Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Jumat, 01 Desember 2017

Dampak Sosial dan Strategi Pengembangan Sumber Pendapatan Warga Desa Terong, Dlingo, Bantul, DIY Melalui Peternakan

Artikel ini berisi tentang strategi pengembangan sumber pendapatan warga di Jl. Raya Patuk Dlingo Km 6,5 Terong II, Terong, Dlingo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini menarik karena ditemukan adanya cara lain warga Desa Terong untuk mendapatkan penghasilan, yaitu melalui peternakan. Tujuan pembahasan ini adalahuntuk mengetahui bagaimana kegiatan warga Desa Terong memilih peternakan sebagai strategi dalam meningkatkan sumber pendapatan, serta untuk mengetahui dampak sosial dan bagaimana pola kehidupan masyarakat Desa Terong setelah adanya peternakan sebagai strategi dalam meningkatkan sumber pendapatan . Data diperoleh melalui pengamatan dan wawancara dengan warga sekitar Desa Terong. Sumber data adalah data jenis pekerjaan Desa Terong tahun 2015/2016 dan hasil wawancara dengan warga Desa Terong. Analisis menggunakan teori perkembangan ekologi, dimana Desa Terong sudah mampu memanfaatkan kekuatan alam untuk mengembangkan usaha baru, teori pertumbuhan ekonomi yang merupakan sebuah proses dari perubahan kondisi perekonomian yang terjadi di suatu masyarakat  menuju keadaan yang dinilai lebih baik selama jangka waktu tertentu dan teori perubahan sosial. Dari hasil pengamatan dan wawancara ditemukan bahwa pengembangan sumber pendapatan warga Desa Terong melalui peternakan belum efektif, namun dinilai lebih baik dalam jangka waktu tertentu. Selengkapnya bisa dibaca atau download di bawah ini:

Karya: Aisya Ikarahma, dkk_Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNY

