Selasa, 19 September 2017

Perilaku Konsumtif Dan Tren Shopaholic Pada Mahasiswa Di Indonesia

Era globalisasi merupakan perubahan global yang melanda seluruh dunia. Proses tersebut kemudian telah menimbulkan dampak di berbagai aspek kehidupan manusia pada lapisan masyarakat. Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, arus perkembangannya pun melaju begitu cepat yang ditandai dengan adanya kecenderungan wilayah-wilayah diseluruh negara baik secara geografis maupun fisik menjadi seragam dalam format sosial. Di bidang sosial globalisasi telah menciptakan doktrin atau paham egalitarianisme, di bidang budaya terjadi proses Internalization of Culture, di bidang ekonomi globalisasi telah menciptakan masyarakat yang saling ketergantungan dalam proses produksi dan pemasaran, sedangkan di bidang politik globalisasi telah menciptakan liberalisasi (Nugroho, 2001: 4). Perubahan di berbagai bidang tersebut kemudian tidak hanya terjadi secara tunggal, melainkan melibatkan manusia sebagai aktor globalisasi nyata yang tanpa disadari telah sendirinya menciptakan manusia baru yang sekuler dan hedonis.

Di Indonesia salah satu yang paling menonjol dari proyek kaum kapitalis untuk menguasai sumber daya dan alat produksi adalah dengan sengaja menciptakan “kebutuhan” baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Elit Kapitalis selalu mendorong bangsa kita untuk berkonsumsi banyak dan lebih banyak lagi. Kapitalisme berusaha menciptakan citra bahwa orang yang sukses adalah orang yang mempunyai banyak barang dan menempati posisi terhormat. Buah dari proyek tersebut kemudian telah menciptakan perubahan pola perilaku, menciptakan manusia yang hedonistik, hingga sampai pada fenomena perilaku konsumtif di luar batas wajar yang mewarnai kehidupan remaja dan anak muda di Indonesia.

Konsumtif pada umumnya merujuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan merupakan kebutuhan pokok (Tambunan, 2007). Hal ini yang kemudian menjadikan tindakan konsumtif tersebut tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional. Dalam keadaan tersebut, manusia lebih mementingkan faktor keinginan daripada sebuah kebutuhan, serta cenderung dikuasai oleh hasrat keduniawian dan kesenangan material semata (hedonistik). Pendapat ini kemudian dikuatkan pula oleh Jean Baudrillard yang mengatakan logika sosial konsumsi tidak akan pernah terfokus pada pemanfaatan nilai guna barang dan jasa oleh individu, namun akan terfokus pada produksi dan manipulasi sejumlah penanda sosial (Ritzer, 2011). Oleh karena itu konsumsi dalam pandangannya dilihat bukanlah sebuah kenikmatan atau kesenangan yang dilakukan masyarakat secara bebas dan rasional, melainkan sebagai sesuatu yang terlembagakan, dan dipaksakan kepada masyarakat hingga menyebabkan terjadinya pergeseran logika konsumsi, yaitu dari logika kebutuhan menjadi logika hasrat (Suyanto, 2013).

Pengaruh globalisasi yang telah menyebabkan munculnya perilaku konsumtif di Indonesia pada kalangan remaja dan anak muda sangat kelihatan nyata di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Jogjakarta, hingga Aceh. Di Indonesia berdiri banyak Universitas Negeri maupun Universitas Swasta yang sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa keberadaan dari institusi pendidikan tersebut saat ini tidak semata-mata sebagai tempat menimba ilmu, melainkan pula sebagai tempat berlangsungnya ajang popularitas dan membentuk citra diri dalam rangka mempertahankan eksistensi guna mendapatkan pengakuan sosial yang berarti di kalangan mahasiswa. Hal tersebut kemudian telah menciptakan perubahan gaya hidup, mulai dari cara berpakaian, makanan yang dikonsumsi, barang-barang ber merk, dan lain-lain. Pada akhirnya perilaku konsumtif tersebut menjelma menjadi tren Shopaholic yang memaksa siapa saja untuk masuk ke dalam arusnya. Dalam realitasnya tren inipun tidak hanya dilakoni oleh Mahasiswa dengan status ekonomi keluarga menengah ke atas, namun juga berlaku pada mahasiswa dengan status ekonomi keluarga menengah ke bawah. Tentu sangat disayangkan ketika mahasiswa yang seharusnya menjadikan Universitas sebagai tempat mempersiapkan diri menjadi generasi emas Indonesia, mengalami distorsi dan disorientasi. Meskipun tidak semuanya di alami oleh seluruh mahasiswa di Indonesia, namun kita tidak menutup mata dalam melihat fakta yang saat ini terjadi begitu jelas di Indonesia.

