Fenomena flexing kini menjadi salah satu sorotan besar bagi bangsa Indonesia. Darmalaksana menjelaskan bahwa fenomena flexing ini semakin banyak terjadi dengan adanya sosial media, di mana orang-orang berlomba-lomba untuk memamerkan kekayaannya dengan tujuan untuk menunjukan posisi sosial dan status sosial, menunjukan pada kemampuannya dan untuk melahirkan kesan bagi orang lain (dalam Khayati, dkk, 2022).
Flexing 2.0 merupakan gelombang kedua flexing yang pelakunya berasal dari Aparatur Negara (ASN), setelah sebelumnya pada tahun lalu dilakukan oleh para crazy rich. Kasasi mengatakan bahwa justru kali ini, flexing dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengaruh dan jabatan. Hal itu dirasa tidak wajar karena telah mencederai nilai keadilan lantaran penghasilan ASN sejatinya berasal dari pajak rakyat (dalam Erlangga, 2023). Tindakan hedonisme ini dilakukan untuk menunjukkan kekayaan dan kemewahan sebagai bentuk prestise sosial. Banyak pejabat yang terjebak dalam pola perilaku yang mengabaikan etika dan penggunaan uang publik secara tidak bijaksana.
Prestise sosial dalam kajian sosiologi identik dengan status sosial, kehormatan dan kedudukan yang dimiliki oleh seseorang dalam kehidupannya (Nugraheni, 2019). Orang yang dianggap paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Di kalangan pejabat sering kali terlihat dalam penggunaan mobil dinas atau fasilitas-fasilitas mewah lainnya seperti penginapan, restoran, dan fasilitas yang sebenarnya tidak diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas mereka.
Kasus ini akan dikaji dengan menggunakan teori Interaksionisme Simbolik dari George H Mead. Interaksi simbolik dipengaruhi oleh suatu sistem dalam kehidupan sosial masyarakat sehingga akan menampilkan perilaku tertentu, dan dari perilaku tersebut, membentuk sebuah simbol dalam interaksi pada masyarakat. Teori ini memiliki tiga konsep inti yaitu, pentingnya makna bagi perilaku manusia (mind), pentingnya konsep mengenai diri (self), dan hubungan antara individu dengan masyarakat (society) (Komala, Widjanarko, & Setiansah, 2021). Dalam esai ini, akan mengambil konsep makna (mind) dan konsep diri (self).
(1) Makna (Mind), dalam fenomena ini, akan dibahas mengenai makna bagi dirinya dan makna bagi orang lain. Mereka menunjukan simbol makna interaksi dengan menggunakan gaya hidup hedonis yang dianutnya untuk mendapatkan prestise sosial sesuai dengan tingkatan kelasnya. Reproduksi citra tersebut digambarkan secara eksplisit yang mempunyai makna bahwa orang tersebut mampu mengunjungi tempat-tempat yang tidak semua individu mampu melakukannya serta membeli barang-barang mewah dimana tidak semua individu dapat membelinya. Dia menunjukan seperti apa dirinya dalam ranah sosial agar memperoleh pengakuan sosial bahwa “ia berasal dari kelas elit”. Dalam hal ini, orang lain akan menginterpretasi simbol tersebut dan mengarahkan pada tingkah laku berdasarkan interpretasi mereka (Raho, 2021). Dalam pembangunan makna bagi masyarakat, mereka akan merasa kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah jika melihat para pejabat menggunakan uang publik untuk mendapatkan prestise dan gaya hidup hedonis tersebut.
(2) Konsep diri (self), konsep diri yang dimilikinya dapat dikatakan sebagai suatu hiperrealitas terhadap gaya hidup yang ditampilkan dihadapan orang lain. Melalui sarana media, hegemoni flexing terus diproduksi sehingga menjadi bagian dari budaya massa yang telah menghasilkan automatisasi dalam lingkup kehidupan sehari-sehari. Bourdieu memperlihatkan bahwa simbol yang ditampakkan tersebut merupakan representasi dari produk kebudayaan oleh kelompok-kelompok sosial tertentu (dalam Mahyuddin, 2017). Dalam kasus ini, salah satu aparatur negara atau pejabat publik terus mengkonstruksi pembedaan kelas sosialnya dengan menampakkan citra yang tengah dilakoninya untuk membuat konsep dirinya dalam pandangan orang lain.
Adapun rekomendasi yang penulis sarankan adalah melalui tindakan preventif, yaitu dengan membangun budaya integritas dan transparansi dalam pemerintahan. Hal ini harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, untuk menjaga kepercayaan masyarakat pada pemerintah serta menciptakan lingkungan yang lebih baik dan lebih adil bagi seluruh rakyat. Namun, menurut pandangan penulis “Sebenarnya bukan tindakan flexing saja yang harus dihentikan, melainkan tindakan mengambil sesuatu yang bukan haknya bahkan merugikan Negara, yang sering disebut dengan Korupsi. Dalam ranah kasus ini, selain penyimpangan sekunder, sudah termasuk dalam kejahatan kerah biru.
Kesimpulannya, flexing adalah perilaku yang tidak memiliki kebermanfaatan apalagi kalau yang melakukannya adalah pejabat aparatur negara, karena dapat mendorong kepada hedonisme. Tindakan hedonisme dilakukan untuk menunjukkan kekayaan sebagai bentuk untuk meraih prestise sosial. Kasus ini sejalan dengan teori Interaksionisme Simbolik dari George H Mead. Makna (Mind), Menunjukan eksistensi dirinya untuk memperoleh prestise sosial, Kemudian konsep diri (self), yaitu pejabat publik membuat konsep dirinya dalam pandangan orang lain. Sumber daya publik haruslah memiliki kebermanfaatan bagi masyarakat. Konsep Entitas yaitu pembeda antara kepemilikan pribadi dan kantor juga harus dilaksanakan. Birokrasi publik yang baik adalah yang mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya.
RUJUKAN
Erlangga, F. (2023). Rhenald Kasali: Pejabat Flexing Kekayaan adalah Warisan Orde Baru. Diakses melalui: https://www.beritasatu.com/nasional/1029729/rhenald-kasali-pejabat-flexing-kekayaan-adalah-warisan-orde-baru <07/05/2023>
Khayati, dkk. (2022). Fenomena Flexing di Media Sosial sebagai Ajang Pengakuan Kelas Sosial dengan Kajian Teori Fungsionalisme Struktural. Jurnal Sosialisasi, 9 (2), hal. 113-121.
Komala, D. A., Widjanarko, W., & Setiansah, M. (2021). Interaksi Simbolik Social Climber dalam Pembentukan Gaya Hidup Brand Minded pada Konsumen Brand Fast Fashion di Kalangan Mahasiswi di Purwokerto. JOMIK: Jurnal Online Mahasiswa Ilmu Komunikasi (ISSN 2797-1023), 1(02), 1-9.
Mahyuddin, M. (2017). Social Climber dan Budaya Pamer: Paradoks Gaya Hidup Masyarakat Kontemporer. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, 2(2), hal. 117-135.
Nugraheni, M. P. (2019). Instagram Sebagai Prestise Sosial Mahasiswa UNY. E-Societas, 8(3).
Raho, B. (2021). Teori Sosiologi Modern (Edisi Revisi). Yogyakarta: Ladalero.
Karya: Rifki Hilman Fauzi, MAN 1 Ciamis |
0 komentar:
Posting Komentar