanjang 50 meter yang bisa ditempati 25 lapak yang dapat digunakan untuk berdagang. Saat itu, tidak ada pembatasan terkait dengan siapa saja yang akan mengakses lapak mahasiswa tersebut. Mahasiswa S1 s.d. S2 maupun dosen dan alumni UGM serta mahasiswa non UGM diperbolehkan memakai lapak mahasiswa dengan meminta izin kepada KOMPPAS. KOMPPAS menjadi otoritas yang bertanggung jawab dalam pendaftaran, pendataan dan pengelolaan lapak mahasiswa. 

Setelah relokasi pada tahun 2016 berlangsung, pada salah satu poin kesepakatan dinyatakan bahwa pedagang harus menyediakan lapak khusus untuk kegiatan kemahasiswaan yang dikelola oleh KOMPPAS atau BEM KM UGM. Pedagang yang tergabung dalam P2SM lebih mempercayakan untuk lapak mahasiswa dikelola oleh KOMPPAS. Setelah relokasi, KOMPPAS merubah kebijakan dan hanya memperbolehkan mahasiswa S1 UGM yang diperbolehkan untuk mengakses lapak mahasiswa. Dengan pertimbangan memprioritaskan kegiatan mahasiswa UGM dalam mendapatkan dana usaha acara maupun membantu pembiayaan dalam KKN. Lapak mahasiswa paca relokasi berlokasi di Jalan Lingkar Timur dengan porsi sepanjang 100 meter yang bisa digunakan untuk sebanyak 50 lapak. 

Proses pendataan mahasiswa yang akan menggunakan lapak mahasiswa pun berubah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon pengguna lapak mahasiswa, yakni: 1) Mahasiswa UGM; 2) Pendaftaran dilakukan di Sayap Barat Graha Sabha Pramana (GSP), UGM; 3) Membawa Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dan foto copy-annya sebanyak satu rangkap; 4) Izin hanya berlaku selama satu minggu dan apabila akan menggunakan lagi harus melakukan daftar ulang di hari jumat. Untuk mendapatkan surat izin penggunaan lapak dari KOMPPAS, mahasiswa harus saling berebut formulir perizinan. Untuk tempat pelayanan sendiri berpindah-pindah awalnya berada di Selasar Fakultas Hukum lalu pindah ke Kantin Fisipol dan akhirnya hingga sekarang layanan dilaksanakan di Sayap Barat GSP, UGM. 

KOMPPAS juga melakukan otorisasi pada saat ketika Sunmor berlangsung. KOMPPAS meminta retribusi kebersihan kepada pedagang mahasiswa sebesar delapan ribu dan lima ratus rupiah kepada pedagang Sunmor. Nantinya uang tersebut akan digunakan untuk membayar mahasiswa yang akan menjadi relawan pembersih Sunmor pada hari minggu, pengawas kegiatan bersih-bersih dan sisanya masuk ke kas KOMPPAS. KOMPPAS sendiri melakukan pengawalan kegiatan bersih-bersih yang biasanya dilakukan dari perempatan Sagan sampai dengan Jembatan Karang Malang, Depok, Sleman. Bagi kelompok mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan bersih-bersih akan mendapatkan upah sebesar 500 ribu, sedangkan bagi pengawas kegiatan akan mendapat sebesar 50 ribu setiap minggunya. KOMPPAS juga memastikan mahasiswa sudah ada di lokasi lapak pada pukul 05.00, namun realitanya tidaklah demikian. Banyak mahasiswa pengguna lapak yang datang pukul 07.00, akibatnya memunculkan masalah baru, ketika lapak mahasiswa telah ditempati terlebih dahulu oleh pedagang Sunmor. Untuk mengatasi hal tersebut, KOMPPAS berusaha melakukan proses pendataan ulang dan identifikasi lokasi lapak mana saja yang belum ditempati pedagang Sunmor, sehingga akhirnya tinggal tersisa 43 lapak dari 50 lapak yang seharusnya digunakan oleh mahasiswa. 

Selain itu, KOMPPAS juga melakukan kegiatan advokasi untuk menunjang pengelolaan lapak mahasiswa. Dalam melakukan advokasi, KOMPPAS bersikap netral tidak memihak secara langsung dengan pedagang Sunmor maupun UGM. Advokasi dilakukan dengan kegiatan seperti pendataan mahasiswa, pengukuran lapak, sosialisasi kepada pedagang tentang sampah, audiensi kepada pihak UGM terkait masalah Sunmor, dan sosialiasi kebersihan. KOMPPAS juga pernah menginisiasi demonstrasi untuk mendukung keberadaan Sunmor pada November 2016. 

IV. Kesimpulan 
KOMPPAS sebagai gerakan sosial tumbuh dari kepekaan mahasiswa UGM terhadap dinamika permasalahan Sunmor. KOMPPAS yang tumbuh berasal dari perkumpulan yang tidak disengaja menjadi aliansi mahasiswa sampai menjadi sebuah komunitas sebagai respon atas ketidakjelasan nasib pedagang Sunmor. KOMPPAS telah memperlihatkan hadirnya partisipasi mahasiswa dalam gerakan sosial untuk ikut merespon perubahan sosial dan mendekatkan diri dengan akar rumput. Keterlibatan mahasiswa ditunjukan melalui keaktifan KOMPPAS dalam mengawal dua proses tahap relokasi yang terjadi di Sunmor.

KOMPPAS tidak hanya hadir untuk mengawal permasalahan Sunmor, namun dalam perkembangannya juga terlibat dalam proses tata kelola. KOMPPAS memiliki otoritas untuk mengelola lapak mahasiswa dan bertugas membantu mengadvokasi permasalahan Sunmor. Dalam tata kelola lapak mahasiswa, KOMPPAS bertanggung jawab dalam proses pendaftaran, pendataan, pengawasan, penarikan retribusi, dan memobilisasi kegiatan bersih-bersih. Dalam proses advokasi, mahasiswa yang tergabung dalam KOMPPAS termasuk yang menginisiasi terbentuknya P2SM (Paguyuban Pedagang Sunday Morning) dan aktif mengawal baik melalui media sosial maupun melakukan demonstrasi.

Daftar Pustaka
  • Afandi, Agus. 2011.” Gerakan Sosial Intelektual Muslim Organik dalam Transformasi Sosial,” Jurnal Studi Agama-Agama, Volume 1, Nomor 2: 96-119.
  • Aryono. 2009.” Jalan Mendaki Menuju Reformasi: Gerakan Mahasiswa Di Semarang Tahun 1990-1998.” Skripsi, Fakultas Ilmu Budaya. Semarang: Universitas Diponegoro.
  • Darmayadi, Andrias.,” Pergerakan Mahasiswa Dalam Perspektif Partisipasi Politik : Partisipasi Otonom Atau Mobilisasi, Majalah Ilmiah UNIKOM, Vol. 9, No. 1: 61-70.
  • Fakih, Mansour. 2010. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: Kerjasama INSIST Press dengan Pustaka Pelajar.
  • ---------------------. 2013.  Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Kerjasama INSIST Press dengan Pustaka Pelajar.
  • Indra, Reda Bayu Aqar.,” Gerakan Mahasiswa Pasca Reformasi Dinamika Gerakan Mahasiswa FISIP Unair Airlangga Menurut Aktivis Mahasiswa Dalam Perspektif Konstruksi Sosial,”( http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56415df21afull.pdf, diunduh pada 1 Juli 2017). 1-17.

