Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Jumat, 09 Februari 2024

Fenomena Flexing dalam Perspektif Sosiologi

Menurut sosiolog Indonesia, Selo Soemardjan, globalisasi adalah terbentuknya sebuah komunikasi dan organisasi di antara masyarakat satu dengan yang lainnya yang berbeda di seluruh dunia yang bertujuan untuk mengikuti kaidah-kaidah baru yang sama. Hubungan tersebut disebabkan oleh penemuan baru, seperti alat elektronik dan internet.

Salah satu dampak globalisasi adalah kemajuan teknologi yang tidak bisa kita hindari. Namun, kemajuan teknologi tidak selamanya memberi dampak positif, sehingga kita harus bijak dalam memanfaatkan teknologi.

Adanya fenomena flexing merupakan salah satu fenomena yang muncul akibat dari kemajuan teknologi, seperti media sosial dan internet. Flexing adalah suatu fenomena sosial yang semakin populer di kalangan masyarakat. Istilah flexing pertama kali digunakan pada tahun 1899 oleh Thorstein Veblen di bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institusion. Dalam teorinya, ahli ekonomi dan sosiolog berkebangsaan Amerika ini, mengungkapkan ‘konsumsi yang mencolok’ untuk menggambarkan bagaimana benda atau barang dipamerkan untuk menunjukkan status dan posisi sosial.  Secara garis besar, flexing adalah suatu kebiasaan seseorang untuk memamerkan apa yang dimilikinya di media sosial. Kemudian, tindakan ini dilakukan untuk mendapatkan pengakuan orang lain.

Dalam perspektif sosiologi, fenomena ini dapat dilihat sebagai bagian

dari budaya konsumsi yang semakin berkembang pada masyarakat modern. Salah satu faktor yang memengaruhi adanya fenomena flexing adalah tekanan sosial untuk menunjukkan sesuatu yang berhasil dimiliki atau untuk menunjukkan status sosial yang tinggi.

Pada masyarakat Indonesia sendiri, fenomena flexing tengah ramai diperbincangkan di berbagai lapisan masyarakat. Hal ini terjadi setelah terungkapnya penganiayaan yang dilakukan oleh anak mantan pejabat Dirjen pajak Rafael Alun (Mario Dandi) terhadap anak dari pengurus GP Anshor (David). Kasus ini menarik perhatian masyarakat Indonesia, karena gaya hidup mewah yang ditunjukkan oleh Mario Dandi di media sosialnya. 

Selain kasus tersebut, munculnya crazy rich dari berbagai daerah di Indonesia juga menarik perhatian masyarakat. Salah satunya adalah ditangkapnya crazy rich asal Surabaya Wahyu Saptian Dyfrig atau yang lebih dikenal dengan Wahyu Kenzo. Sebelum ditangkap atas kasus investasi robot trading, Wahyu Kenzo kerap kali pamer gaya hidup mewah atau flexing di akun media sosial Instagram maupun Facebook miliknya. Wahyu juga dikenal sebagai sportcar enthusiast, dengan menunjukkan sejumlah koleksi mobil mewah seperti jip Mercy Brabus yang harganya mencapai belasan miliaran rupiah. Tak hanya itu, wahyu juga kerap kali memamerkan bisnisnya di media sosial yaitu situs Pansaka.id, yang menjual berbagai macam produk kecantikan wanita hingga makanan dan minuman kesehatan. Selain pamer tentang barang dan pencapaian yang dimilikinya, Wahyu juga memamerkan fotonya dengan beberapa pejabat Indonesia, seperti ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Khofifah Indar Prawansa, Ridwan Kamil, hingga mantan menteri BUMN Dahlan Iskan.

Tak hanya Mario Dandi dan Wahyu Kenzo, banyak bermunculan masyarakat Indonesia yang kerap kali flexing di media sosialnya. Hal ini merupakan akibat dari kemajuan teknologi dan budaya konsumsi yang semakin berkembang di masyarakat. Selain itu, masyarakat juga berlomba-lomba untuk menunjukkan status sosialnya agar memperoleh Prestige dan Privilege. 