Peran Modal Budaya Bagi Pendidikan Masyarakat Tapal Batas

Era otonomi daerah sudah bergulir.  Secara ekonomis era otonomi daerah ini menjadikan daerah sebagai tambang emas bagi pembangunan di masa depan.  Tambang emas itu berupa ekonomi di sektor pertambangan, pertanian, perkebunan, perikanan, perindustrian, dan pariwisata.  Untaian emas semua tersebut sebenarnya bisa dinikmati, bila sumber daya manusia (SDM) nya cukup mendukung ke arah itu.
Berbeda dengan sektor disebutkan di atas, sektor pendidikan dalam pengembangan SDM ini, bukanlah emas yang diperoleh.  Namun berupa manusia yang terdidik (educated man) dengan berbagai variasi kualitasnya.  Untuk menghasilkan manusia yang terdidik itu tidak begitu mudah memperolehnya.  Hal itu karena memerlukan waktu yang relatif lama, membutuhkan sarana dan prasarana serta dukungan lain yang memadai, tidak seperti menanam kelapa sawit yang dapat dikontrol dan dalam waktu tiga - empat tahun bisa dipetik buahnya. 
Membicarakan soal pendidikan maka sudah tentu tak terlepas dari semua upaya yang dilakukan untuk mengembangkan kualitas sumberdaya manusia. Maka sebagaimana rumusan nasional tentang “Pendidikan” dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan. Spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara ( UU RI No 20. Tahun 2003 ).
Kemudian Hamalik  (1994: 3) menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungsi secara adekuat dalam kehidupan masyarakat. Apa yang dinyatakan di atas bukanlah bersifat utopis belaka, tetapi semua itu dapat diwujudkan dalam tindakan nyata asalkan semua komponen bangsa  terutama yang berkompeten dan terkait benar-benar memberikan kontribusinya secara sungguh-sungguh. Karenanya pemerintah Indonesia telah terpicu untuk mengejar ketertinggalan itu, yaitu dengan membulatkan tekad dan  menetapkan arah kebijakan baru bagi pembenahan jalur dan jenjang pendidikan nasional. Karenanya  saat ini pembenahan jalur pendidikan  diarahkan untuk menunjang perbaikan peringkat Human Development Index (HDI) dimaksud.
Saat ini bisa dikatakan bahwa pendidikan kita sangat tertinggal jauh dari negara-negara ASEAN. Di ASEAN sendiri saat ini kualitas pendidikannya berada di posisi kelima dari 11 negara ASEAN dengan skor 0,603. Sedangkan kualitas pendidikan kita di dunia berada di posisi 108 dunia. kualitas pendidikan kita masih sangat jauh dari kata kualitas pendidikan yang bermutu. Kualitas mutu pendidikan kita tertinggal jauh dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura yang berada di posisi nomor satu di ASEAN, kualitas mutu pendidikan Singapura diberi skor 0,768 yang artinya Singapura memiliki sistem pendidikan berkualitas terbaik di ASEAN bahkan di dunia. Kemudian di posisi kedua negara ASEAN yang memiliki tingkat kualitas pendidikan terbaik di ASEAN adalah Brunei Darusssalam. Negara ini mendapat indeks pendidikan sebesar 0,692 yang menempatkan kualitas pendidikan Brunei juga berada di posisi 30 dunia. sedangkan di posisi ketiga ditempati oleh Negeri Jiran yakni Malaysia, Indeks pendidikan Malaysia diberi skor 0,671 dan menempatkan negara itu juga berada di posisi 62 dalam daftar pendidikan terbaik di dunia.
Sedangkan negara yang menempati posisi keempat mengenai kualitas pendidikan di negara ASEAN ini adalah Thailand. Thailand mendapatkan skor sebesar 0.608 dan menempatkan negara ini juga berada di posisi 89 dunia di dalam kualitas pendidikan di dunia. Setelah itu barulah Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya seperti Filipina yang berada di posisi keenam, Vietnam di posisi ketejuh, Kamboja di posisi kedelapan, Laos di posisi kesembilan, Myanmar di posisi kesepuluh, dan Timor Leste yang berada di posisi terakhir yakni posisi kesebelas.
Dari peta kualitas pendidikan yang ada diatas posisi kualitas pendidikan kita hanya lebih baik dari Filipina dan Vietnam dari daftar ranking kualitas pendidikan di dunia. bahkan yang lebih miris lagi kualitas pendidikan kita masih kalah dibawah negara-negara seperti Palestina, Samoa, dan Mongolia. Seperti yang kita ketahui bahwa negara Palestina saat ini sedang dilanda perang berkepenjangan dengan Israel. Miris kita melihatnya ketika mengetahui bahwa negara yang dilanda perang malah justru kualitas pendidikannya jauh lebih baik dari negara kita yang tidak sedang dilanda perang.
Hal ini tentunya menyebabkan kita bertanya-tanya apa yang salah dari sistem pendidikan kita sehingga mutu kualitas pendidikan kita masih berada jauh dari kata layak? Menurut hemat saya saat ini permasalahan pendidikan yakni ketimpangan kualitas pendidikan yang menjadi sorotan utama permasalahan pendidikan di negara ini. Ketimpangan pendidikan ini dapat dilihat pada timpangnya kualitas pendidikan antara kota dan desa-desa pedalaman yang di Indonesia (termasuk dalam hal ini desa-desa yang berada di daerah perbatasan).
Kita melihat bahwa sarana dan prasarana pendidikan yang ada di kota saat bisa dikatakan sudah cukup memadai sedangkan di daerah perbatasan dan di desa-desa terpencil keadaan ini malah berbalik 180 derajat. Kita melihat bahwasannya potret pendidikan di kota-kota sudah maju dan sudah dibekali dengan sarana dan prasarana yang berbau teknologi sedangkan di desa atau di daerah perbatasan, jangankan terknologi, listrik pun belum tentu ada di sekolah mereka. Jadi tidak salah jika mendengar banyaknya sekolah yang rubuh di daerah perbatasan, banyaknya guru yang lebih memilih mengajar ke negara tetangga, dan yang lebih ironisnya lagi banyaknya anak-anak yang putus sekolah dan tidak mau sekolah yang lebih memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pembahasan
Ironis memang ketika kita melihat kondisi yang menggambarkan pendidikan negara kita ini di daerah perbatasan. Bisa kita lihat bahwa ketimpangan pendidikan disana benar-benar adanya. Bukan mitos belaka jika kita menemukan banyaknya anak-anak yang putus sekolah dan menganggur di daerah perbatasan. Banyaknya cerita-cerita dari masyarakat di daerah perbatasan yang menceritakan banyaknya guru dari Indonesia yang lebih memilih mengajar di negara tetangga untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Tak jarang juga kita sering mendengarkan banyak bangunan sekolah yang tidak di aliri listrik dan banyaknya bangunan sekolah yang hampir rubuh disana. Itulah potret pendidikan negara kita di daerah perbatasan yang langsung berbatasan dengan negara lain. Miris memang mendengarkan bagaimana potret ketimpangan pendidikan antara di kota dan di daerah-daerah perbatasan.
Melihat kondisi sistem pendidikan di Indonesia saat ini, sulit untuk membuat gambaran secara umum dan terperinci untuk menjelaskan situasi sebenarnya yang terjadi pada daerah perbatasan mengenai pendidikan. Saat ini tak banyak lembaga-lembaga terkait atau stakeholder terkait yang peduli tentang nasib anak-anak bangsa ini di daerah perbatasan. Banyak anak-anak yang berada di daerah perbatasan yang bernasib tidak beruntung karena tidak dapat memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana mestinya. Di beberapa kampung atau dusun misalnya yang berada di Kalimantan yang langsung berbatasan dengan Malaysia, anak-anak disana harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki menuju ke sekolah, akses yang begitu sulitlah yang membuat anak-anak tersebut harus menerima kenyataan yang ada untuk menempuh pendidikan mereka.
Potret pendidikan di daerah memang sangat memprihatinkan, daerah-daerah perbatasan yang seharusnya menjadi pintu gerbang untuk memasuki Indonesia saat ini justru menjadi daerah yang paling terbelakang dalam hal pendidikan. Sebagai contoh adalah masyarakat yang tinggal di sepenjang daerah perbatasan. Banyak dari mereka yang lebih memilih berinteraksi dan berorientasi kepada desa terdekat dari negara tetangga ketimbang berinteraksi dan berorientasi pada desa yang berada di negeri sendiri. Miris memang melihatnya, belum lagi kesejangan sosial dan ekonomi  masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga yang juga turut mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak negatif tentunya jika ini terus dibiarkan. Inilah yang menjadi dampak buruk yang sebenarnya terjadi apabila pendidikan dan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan diabaikan. Hal ini tentunya lambat laun akan mengikis rasa nasionalisme yang bukan tidak mungkin akan mengacam kedaulatan negara ini.
Berbicara pendidikan di daerah perbatasan tentunya hal ini juga akan membicarakan sinergi antara masyarakat dan pendidikan (sekolah) di daerah perbatasan. Nasution (1999) berbicara sinergi masyarakat dan sekolah yang menyatakan bahwa sekolah yang berorientasi penuh kepada kehidupan masyarakat disebut community school  atau “sekolah masyarakat”. Sekolah ini berorientasi pada masalah-masalah kehidupan dalam masyarakat seperti masalah usaha manusia melestarikan alam, memanfaatkan sumber daya alam dan manusia, masalah kesehatan, kewarganegaraan, komunikasi dan lain sebagainya (Nasution, 1999: 149).
Melihat apa yang telah disampaikan Nasution dalam bukunya bahwa sinergi antara masyarakat dan pendidikan (sekolah) bisa memperbaiki kesenjangan kewarganegaraan. Permasalahan ketimpangan pendidikan yang terjadi di daerah perbatasan ini tidak terlepas juga dari disorientasi kewarganegaraan masyarakat yang berada di daerah perbatasan. Maka sebab itulah sebenarnya yang harus dilakukan adalah kesinergian masyarakat sekitar dan sekolah untuk membangun dan mendidik anak-anak yang ada di daerah perbatasan agar pengetahuan kewarganegaraan mereka bertambah tentang bangsa ini sehingga dikemudian hari rasa nasionalisme mereka mengakar kuat dan tidak mudah dipengaruhi oleh kelompok-kelompok tertentu yang ingin menghancurkan rasa nasionalisme mereka terhadap bangsa ini.
Modal budaya adalah suatu konsep sosiologi yang banyak mendapatkan popularitas yang meluas sejak disuarakan oleh Pierre Bourdieu. Modal budaya sendiri tidak seperti modal ekonomi. Modal budaya itu sendiri adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang. Selanjutnya  Pierre Bourdieu menjelaskan  modal budaya itu juga termasuk di dalamnya kualitas individu, pendidikan, pekerjaan, kesamaan kultur dan pembawaan (Halim, 2014:108).
Melihat apa yang dimaksud Bourdieu tentang modal budaya yang menjelaskan bahwa modal budaya itu meliputi kualitas individu, pendidikan, pekerjaan, kesamaan kultur dan pembawaan, peneliti menggaris bawahi kualitas individu, pendidikan, dan pekerjaan seperti yang Bourdieu katakana sangat berhubungan erat dengan kualitas mutu pendidikan di daerah perbatasan yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pendidikan antara kota-kota di Indonesia dengan daerah perbatasan Indonesia sebagai pintu gerbang negara.
Jika kita melihat kondisi potret pendidikan yang berada di daerah perbatasan seperti yang sudah digambarkan diatas, kualitas individu masyarakat kita di daerah perbatasan sangat memprihatinkan. Mengapa demikian ? karena untuk menciptakan kualitas individu yang baik sejatinya masyarakat di daerah perbatasan harus mendapatkan juga hak-hak pendidikan mereka secara baik dan layak, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, masyarakat di daerah perbatasan sangat terbatas mendapatkan akses pendidikan di desa mereka. Sebagai contoh sangat terbatasnya masyarakat perbatasan di dalam mendapat kualitas mutu pendidikan yang baik adalah:
1.    Susahnya akses jalan menuju sekolah mereka.
2.    Banyaknya sekolah yang mau rubuh dan tidak memiliki listrik.
3.    Terbatasnya tenaga pengajar
4.    Terbatasnya buku-buku pelajaran untuk penunjang para siswa.
Melihat kondisi yang seperti ini di daerah perbatasan negara kita, bukan suatu hal yang aneh lagi jika banyak kualitas individu masyarakat di daerah perbatasan yang mengalami keterbelakangan pendidikan. Bourdieu sendiri mengatakan jika seorang individu ingin mendapatkan pengakuan yang baik di dalam masyarakat, maka ia tentunya harus memiliki kualitas individu yang baik juga di dalam dirinya yang berguna untuk memobilasi individu lainnya terhadap dirinya. 