Anggalih Bayu Muh Kamim_ Universitas Gadjah Mada Yogyakarta_ Ilmu Pemerintahan 


Perilaku Konsumtif Dan Tren Shopaholic Pada Mahasiswa Di Indonesia

Era globalisasi merupakan perubahan global yang melanda seluruh dunia. Proses tersebut kemudian telah menimbulkan dampak di berbagai aspek kehidupan manusia pada lapisan masyarakat. Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, arus perkembangannya pun melaju begitu cepat yang ditandai dengan adanya kecenderungan wilayah-wilayah diseluruh negara baik secara geografis maupun fisik menjadi seragam dalam format sosial. Di bidang sosial globalisasi telah menciptakan doktrin atau paham egalitarianisme, di bidang budaya terjadi proses Internalization of Culture, di bidang ekonomi globalisasi telah menciptakan masyarakat yang saling ketergantungan dalam proses produksi dan pemasaran, sedangkan di bidang politik globalisasi telah menciptakan liberalisasi (Nugroho, 2001: 4). Perubahan di berbagai bidang tersebut kemudian tidak hanya terjadi secara tunggal, melainkan melibatkan manusia sebagai aktor globalisasi nyata yang tanpa disadari telah sendirinya menciptakan manusia baru yang sekuler dan hedonis.

Di Indonesia salah satu yang paling menonjol dari proyek kaum kapitalis untuk menguasai sumber daya dan alat produksi adalah dengan sengaja menciptakan “kebutuhan” baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Elit Kapitalis selalu mendorong bangsa kita untuk berkonsumsi banyak dan lebih banyak lagi. Kapitalisme berusaha menciptakan citra bahwa orang yang sukses adalah orang yang mempunyai banyak barang dan menempati posisi terhormat. Buah dari proyek tersebut kemudian telah menciptakan perubahan pola perilaku, menciptakan manusia yang hedonistik, hingga sampai pada fenomena perilaku konsumtif di luar batas wajar yang mewarnai kehidupan remaja dan anak muda di Indonesia.

Konsumtif pada umumnya merujuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan merupakan kebutuhan pokok (Tambunan, 2007). Hal ini yang kemudian menjadikan tindakan konsumtif tersebut tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional. Dalam keadaan tersebut, manusia lebih mementingkan faktor keinginan daripada sebuah kebutuhan, serta cenderung dikuasai oleh hasrat keduniawian dan kesenangan material semata (hedonistik). Pendapat ini kemudian dikuatkan pula oleh Jean Baudrillard yang mengatakan logika sosial konsumsi tidak akan pernah terfokus pada pemanfaatan nilai guna barang dan jasa oleh individu, namun akan terfokus pada produksi dan manipulasi sejumlah penanda sosial (Ritzer, 2011). Oleh karena itu konsumsi dalam pandangannya dilihat bukanlah sebuah kenikmatan atau kesenangan yang dilakukan masyarakat secara bebas dan rasional, melainkan sebagai sesuatu yang terlembagakan, dan dipaksakan kepada masyarakat hingga menyebabkan terjadinya pergeseran logika konsumsi, yaitu dari logika kebutuhan menjadi logika hasrat (Suyanto, 2013).

Pengaruh globalisasi yang telah menyebabkan munculnya perilaku konsumtif di Indonesia pada kalangan remaja dan anak muda sangat kelihatan nyata di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Jogjakarta, hingga Aceh. Di Indonesia berdiri banyak Universitas Negeri maupun Universitas Swasta yang sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa keberadaan dari institusi pendidikan tersebut saat ini tidak semata-mata sebagai tempat menimba ilmu, melainkan pula sebagai tempat berlangsungnya ajang popularitas dan membentuk citra diri dalam rangka mempertahankan eksistensi guna mendapatkan pengakuan sosial yang berarti di kalangan mahasiswa. Hal tersebut kemudian telah menciptakan perubahan gaya hidup, mulai dari cara berpakaian, makanan yang dikonsumsi, barang-barang ber merk, dan lain-lain. Pada akhirnya perilaku konsumtif tersebut menjelma menjadi tren Shopaholic yang memaksa siapa saja untuk masuk ke dalam arusnya. Dalam realitasnya tren inipun tidak hanya dilakoni oleh Mahasiswa dengan status ekonomi keluarga menengah ke atas, namun juga berlaku pada mahasiswa dengan status ekonomi keluarga menengah ke bawah. Tentu sangat disayangkan ketika mahasiswa yang seharusnya menjadikan Universitas sebagai tempat mempersiapkan diri menjadi generasi emas Indonesia, mengalami distorsi dan disorientasi. Meskipun tidak semuanya di alami oleh seluruh mahasiswa di Indonesia, namun kita tidak menutup mata dalam melihat fakta yang saat ini terjadi begitu jelas di Indonesia.

Tidak dipungkiri bahwa perubahan lingkungan sosial, tak jarang menuntut pula terjadinya peningkatan gaya hidup (lifestyle). Gaya hidup merupakan ciri  sebuah  dunia  modern. Oleh karena itu, siapapun yang hidup dalam masyarakat modern akan senantiasa mengalami perubahan pola perilaku. Salah satunya adalah perilaku konsumtif yang terjadi di Indonesia merupakan perubahan gaya hidup yang melanda kalangan remaja serta anak muda yang mayoritasnya adalah mahasiswa. Pola konsumtif inipun kemudian dirasa sangat mengkhawatirkan manakala telah meninggalkan bahkan menghilangkan pola hidup produktif (Gunawan, 2001:87). Hal yang lebih disayangkan lagi adalah ketika pergeseran logika tersebut juga disusul oleh pergeresan orientasi belajar di kalangan mahasiswa, mahasiswa menjadi hipperrealitas, menurunnya semangat belajar yang berorientasi pada kemandirian, kritis, serta inovatif, hingga sampai pula pada persoalan pergaulan bebas dan kriminilitas pada kalangan mahasiswa di perkotaan yang menghalalkan segala cara untuk dapat memenuhi hasrat konsumtifnya tersebut. Barangkali memang inilah buah dari skenario besar elit kapitalis negara barat sejak dahulu sampai sekarang di Indonesia, yaitu merusak mental anak Indonesia melalui wacana-wacana pembangunan baru yang digalang oleh negara barat seperti Investasi besar-besaran di Indonesia, menyediakan hutang besar bagi Indonesia, mudahnya teknologi-teknologi baru masuk ke Indonesia yang diiringi pula dengan masuknya paham-paham baru yang berakibat pada lunturnya moral bangsa Indonesia dan negara semakin kehilangan identitasnya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kompas Indonesia pada tahun 2012 menunjukkan mahasiswa memiliki minat untuk berbelanja dan lebih cenderung berperilaku konsumtif dibandingkan dengan orang tua maupun pelajar SMA. Umumnya mahasiswa melakukan belanja bukan didasarkan pada kebutuhan semata, melainkan demi kesenangan dan gaya hidup yang menjadikan sesorang menjadi boros atau dalam perilaku konsumtif disebut konsumerisme. Fenomena konsumerisme tersebutpun diperkuat dengan munculnya tren belanja online yang saat ini mewarnai pasar bisnis di Indonesia. Adapun yang menjadi sasaran utama adalah wanita muda yang berstatus sebagai mahasiswi.

Saat ini di Indonesia wanita yang mayoritasnya adalah mahasiswa lebih sering membelanjakan uangnya untuk keperluan penampilan seperti pakaian, kosmetik, aksesoris, dan sepatu baik secara langsung maupun online. Kondisi   pasar   yang   lebih   banyak   ditujukan   untuk   wanita   menjadikan wanita cenderung lebih mudah dipengaruhi dan lebih konsumtif daripada kaum laki-laki. Tidak heran jika kemudian perilaku komsumtif sebagian besar dilakukan oleh kaum wanita muda di Indonesia. Secara psikologis, konsumen wanita cenderung lebih emosional dalam berbelanja, sedangkan konsumen pria akan memulai menggunakan nalarnya ketika memutuskan untuk membeli sebuah barang. Hal tersebut didukung pula pada data hasil survey tahun 2014 yang dilakukan Tokopedia, yang menujukkan wanita yang mayoritasnya adalah mahasiswi mendominasi jumlah pembelian, jumlah penjualan, jumlah pengeluaran uang belanja, serta jumlah pemasukan di Tokopedia. Adapun rata-rata dari barang yang dibelanjakan terdiri dari produk kecantikan dan kesehatan, pakaian, fashion, aksesoris, dan gadget. Tingkat konsumtifitas tersebut kemudian berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Tokopedia telah menempatkan wanita yang mayoritasnya adalah mahasiswi dengan persentase 66,28% sebagai masyarakat konsumtif dengan durasi belanja yang dapat mencapai 3 kali dalam seminggu. Sedangkan laki-laki yang mayoritasnya mahasiswa hanya berjumlah 33, 72% (Tokopedia.com).