Flexing atau pamer kemewahan ini juga banyak pula ditemukan di berbagai media sosial seperti tiktok, facebook, instagram, youtube, twitter dan sebagainya. Bahkan banyak para vlogger atau conten creator di Indonesia yang menjadikan ajang flexing atau pamer kemewahan sebagai konten di laman media sosialnya.

Diantara faktor-faktor pendukung perilaku flexing adalah adanya reaksi memuaskan dari masyarakat, tingginya self-esteem atau penghargaan diri individu, tingkat kemampuan interpersonal yang baik, adanya sikap optimisme diri individu yang tinggi (Ety, 2022).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur Khayati tahun 2022, perilaku flexing dapat menimbulkan dampak negatif, diantaranya yaitu:

1. Perilaku semakin konsumtif karena melakukan berbagai macam cara untuk memenuhi kesan sebagai orang kaya.

2. Ketidakmampuan diri memenuhi gaya hidup flexing (berhutang) akan menjadi beban dan masalah.

3. Rasa empati yang dimiliki semakin sedikit dikarenakan tidak peduli terhadap orang yang membutuhkan bantuan, mereka hanya fokus pada pamer kekayaaan.

Selain itu, perilaku flexing juga dapat menyebabkan gangguan kepribadian narsistik yaitu perilaku seseorang yang berlebihan dalam memandang dirinya sendiri (Sari, 2021).

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi perilaku flexing, diantaranya yaitu:

1. Mengatur postingan di media sosial hanya untuk orang terdekat saja

2. Memposting pencapaian diri di media sosial dengan sewajarnya saja

3. Memposting pencapaian diri di media sosial menggunakan bahasa yang menginspirasi orang lain. 

Cara pengendalian lain yang juga dapat dilakukan yaitu dengan mengontrol pandangan terhadap diri sendiri agar tidak melebur dengan kecenderungan menjadi superior atas individu lain.


Daftar Pustaka:

Nurhayat, E., & Noorrizki, R. D (2022). Flexing: Perilaku Pamer Kekayaan di Media Sosial dan Kaitannya dengan Self-Esteem. Jurnal Flourishing, 2(5), 368–374

Khayati, Nur., dkk (2022). Fenomena Flexing Di Media Sosial Sebagai Ajang  Pengakuan Kelas Sosial Dengan Kajian Teori Fungsionalisme Struktural. Jurnal Sosialisasi, Vol. 9, Nomor 2.

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-kisaran/baca-artikel/14817/Crazy-Rich-Flexing-dan-Melunturnya-Budaya-Ketimuran.html

https://www.liputan6.com/lifestyle/read/5227740/sebelum-ditangkap-crazy-rich-surabaya-wahyu-kenzo-suka-flexing-mobil-mewah-di-media-sosial

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6116402/globalisasi-pengertian-menurut-para-ahli-dan-dampaknya-di-indonesia

Karya: AULIA GITA INDAH SARI MAN 2 MALANG



Hegemoni Flexing 2.0 di Media Sosial: Representasi Gaya Hidup Hedonisme dan Pembentukan Prestise Sosial

        Fenomena flexing kini menjadi salah satu sorotan besar bagi bangsa Indonesia. Darmalaksana menjelaskan bahwa fenomena flexing ini semakin banyak terjadi dengan adanya sosial media, di mana orang-orang berlomba-lomba untuk memamerkan kekayaannya dengan tujuan untuk menunjukan posisi sosial dan status sosial, menunjukan pada kemampuannya dan untuk melahirkan kesan bagi orang lain (dalam Khayati, dkk, 2022). 