Selain itu masalah pendidikan juga jelas akan mempengaruhi kualitas individu seseorang. Hal ini tentunya juga tergambarkan pada masyarakat di daerah perbatasan. Banyak masyarakat di daerah perbatasan memiliki tingkat pendidikan yang rendah, banyak juga dari mereka yang putus sekolah di tengah jalan, dan ada yang bahkan tidak mau sekolah sama sekali dan lebih memilih untuk bekerja membantu perekonomian keluarganya. Potret seperti ini menggambarkan secara jelas bahwa pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat di daerah perbatasan sangatlah kurang sehingga ini berpengaruh juga pada kualitas individu mereka. Sebenarnya pendidikan dan kualitas individu ini sangat berkaitan erat di dalam modal budaya Pierre Bourdieu ini. 

Pekerjaan pun juga demikian, dikarenakan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat di daerah perbatasan hal ini ditandai dengan rendahnya pendidikan yang mereka miliki, maka pekerjaan mereka pun di daerah perbatasan bisa dikatakan kurang layak untuk bisa menghidupi keluarganya. Karena tingkat pendidikan mereka yang rendah, masyarakat di daerah perbatasan tidak bisa melamar kerja pada instansi-instansi pemerintahan setempat. Kebanyakan dari mereka bekerja serabutan, seperti berdagang ke Malaysia, sebagai buruh bangunan, nelayan, dan banyak juga yang tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran. Miris memang potret pendidikan masyarakat di daerah perbatasan yang seharusnya masyarakat maju, melek akan pendidikan, dan makmur dari segi pekerjaan mereka, tapi pada kenyataannya mereka hidup dibawah garis kemiskinan dan keterbelakangan di dalam hal pendidikan. Semoga potret pendidikan yang terjadi di daerah perbatasan ini bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk terus memberikan perhatian lebih pada masyarakat di daerah perbatasan terutama di dalam masalah pendidikan.
Kesimpulan
Diambil secara garis besar, kesimpulan dalam makalah ini adalah potret pendidikan yang terjadi di masyarakat daerah perbatasan masih sangat memprihatinkan dan begitu miris. Hal ini ditandai dengan bisa dikatakan masih rendahnya kualitas individu masyarakat daerah perbatasan, terbatasnya akses pendidikan yang mereka dapatkan, dan dampaknya juga berpengaruh pada pekerjaan yang mereka lakukan masih dibawah pekerjaan yang layak semestinya.