Perbedaan kecenderungan prilaku konsumtif laki-laki wanita memang cenderung sangat berbeda. Laki-laki lebih akan mdah terpengaruh pada bujukan seorang penjual yang membuatnya juga sering tertipu akibat tidak sabaran dalam memilih barang. Setelah itu, laki-laki juga cenderung memiliki perasaan tidak enak atau perasaan tidak mengahargai bila tidak membeli suatu barang jika ia telah memasuki salah satu toko di pusat perbelanjaan. Hal itulah yang kemudian menjadikan laki-laki menjadi lebih hati-hati dalam berbelanja, dan biasanya akan membeli barang yang sesuai dengan kebutuhan dan perencanaannya sejak awal memutuskan untuk membeli suatu barang. Disisi lain pula laki-laki juga biasanya akan memilih satu barang saja, meskipun harga barang yang dibeli tersebut memiliki harga yang cukup mahal. Sebaliknya dikalangan wanita, wanita akan lebih muda tertarik pada warna dan bentuk suatu barang, bukan pada hal teknis kegunaannya, mudah terbawa arus bujukan penjual, menyenangi hal-hal yang romatis daripada bertindak objektif, cepat merasakan suasana pusat perbelanjaan, dan senang melakukan windows shopping. Hal inilah yang menjadi alasan kuat yang membuktikan pula tingkat konsumtifitas pada wanita khususnya mahasiswi lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki. 

Perilaku konsumtif yang tinggi tersebut kemudian telah menjelma menjadi tren sophoholic (belanja berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan) pada mahasiswa, khususnya dikalangan mahasiswa wanita. Banyaknya jumlah mahasiswa di kota-kota besar di Indonesia menjadikan mahasiswa sebagai mangsa pasar tersendiri yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis. Gaya hidup shopaholic tersebut dapat dilihat mulai dari cara bergaul. Mereka yang mengadopsi tren shopaholic biasanya akan selalu berpenampilan menarik, mengenakan fashion bermerek (mulai dari pakaian, tas, sepatu, dll), mengenakan model pakai yang sedang happening (biasanya digandrungi oleh mahasiswi), mengikuti perkembangan zaman dengan sangat cepat (ex: biasanya suka mengganti-ganti merek gadget yang digunakan, merek kacamata, dll), dan rata-rata cara berpenampilan tersebut cenderung memperlihatkan standart hidup yang menengah ke atas. Meskipun pada realitasnya tidak semua mahasiswa yang mengadopsi tren shopaholic ini datang dari kalangan masyarakat menengah ke atas. Adapun mahasiswa yang berstatus ekonomi menengah ke bawah juga terjerat dalam arus shopaholic yang menjadikan mereka secara sadar maupun tidak sadar, secara terpaksa atau tidak terpaksa mengikuti arus tersebut dalam rangka mendapatkan pengakuan sosial dan citra diri (sesuai yang diakui dilingkungan sosialnya), dan ini sangat marak terjadi di lingkungan Universitas tempat seharusnya mahasiswa menuntut ilmu. Ketika lingkungan eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar, keinginan dan hasrat seolah-olah menjadi bentukan sosial yang tersetting secara sempurna dalam format sosial, tidak dapat terelakkan, hingga akhirnya mengikuti arus menjadi pilihan yang paling rasional menggrogoti pikiran dan mental mahasiswa di Indonesia.

Menjadi mahasiswa merupakan masa dimana pencarian akan sebuah indentitas sedang berlangsung. Oleh karena itu, sesuatu yang bernuasa modern di masanya merupakan sebuah kebutuhan baru yang hampir tidak kalah pentingnya bagi mahasiwa selain kebutuhan seperti uang untuk membayar kamar kos, uang jajan bulanan, serta uang untuk membeli buku-buku kuliah. Mengikuti arus modernitas bagi mereka merupakan ekspresi perasaan yang cenderung ingin diakui dan diterima di lingkungan sosialnya. Biasanya ini dilakukan untuk menghindari pem bullyan, serta tidak disepelekan oleh pihak lain yang biasanya terjadi pada teman sebaya dilingkungan sosialnya. Kecenderungan demikianlah yang pada akhirnya menjadikan anak muda kalangan mahasiswa kehilangan identitas diri ketika lingkungan perguruan tinggi mengalami distorsi yang menyebabkan visi misi di setiap Universitas tergeserkan oleh kepentingan popularitas, kepentingan penghargaan dan nama baik yang semata-mata hanya menjadikan mahasiswa sebagai generasi konsumtif.

Kesimpulan 
Tanpa kita sadari perilaku konsumtif ini sebetulnya merupakan budaya secara turun-temurun dan bertahan di Indonesia, mulai dari sejak orde lama, orde baru, hingga masa reformasi. Hingga kita bisa mengatakan perilaku konsumtif yang mendarah daging lahir dari tabiat konsumtif generasi terdahulu yang lebih tertarik dalam mengejar kekuasaan di pemerintahahan, serta kurangnya rasa perduli terhadap dampak negatif yang dibawa oleh elit kapitalis dari negara barat yang masuk ke Indonesia dengan misi menghancurkan mental bangsa Indonesia, melalui generasi-generasi muda. Perkembangan zaman memang tidak bisa kita hindari, perjalanannya telah memaksa masyarakat untuk beradaptasi terhadap semua perubahan-perubahan yang terjadi yang bisa mengarah kepada arah yang positif maupun  negatif. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), pesatnya arus informasi, atau kontak budaya dengan bangsa lain seharusnya tidak semata-mata menjadi faktor pembentukan perilaku konsumtif di Indonesia, namun seharusnya dapat pula menjadi modal penguat terciptanya keselarasan hidup bagi bangsa Indonesia. Karena jika tidak disikapi secara cerdas, krisis karakter dan krisis mental akan terus terjadi hingga sampai pada hilangnya identitas diri dikalangan generasi muda. Sayangnya warna pendidikan di Indonesia pun saat ini telah mengalami pergeseran fungsi dan tujuan normatifnya akibat maraknya kapitalisasi pendidikan di Indonesia. Pada akhirnya fenomena konsumerisme dikalangan mahasiswa akan terus terjadi , terus terjadi, sampai pada generasi-generasi selanjutnya.

Daftar Pustaka
  • Chaney, David. 2003. Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jala Sutra.
  • Gunawan, Widjaja dan Ahmad, Yani. 2001. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana.
  • Nugroho, Heru. 2001. Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Ritzer, George dan Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media
  • Tambunan, A.P. 2007. Menilai Harga Wajar Saham (Stock Valuation). Jakarta: PT Elex Media
Marini Kristina Situmeang_ email: marinikristinasitumeang@gmail.com




Mengikis Pemikiran Masyarakat Yang Primitif Di Era Modern

Primitif adalah semua atau segala sesuatu yang tertinggal dan tidak bisa mengikuti perubahan dan perkembangan zaman. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) primitif adalah dalam keadaan yg sangat sederhana; belum maju (tt peradaban; terbelakang). 