Tidak dipungkiri bahwa perubahan lingkungan sosial, tak jarang menuntut pula terjadinya peningkatan gaya hidup (lifestyle). Gaya hidup merupakan ciri  sebuah  dunia  modern. Oleh karena itu, siapapun yang hidup dalam masyarakat modern akan senantiasa mengalami perubahan pola perilaku. Salah satunya adalah perilaku konsumtif yang terjadi di Indonesia merupakan perubahan gaya hidup yang melanda kalangan remaja serta anak muda yang mayoritasnya adalah mahasiswa. Pola konsumtif inipun kemudian dirasa sangat mengkhawatirkan manakala telah meninggalkan bahkan menghilangkan pola hidup produktif (Gunawan, 2001:87). Hal yang lebih disayangkan lagi adalah ketika pergeseran logika tersebut juga disusul oleh pergeresan orientasi belajar di kalangan mahasiswa, mahasiswa menjadi hipperrealitas, menurunnya semangat belajar yang berorientasi pada kemandirian, kritis, serta inovatif, hingga sampai pula pada persoalan pergaulan bebas dan kriminilitas pada kalangan mahasiswa di perkotaan yang menghalalkan segala cara untuk dapat memenuhi hasrat konsumtifnya tersebut. Barangkali memang inilah buah dari skenario besar elit kapitalis negara barat sejak dahulu sampai sekarang di Indonesia, yaitu merusak mental anak Indonesia melalui wacana-wacana pembangunan baru yang digalang oleh negara barat seperti Investasi besar-besaran di Indonesia, menyediakan hutang besar bagi Indonesia, mudahnya teknologi-teknologi baru masuk ke Indonesia yang diiringi pula dengan masuknya paham-paham baru yang berakibat pada lunturnya moral bangsa Indonesia dan negara semakin kehilangan identitasnya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kompas Indonesia pada tahun 2012 menunjukkan mahasiswa memiliki minat untuk berbelanja dan lebih cenderung berperilaku konsumtif dibandingkan dengan orang tua maupun pelajar SMA. Umumnya mahasiswa melakukan belanja bukan didasarkan pada kebutuhan semata, melainkan demi kesenangan dan gaya hidup yang menjadikan sesorang menjadi boros atau dalam perilaku konsumtif disebut konsumerisme. Fenomena konsumerisme tersebutpun diperkuat dengan munculnya tren belanja online yang saat ini mewarnai pasar bisnis di Indonesia. Adapun yang menjadi sasaran utama adalah wanita muda yang berstatus sebagai mahasiswi.