Daftar Pustaka
  • Bourdieu, Pierre, 1997, Outline of a Theory Practise, London,Cambrige University Pres
  • Halim, Abdul, Politik Lokal :Pola, Aktor dan Dramatikalnya, Lembaga Pengkajian Pembangunan Bangsa (LP2B) Yogyakarta
  • Hamalik, Oemar, 1994. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Bumi Aksara
  • Nasution, S, 1999. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Karya: Rahman Malik., S.Sos.,Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UNS


Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia; Sebuah Analisis Kemiskinan Dari Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi

Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 96 Tahun 2015 Tentang percepatan penanggulangan kemiskinan pasal 10 ayat 1 menjelaskan bawha keanggotaan tim Nasional percepatan penanggulangan kemiskinan terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan lainnya dalam penanggulangan kemiskinan.

Apabila bangsa Indonesia benar-benar ingin melakukan percepatan dalam penanggulangan kemiskinan, pertama yang harus kita lakukan adalahmemahami apa yang dimaksud dengan kemiskinan dan penyebabnya. Agar usaha penanggulangan kemiskinan berjalan dengan baik, efektif dan efisien.Oleh karena itu, perlu dirancang kebijakan yang tepat dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan, antara lain: pejabat pemerintah, anggota parlemen, Organisasi Non Pemerintah (termasuk LSM, Ormas, lembaga-lembaga sosial dan keagamaan, partai politik), masyarakat madani, pihak swasta dan masyarakat miskin utamanya.

Keseriusan pemerintah, termasuk pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dapat dilihat dari program kebijakan yang dibuat, pelaksanaan program yang tepat sasaran, dan anggaran yang dialokasikan untuk membiayai upaya penanggulangan kemiskinan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Aspek penting lainnya adalah bagaimana mengembangkan indikator-indikator keberhasilan penanggulangan kemiskinan, pemantauan dan evaluasi terhadap kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian dapat diketahui sejauh mana kebijakan dan program yang dijalankan telah mencapai tujuan dan sasaran. Setelah melakukan pemantauan dan evaluasi kita dapat memperbaiki dan menyempurnakan kebijakan dan program agar proses dan hasil yang diperoleh semakin baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu, pembahasan secara terperinci mengenai kemiskinan dan penanggulangannya sangat penting dilakukan agar berbagai pihak dapat memahami dan dapat bersama-sama memerangi kemiskinan. Penulisan Makalah “Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia; Sebuah Analisis Kemiskinan Dari Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi” diharapkan bisa menjadi informasi, bahan diskusi mengenai kemiskinan dan bahan masukan bagi para pengambil kebijakan. Tentang bagaimana merancang suatu kebijakan dan program pembangunan yang berpiihak pada orang miskin, mengembangkan indikator keberhasilan program, melakukan pemantauan dan evaluasi.

Bagi aktivis organisasi non pemerintah dan masyarakat, informasi ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan meningkatkan kerjasama dalam menggalang upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan informasi ini diharapkan semua pihak, terutama mereka yang bertanggungjawab dalam merancang dan menjalankan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan memiliki perhatian khusus dalam penanggulangan kemiskinan di daerah khususnya di desa-desa, Sehingga memiliki pemahaman dan pengertian yang lebih baik (menyeluruh) tentang kemiskinan dan upaya penanggulangannya.

Kemiskinan 
Pemerintah Indonesia memiliki beberapa model kesejahteraan dan kemiskinan; misalnya, Badan pusat statistik yang mengukur kemiskinan dengan fokus konsumsi dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yangberfokus pada kesejahteraan keluarga. Lembaga-lembaga internasional, seperti United Nations DevelopmentProgramme (UNDP) juga memperhatikan isu pengembangan manusia, yang didefinisikan sebagai harapan hidup, tingkat melek huruf, pendidikan, dan tingkat daya beli per kapita (Cahyat, 2007: 11).

Konsep-konsep tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dilihat dari sudut pandang pemerintah daerah, misalnya Kutai Barat, model-model tersebut memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
  1. Tidak menggambarkan ciri khas lokal (misalnya, kondisi perumahan atau preferensi makanan setempat).
  2. Tidak menyentuh konteks kemiskinan (misalnya, tidak ada dari model tersebut yang berhubungan dengan sumberdaya alam atau konteks sosial).
  3. Data yang ada sering kontradiktif.
  4. Tidak terkait dengan pengurangan kemiskinan atau perencanaan pembangunan.
Oleh karena itu, Menurut Cahyat (2007:11) konsep kemiskinan dan kesejahteraan yang baru diperlukan untuk menghubungkan aktivitas pemantauan dan perencanaan secara lebih baik. Ciri khas lokal, kepentingan pemerintah daerah, dan persepsi masyarakat tentang kemiskinan dan kesejahteraan dipelajari melalui studi kehidupan masyarakat secara mendalam, lokakarya pemerintah, dan analisis kebijakan. Berdasarkan temuan dari pembelajaran partisipatif ini, kemiskinan didefinisikan sebagai berikut:

“Kemiskinan adalah suatu situasi dimana seseorang atau rumah tangga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, sementara lingkungan pendukungnya kurang memberikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan atau untuk keluar dari kerentanan”.