Flexing 2.0 merupakan gelombang kedua flexing yang pelakunya berasal dari Aparatur Negara (ASN), setelah sebelumnya pada tahun lalu dilakukan oleh para crazy rich. Kasasi mengatakan bahwa justru kali ini, flexing dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengaruh dan jabatan. Hal itu dirasa tidak wajar karena telah mencederai nilai keadilan lantaran penghasilan ASN sejatinya berasal dari pajak rakyat (dalam Erlangga, 2023). Tindakan hedonisme ini dilakukan untuk menunjukkan kekayaan dan kemewahan sebagai bentuk prestise sosial. Banyak pejabat yang terjebak dalam pola perilaku yang mengabaikan etika dan penggunaan uang publik secara tidak bijaksana. 

Prestise sosial dalam kajian sosiologi identik dengan status sosial, kehormatan dan kedudukan yang dimiliki oleh seseorang dalam kehidupannya (Nugraheni, 2019). Orang yang dianggap paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Di kalangan pejabat sering kali terlihat dalam penggunaan mobil dinas atau fasilitas-fasilitas mewah lainnya seperti penginapan, restoran, dan fasilitas yang sebenarnya tidak diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas mereka.

Kasus ini akan dikaji dengan menggunakan teori Interaksionisme Simbolik dari George H Mead. Interaksi simbolik dipengaruhi oleh suatu sistem dalam kehidupan sosial masyarakat sehingga akan menampilkan perilaku tertentu, dan dari perilaku tersebut, membentuk sebuah simbol dalam interaksi pada masyarakat. Teori ini memiliki tiga konsep inti yaitu, pentingnya makna bagi perilaku manusia (mind), pentingnya konsep mengenai diri (self), dan hubungan antara individu dengan masyarakat (society) (Komala, Widjanarko, & Setiansah, 2021). Dalam esai ini, akan mengambil konsep makna (mind) dan konsep diri (self). 

(1) Makna (Mind), dalam fenomena ini, akan dibahas mengenai makna bagi dirinya dan makna bagi orang lain. Mereka menunjukan simbol makna interaksi dengan menggunakan gaya hidup hedonis yang dianutnya untuk mendapatkan prestise sosial sesuai dengan tingkatan kelasnya. Reproduksi citra tersebut digambarkan secara eksplisit yang mempunyai makna bahwa orang tersebut mampu mengunjungi tempat-tempat yang tidak semua individu mampu melakukannya serta membeli barang-barang mewah dimana tidak semua individu dapat membelinya. Dia menunjukan seperti apa dirinya dalam ranah sosial agar memperoleh pengakuan sosial bahwa “ia berasal dari kelas elit”. Dalam hal ini, orang lain akan menginterpretasi simbol tersebut dan mengarahkan pada tingkah laku berdasarkan interpretasi mereka (Raho, 2021). Dalam pembangunan makna bagi masyarakat, mereka akan merasa kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah jika melihat para pejabat menggunakan uang publik untuk mendapatkan prestise dan gaya hidup hedonis tersebut. 

(2) Konsep diri (self), konsep diri yang dimilikinya dapat dikatakan sebagai suatu hiperrealitas terhadap gaya hidup yang ditampilkan dihadapan orang lain. Melalui sarana media, hegemoni flexing terus diproduksi sehingga menjadi bagian dari budaya massa yang telah menghasilkan automatisasi dalam lingkup kehidupan sehari-sehari. Bourdieu memperlihatkan bahwa simbol yang ditampakkan tersebut merupakan representasi dari produk kebudayaan oleh kelompok-kelompok sosial tertentu (dalam Mahyuddin, 2017). Dalam kasus ini, salah satu aparatur negara atau pejabat publik terus mengkonstruksi pembedaan kelas sosialnya dengan menampakkan citra yang tengah dilakoninya untuk membuat konsep dirinya dalam pandangan orang lain. 