Saya berasal dari desa yang dapat dikatakan mayarakatnya ada yang mulai meninggalkan pemikiran primitif, dan ternyata masih banyak pula masyarakat di daerah saya berasal yang memiliki pemikiran yang primitif di tengah-tengah zaman yang modern seperti sekarang ini. Salah satunya dalam hal pendidikan. Bersyukur bahwa orang tua saya sudah berfikir maju, sehingga saat ini saya bisa melanjutkan pendidikan saya di Perguruan Tinggi. Memang tak banyak, namun ada beberapa dari kami yang melanjutkan pendidikan di jenjang Perguruan Tinggi. Mengapa demikian? Hal itu terjadi dikarenakan pemikiran mereka yang masih primitif tentang pendidikan. Apalagi bagi anak perempuan, masih banyak orang tua yang berfikir “untuk apa anak perempuan bersekolah tingi karena ujung-ujungnya pasti didapur juga”.  Hal itu tentu saja mematikan semangat anak-anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Pemikiran primitif tentang pendidikan bukan hanya pengaruh dari orang tua, namun faktanya hal itu terjadi dalam diri sendiri. Keengganan mereka untuk belajar lagi membuat mereka memilih untuk menikah pada usia dini. Dan untuk pemuda-pemudi itu sendiri banyak yang berfikir seseorang yang sarjana pun masih banyak yang pengangguran. Maka dari itu mereka enggan untuk melanjutkan pendidikan. Sesungguhnya pendidikan sangat dibutuhkan oleh setiap individu manusia. Bahkan menurut ahli sosiologi pendidikan, pendidikan sama halnya dengan kesehatan dan agama yang juga dianggap pembangunan sosial, tetapi terkadang dianggap sebagai anggaran yang habis terpakai tanpa menghasilkan uang. Padahal, ujarnya, pembangunan pendidikan itu akan menghasilkan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang meningkat inilah yang nantinya diharapkan akan menjadi pendorong terjadinya peningkatan kualitas hubungan sosial.

Berbagai masalah yang timbul tersebut dapat di kaji dengan sosiologi. Menurut Lester Frank Ward (1841-1913) Sosiologi bertujuan untuk meneliti kemajuan-kemajuan manusia. Ia membedakan antara pure sociology (sosiologi murni) yang meneliti asal dan perkembangan gejala-gejala sosial, dan apllied sociology (sosiologi terapan) yang khusus mempelajari perubahan-perubahan dalam masyarakat karena usaha-usaha manusia. Ia yakin bahwa masyarakat kuno ditandai oleh kesederhanaan dan kemiskinan moral, sedangkan masyarakat modern lebih kompleks, lebih bahagia dan mendapatkan kebebasan lebih besar. Sosiologi terapan ini meliputi kesadaran yang menggunakan pengetahuan ilmiah untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih baik. 

Durkheim (1859-1917) berbicara mengenai kesadaran kolektif sebagai kekuatan moral yang mengikat individu pada suatu masyarakat. Melalui karyanya The Division of Labor in Society (1893). Durkheim mengambil pendekatan kolektivis (solidaritas) terhadap pemahaman yang membuat masyarakat bisa dikatakan primitif atau modern. Solidaritas itu berbentuk nilai-nilai, adat-istiadat, dan kepercayaan yang dianut bersama dalam ikatan kolektif. Masyarakat primitif/sederhana dipersatukan oleh ikatan moral yang kuat, memiliki hubungan yang jalin-menjalin sehingga dikatakan memiliki Solidaritas Mekanik. Sedangkan pada masyarakat yang kompleks/modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun karena terikat oleh pembagian kerja yang ruwet dan saling menggantung atau disebut memiliki Solidaritas Organik.

Herbert Spencer (1820-1903) menganjurkan Teori Evolusi untuk menjelaskan perkembangan sosial. Logika argumen ini adalah bahwa masyarakat berevolusi dari bentuk yang lebih rendah (barbar) ke bentuk yang lebih tinggi (beradab). Ia berpendapat bahwa institusi sosial sebagaimana tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi terhadap lingkungan sosialnya. Dengan berlalunya generasi, anggota masyarakat yang mampu dan cerdas dapat bertahan. Dengan kata lain “Yang layak akan bertahan hidup, sedangkan yang tak layak akhirnya punah”. Konsep ini diistilahkan survival of the fittest. Ungkapan ini sering dikaitkan dengan model evolusi dari rekan sejamannya yaitu Charles Darwin. Oleh karena itu teori tentang evolusi masyarakat ini juga sering dikenal dengan nama Darwinisme Sosial.

Charles Horton Cooley (1846-1929) memandang bahwa hidup manusia secara sosial ditentukan oleh bahasa, interaksi dan pendidikan. Secara biologis manusia tiada beda, tapi secara sosial tentu sangat berbeda. Perkembangan historislah yang menyebabkan demikian. Dalam analisisnya mengenai perkembangan individu, Cooley mengemukakan teori yang dikenal dengan Looking Glass-Self atau Teori Cermin Diri. Menurutnya di dalam individu terdapat tiga unsur: 1) bayangan mengenai bagaimana orang lain melihat kita; 2) bayangan mengenai pendapat orang lain mengenai diri kita; dan 3) rasa diri yang bersifat positif maupun negatif.

Pemikiran primitif di era modern ini bukan hanya dari segi pendidikan. Namun juga dari segi budaya. Pemikiran primitif dapat terlihat seperti masyarakat yang menganggap budayanya lebih baik dari budaya lain sehingga tidak memiliki rasa cinta terhadap budaya lain. Terlebih lagi budaya yang merupakan bagian dari Negara ini. Sikap primitif tersebut tidak baik bagi perkembangan budaya Negara Indonesia ini. Tentunya kita harus bisa menghargai setiap budaya yang ada di Negara kita. Membuang setiap pemikiran primitif tersebut agar budaya-budaya yang ada di Negara kita dapat dijaga dan dilestarikan. 

Vilfredo Pareto (1848-1923) mengemukakan masyarakat merupakan system kekuatan yang seimbang dan keseimbangan tersebut tergantung pada ciri-ciri tingkah laku dan tindakan-tindakan manusia dan tindakan-tindakan manusia tergantung dari keinginan-keinginan serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Apabila kita sebagai warga Negara Indonesia memiliki rasa cinta yang dalam terhadap semua budaya yang terdapat di Negara ini, tentunya budaya kita akan terjaga. Kita harus bisa membuang pikiran yang mementingkan diri sendiri dan mendorong diri kita untuk melakukan tindakan-tindakan yang bermanfaat bagi Negara Indonesia ini.

Pemikiran primitif juga bisa kita lihat dari pergaulan anak muda zaman sekarang. Mereka berfikir pergaulan yang bebas merupakan pergaulan yang mengikuti zaman yang modern. Tetapi sesungguhnya pergaulan bebas tersebut merupakan pemikiran yang primitif. Pemikiran mereka sangatlah pendek dan tidak memikirkan bagaimana masa depan mereka kelak. Maka dari itu mereka menikmati masa muda dengan hal-hal yang buruk. Hal tersebut akan mempengaruhi pendidikan mereka yang mana kemungkinan mereka tidak bisa fokus belajar karena hanya ingin bersenang-senang. Max Webber, seorang Jerman, berusaha memberikan pengertian mengenai perilaku manusia dan sekaligus menelaah sebab-sebab terjadinya interaksi social. Max juga terkenal dengan teori ideal typus, yaitu merupakan suatu konstruksi dalam pikiran seorang peneliti yang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis gejala-gejala dalam masyarakat. Perilaku anak muda tersebut dapat dikaji dengan menggunakan teori-teori Max Weber untuk mengetahui penyebab-penyebabnya.

