Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Sabtu, 09 Februari 2019

DUNIA TANPA KERTAS SEBAGAI UTOPIA


Dunia kita telah mengalami sebuah pergeseran yang luar biasa yang disebut Revolusi Industri 4.0 yaitu revolusi sosio teknologis yang mengantarkan kita memasuki Abad Digital sekaligus Abad Biologi. Internet of Things (IoT) telah menjadi paradigma baru yang dimanfaatkan dalam dunia industri. Dalam bahasa Yuval Noah Harari, “Kita sekarang berada di pertemuan dua revolusi besar” (21 Lesson: 21 Adab untuk Abad 21, 2018:53). Dua revolusi besar apa? Revolusi biotek dan infotek akan menghasilkan algoritma Big data yang dapat memonitor dan memahami perasaan kita jauh lebih baik dari yang saya bisa dan kemudian otoritas mungkin akan beralih dari manusia ke komputer.

Perkembangan teknologi informasi yang melahirkan teknologi digital telah mengubah landskap kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya. Sebagaimana digambarkan Rhenald Kasali dalam bukunya Disruption, “...Teknologi telah membuat segala produk jasa, jasa yang serba digital dan membentuk marketpace baru, platform baru dengan masyarakat yang sama sekali berbeda” (2017:ix-xx). Kita melihat saat ini bagaimana orang memesan kendaraan melalui sentuhan aplikasi digital di layar smartphone. Memesan makanan yang digemari dengan aplikasi yang disediakan oleh penyedia jasa di layar smartphone. Membaca buku melalui sarana ebook yang tidak harus mensyaratkan bentuk buku secara visual. Bahkan dalam bentuk negatifnya, seseorang dapat memesan sejumlah penyedia jasa seksual melalui beberapa sentuhan di layar smartphone, sebagaimana kehebohan belakangan ini yang mencuatkan nama seorang artis.

Interaksi sosial di sebuah wilayah tidak lagi harus mensyaratkan visibilitas fisik baik melalui kehadiran maupun persentuhan. Seperti dikatakan Yasraf Amir Piliang, “Di dalam kota digital interaksi dan komunikasi tatap muka (F to F) kini diambil alih oleh komunikasi yang dimediasi komputer” (Dunia Yang Dilipat, 2011:231-232).  Bukan hanya interaksi sosial, perilaku membaca di era digital telah bergeser dan tidak harus mensyaratkan kehadiran buku secara visual. Ratusan ribu buku klasik dan modern saat ini dapat diakses secara on line dan dibaca dalam format ebook. Bahkan kita bisa mencetak buku tersebut seperti aslinya. Semua dapat diperoleh secara cuma-cuma.

E-book sejauh ini merupakan segmen yang tumbuh paling cepat dari bisnis penerbitan buku yang lesu dan terganggu. Pada 2010 penjualan e-book melonjak 164%, menjadi $ 441 juta (The E-Book Era Is Here: Best Sellers Go Digital - http://content.time.com). Sejumlah situs on line mampu menyediakan ratusan bahkan ratusan ribu buku dalam bentuk ebook yang dapat diunduh secara cuma-cuma oleh publik seperti Project Gutenberg yang memiliki 49.000 ebook yang dapat diunduh. Ada pula Open Library, Feedbooks, Internet Archives serta Pdfdrive yang mamu menyediakan sekitar 79 juta-an ebook dari berbagai genre.

Perubahan perilaku membaca yang tidak mensyaratkan kehadiran buku dan kertas tentu menimbulkan sejumlah pertanyaan perihal masa depan kertas dan buku. Apakah di kemudian hari kertas dan buku akan lenyap dari peredaran dan semua orang akan mengakses bacaan dari layar komputer dan smartphone? Setiap tahun dunia memproduksi sekitar 300 juta ton kertas, yang membutuhkan hampir 4 miliar pohon untuk ditebang, menurut Association for Information and Image Management (Toward a Paperless Society, Slowly - infotoday.com).