Adapun rekomendasi yang penulis sarankan adalah melalui tindakan preventif, yaitu dengan membangun budaya integritas dan transparansi dalam pemerintahan. Hal ini harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, untuk menjaga kepercayaan masyarakat pada pemerintah serta menciptakan lingkungan yang lebih baik dan lebih adil bagi seluruh rakyat.  Namun, menurut pandangan penulis “Sebenarnya bukan tindakan flexing saja yang harus dihentikan, melainkan tindakan mengambil sesuatu yang bukan haknya bahkan merugikan Negara, yang sering disebut dengan Korupsi. Dalam ranah kasus ini, selain penyimpangan sekunder, sudah termasuk dalam kejahatan kerah biru.



Kesimpulannya, flexing adalah perilaku yang tidak memiliki kebermanfaatan apalagi kalau yang melakukannya adalah pejabat aparatur negara, karena dapat mendorong kepada hedonisme. Tindakan hedonisme dilakukan untuk menunjukkan kekayaan sebagai bentuk untuk meraih prestise sosial. Kasus ini sejalan dengan teori Interaksionisme Simbolik dari George H Mead. Makna (Mind), Menunjukan eksistensi dirinya untuk memperoleh prestise sosial, Kemudian konsep diri (self), yaitu pejabat publik membuat konsep dirinya dalam pandangan orang lain. Sumber daya publik haruslah memiliki kebermanfaatan bagi masyarakat. Konsep Entitas yaitu pembeda antara kepemilikan pribadi dan kantor juga harus dilaksanakan. Birokrasi publik yang baik adalah yang mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. 



RUJUKAN

Erlangga, F. (2023). Rhenald Kasali: Pejabat Flexing Kekayaan adalah Warisan Orde Baru. Diakses melalui: https://www.beritasatu.com/nasional/1029729/rhenald-kasali-pejabat-flexing-kekayaan-adalah-warisan-orde-baru <07/05/2023>

Khayati, dkk. (2022). Fenomena Flexing di Media Sosial sebagai Ajang Pengakuan Kelas Sosial dengan Kajian Teori Fungsionalisme Struktural. Jurnal Sosialisasi, 9 (2), hal. 113-121.

Komala, D. A., Widjanarko, W., & Setiansah, M. (2021). Interaksi Simbolik Social Climber dalam Pembentukan Gaya Hidup Brand Minded pada Konsumen Brand Fast Fashion di Kalangan Mahasiswi di Purwokerto. JOMIK: Jurnal Online Mahasiswa Ilmu Komunikasi (ISSN 2797-1023), 1(02), 1-9.

Mahyuddin, M. (2017). Social Climber dan Budaya Pamer: Paradoks Gaya Hidup Masyarakat Kontemporer. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, 2(2), hal. 117-135.

Nugraheni, M. P. (2019). Instagram Sebagai Prestise Sosial Mahasiswa UNY. E-Societas, 8(3).

Raho, B. (2021). Teori Sosiologi Modern (Edisi Revisi). Yogyakarta: Ladalero.


Karya: Rifki Hilman Fauzi, MAN 1 Ciamis



Flexing Menjadi Konsumsi Masyarakat Indonesia

        Fenomena flexing sering kali kita jumpai di Indonesia terlebih pada zaman modern ini. Istilah flexing digunakan kepada orang-orang yang sering memamerkan kelebihan yang mereka punya, umumnya dalam hal kekayaan. Hal yang dipamerkan beragam, mulai dari prestasi, posisi sosial, hingga barang mewah seperti jet, mobil, dan jalan-jalan ke luar negeri. Orang melakukan flexing di sosial media, sukses menggaet banyak perhatian netizen seperti Indra Kenz dengan barisan mobil mewahnya atau Sisca Kohl yang membuat konten makanan dengan harga fantastis.1 

