Flexing merupakan cara memamerkan status yang dimiliki untuk mencapai suatu tujuan, hal ini menjadi lebih wajar dalam era globalisasi karena perkembangnya media sosial. Flexing sebagai efek globalisasi merupakan cara pendekatan komunikasi top-down yang berasal dari orang yang berstatus lebih tinggi ke status lebih rendah. Dalam flexing, pengenalan terhadap simbol status dilakukan kepada kalangan yang sebelumnya belum tentu mengenal simbol status tersebut. Adanya simbol status yang menjadi indikator kedudukan di kalangan masyarakat menunjukan bahwa adanya pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas menurut tingkatan mereka secara vertikal. Ukuran bagi kelas-kelas ini biasanya kekayaan sehingga flexing biasanya dilakukan untuk memamerkan kekayaan.
Keberadaan status sosial yang memungkinkan adanya flexing menunjukkan bahwa adanya perjuangan kelas di antara orang-orang berstatus rendah (kelas bawah) dan orang-orang berstatus tinggi (kelas atas). Keadaan ini sesuai dengan pandangan Karl Marx dimana ada perbedaan kepentingan karena orang-orang yang berada di kelas bawah (proletar) ingin melakukan mobilitas sosial ke status yang lebih tinggi sementara orang-orang yang berada di kelas atas (borjuis) ingin mempertahankan posisi mereka. Jika masyarakat kalangan bawah mulai mirip dengan mereka maka mereka akan berhenti menjadi masyarakat kelas atas karena mereka semua berada pada tingkatan status sosial yang sama. Ini membawa dampak seperti kesenjangan sosial yang semakin terlihat di antara masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah dan bertambahnya homogenitas kelompok di kalangan atas beserta eksklusivisme yang meningkat di kalangan tersebut.
Flexing menunjukkan jurang antara kalangan bawah dan kalangan atas karena kalangan atas cenderung ingin memisahkan diri dari kalangan bawah sehingga mereka terasa tak tercapai bagi masyarakat biasa. ‘Jurang’ yang muncul dapat mendorong masyarakat kalangan bawah untuk melakukan tindakan kriminalitas untuk mencapai status yang lebih tinggi, seperti mencuri agar memiliki uang untuk bergaul dengan orang kaya atau melakukan perjudian agar cepat kaya. ‘Jurang’ ini juga menciptakan persaingan kurang sehat diantara orang-orang berstatus sama karena keinginan untuk menaikkan status, seperti persaingan antara ojek online dan ojek pangkalan di Bandung sampai terjadi perjanjian lisan dimana ojol dilarang membawa penumpang dari daerah tertentu karena mereka bersaing untuk mendapat penumpang. Persaingan juga terjadi di kalangan kelas atas dimana pemilik-pemilik perusahaan besar terus bersaing untuk menjadi semakin kaya sampai memaksakan pegawainya untuk terus bekerja lembur tanpa bayaran setimpal seperti di perusahaan Amazon.
Di sisi lain, homogenitas kelompok diantara masyarakat kalangan atas terjadi karena ada simbol status sebagai indikator kedudukan. Secara umum, kelompok yang memiliki kesamaan lebih mudah untuk berinteraksi dan mempercepat integrasi, tetapi kesamaan ini menghambat munculnya inovasi baru. Menurut sebuah penelitian dari Universitas Pennsylvania, orang-orang yang menggunakan media sosial kurang mungkin untuk membuat ide baru dan malah melebur dengan tren. Sebagai contoh, orang kaya seperti Blogilates biasa menunjukkan gaya hidup sehat di media sosial seperti pergi ke gym, membuat smoothie,dll. Meskipun mayoritas masyarakat kelas bawah tidak mampu mengikuti karena kesibukan sehari-hari, mereka suka dengan konten tersebut dan mempopulerkan di media sosial. Pada akhirnya karena konten gaya hidup sehat populer, maka kalangan atas akan berhenti mencari ide baru dan terus flexing gaya hidup sehat mereka
Flexing akan selalu ada dalam status sosial, sehingga yang dapat dilakukan untuk menanggulangi efeknya adalah lebih memperhatikan bagaimana masyarakat kalangan atas atau bawah bereaksi terhadap flexing. Flexing mendorong kelas bawah untuk melakukan mobilitas sosial dengan interaksi identifikasi yang dapat menghilangkan jati diri karena kecenderungan untuk berusaha menaikkan status sosial dengan mengikuti kelas atas, tetapi flexing juga membuat kelas atas semakin homogen dan mengurangi inovasi yang muncul karena hanya mengikuti tren. Oleh karena itu, ada baiknya jika kemauan kuat kelas bawah untuk menaikkan status didampingi pelatihan untuk menciptakan inovasi agar dapat mengurangi kesenjangan dan masyarakat terus berkembang.
Sumber:
Extreme competition and the dark side of success in China
Are We Really Becoming "THAT GIRL" or Just the "SAME GIRL" | #ToniTalks
https://thediplomat.com/2022/03/will-common-prosperity-reach-chinas-takeout-drivers/
https://temismarketing.com/blog/is-social-media-destroying-creativity/
Karya: Carissa Tanida, SMA Tarakanita Gading Serpong |
0 komentar:
Posting Komentar