Begitu juga dalam segi kelompok sosial. Dalam kajian sosiologi, kelompok sosial berupa geng atau kelompok-kelompok tertentu termasuk kedalam in-group dimana kelompok social yang individu-individunya mengidenti-fikasikan dirinya dengan kelompoknya. Dalam menunjukkan In-Group-nya dalam kehidupan sehari-hari diungkapkan dengan kalimat : kelom-pok saya, group saya, dsb. Hal tersebut menyebabkan pemikiran anggotanya menjadi primitif. Mereka lebih cenderung mementingkan kelompok mereka sendiri daripada lingkungan sekitarnya. Mereka berfikir bahwa kehidupan mereka ada dalam kelompok tersebut sehingga pemikiran mereka tidak maju. Interaksi mereka hanya di kelompok tersebut sehingga tidak mengenal dunia luar. Apabila mereka berpisah dari kelompoknya, maka mereka tidak akan tahu apa-apa. Maka dari itu kita pun harus merubah cara piker kita. Kita harus mampu berinteraksi dengan semua orang agar kita bisa memiliki wawasan yang luas. Saat kita memiliki wawasan yang luas, kita akan memiliki pemikiran yang matang saat kita ingin megungkapkan sesuatu sehingga apa yang kita ucapkan dapat bermanfaat bagi semua orang. Seorang Amerika, Charles Horton Cooley, mengembangkan konsepsi mengenai hubungan timbale balik dan hubungan yang tidak terpisah antara individu dengan masyarakat. Coooley dalam mengemukakan teorinya terpengaruh aliran romantic yang mengidamkan kehidupan bersama, rukun, damai, sebagaimana dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang masih bersahaja. Dari teori Charles Horton kita tahu bahwa setiap individu dalam masyarakat membutuhkan orang lain untuk berinteraksi agar bisa hidup rukun bersama dan saling membantu satu sama lain.

Dalam penggunaan tekhnologi yang sudah maju ini, masih banyak masyarakat yang menganggap tabu tentang tekhnologi. Terlebih orang tua yang berfikir bahwa tekhnologi akan membawa dampak yang buruk. Seperti yang kita tahu, masih banyak orang tua yang tidak bisa menggunakan tekhnologi seperti HP. Padahal melalui HP akan sangat mudah berkomunikasi dengan orang lain. Mereka masih enggan untuk mencoba tekhnologi yag ada karena mereka melihat dampak yang tidak baik dari tekhnolgi. Memang dalam kenyataannya penggunaan tekhnologi memiliki dampak yang negatif maupun positif. Tetapi hal yang negatif tersebut dapat dihindari apabila kita berfikiran maju yang mementingkan masa depan. Kita akan maju jika kita mengikuti perubahan zaman, namun hanya mengambil sisi positifnya saja dari tekhnologi dan membuang sisi negatifnya. Walaupun tekhnologi sudah semakin canggih, kita harus bisa membatasi tekhnologi yang bagaimana yang harus kita manfaatkan. Kita tidak boleh mengikuti tekhnologi yang membawa kita dalam keburukan yang akibatnya akan merusak diri kita sendiri. Sikap yang enggan untuk maju tersebut harus bisa dikikis dari tengah-tengah masyarakat agar masyarakat dapat mengetahui bagaimana perkembangan di Negara ini bahkan perkembangan di Indonesia. Sehingga masyarakat tidak tertinggal dan memiliki wawasan yang luas. Jika masyarakat memiliki wawasan yang luas maka akan muncullah pemikiran-pemikiran yang kritis serta dapat membangun bangsa ini.

Berbagai permasalahan timbul akibat dari pemikiran primitif yang masih banyak dalam kehidupan masyarakat.masih banyak masyarakat yang menganggap tabu tentang globalisasi. Banyak yang berfikir untuk menjadi masyarakat kecil saja, karena tidak mungkin mereka bisa menjadi manusia yang berguna bagi Negara ini. Maka dari itu banyak masyarakat yang memilih diam dan tidak menanggapi setiap perubahan yang ada. Justru mereka terkadang lebih menanggapi perkara-perkara kecil bukan perkara-perkara yang terjadi secara global. Karena pemikiran primitif tersebut, banyak masyarakat menganggap pendidikan tidak penting, tekhnologi merusak moral manusia, tidak bisa berperan penting untuk Negara, dan hanya ingin menjadi masyarakat yang kecil saja. Jika pemikiran tersebut tetap dipertahankan, bagaimana cara kita menyesuaikan diri di dunia yang modern? Jika kita tidak pandai berbahasa Inggris, bagaimana kita dapat berkomunikasi dengan orang asing? Tak lama lagi akan ada MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) yang masuk ke Indonesian, berbagai perusahaan asing akan bermunculan di negara kita. Lalu bagaimana kita bisa bekerja di perusahaan asing tersebut jika kita tidak memiliki skill yang berkualitas? Mungkin kita hanya menjadi karyawan bawahan, yang hanya di suruh-suruh. Maukah kita bekerja sebagai buruh di Negara kita sendiri? Maka dari itu pemikiran-pemikiran yang primitif harus bisa kita kikis agar kita mampu bersaing di zaman yang semakin modern.

Begitu juga menurut Herbert Spencer tentang evolusi perilaku manusia. Ada bebarapa tahapan yang harus dilalui agar masyarakat dapat berubah dari pemikiran yang sederhana ke pemikiran-pemikiran yang lebih maju. Charles Horton Cooley juga memandang bahwa hidup manusia secara sosial ditentukan oleh bahasa, interaksi dan pendidikan. Permasalahan yang diatas dapat kita kaji berdasarkan pandangan Charles Horton Cooley yang mana pendidikan, bahasa, dan interaksi memang sangat diperlukan.

Kita harus bisa berfikir rasional dalam menyikapi zaman yang semakin canggih ini. Kita tidak boleh tertinggal hanya karena ke-egoisan kita. Dunia semakin maju, apabila kita tidak berusaha mengimbangi, maka kita akan selamanya tertinggal di belakang. Seperti dalam teori Lester Frank Ward, manusia akan maju apabila manusia mau berusaha. Usaha-usaha tersebut membawa dampak yang positif dalam diri manusia yang akan lebih maju. Terkait dengan kasus di atas, banyak masyarakat yang tidak ingin berusaha lebih giat lagi dalam hal pendidikan. Mereka lebih memilih jalan yang singkat yang tidak memerlukan usaha lebih lagi. Mereka berfikir apabila melanjutkan pendidikan akan mengeluarkan dana yang lebih banyak, harus berfikir lebih keras, mengorbankan waktu yang banyak, dan hal-hal yang lain-lain. Padahal sesungguhnya dari pendidikanlah akan didapatkan seseorang yang berkualitas.  Seseorang yang mampu menyesuaikan diri di dunia yang modern ini. Bagaimana cara kita untuk menghadapi globalisasi yang masuk ke Negara kita apabila pendidikan kita rendah? Kita akan terkucilkan di Negara kita sendiri apabila kita tidak mengerti apa-apa dan tidak memiliki wawasan yang luas. Pemikiran yang primitif seperti ini tentunya harus dikikis dari pemikiran masyarakat. Masyarakat harus menyadari betapa pentingnya pendidikan di era yang modern ini agar kita tidak tertinggal dan bisa memajukan Negara ini.

Dalam mengikis pemikiran yang primitif atau pemikiran yang tertinggal tersebut diperlukan peranan dari banyak kalangan maupun diri masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus menumbuhkan motivasi dalam diri mereka untuk berfikir maju. Terutama bagi pemuda-pemudi yang nantinya akan menjadi penerus bangsa ini. Masyarakat harus bisa memahami bahwa pemikiran yang tertinggal tersebut akan menghalangi kemajuan di Negara ini. Begitu juga dengan peran pemerintah dan sekolah-sekolah sangat diperlukan. Pemerintah dapat memberikan dukungannya melalui beasiswa dan sebaiknya beasiswa tersebut di sosialisasikan kepada semua kalangan masyarakat sampai masyarakat yang sulit di jangkau. Hal itu perlu dilakukan untuk membangun semangat baik orang tua maupun anaknya untuk melanjutkan pendidikan. Karena sebagian alasan mereka tidak melanjutkan pendidikan dikarenakan biaya. 

Begitu juga dengan sekolah-sekolah yang ada dapat berperan dengan memotivasi setiap siswanya bahwasanya pendidikan sangat dibutuhkan untuk setiap individu. Sekolah pula dapat membuka konseling untuk setiap permasalahan yang menjadi keluhan siswanya tentang pendidikan. Peran orang tua yang mendukung anaknya juga dibutuhkan. Orang tua harus bisa memotivasi dan mendukung setiap putra-putrinya untuk mengejar cita-citanya. Tinggalkan pemikiran primitif dan bangunlah pemikiran yang rasional tentang kehidupan yang akan dijalani di era modern ini. Terkadang memang ada bebrapa orang yang bercita-cita meanjutkan pendidikan ke luar negri, namun lingkungan sekitarnya justru mencemooh dan menganggap itu hanya mimpi. Sebaiknya pemikiran yang seperti itu harus ditinggalkan. Tentunya kita harus bisa mendukung dan membantu untuk menggapai cita-citanya.