Sebagaimana dicetuskan oleh Max Weber mengenai teori tindakan rasionalitas instrumental, seseorang akan melakukan sesuatu berdasarkan tujuan, termasuk melakukan flexing. Psikolog Rollo May menyebutkan teori eksistensialisme dimana manusia memiliki keinginan untuk diakui keberadaannya2. Pelaku flexing memiliki tujuan menarik perhatian masyarakat luas dan mendapat pengakuan. Selain karena validasi, perilaku pamer juga bisa disebabkan oleh kebiasaan sejak kecil. George Herbert Mead menyatakan dalam tahapan sosialisasi kedua, pada tahapan meniru, anak sudah pandai menirukan peran tertentu, mereka belajar untuk mereplika yang disaksikan. Menurut Charles Horton Cooley, kelompok primer memiliki peranan penting dalam membentuk kepribadian manusia karena mengenalkan perasaan tertentu seperti kasih sayang, atau karakter lain yang diprioritaskan kelompok tersebut3. Anak yang terbiasa melihat lingkungan keluarga atau pertemanannya memamerkan barang mewah akan meniru hal tersebut dan dibawa hingga dewasa. 

Kegiatan flexing ramai di kalangan masyarakat Indonesia yang salah satu sebabnya adalah globalisasi. George Ritzer menyatakan globalisasi ditandai dengan munculnya

perkembangan teknologi komunikasi seperti telepon genggam atau televisi. Di zaman modern, hampir seluruh kalangan memiliki telepon genggam yang memudahkan akses komunikasi, termasuk akses pada konten flexing yang disajikan dalam berbagai aplikasi sosial media. Konten flexing tidak akan viral jika sering dialami oleh mayoritas masyarakat. Namun, kesenjangan sosial di Indonesia adalah jurang yang begitu besar antara kelas atas dan kelas bawah. Kemenkeu mencatat pada September 2022, sebanyak 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan4. Sejumlah masyarakat tersebut sangat tertarik melihat seseorang memakai barang mewah karena tidak memiliki hal yang serupa. 

Flexing mulai tertanam di masyarakat modern hingga membentuk konsep baru dalam masyarakat. Popularitas pelaku flexing diperhatikan dan dinilai oleh pengguna sosial media. Orang yang melakukan flexing akan terlihat kaya raya sehingga masyarakat akan memandang pelaku flexing sebagai orang yang menduduki posisi tinggi dalam stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial adalah penggolongan masyarakat ke dalam lapisan-lapisan tertentu, dari tingkatan rendah ke tingkatan tinggi5. Klasifikasi masyarakat dilakukan menggunakan beberapa ukuran, salah satunya kekayaan. Orang yang menduduki tingkatan atas dalam stratifikasi kerap kali memamerkan barang mewah sehingga membentuk pemahaman baru dalam masyarakat luas. George Herbert Mead menyajikan teori interaksionisme simbolik yaitu individu mengambil tindakan lewat cara berpikir melalui simbol6. Dengan adanya fenomena ini, banyak orang menganggap standar mampu adalah menunjukkan barang mewah. Orang-orang yang menggunakan barang bermerek adalah orang kaya dan menduduki kelas atas dalam stratifikasi sosial. 

Hal baru akan membawa dampak baru juga, sama seperti fenomena flexing. Pengaruh flexing bisa mengarah positif ataupun negatif, tergantung pada respon masyarakat. Pengaruh positif fenomena flexing adalah menumbuhkan motivasi dalam individu. Saat melihat orang

sukses dan kebutuhan material yang terpenuhi akan mendorong masyarakat juga berusaha agar bisa mencapai di titik kesuksesan yang sama. Namun jika respons dan pemahaman terhadap flexing ialah negatif, akan berdampak pada masyarakat juga diri pelaku. Orang yang tidak mampu mencapai tingkatan yang sama akan memaksakan diri untuk terlihat mampu seperti para pelaku flexing hingga muncul tindak penyimpangan hingga kriminalitas, seperti berhutang serta mendukung peredaran barang bermerek palsu yang melanggar hak cipta. Dampak lainnya adalah flexing bisa mengganggu kepribadian seseorang. Seorang psikolog di Knox College, penulis buku The High Price of Materialism, menyebutkan akibat dari melakukan flexing seseorang akan memiliki sikap kurang empati dan lebih kompetitif7. Hal ini dapat menimbulkan risiko ketegangan dalam struktur sosial. 