Menurut Bank Dunia, kemiskinan adalah deprivasi dalam kesejahteraan. Berdasarkan definisi tersebut kemiskinan dapat dipandang dari beberapa sisi. Dari pandangan konvensional kemiskinan dipandang dari sisi moneter, dimana kemiskinan diukur dengan membandingkan pendapatan/konsumsi individu dengan beberapa batasan tertentu, jika mereka berada di bawah batasan tersebut, maka mereka dianggap miskin.

Pandangan mengenai kemiskinan berikutnya adalah bahwa kemiskinan tidak hanya sebatas ukuran moneter, tetapi juga mencakup miskin nutrisi yang diukur dengan memeriksa apakah pertumbuhan anak-anak terhambat. Selain itu, juga bisa dari miskin pendidikan, misalnya dengan menggunakan indikator angka buta huruf. Selanjutnya pandangan yang lebih luas mengenai kemiskinan adalah kemiskinan ada jika masyarakat kekurangan kemampuan dasar, sehingga pendapatan dan pendidikan yang dimiliki tidak memadai atau kesehatan yang buruk, atau ketidakamanan, atau kepercayaan diri yang rendah, atau rasa ketidakberdayaan, atau tidak adanya hak bebas berpendapat. Berdasarkan pandangan ini, kemiskinan adalah fenomena multi dimensi, dan solusi untuk mengatasinya tidaklah sederhana.

Menurut Martono (2014:163) Secara umum kemiskinan dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kedua jenis kemiskinan ini sama-sama memperhitungkan komponen kepemilikan materi, terutama pendapatan. Namun, perbedaannya adalah pada kemiskinan absolut ukurannya sudah ditentukan secara absolut, dan diterapkan di setiap tempat atau wilayah, sedangkan kemiskinan relatif ditentukan berdasarkan perbandingan relatif tingkat kesejahteraan antar penduduk setempat. Misalnya: Di Indonesia, ditentukan batas bahwa penduduk berpendapatan dibawah Rp. 1 Juta/bulan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Batas ini berlaku di semua wilayah Indonesia. Inilah yang dinamakan kemiskinan absolut. Kemudian misalnya: ada penduduk yang tinggal di di suatu pemukiman (Kota Surakarta), ia mempunyai pendapatan Rp. 1,5 Juta/bulan. Ternyata pendapatan penduduk tersebut adalah pendapatan terendah di Surakarta, karena rata-rata pendapatan di Surakarta adalah Rp. 5 Juta/bulan. Maka, penduduk tersebut dikategorikan sebagai penduduk miskin berdasarkan rata-rata pendapatan penduduk wilayah setempat, meskipun pendapatannya di atas Rp 1 Juta/bulan. Inilah yang disebut sebagai kemiskinan relatif.

Menurut World Bank Institute (2005), ada 4 alasan mengapa kemiskinan diukur. Pertama adalah untuk membuat orang miskin terus berada dalam agenda; jika kemiskinan tidak diukur, maka orang miskin akan mudah terlupakan. Kedua, orang harus mampu mengidentifikasi orang miskin jika salah satu tujuannya adalah untuk keperluan intervensi dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Ketiga adalah untuk memantau dan mengevaluasi proyek-proyek atau kebijakan intervensi yang diarahkan kepada orang miskin. Dan terakhir adalah untuk mengevaluasi efektivitas lembaga-lembaga pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.

Barrientos (2010) mengungkapkan konsep kemiskinan yang hampir mirip dengan yang dikemukakan oleh Bank Dunia. Kemiskinan menggambarkan keadaan dimana individu atau rumah tangga berada dalam kondisi yang sangat kekurangan dalam kesejahteraannya. Perspektif yang berbeda mengenai kesejahteraan dan pembangunan memberikan ruang yang berbeda dimana kemiskinan diamati dan diukur. Perspektif resources mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu atau keluarga untuk memerintahkan sumber daya yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Perspektif ini mendominasi diskusi mengenai kemiskinan dan pengukurannya di negara sedang berkembang. Perspektif partisipasi sosial dan inklusi mendefinisikan kemiskinan sebagai pengucilan dari aktivitas kerja sama; orang yang berada dalam kemiskinan tidak bisa berpartisipasi dalam kehidupan sosial dari  suatu komunitas pada tingkat minimal yang dapat diterima. Perspektif ini mendominasi diskusi mengenai kemiskinan di negara maju.

Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar tersebut antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Untuk mewujudkan hak-hak dasar seseorang atau sekelompok orang miskin Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.

Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat- alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk  membedakan kelas sosialnya.

Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinanbagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri. Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensidimensi lain itu diperhitungkan.

Sementara itu jika dilihat dari penyebabnya, kemiskinan terdiri dari: (1) Kemiskinan natural, (2) Kemiskinan kultural, dan (3) Kemiskinan struktural (Sumodiningrat, 1998). Kemiskinan kultural merupakan suatu kondisi kemiskinan yang terjadi karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam.

Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumberdaya alamnya atau daerah yang terisolir. Kemiskinan kultural merupakan suatu kondisi kemiskinan yang terjadi karena kultur, budaya atau adapt istiadat yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya.

Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Penyebab kemiskinan ini karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacammacam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang.

Faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia
Masalah kemiskinan lebih banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga. Ini terkait dengan kemampuan negara untuk menyediakan berbagai fasilitas bagi warga negaranya. Setidaknya ada 3 faktor penyebab yang akan dibahas mengenai kemiskinan di Indonesia. Pertama, Kemiskinan secara struktural: Pemerintah tidak bisa memberikan jaminan pendidikan gratis sampai jenjang sarjana bagi seluruh warga indonesia dan pemerintah gagal dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Kedua, Kemiskinan Kultural: Ketiadaan motivasi untuk maju atau berprestasi. Ketiga, Menurut Beberapa Pakar.
Kemiskinan Struktural 
Pemerintah tidak bisa memberikan jaminan pendidikan gratis sampai jenjang sarjana bagi seluruh warga indonesia, gagal dalam menyediakan lapangan pekerjaan, dan mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin.