Begitu juga dalam penggunaan tekhnologi, kita harus bijak dalam menggunakannya. Kita tidak boleh tertinggal hanya karena pemikiran kita yang primitif. Kita harus bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak untuk dilakukan. Bahkan dalam menjalin hubungan yang baik dengan orang lain dapat kita lakukan melalui tekhnologi. Namun memang kita harus tetap waspada dan menghindari hal-hal buruk yang akan timbul dari penggunaan tekhnologi.

Kita tahu masih banyak masyarakat yang pemikirannya masih terjerat dalam ketidaktahuan. Pemikiran yag primitif masih ada dalam diri mereka sehingga mereka sulit untuk maju. Lester Frank Ward mempelajari perubahan-perubahan dalam masyarakat karena masyarakat mau berusaha untuk merubahnya. Maka dari itu tidak ada kata yang mustahil. Jika kita semua mau mengubah pemikiran kita yang primitif untuk menyesuaikan diri dengan dunia modern ini, maka kita akan berusaha untuk mengubahnya. Motivasi dari diri sendiri dan lingkungan sekitar akan sangat membantu merubah pemikiran kita yang tertinggal.


Yuliana Dwi Rahayu_Universitas Bengkulu_ email: yrahayu258@gmail.com


Urbanisasi Dan Kemiskinan Kota Medan

1.PENDAHULUAN 
Urbanisasi yang semakin masif dan tak terkendali yang dialami oleh kota-kota besar di Indonesia seperti Kota Medan ,menjadi salah satu fakta sosial yang terjadi di negeri ini. Beberapa kenyataan yang ditemukan dari tingginya angka urbanisasi membawa dampak negatif bagi proses pembangunan negara ini.Urbanisasi terkesan merupakan sebuah trend yang sangat populer terjadi di indonesia.Sehingga memunculkan pemikiran-pemikiran bagaimana urbanisasi yang terjadi selama ini bisa menciptakan dampak pada bertumbuhnya kemiskinan kota.

Tidak terkendalinya tingkat urbanisasi akan mendorong terciptanya kantong-kantong kemiskinan berupa slum area (pemukiman kumuh) di perkotaan seperti  Kampung Madras yang banyak diketahui oleh banyak orang di Kota Medan.Pemukiman kumuh ini biasanya memangkas jalur hijau seperti sungai sehingga dengan keberadaanya membuat masalah baru bagi kota.Pemilihan jalur sungai sebagai tempat tinggal merupakan salah satu pilihan terakhir untuk hidup di kota disebabkan semakin mahalnya tinggal di tengah kota,maka daerah sungai dipilih menjadi tempat pemukiman penduduk kelas rendah (miskin).

Urbanisasi dan kemiskinan di kota merupakan hal yang sangat menarik untuk diketahui oleh pembaca ,apalagi dengan objek analisa terletsk di Kota Medan.Maka dari itu penulis mencoba membuka sebuah pembahasan mengenai urbanisasi dan kemiskinan Kota Medan sehingga dapat menambah wawasan akademik pembaca.

2.Tinjauan Pustaka

Kemiskinan
Pada umumnya kemiskinan diketahui sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memperoleh pelayanan -pelayanan dan barang untuk memenuhi kebutuhan lainnya.Kemiskinan juga merupakan masalah yang sering muncul pada saat masa pembangunan ,kemiskinan itu sendiri dilatarbelakangi oleh dimensi-dimesni seperti dimensi ekonomi,sosial dan budaya.Dengan kata lain kemiskinan merupakan masalah yang multidimesnsional.

Dalam Bagong definisi kemiskinan menurut Sajogyo merupakan suatu tingkat kehidupan yang berada dibawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat berdasarkan atas kebutuhan beras dan kebutuhan gizi. Bagong Suyanto dalam bukunya membagi kemiskinan  menjadi dua yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absoliute.Kemiskinan digambarkan dengan beberapa persen dari pendapatan nasional yng diterimakan oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan tertentu  dibandingkan dengan proporsi pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan lainnya sedangkan kemiskinan absolute ialah sebagai sesuatu keadaan di mana tingkat pendapatan absolute dari satu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti sandang, pangan, pemukiman, kesehatan dan pendidikan.

Ciri-Ciri Kemiskinan
Dengan melihat banyaknya ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan seseorang atau kelompok orang untuk disebut miskin atau tidak miskin,maka umumnya para ahli akan merasa kesulitan dalam mengklasifikasikan masyarakat menurut garis kemiskinan .namun dari berbagai studi yang ada ,pada dasarnya ada beberapa ciri dari kemiskinan yaitu :
  1. Tidak memilki Faktor produksi,seperti tanah yang cukup,modal taupun keterampilan.
  2. Tidak mempunyai kemiskinan untuk memilki faktor produksi dengan kekauatan sendiri.
  3. Tingkat Pendidikan yang rendah.
  4. Bekerja sebagai buruh tani.
  5. Tidak memiliki keterampilan,skill ataupun pendidikan.
Urbanisasi
Urbanisasi pada umumnya dikenal sebagai sebuah proses geografi yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota ,adapula diketahui sebagai salah satu proses perubahan fisik suatu wilayah yang dulunya desa kecil berkembang menajdi suautu wilayah sangat maju yang disebut perkotaan ,dengan kata lain yaitu urbanisasi ini disebut sebagai proses pengkotaan.Tetapi urbanisasi yang dibahas kali ini yaitu urbanisasi yang mengacu pada proses geografis  yaitu perpindahan penduduk desa ke kota.Adapun definisi kemikinan menurut beberapa ahli seperti Shogo kayono dalam Abbas (2002) memberikan pengertian urbanisasi sebagai perpindahan dan pemusatan penduduk secara nyata yang memberi dampak dalam hubungannya dengan masyarakat baru yang dilatar belakangi oleh faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya. Sementara Keban dalam Abbas (2002) berpendapat bahwa urbanisasi jangan hanya dalam konteks demografi saja karena urbanisasi mengandung pengertian yang multidimensional.

Urbanisasi dari pendekatan demografis berarti sebagai suatu proses peningkatan konsentrasi penduduk diperkotaan sehingga proporsi penduduk yang tinggal menjadi meningkat yang biasanya secara sederhana konsentrasi tersebut diukur dari proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan, kecepatan perubahan proporsi tersebut, dan perubahan jumlah pusat-pusat kota. Sedangkan urbanisasi menurut pendekatan ekonomi politik didefenisikan sebagai transformasi sosial ekonomi yang timbul sebagai akibat dari pengembangan dan ekspansi kapitalisme (capitalist urbanization). Dalam konteks modernisasi, urbanisasi mengandung pengertian sebagai perubahan nilai dari orientasi tradisional ke orientasi modern sehingga terjadi difusi modal, teknologi, nilai-nilai, pengelolaan kelembagaan dan orientasi dari masyarakat tradisional ke dunia barat (kota).

Dampak Urbanisasi
Di Indonesia, persoalan urbanisasi sudah dimulai dengan digulirkannya beberapa kebijakan ”gegabah” orde baru. Pertama, adanya kebijakan ekonomi makro (1967-1980), di mana kota sebagai pusat ekonomi. Kedua, kombinasi antara kebijaksanaan substitusi impor dan investasi asing di sektor perpabrikan (manufacturing), yang justru memicu polarisasi pembangunan terpusat pada metropolitan Jakarta. Ketiga, penyebaran yang cepat dari proses mekanisasi sektor pertanian pada awal dasawarsa 1980-an, yang menyebabkan kaum muda dan para sarjana, enggan menggeluti dunia pertanian atau kembali ke daerah asal (Fitri Ramdhani Harahap.2013:37).