Meskipun flexing tidak merugikan siapapun, flexing menjadi ajakan tanpa sengaja bagi masyarakat untuk ikut serta dalam kultur materialisme. Terlebih masyarakat yang masih menelan informasi dalam secara mentah-mentah tanpa mencari kebenaran aslinya. Ada baiknya penggunaan sosial media diarahkan untuk hal-hal positif, misal sebagai alat untuk mengunggah himbauan agar masyarakat tidak menelan hoax dan membeli barang-barang palsu yang beredar di pasaran. Dengan demikian pihak yang mengalami kerugian akan berkurang dan masyarakat tidak dengan mudah menilai hidup seseorang berdasarkan tampilan laman sosial media pelaku flexing

Daftar Pustaka

https://lifestyle.sindonews.com/read/712413/166/4-influencer-yang-gemar-flexing-di-media-sosial-nomor-t erakhir-terkenal-di-kalangan-seleb-hollywood-1647248593

https://www.kompasiana.com/fauzanurhidayah02/54f7bfdfa33311bd208b4966/konsep-teori-eksistensialis me 

https://bakai.uma.ac.id/2022/02/21/mengenal-apa-itu-primordialisme-serta-dampak-positif-dan-negatifnya/ 

https://fiskal.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers-detil/459#:~:text=Jakarta%2C%2016%20Januari%202 023%20%E2%80%93%20Tingkat,2021%20(9%2C71%25).

5 https://repositori.kemdikbud.go.id/19437/1/Kelas%20XI_Sosiologi_KD%203.3%20%282%29.pdf

https://www.gramedia.com/literasi/teori-interaksi-simbolik/#:~:text=Menurut%20George%20Herbert%20M ead%20teori,individu%20satu%20dengan%20individu%20lainnya.

7 https://www.gramedia.com/best-seller/flexing-adalah/


Karya: Stefhanie Valerie
SMA Tarakanita Gading Serpong
 







Orang Kaya Mirip Semua Dan Kita Tak Bisa Mengikuti

                Flexing merupakan cara memamerkan status yang dimiliki untuk mencapai suatu tujuan, hal ini menjadi lebih wajar dalam era globalisasi karena perkembangnya media sosial. Flexing sebagai efek globalisasi merupakan cara pendekatan komunikasi top-down yang berasal dari orang yang berstatus lebih tinggi ke status lebih rendah. Dalam flexing, pengenalan terhadap simbol status dilakukan kepada kalangan yang sebelumnya belum tentu mengenal simbol status tersebut. Adanya simbol status yang menjadi indikator kedudukan di kalangan masyarakat menunjukan bahwa adanya pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas menurut tingkatan mereka secara vertikal. Ukuran bagi kelas-kelas ini biasanya kekayaan sehingga flexing biasanya dilakukan untuk memamerkan kekayaan. 

            Keberadaan status sosial yang memungkinkan adanya flexing menunjukkan bahwa adanya perjuangan kelas di antara orang-orang berstatus rendah (kelas bawah) dan orang-orang berstatus tinggi (kelas atas). Keadaan ini sesuai dengan pandangan Karl Marx dimana ada perbedaan kepentingan karena orang-orang yang berada di kelas bawah (proletar) ingin melakukan mobilitas sosial ke status yang lebih tinggi sementara orang-orang yang berada di kelas atas (borjuis)  ingin mempertahankan posisi mereka. Jika masyarakat kalangan bawah mulai mirip dengan mereka maka mereka akan berhenti menjadi masyarakat kelas atas karena mereka semua berada pada tingkatan status sosial yang sama. Ini membawa dampak seperti kesenjangan sosial yang semakin terlihat di antara masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah dan bertambahnya homogenitas kelompok di kalangan atas beserta eksklusivisme yang meningkat di kalangan tersebut.


