Jumat, 09 Februari 2024

Flexing Ibadah: Fenomena Pamer Gelar Haji pada Masyarakat Religius

 

Perilaku flexing atau pamer telah menjadi hal yang umum, baik di media sosial maupun dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat terlibat dalam flexing untuk menunjukkan eksistensi dan status sosial mereka, dengan tujuan mendapatkan pengakuan dari orang lain (Mardiah, 2022). Flexing tidak lagi terbatas pada pamer harta, tetapi juga mencakup pamer profesi, jabatan, dan gelar sosial. Salah satu bentuk flexing yang umum adalah memamerkan gelar haji. Gelar haji, seperti "H. (Haji)" untuk pria dan "Hj. (Hajjah)" untuk wanita, diperoleh setelah melaksanakan ibadah haji. Pemberian gelar tersebut sebenarnya tidak diwajibkan dalam Islam karena agama Islam tidak membedakan seseorang berdasarkan status sosialnya. 

Budaya memberikan gelar haji di Indonesia muncul karena faktor anti-kolonialisme dan perjuangan tokoh muslim yang telah menunaikan haji, seperti Cokroaminoto pendiri Sarekat Islam dan Muhammad Darwisy pendiri Muhammadiyah. Tahun 1903, Belanda dalam aturan Staatsblad memperkenalkan pemberian gelar haji untuk memudahkan pengawasan dan kontrol terhadap masyarakat pribumi setelah mereka menunaikan ibadah haji (Rossa, 2021). Seiring waktu, makna gelar haji mengalami pergeseran. Awalnya, gelar haji digunakan sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan Belanda, tetapi saat ini lebih dikaitkan dengan kesempurnaan agama. Beberapa orang yang telah menunaikan haji bahkan menggunakan gelar ini sebagai alat untuk memperlihatkan kemewahan dan gaya hidup berkelas.

Pergeseran makna gelar haji menjadi ajang untuk memamerkan kekayaan di masyarakat. Teori Berger-Luckmann mengenai konstruksi sosial dapat menjelaskan perubahan tersebut. Menurut mereka, realitas sosial terbentuk melalui tiga tahap eksternalisasi-objektivasi-internalisasi (Ngangi, 2011). Tahap pertama, eksternalisasi, terjadi ketika pengaruh dari luar masuk ke dalam masyarakat. Pemenuhan status sosial, budaya, politik hingga media juga menjadi penyebab utama dorongan seseorang untuk berhaji. Ketika melaksanakan ibadah haji, masyarakat berpandangan bahwa haji adalah sebuah proses yang melengkapi agama hingga terpenuhi dan dapat dipamerkan. 

Kedua internalisasi, yakni nilai-nilai dan anggapan haji di masyarakat mempengaruhi pemahaman pribadi individu, sehingga nilai-nilai tersebut di internalisasi dan menjadi sebuah tindakan yang diwujudkan melalui objektivasi. Individu memiliki motivasi untuk segera berhaji dan memamerkan gelarnya, hingga pemberian gelar tersebut di legitimasi oleh masyarakat setempat. Umumnya, masyarakat merasa bahwa gelar haji memberikan dampak yang signifikan baik bagi individu maupun masyarakat. Individu yang memegang gelar haji dihormati dalam masyarakat dan sering ditempatkan dalam peran penting pada kegiatan keagamaan. 



Ketiga, objektivasi. Konstruksi gelar haji dalam masyarakat Indonesia dilegitimasi dan disepakati secara bersama baik secara sosial maupun ekonomi. Biaya yang tinggi serta kuota haji yang terbatas menciptakan eksklusivitas dalam perolehan gelar tersebut. Menurut Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), biaya berangkat haji pada tahun 2023 mencapai 98,89 juta rupiah (Kemenag, 2023). Sementara kuota haji di Indonesia pada tahun 2023 hanya sebanyak 221.000 orang, yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk muslim di negara ini. Akibatnya, masa tunggu keberangkatan haji juga menjadi lama. Kemenang menyatakan masa tunggu haji setiap provinsi berbeda-beda, mulai dari 12 hingga 30 tahun (Kemenag, 2020). Masyarakat pun memandang bahwa orang yang dapat berhaji beruntung karena lamanya masa antre. 

Modal sosial dalam bentuk nilai dan norma agama juga memainkan peran penting dalam mendorong individu untuk menunaikan ibadah haji. Penggunaan gelar haji mendapatkan legitimasi dari lembaga agama, yang memungkinkan masyarakat memahami dan membenarkan penggunaannya. Kementerian Agama menyatakan bahwa penggunaan gelar haji adalah sah karena tidak bertentangan dengan ajaran agama dan sudah menjadi tradisi (Kemenag, 2019). Pernyataan tersebut memberikan celah bagi masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai alat untuk memamerkan prestasi keagamaan. Perspektif Peter L. Berger, legitimasi yang diberikan oleh lembaga agama dalam penggunaan gelar haji menjadi faktor penting dalam mendorong objektivasi gelar tersebut. Ketika lembaga agama mengakui dan menghargai gelar haji, tindakan memperlihatkannya dianggap rasional dan pantas dilakukan oleh individu yang baru kembali dari ibadah haji.

Meskipun demikian, penggunaan gelar haji juga dapat menyebabkan konflik sosial karena dapat memicu perasaan iri dan ketidakpuasan pada orang lain. Dalam pelaksanaan haji, penting untuk selalu mengingatkan diri bahwa ibadah haji bukanlah sekadar menunjukkan status sosial, tetapi lebih pada meningkatkan keimanan dan ketaqwaan pada Allah SWT. Dengan menghindari perilaku sombong dan berfokus pada ibadah, diharapkan akan tercipta lingkungan yang lebih harmonis dan damai di tengah-tengah jamaah haji. Ibadah haji merupakan ibadah yang sakral dan penuh pengorbanan. Bagaimanapun juga, perilaku flexing dalam fenomena gelar haji tetap tidak dibenarkan baik dalam agama maupun secara sosial.



DAFTAR PUSTAKA

“Data Perkembangan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji 2010 – 2022 (https://purbalingga.kemenag.go.id/data-perkembangan-biaya-penyelenggaraan-ibadah-haji-2010-2022/, diakses pada 7 Mei 2023, 13:45)

“Gelar Haji di Depan Nama, Ini Penjelasannya” (https://www.kemenag.go.id/nasional/gelar-haji-di-depan-nama-ini-penjelasannya-tko5c9, diakses pada 7 Mei 2023, 15:02)

Mardiah, A. 2022. Fenomena Flexing: Pamer di Media Sosial dalam Persfektif Etika Islam. 1, I, hlm. 309.

“Masa Tunggu Keberangkatan Ibadah Haji” (https://kotasurakarta.kemenag.go.id/profil/masa-tunggu-keberangkatan-ibadah-haji/, diakses pada 7 Mei 2023, 14:26)

Ngangi, C. R. 2011. Konstruksi Sosial dalam Realitas Sosial. 7, II, hlm. 2

Rossa, D. 2020. GELAR HAJI TERHADAP STATUS SOSIAL (Studi Kasus Ujong Muloh, Kecamatan Indra Jaya, Kabupaten Aceh Jaya). Skripsi. Banda Aceh: Fakultas Usluhuddin dan Filsafat. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

Karya: Maritza Rafifah MAN 2 KOTA MALANG




0 komentar:

Posting Komentar