Di sejumlah negara besar, berbagai upaya telah dilakukan menuju paperless office dan paperless society. Badan-badan federal, mulai dari Departemen Keuangan hingga Administrasi Jaminan Sosial, sekarang memaksa orang Amerika - sekalipun mereka yang tidak memiliki akses internet dan bahkan komputer - untuk berinteraksi secara online dengan pemerintah mereka. Keputusan pemerintah untuk meniadakan akses kertas terutama memengaruhi para lansia, yang kemungkinannya hampir dua kali lipat tanpa akses pada internet.

Demikian pula Departemen Keuangan, secara ambisius menetapkan batas waktu Maret 2013 untuk sepenuhnya menghapus kertas cek tunjangan federal. Selama dua tahun menjelang tenggat waktu, agensi tersebut menuntut agar penerima Jaminan Sosial beralih ke setoran langsung atau memilih kartu debit elektronik, dengan menanggung biaya besar. Batas waktu bulan Maret telah berlalu, namun, dengan 5 juta penerima manfaat - kebanyakan lansia Amerika - menolak untuk menyerahkan cek kertas.

Menurut hasil survei Pew 2010 tentang Sains dan Teknologi ditemukan data bahwa hampir dua pertiga (64%) masyarakat mengatakan edisi surat kabar kertas tidak akan ada lagi, sementara 34% berpikir mereka masih ada. Mayoritas dari sebagian besar kelompok demografis mengharapkan kehancuran surat kabar cetak, dan mereka yang memiliki setidaknya beberapa pengalaman kuliah kemungkinan besar akan melakukannya (Section 1: Science, Technology and the Environment - people-press.org).

Sekalipun sejumlah produksi penerbitan buku mengalami gulung tikar dan kelesuan dikarenakan peralihan gaya membaca masyarakat dari membaca majalah, surat kabar, buku dari bentuk visual ke virtual namun bukan berarti keberadaan kertas dan buku akan lenyap sama sekali. Sementara pasar tradisional seperti perusahaan cetak komersial dan surat kabar mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir karena munculnya pencetakan laser dan media online, sejumlah individu menggunakan lebih banyak produk kertas. Aplikasi komputer baru yang memungkinkan mereka mencetak undangan, lembar memo, resep, dan brosur bisnis kecil berarti mereka akan membeli kertas secara langsung baik dari toko peralatan kantor atau secara online (The Future of Pulp and Paper - mixerdirect.com)

Sekalipun Amerika merepresentasikan sebagai negara yang adaptif dan terdepan terhadap perkembangan teknologi informasi namun bukan berarti tidak ada kesenjangan.  Kekuatan transformatif teknologi itu nyata, demikian pula kesenjangan digital (digital divide). Di seluruh negeri, lebih dari 25% orang Amerika tidak memiliki akses internet, dan manula cenderung tidak memiliki perangkat teknologi. Lebih dari 50% orang Amerika di atas usia 65 tahun tidak memiliki akses internet, sementara hampir setengah dari mereka bahkan tidak memiliki komputer (Federal Efforts to Go Paperless Ignore Seniors' Needs and Digital Divide - rollcall.com).

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut survey Nielsen Consumer & Media View (CMV) kuartal III 2017 yang dilakukan di 11 kota dan mewawancara 17.000 responden, saat ini media cetak (termasuk koran, majalah dan tabloid) memiliki penetrasi sebesar 8% dan dibaca oleh 4,5 juta orang. Dari jumlah tersebut, 83% membaca koran. Televisi masih merajai dengan penetrasi 96% atau dilihat 52,8 juta orang sementara radio 37% atau 11,9 juta orang.