Ketidakmampuan mengakses pendidikan adalah salah satu faktor pemicu tingginya angka kemiskinan karena biaya pendidikan yang sangat mahal. Faktor pendidikan ini berdampak pada ketidakmampuan masyarakat mendapatkan status pekerjaan yang layak, sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Pemerintah Indonesia baru bisa memberikan kesempatan yang menyuluruh untuk pendidikan sampai Sekolah Menengah Tingkat Pertama. Sedangkan untuk SMA dan perguruan tinggi jumlahnya terbatas bagi siswa kurang mampu. Hal inilah yang menyebabkan kesenjangan di Indonesia semakin tinggi dan penyelesaian permasalahan kemiskinan semakin kompleks.
Penduduk miskin yang sebagian besar tinggal dipedesaan, memaksa mereka berbondong-bondong merantau ke kota, dan sebagian yang lain memilih mencari pekerjaan keluar negeri. Banyaknya penduduk yang memilih bekerja keluar negeri juga menimbulkan masalah baru ketika mereka tidak memiliki bekal keterampilan dan pengetahuan yang memadai. Inilah problematika kemiskinan. Lapangan pekerjaan yang semakin sempit, memaksa mereka untuk terus menerus tenggelam dalam kemiskinan (Martono, 2014: 166).Seperti yang diberitakan oleh sindonews.com pada tanggal 16 September 2015 dengan judul keterbatasan lapangan pekerjaan di Indonesia menyebabkan kemiskinan terus bertambah, selengkapnya sebagai berikut:
Keterbatasan lapangan pekerjaan di Indonesia menyebabkan angka kemiskinan terus bertambah. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, dari September 2014 hingga Maret 2015 angka kemiskinan naik 0,26%.
Ekonom dari Asian Development Bank (ADB) Edimon Ginting mengatakan, ada 2,7 juta pekerjaan yang diciptakan di Indonesia selama setahun, namun kapasitas tersebut tidak sebanding dengan jumlah pelamar kerja.
"Kalau kita lihat antara Februari 2014 ke 2015 bulan yang sama, ada 2,7 juta lapangan pekerjaan yang diciptakan. Tapi, ada 3 juta orang yang mencari pekerjaan. Nah, yang tidak bekerja ini, bisa menambah angka poverty (kemiskinan) di negara kita. Jadi wajar kalau angka kemiskinan Indonesia naik," jelasnya ketika dihubungi Sindonews di Jakarta, Rabu (16/9/2015)
Selain itu, lanjut dia, banyak para pekerja yang dengan mudah berpindah sektor pekerjaan dari sektor formal ke informal. Sedangkan selama jeda mencari pekerjaan baru, itu membutuhkan waktu yang lama terkadang.
"Jadi mereka terkadang menganggur dulu. Itu yang sebabkan Picu angka kemiskinan juga," katanya.
Sedangkan, lanjut dia, antara job dan pertumbuhan penduduk, tidak balance. Lapangan pekerjaan saat ini dengan pertumbuhan pencari kerja sekarang sudah tidak mencukupi untuk menarik pekerja.
"Ini tanda-tanda bahwa pertumbuhan pencari kerja saat ini, sudah tidak memungkinkan untuk menyerap tenaga baru. Itu yang membuat kemiskinan meningkat. Makanya insentif pemerintah, dana desa, itu penting untuk menciptakan lapangan kerja baru sementara," pungkasnya.
Selain beberapa faktor diatas, kemiskinan struktural di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan rakyat kecil, seperti 3 berita yang dilangsir oleh sindonews.com yaitu:
1.    pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) lebih memfokuskan persoalan infrastruktur ketimbang mengentas angka kemiskinan yang kini jumlahnya semakin besar (sindonews.com  27 september 2015), Berita Selengkapnya sebagai berikut:
Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi pemerintahan SBY, Firmanzah menilai pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) lebih memfokuskan persoalan infrastruktur ketimbang mengentas angka kemiskinan yang kini jumlahnya semakin besar.
Dia mengatakan, persoalan kemiskinan tidak bisa diselesaikan sendiri dan membutuhkan fokus serta kepemimpinan yang kuat. Sayangnya, saat ini pemerintah masih fokus kepada persoalan infrastruktur dan mengenyampingkan kemiskinan. (Baca: Jumlah Penduduk Miskin RI Naik Jadi 28,59 Juta Orang )
"Bukan berarti infrastruktur tidak penting, tapi yang sifatnya jangka pendek itu harus diperhatikan. Jadi tidak bisa diselesaikan pemerintah pusat saja, tapi juga harus pemerintah daerah," katanya dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta, Minggu (27/9/2015).
Menurutnya, Presiden Jokowi sedianya perlu menambah variasi wacana dan urgensi mengenai pengentasan kemiskinan dalam setiap pidatonya. Sebab, jika mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut sudah menyatakan bahwa kemiskinan adalah isu yang penting, maka para menteri di bawah kendalinya akan menganggap hal tersebut penting untuk diselesaikan.
"Jadi Presiden perlu memperbanyak dalam setiap pidatonya, pentingnya soal pengentasan kemiskinan. Sehingga menteri koordinator dan menterinya akan lebih fokus merumuskan solusi," tutur dia.
Rektor Universitas Paramadina ini menambahkan, sejauh ini dirinya belum melihat komitmen Jokowi secara tegas untuk pengentasan kemiskinan. "Saya belum lihat Presiden mengatakan secara intens bahwa pengentasan kemiskinan itu penting. Meskipun infrastruktur ujung-ujungnya untuk kemiskinan juga, tapi untuk sampai ke angka kemiskinan itu bisa empat hingga lima tahun," tandas Firmanzah.
Seperti diberitakan sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, penduduk miskin di Indonesia per Maret 2015 mencapai 28,59 juta orang atau meningkat 0,26% dari September 2014.
Kepala BPS Suryamin menjelaskan, data tersebut diambil berdasarkan 300.000 sampel yang disebar pihaknya ke berbagai provinsi.
"Penduduk miskin per Maret 2015 dengan porsi 11,22% atau 28,59 juta penduduk. Sampel 300 ribu. Dibandingkan September 2014 naik 0,26%," ujarnya.
2.    Naik turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) berpengaruh pada kemiskinan dan upah buruh (sindonews.com 1 Oktober 2015), Berita Selengkapnya sebagai berikut:

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo menyatakan, naik turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) akan berpengaruh pada kemiskinan dan upah buruh.
Hampir semua sektor membutuhkan energi, sehingga jika terjadi fluktuasi harga BBM atau harganya naik sedikit, akan berpengaruh juga pada harga kebutuhan lain bahkan berdampak pada daya beli masyarakat.
"Bahan makanan butuh angkutan, jadi enggak kena kenaikan. Hampir semua sektor membutuhkan energi pasti akan terjaga. Makanya setelah kenaikan BBM setahun dampaknya kerasa. Masalahnya kalau BBM naik yang lain ikut naik. Kalau turun itu menjaga yang lain enggak naik. Tapi enggak menurunkan harga juga," katanya di Gedung BPS, Kamis (1/10/2015)‎.
Jadi, jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM, atau malah menurunkan harga BBM sesuai harga minyak dunia, itu akan bagus untuk harga kebutuhan pokok dan komoditi lain. "Enggak naikkan harga BBM saja sudah bagus apalagi nurunin kan, lebih bagus lagi," kata Sasmito.
Menurutnya, jika harga BBM tetap atau turun, ini akan mengurangi angka kemiskinan, karena biaya hidup relatif rendah sehingga kemiskinan akan turun.
"Indikasi sekarang kemungkinan biaya hidup relatif rendah sehingga kemiskinan akan turun. Kalau mau melihat pada pertengaha September kan mengeluarkan upah buruh. Riilnya naik itu tanda penduduk miskin turun," pungkasnya.

3.    Indef: Kesenjangan Sosial era Jokowi-JK makin runyam (Sindonews.com tanggal 16 Oktober 2015), berita selengkapnya sebagai berikut:
   
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) saat ini menambah runyam masalah kesenjangan sosial. Ini dibuktikan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini paling rendah sejak 2009. Selain itu, gagalnya pemerintah untuk mengendalikan harga barang, menjadi masalah utama di tengah pelemahan ekonomi Indonesia. Padahal, saat beberapa komoditas terjadi lonjakan harga, masa panen sedang berlangsung.

"Pertumbuhan ekonomi kita saat ini paling rendah dari tahun 2009 waktu zaman Presiden SBY. Padahal, kala itu Presiden SBY juga mengalami krisis. Kemudian gagalnya pemerintah mengendalikan harga barang dan komoditas di awal hingga pertengahan bulan. Padahal saat itu terjadi panen, tapi harganya malah naik," kata pengamat ekonomi dari Indef ‎Dzulfian Syafrian di Jakarta, Jumat (16/10/2015).

Kondisi ini memperburuk kondisi masyarakat berpenghasilan minim, karena 65% penghasilan mereka digunakan untuk membeli komoditas untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari.
"Bayangkan, 65% penghasilan mereka hanya untuk makan. Penghasilan masyarakat ekonomi bawah taruh. Misalnya Rp1 juta per bulan, Rp650 ribunya untuk makan. Sisanya untuk bertahan hidup dikala makanan mereka habis," ujarnya.
Artinya, kata Dzul, pemerintah terkesan gagal menjaga harga pangan dan memproteksi masyarakat Indonesia dari jurang kemiskinan, meskipun sebetulnya ketimpangan sosial ini sudah ada sejak zaman pemerintahan SBY. "Sekarang kemiskinan kita bertambah 0,86 juta orang. September 2014 sebesar 27,73 juta, hingga Maret 2015 mencapai 28,59 juta. Ini merupakan bukti bahwa pemerintah saat ini gagal memberikan proteksi ke masyarakat miskin kita," pungkas dia.
Kemiskinan Kultural: Ketiadaan motivasi untuk maju atau berprestasi.
Selain kemiskinan disebabkan oleh faktor luar, ada pula kemiskinan yang disebabkan faktor penuduk itu sendiri. Hal ini dilatarbelakangi mentalitas penduduk yang malas bekerja, yang selalu mengharapkan bantuan dari orang lain. Mereka tidak mau berusaha sendiri untuk mencari sumber-sumber pendapatan.

Menurut McClelland dalam Martono (2014:167) salah satu penyebab terpuruknya negara dunia ketiga adalah ketiadaan motivasi berprestasi. Sikap mudah pasrah juga dapat menjadi penyebab kemiskinan. Inilah yang kemudian disebut kemiskinan budaya, kemiskinan yang disebabkan mentalitas individu yang dapat disebabkan oleh budaya atau nilai-nilai fatalistik yang dianut masyarakat.

Banyak penduduk di pedesaan yang mampu mengkonsumsi beras 30kg/bulan, namun mereka mendapatkan beras tersebut dengan cara “bon” atau hutang diwarung tetangga. Sebenarnya pendapatan mereka setiap bulan tidak cukup untuk membeli beras tersebut.