Saat ini di Indonesia wanita yang mayoritasnya adalah mahasiswa lebih sering membelanjakan uangnya untuk keperluan penampilan seperti pakaian, kosmetik, aksesoris, dan sepatu baik secara langsung maupun online. Kondisi   pasar   yang   lebih   banyak   ditujukan   untuk   wanita   menjadikan wanita cenderung lebih mudah dipengaruhi dan lebih konsumtif daripada kaum laki-laki. Tidak heran jika kemudian perilaku komsumtif sebagian besar dilakukan oleh kaum wanita muda di Indonesia. Secara psikologis, konsumen wanita cenderung lebih emosional dalam berbelanja, sedangkan konsumen pria akan memulai menggunakan nalarnya ketika memutuskan untuk membeli sebuah barang. Hal tersebut didukung pula pada data hasil survey tahun 2014 yang dilakukan Tokopedia, yang menujukkan wanita yang mayoritasnya adalah mahasiswi mendominasi jumlah pembelian, jumlah penjualan, jumlah pengeluaran uang belanja, serta jumlah pemasukan di Tokopedia. Adapun rata-rata dari barang yang dibelanjakan terdiri dari produk kecantikan dan kesehatan, pakaian, fashion, aksesoris, dan gadget. Tingkat konsumtifitas tersebut kemudian berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Tokopedia telah menempatkan wanita yang mayoritasnya adalah mahasiswi dengan persentase 66,28% sebagai masyarakat konsumtif dengan durasi belanja yang dapat mencapai 3 kali dalam seminggu. Sedangkan laki-laki yang mayoritasnya mahasiswa hanya berjumlah 33, 72% (Tokopedia.com).

Perbedaan kecenderungan prilaku konsumtif laki-laki wanita memang cenderung sangat berbeda. Laki-laki lebih akan mdah terpengaruh pada bujukan seorang penjual yang membuatnya juga sering tertipu akibat tidak sabaran dalam memilih barang. Setelah itu, laki-laki juga cenderung memiliki perasaan tidak enak atau perasaan tidak mengahargai bila tidak membeli suatu barang jika ia telah memasuki salah satu toko di pusat perbelanjaan. Hal itulah yang kemudian menjadikan laki-laki menjadi lebih hati-hati dalam berbelanja, dan biasanya akan membeli barang yang sesuai dengan kebutuhan dan perencanaannya sejak awal memutuskan untuk membeli suatu barang. Disisi lain pula laki-laki juga biasanya akan memilih satu barang saja, meskipun harga barang yang dibeli tersebut memiliki harga yang cukup mahal. Sebaliknya dikalangan wanita, wanita akan lebih muda tertarik pada warna dan bentuk suatu barang, bukan pada hal teknis kegunaannya, mudah terbawa arus bujukan penjual, menyenangi hal-hal yang romatis daripada bertindak objektif, cepat merasakan suasana pusat perbelanjaan, dan senang melakukan windows shopping. Hal inilah yang menjadi alasan kuat yang membuktikan pula tingkat konsumtifitas pada wanita khususnya mahasiswi lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki. 

Perilaku konsumtif yang tinggi tersebut kemudian telah menjelma menjadi tren sophoholic (belanja berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan) pada mahasiswa, khususnya dikalangan mahasiswa wanita. Banyaknya jumlah mahasiswa di kota-kota besar di Indonesia menjadikan mahasiswa sebagai mangsa pasar tersendiri yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis. Gaya hidup shopaholic tersebut dapat dilihat mulai dari cara bergaul. Mereka yang mengadopsi tren shopaholic biasanya akan selalu berpenampilan menarik, mengenakan fashion bermerek (mulai dari pakaian, tas, sepatu, dll), mengenakan model pakai yang sedang happening (biasanya digandrungi oleh mahasiswi), mengikuti perkembangan zaman dengan sangat cepat (ex: biasanya suka mengganti-ganti merek gadget yang digunakan, merek kacamata, dll), dan rata-rata cara berpenampilan tersebut cenderung memperlihatkan standart hidup yang menengah ke atas. Meskipun pada realitasnya tidak semua mahasiswa yang mengadopsi tren shopaholic ini datang dari kalangan masyarakat menengah ke atas. Adapun mahasiswa yang berstatus ekonomi menengah ke bawah juga terjerat dalam arus shopaholic yang menjadikan mereka secara sadar maupun tidak sadar, secara terpaksa atau tidak terpaksa mengikuti arus tersebut dalam rangka mendapatkan pengakuan sosial dan citra diri (sesuai yang diakui dilingkungan sosialnya), dan ini sangat marak terjadi di lingkungan Universitas tempat seharusnya mahasiswa menuntut ilmu. Ketika lingkungan eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar, keinginan dan hasrat seolah-olah menjadi bentukan sosial yang tersetting secara sempurna dalam format sosial, tidak dapat terelakkan, hingga akhirnya mengikuti arus menjadi pilihan yang paling rasional menggrogoti pikiran dan mental mahasiswa di Indonesia.