Sekalipun segmen pembaca di Pulau Jawa hampir mengakses bacaan secara on line seperti area Bandung dan sekitarnya (25%), Surakarta (22 persen), Yogyakarta dan sekitarnya (19%), Semarang dan sekitarnya (12%) serta Jakarta dan sekitarnya (11%), namun di luar Jawa kebutuhan membeca media cetak masih tinggi (Media Cetak Masih Bertahan di Era Digital - beritasatu.com). Bahkan industri pulp dan kertas tidak memperlihatkan gejala penurunan. BPS mencatat total ekspor pulp dan kertas sepanjang Januari-Juni 2018 mencapai US$ 1,29 miliar atau naik 34,47% dimana share ekspor kertas mencapai 61%. Sekalipun tahun 2017 ada kenaikan harga kertas, yakni $ 636 per ton dan diprediksi naik 26% setiap tahun, namun Brazil dan Indonesia tetap diposisikan menjadi pemasok utama kebutuhan kerta sejumlah negara (Peluang Bisnis Pulp dan Kertas - https://analisis.kontan.co.id) Bagaimanapun kertas dan buku tetap akan bertahan berdampingan dengan saudara sepupunya yaitu media digital dalam bentuk ebook dsj. Bukan hanya sejumlah kenyataan di atas (kesenjangan digital di negara maju dimana tidak semua orang dapat mengakses internet dan peralihan penggunaan kertas selain untuk buku serta prospek ekspor pulp dan kertas di Indonesia) namun dari sisi pengalaman emosional pembacaan buku secara visual tidak akan didapat saat membaca secara virtual.

Aroma kertas, keindahan sampul buku yang dapat diraba, disentuh serta dinikmati di antara deretan rak buku, merupakan pengalaman emosional yang tidak dapat tergantikkan saat seseorang membaca buku secara virtual.

Pada akhirnya sebuah upaya untuk menjadikan paperless office dan paperless society hanyalah sebuah utopia belaka. Bagaimanapun kita akan tetap membutuhkan dokumen berbentuk kertas sebagai alat bukti, baik berupa dokumen kesehatan, pendidikan berupa ijazah dll.

Kertas dan buku telah melahirkan peradaban karena mendokumentasikan semua pengetahuan dan penemuan besar manusia. Teknologi percetakan telah memperkenalkan pemikiran-pemikiran besar filsuf-filsuf Yunani mulai dari Socrates, Plato, Aristoteles menyebarluas ke seluruh dunia. Karya-karya di bidang politik, sosiologi, sejarah, matematik, fisika, kimia terdistribusi ke seluruh dunia dan mendorong berbagai perubahan sosial.

Peradaban tidak seharusnya melenyapkan kertas dan buku yang membantu melahirkannya melainkan tetap menjalankan fungsinya sebagai perekam jejak-jejak kemajuan pemikiran manusia. Kertas dan buku serta ebook tidak seharusnya saling menegasikan melainkan saling melengkapi untuk memperkaya peradaban dan semakin memudahkan setiap orang mengakses pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Harari, Yuval Noah (2018), 21 Lesson: 21 Adab Untuk Abad 21, Manado: Global Indo Kreatif
Kasali, Rhenald (2017), Disruption, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Piliang, Yasraf Amir (2011), Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra

Internet

Direct, Mixer, The Future of Pulp and Paper
http://blog.mixerdirect.com/the-future-of-pulp-and-paperToward a Paperless Society, Slowly
infotoday.com
Staff, Rollcall, Federal Efforts to Go Paperless Ignore Seniors' Needs and Digital Divide
https://www.rollcall.com/news/federal_efforts_to_go_paperless_ignore_seniors_needs_and_digital_divide-229381-1.htmlSection 1: Science, Technology and the Environment
people-press.org
Sachs, Andrea, The E-Book Era Is Here: Best Sellers Go Digital
Setyawati, Araminta, Peluang Bisnis Pulp dan Kertas
https://m.kontan.co.id/news_analisis/peluang-bisnis-pulp-dan-kertas?page=2
Baskoro, Faisal Maliki, Media Cetak Masih Bertahan di Era Digital
https://www.beritasatu.com/bisnis/467255-media-cetak-masih-bertahan-di-era-digital.htmlPeluang Bisnis Pulp dan Kertas - https://analisis.kontan.co.id

Karya: Teguh Hindarto, S.Sos., MTh.