Arus urbansiasi yang tidak terkendali ini dianggap merusak strategi rencana pembangunan kota dan menghisap fasilitas perkotaan di luar kemampuan pengendalian pemerintah kota. Beberapa akibat negatif tersebut akan meningkat pada masalah kriminalitas yang bertambah dan turunnya tingkat kesejahteraan. Dampak negatif lainnnya yang muncul adalah terjadinya “over urbanisasi” yaitu dimana prosentase penduduk kota yang sangat besar yang tidak sesuai dengan perkembangan ekonomi negara. Selain itu juga dapat terjadi “under ruralisasi” yaitu jumlah penduduk di pedesaan terlalu kecil bagi tingkat dan cara produksi yang ada. Pada saat kota mendominasi fungsi sosial, ekonomi, pendidikan dan hirarki urban. Hal ini menimbulkan terjadinya pengangguran dan under employment. Kota dipandang sebagai inefisien dan artificial proses “pseudo-urbanisastion”. Sehingga urbanisasi merupakan variable dependen terhadap pertumbuhan ekonomi.

Persoalan-persoalan urbanisasi telah menjadi perhatian yang cukup besar, beberapa pemikiran yang membahas dampak urbanisasi dari sudut pandangn ekonomi yaitu Evers dalam Abbas (2002) berpendapat bahwa tingkat urbanisasi yang terlalu rendah dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan kota dapat memperlambat kemajuan ekonomi. Sedangkan menurut Keban, proses urbanisasi yang tidak terkendali dan adanya hirarki kota akan menimbulkan berbagai akibat negatif yaitu munculnya gejala kemiskinan di perkotaan, ketimpangan income perkapita, pengangguran, kriminalitas, polusi udara dan suara, pertumbuhan daerah kumuh, dan sebagainya.

3.PEMBAHASAN
3.1. Isi Artikel Dan Pembahasan

Kemiskinan merupakan hal yang menajdi trend dalam menghadapi masalah pembangunan di suaut negara.Kemiskinan tak lain dan tak bukan merupakan kondisi yang menyebabkan banyak orang merasakan pedihnya kehidupan di lingkungan masyarakat.Kemiskinan sering sekali dianggap sebagai masalah ekonomi yang terjadi karena kebutuhan seperti sandang ,pangan tidak mampu terpenuhi oleh seseorang.Adapula kemskinan diakibatkan oleh kondisi sosial yang sering disebut oleh kemiskinan struktural ,banyak dari beberapa literatur mengatakan bahwa kemiskinan merupakan salah satu bentuk kemiskina yang disebabkan oleh adanya rekonstruksi struktur masayarakat menyebabkan masayarkat kesulitan untuk mengakses pelayanan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan hidup.Rekonstruksi tersebut pada awalnya dibentuk oleh situasi politik suatu negara yang secara tidak langsung menekan kelas-kelas sosial bawah untuk tidak bisa melakukan mobilitas sosial vertikal dengan mudah.

Banyaknya kategori kemiskinan dalam beberap literatur telah memberi wawasan bagi kita mengenai kemiskinan itu sendiri .Namun harus kita ketahui bahwa kemiskinan pada umumnya terjadi di daerah perkotaan seperti Kota Medan yang juga merupakan salah satu yang masuk dalam hitungan kota besar di Indonesia.Kota medan merupakan salah satu daerah yang dikelilingi desa-desa yang penduduknya memilki karakteristik agraris dan memiliki kebutuhan –kebutuhan untuk bertahna hidup yang sudah terusik di daerah tempat tinggalnya di kabupatennya masing-masing.Terusiknya para warga kabupaten ini disebabkan oleh berkurangnya sumber mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga mendorong mereka untuk melakukan perpindahan tempat tinggal dari desa ke kota atau sering kita sebut sebagai proses urbanisasi .Urbanisasi bukan hanya disebabkan oleh berkurangnya sumber mata pencaharian di daerah desa , namun adapula yang urbanisasi terjadi karena adanya ketimpangan pembangunan sautu daerah yang sentralistis dan cenderung mengundang banyak orang untuk mencoba peruntungan hidup di kota yang sedang dibangun .Harapan dari penduduk desa yang melakukan urbanisasi ini yaitu mendapat pekerjaan dan kehidupan baru tetapi mereka pada umumnya tidak memilki kualifikasi untuk menajdi warga kota.Memang pada awalnya kaum –kaum urbanisan (orang desa yang melakukan urbanisasi) ini dibutuhkan untuk meberi sumbangan untuk meramaikan kegiatan pembangunan tetapi setelah pembangunan dirasa mapan mereka akan tidak dibutuhkan lagi.Kemudian yaitu mereka yang bekerja sebagai peneydia jasa seperti becak ,angkot pada awalnya mereka sangat dibutuhkan untuk membantu bergeraknya roda perekonomian di sautu daerah.Tetapi ketika ekonomi mulai mapan di sautu daerah para urbanisan tersebut yang bekerja dalam bidang jassa angkutan akan tersisihkan oleh kendaraan pribadi penduduk kota.

Sama halnya dengan masyarakat Kota Medan ,awalnya becak dan angkot menjadi primadona angkutan digunakan sebagai moda transportasi darat untuk melakukan aktivits namun berkembangnya Kota Medan dan semakin mapanya perekonomian mendorong penduduk yang merasa mampu untuk membeli kendaraan pribadi dan di satu sisi penyedia transportasi becak dan angkot pelan-pelan mulai menghadapi nerakanya.
Jika membandingkan Kota Medan dan kota-kota yang ada di dalam Sumatera seperti Kota Jambi tentunya sangat berbeda dalam dimensi masyarakatnya.Dan pastinya akan berbeda pula karkater masyarakatnya dan akan juga mempengaruhi kondisi sosial ekonominya.Di jambi urbanisasi mengikuti musim –musim libur besar tetapi setelah beberapa bulan kemudian mereka pulang ke kampung halaman kembali lagi menjadi tenaga kerja di desa.Hal tersebut karena disebabkan masih luasnya lapangan kerja di desa dan masih banyak bisa ditemukan kesempatan kerja sebagai tenaga kerja kebun-kebun perusahaan maupun milik pribadi.Selain itu kegiatan urbanisasi di jambi pada umumnya terlihat hanya sementara seperti untuk membeli kebutuhan rumah tangga untuk diperdagangkan di desa.

Urbanisasi pada saat ini telah menjadi sebuah problema sosial dalam masayarakat Indonesia. Urbanisasi dianggap sebuah kondisi yang akan menyebabkan kota semakin ramai dan padat sehingga akan menimbulkan masalah spasial dan yang tidak memilki cukup kekuatan modal akan terpinggirkan ke daerah kumuh ,kemudian akan ter-marginalisasi oleh keadaan ekonomi.Dampak yang paling jelas dari urbanisasi yaitu akan menimbulkan kemiskinan kota dan membentuk kantong-kantong kemiskinan.Salah satu yang menjadi pendirian untuk mengatasi kemiskinan kota yang diakibatkan masifnya urbanisasi ialah melakukan pembangunan perdesaan yang berwawasan lingkungan sehingga tidak merusak ekosistem setempat.Hal tersebut perlu dilakukan karena dengan bertahnaya alam di desa akan berkontribusi menghambat laju urbanisasi yang besar ke kota.Alasan utama yaitu bahwa desa yang di dominasi oleh kegaitan pertanian sesungguhnya harus mendapat perhatian dari pemerintah supaya bisa bertahan dengan alamnya.Asumsi lain yaitu bahwa Desa yang terjaga lingkungannya akan menjamin masyarakatnya bisa mendapatkan sumber kehidupan lebih mudah karena alam desa masih terjaga.