Menjadi mahasiswa merupakan masa dimana pencarian akan sebuah indentitas sedang berlangsung. Oleh karena itu, sesuatu yang bernuasa modern di masanya merupakan sebuah kebutuhan baru yang hampir tidak kalah pentingnya bagi mahasiwa selain kebutuhan seperti uang untuk membayar kamar kos, uang jajan bulanan, serta uang untuk membeli buku-buku kuliah. Mengikuti arus modernitas bagi mereka merupakan ekspresi perasaan yang cenderung ingin diakui dan diterima di lingkungan sosialnya. Biasanya ini dilakukan untuk menghindari pem bullyan, serta tidak disepelekan oleh pihak lain yang biasanya terjadi pada teman sebaya dilingkungan sosialnya. Kecenderungan demikianlah yang pada akhirnya menjadikan anak muda kalangan mahasiswa kehilangan identitas diri ketika lingkungan perguruan tinggi mengalami distorsi yang menyebabkan visi misi di setiap Universitas tergeserkan oleh kepentingan popularitas, kepentingan penghargaan dan nama baik yang semata-mata hanya menjadikan mahasiswa sebagai generasi konsumtif.

Kesimpulan 
Tanpa kita sadari perilaku konsumtif ini sebetulnya merupakan budaya secara turun-temurun dan bertahan di Indonesia, mulai dari sejak orde lama, orde baru, hingga masa reformasi. Hingga kita bisa mengatakan perilaku konsumtif yang mendarah daging lahir dari tabiat konsumtif generasi terdahulu yang lebih tertarik dalam mengejar kekuasaan di pemerintahahan, serta kurangnya rasa perduli terhadap dampak negatif yang dibawa oleh elit kapitalis dari negara barat yang masuk ke Indonesia dengan misi menghancurkan mental bangsa Indonesia, melalui generasi-generasi muda. Perkembangan zaman memang tidak bisa kita hindari, perjalanannya telah memaksa masyarakat untuk beradaptasi terhadap semua perubahan-perubahan yang terjadi yang bisa mengarah kepada arah yang positif maupun  negatif. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), pesatnya arus informasi, atau kontak budaya dengan bangsa lain seharusnya tidak semata-mata menjadi faktor pembentukan perilaku konsumtif di Indonesia, namun seharusnya dapat pula menjadi modal penguat terciptanya keselarasan hidup bagi bangsa Indonesia. Karena jika tidak disikapi secara cerdas, krisis karakter dan krisis mental akan terus terjadi hingga sampai pada hilangnya identitas diri dikalangan generasi muda. Sayangnya warna pendidikan di Indonesia pun saat ini telah mengalami pergeseran fungsi dan tujuan normatifnya akibat maraknya kapitalisasi pendidikan di Indonesia. Pada akhirnya fenomena konsumerisme dikalangan mahasiswa akan terus terjadi , terus terjadi, sampai pada generasi-generasi selanjutnya.

Daftar Pustaka
  • Chaney, David. 2003. Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jala Sutra.
  • Gunawan, Widjaja dan Ahmad, Yani. 2001. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana.
  • Nugroho, Heru. 2001. Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Ritzer, George dan Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media
  • Tambunan, A.P. 2007. Menilai Harga Wajar Saham (Stock Valuation). Jakarta: PT Elex Media
Marini Kristina Situmeang_ email: marinikristinasitumeang@gmail.com




0 komentar:

Posting Komentar