      Flexing menunjukkan jurang antara kalangan bawah dan kalangan atas karena kalangan atas cenderung ingin memisahkan diri dari kalangan bawah sehingga mereka terasa tak tercapai bagi masyarakat biasa. ‘Jurang’ yang muncul dapat mendorong  masyarakat kalangan bawah untuk melakukan tindakan kriminalitas untuk mencapai status yang lebih tinggi, seperti mencuri agar memiliki uang untuk bergaul dengan orang kaya atau melakukan perjudian agar cepat kaya. ‘Jurang’ ini juga menciptakan persaingan kurang sehat diantara orang-orang berstatus sama karena keinginan untuk menaikkan status, seperti persaingan antara ojek online dan ojek pangkalan di Bandung  sampai terjadi perjanjian lisan dimana ojol dilarang membawa penumpang dari daerah tertentu karena mereka bersaing untuk mendapat penumpang. Persaingan juga terjadi di kalangan kelas atas dimana pemilik-pemilik perusahaan besar terus bersaing untuk menjadi semakin kaya sampai memaksakan pegawainya untuk terus bekerja lembur tanpa bayaran setimpal seperti di perusahaan Amazon.


  Di sisi lain, homogenitas kelompok diantara masyarakat kalangan atas terjadi karena ada simbol status sebagai indikator kedudukan. Secara umum, kelompok yang memiliki kesamaan lebih mudah untuk berinteraksi dan mempercepat integrasi, tetapi kesamaan ini menghambat munculnya inovasi baru. Menurut sebuah penelitian dari Universitas Pennsylvania, orang-orang yang menggunakan media sosial kurang mungkin untuk membuat ide baru dan malah melebur dengan tren. Sebagai contoh, orang kaya seperti Blogilates biasa menunjukkan gaya hidup sehat di media sosial seperti pergi ke gym, membuat smoothie,dll. Meskipun mayoritas masyarakat kelas bawah tidak mampu mengikuti karena kesibukan sehari-hari, mereka suka dengan konten tersebut dan mempopulerkan di media sosial. Pada akhirnya karena konten gaya hidup sehat populer, maka kalangan atas akan berhenti mencari ide baru dan terus flexing gaya hidup sehat mereka


  Flexing akan selalu ada dalam status sosial, sehingga yang dapat dilakukan untuk menanggulangi efeknya adalah lebih memperhatikan bagaimana masyarakat kalangan atas atau bawah bereaksi terhadap flexing. Flexing mendorong kelas bawah untuk melakukan mobilitas sosial dengan interaksi identifikasi yang dapat menghilangkan jati diri karena kecenderungan untuk berusaha menaikkan status sosial dengan mengikuti kelas atas, tetapi flexing juga membuat kelas atas semakin homogen dan mengurangi inovasi yang muncul karena hanya mengikuti tren. Oleh karena itu, ada baiknya jika kemauan kuat kelas bawah untuk menaikkan status didampingi pelatihan untuk menciptakan inovasi agar dapat mengurangi kesenjangan dan masyarakat terus berkembang. 


Sumber:

Extreme competition and the dark side of success in China

Are We Really Becoming "THAT GIRL" or Just the "SAME GIRL" | #ToniTalks

https://thediplomat.com/2022/03/will-common-prosperity-reach-chinas-takeout-drivers/

https://www.theguardian.com/technology/2020/feb/05/amazon-workers-protest-unsafe-grueling-conditions-warehouse 

https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-016048767/konflik-ojol-dengan-ojek-pangkalan-pecah-di-pasir-impun-kota-bandung-polisi-turun-tangan 

https://temismarketing.com/blog/is-social-media-destroying-creativity/


Karya: Carissa Tanida, SMA Tarakanita Gading Serpong