Selain itu untuk menjamin masayarakat desa bisa bertahan di desa yaitu pemerintah harus melakukan pemberdayaan komunitas –komunitas yang ada di masyarakat desa seperti pemberdayaan berupa pelatihan menjahit dan keterampilan lainnya supaya dapat menciptakan sebuah karya yang memiliki nilai komersil. Pemberdayaan masyarakat juga bisa dilakukan dengan memberi pelatihan –pelatihan untuk membangun home industry.Pelatihan untuk membangun Home industry ini sesuguhnya merupakan hal yang sangat tepat untuk menghambat laju urbanisasi karena apabila home industry terbentuk maka akan membantu masayarkat desa bisa hidup dengan damiai di desa.Contohn nyata yaitu terdapat pada desa Tuntungan 1 Kecamatan Pancur Batu Sumatera Utara, dimana ada sekitar 30 home industry yang berdiri dan berkontribusi menghidupkan keluarga – keluarga kecil yang ada di desa,.Usaha yang dilakukan home industry  disana yaitu pembuatan opak ubi yang pasarnya sudah menembus luar Sumatera,dalam penelitian yang dilakukan saat berkunjung disana ditemukan data bahwa penduduk desa tidak ada yang menggangur sama sekali,baik orang tua yang tidak produktif  atau masih produktif serta anak muda yang putus sekolah.Dan pemberdayaan merupakan salaha satu cara yang tepat untuk menghambat pertumbuhan urbanisasi yang besar dan menghindari dampak terciptanya kemiskinan kota.

Apabila tidak dilakukan pemberdayaan di desa,maka ditakutkan yaitu urbanisasi akan terjadi dan kota akan disesaki oleh kepadatan penduduk yang semerawut seperti banyak tumbuh perumahan kecil atau besar memunculkan jurang sosial , kemudia munculah sektor –sektor informal seperti pedagang kai lima  yang menjajahkan barangnya di jalan dan menimbulakn kemacetan di jalan.Tumbuhnya sektor informal ini merupakan efek yang berlanjutnya selesainya masa awal pembangunan sebuah daerah sehingga orang – orang yang menyediakan jasa – jasa itu tidak terpakai lagi dan terpaksa harus mencari sebuah peruntungan baru di jalan menjadi pedagang ataupun sektor informal lainnya.Sektor informal tersebut pun mengalami masalah – masalah baru yang sangat tidak adil yaitu adanya tindakan represif dari aparat setempat dengan cara melarang – melarang aktivitas- aktivitas informal seperti berdagang di jalan.Hal tersebut dilakukan di sebabkan oleh ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari aktivitas berdagang sektor informal.

3.1.1 Isi hasil Dan Pembahasan
Berdasarkan uraian di atas kita mengetahui bahwasanya urbanisasi bisa menjadi sebuah problema yang selalu dihadapi pemerintah kota khususnya yaitu pemerintahan Kota Medan yang sangat nyata dirasakan oleh semakin bertumbuhnya daerah kantong kemiskinan di sekitar kota sehingga menimbulkan masalah –masalah yang begitu rumit,seperti masalah spasial ,pemukiman kumuh dan betumbuhnya sektor informal yang menjalar ke jalan jalan sehingga kehadirnya menimbulkan kemacetan di berbagai daerah yang di singgahinya.

Masalah sektor informal yang sering kita temui yaitu permasalahan pedagang kaki lima yang sebagian besar  juga merupakan kaum urbanisan, dan mereka di kota harus berjuang keras untuk menghadapi tindakan represif dari aparat.Yang sebenarnya tidak seharusnya dilakukan kepada mereka..Pemilihan sektor infomal sebagai pedangang kaki lima merupakan jalan yang tidak sulit dilakukan dalam usaha bertahan hidup di kota dan bertahan dari kerasnya hidup di kota serta jalan untuk keluar dari rantai kemiskinan.

Urbanisasi dan kemiskinan di kota medan pda umumnya digambarkan seperti uraian diatas.Kota medan yang dulunya kecil dan butuh orang untuk membangundaerah kota medan telah banyak mengundang orang di luar Kota Medan untuk masuk menjadi tenaga kerja dan pada masa selanjutnya Kota Medan sudah bertumbuh dewasa sehingga melupkaan jasa –jasa tenaga kerja yang dulu bekerja untuk membangun , kemudian pelayanan transportasi dulu menjadi primadona sektor ekonomi ,kini sudah mulai tersingkir oleh kendaraan pribadi yang digandrungi oleh masyarakat Kota Medan menyebabkan para pelaku sektor pelayanan jasa angkutan banyak yang beralih menjadi pelaku sektor informal pedagang kai lima ataupun yang lainnya.Maka dari itu perlu adanya pembangunan yang berwawasan lingkungan di desa dan pemberdayaan yang serius sehingga desa tidak berkontribusi mendorong laju urbanisasi yang begitu besar terhadap kota. 

4.KESIMPULAN
Kesimpulan dari artikel ini yaitu ,dalam mengatasi kemiskinan kota tentunya kita terlebih dahulu melihat faktor-faktor yang menjadi penyokong terciptanya kemiskinan kota.Kota medan yang merupakan salh satu objek yang menarik para kaum urbanisasan ini sudah mulai tidak mampu menampung penduduk untuk memperoleh tempat tinggal.Kemiskinan kota juga harus melihat bagaimana pola urbanisasi yang besar ke kota –kota yang  mepunyai daya tarik besar harus di teliti dan ditemukan penyebabnya.Urbanisasi pada umumnya disebabkan oleh ketimpangan pembangunan di desa dan rusaknya alam di desa sehingga memicu orang desa untuk melakukan urbanisasi karena lapangan kerja dan sumber penghidupan sudah semakin sulit ditemukan.Maka dari itu pemberdayaan masayarakat harus digalakkan dengan efektif untuk menumpas urbanisasi yang begitu besar.

5.Saran Dan Ucapa terima Kasih
Adapun saran bagi pemerintah pusat supaya lebih konsisten memberdayakan masyarakat desa agar urbanisasi yang besar itu dapat diatasi dengan cepat sehingga tidak memberi dampak yang tidak diinginkan seperti munculnya kaum miskin kota yang menjadi sebuah keprihatinan bagi kita semua.

Saya sebagai penulis artikel ini sangat berterima kasih kepada tim penyelenggara sudah mempunyai inisiatif menciptakan perlombaan ini ,karena dengan adanya lomba ini saya sendiri merasa sudah menemukan sebuah wadah akademik untuk melimpahkan pemikiran –pemikiran sosial. Terima kasih
Daftar Pustaka
  • Abbas, Ardi,  .2002 .Diktat Untuk Kalangan Sendiri : Sosiologi Perkotaan, Padang : Jurusan Sosiologi Universitas Andalas, Padang.
  • Damsar,Indriyani.2009.Pengantar Sosiologi Ekonomi.Jakarta.Prenada Media.
  • Fitri Ramdhani Harahap.2013. Dampak urbanisasi bagi perkembangan kota di Indonesia. Jurnal Society, Vol. I, No.1 http://journal.ubb.ac.id/index.php/sosiologi/article/download/65/60 (diakses tanggal 24 may 2017 pukul 21.00 wib).
  • Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. lakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  • Suyanto, Bagong.2013.Anatomi Kemiskinan Dan Strategi Penangananya.Malang.In-Trans Publishing.
  • Suyanto,Bagong.2013.Sosiologi Ekonomi:Kapitalisme Dan Konsumsi Di Era Masyarakat Postmodernisme.Jakarta.Prenadamedia Group.
  • Tri Joko,S.Haryono. DAMPAK URBANISASI TERHADAP MASYARAKAT DI DAERAH ASAL Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 67-78.https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rjauact=8&ved=0ahUKEwiS1875wI_UAhUMpY8KHZoRA3kQFgg2MAM&url=http%3A%2 %2Fjournal.unair.ac.id%2Fdownload-fullpapers-07 Trijoko.pdf&usg=AFQjCNFM_SvtpFhDSO410_Urna0kTo9luA&sig2=QEeuH8bZKSuZYOr-iZZMvA (Dibuka pada tanggal 27 may 2017 ,wa


Adrianus Bornokuli Sianipar_Universitas Sumatera Utara_ FISIP_Sosiologi