Selain itu ada peribahasa-peribahasa yang berdampak kemiskinan secara kultural. Pertama, banyak anak banyak rezeki, padahal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tidak sedikit pula akhirnya anak-anaknya tidak bisa bersekolah karena kemiskinan. Kedua, Budaya “pasrah” hidup yang penting bisa makan. Ketiga, kebiasaan berhutang dan tradisi sumbangan ketika ada teman, saudara, atau kerabat yang mengadakan pesta sunatan atau perkawinan.

Faktor Kemiskinan Menurut Para Pakar
 Setiap permasalahan timbul pasti karna ada faktor yang mengiringinya yang menyebabkan timbulnya sebuah permasalahan, begitu juga dengan masalah kemiskinan yang dihadapi oleh negara indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan menurut Hartomo dan Aziz dalam Hudayana (2009:28-29) yaitu :
1).   Pendidikan yang Terlampau Rendah
Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupannya. Keterbatasan pendidikan atau keterampilan yang dimiliki seseorang menyebabkan keterbatasan kemampuan seseorang untuk masuk dalam dunia kerja.
2).   Malas Bekerja
Adanya sikap malas (bersikap pasif atau bersandar pada nasib) menyebabkan seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah untuk bekerja.
3).   Keterbatasan Sumber Alam
Suatu masyarakat akan dilanda kemiskinan apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Hal ini sering dikatakan masyarakat itu miskin karena sumberdaya alamnya miskin.
4).   Terbatasnya Lapangan Kerja
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal seseorang harus mampu menciptakan lapangan kerja baru sedangkan secara faktual hal tersebut sangat kecil kemungkinanya bagi masyarakat miskin karena keterbatasan modal dan keterampilan.
5).   Keterbatasan Modal
Seseorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi alat maupun bahan dalam rangka menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh penghasilan.
6).   Beban Keluarga
Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha peningakatan pendapatan akan menimbulkan kemiskinan karena semakin banyak anggota keluarga akan semakin meningkat tuntutan atau beban untuk hidup yang harus dipenuhi.
Suryadiningrat dalam Hudayana (2009:30), juga mengemukakan bahwa kemiskinan pada hakikatnya disebabkan oleh kurangnya komitmen manusia terhadap norma dan nilai-nilai kebenaran ajaran agama, kejujuran dan keadilan. Hal ini mengakibatkan terjadinya penganiayaan manusia terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain. Penganiayaan manusia terhadap diri sendiri tercermin dari adanya :
1) keengganan bekerja dan berusaha,
2) kebodohan,
3) motivasi rendah,
4) tidak memiliki rencana jangka panjang,
5) budaya kemiskinan, dan
6) pemahaman keliru terhadap kemiskinan.
Sedangkan penganiayaan terhadap orang lain terlihat dari ketidakmampuan seseorang bekerja dan berusaha akibat :
1) ketidakpedulian orang mampu kepada orang yang memerlukan atau orang tidak mampu dan
2) kebijakan yang tidak memihak kepada orang miskin.
Kartasasmita dalam Rahmawati (2006:4) mengemukakan bahwa, kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, diantaranya yaitu :
1.  Rendahnya Taraf Pendidikan
Taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan meyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan seseorang untuk mencari dan memanfaatkan peluang.
2.  Rendahnya Derajat Kesehatan
Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa.
3. Terbatasnya Lapangan Kerja
Selain kondisi kemiskinan dan kesehatan yang rendah, kemiskinan juga diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan.
4.  Kondisi Keterisolasian
Banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya.

Nasikun dalam Suryawati (2005:5) menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu :
  1. Pelestarian Proses Kemiskinan; Proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan.
  2. Pola Produksi Kolonial; Negara ekskoloni mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.
  3. Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan; Adanya unsur manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
  4. Kemiskinan Terjadi Karena Siklus Alam; Misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.
  5. Peminggiran Kaum Perempuan; Dalam hal ini perempuan masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.
  6. Faktor Budaya dan Etnik; Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan seperti, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.
Strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia
Penanggulangan kemiskinan harus menjadi fokus utama negara Indonesia jika ingin mewujudkan sila kelima pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, oleh karena itu penulis menganggap perlu adanya solusi kongrit dan gabungan dari berbagai pemikiran baik dari akademisi maupun kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang akan dituangkan dalam pembahasan mengenai strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar kita semua faham dan bersama-sama memerangi kemiskinan.
Strategi penanggulangan kemiskinan oleh Pemerintah
Strategi penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah menurut buku analiis data kemiskinan Kementrian sosial RI dan BPS (2012 : 62-69) Penduduk miskin memiliki karakteristik sosial dan fisik tertentu yang membuat mereka perlu mendapat perhatian agar mereka dapat keluar dari kemiskinan. Perhatian tersebut dituangkan ke dalam kebijakan untuk penanggulangan kemiskinan yang dijabarkan dalam berbagai program penanggulangan kemiskinan. Pembangunan nasional dan daerah pun diarahkan untuk mengeluarkan mereka yang miskin keluar dari kemiskinan atau dengan kata lain kemiskinan mempengaruhi arah perencanaan pembangunan, baik nasional maupun regional. Program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia dibagi ke dalam 4 klaster, yaitu:
  1. Klaster-1 merupakan program perlindungan sosial berbasis keluarga berupa bantuan siswa miskin, JAMKESMAS, raskin, PKH, BLT, dan lain-lain.
  2. Klaster-2 merupakan program-program pemberdayaan masyarakat, seperti PNPM mandiri yang bertujuan memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas berpartisipasi, kesempatan kerja dan berusaha, tanah, sumber daya alam, dll.
  3. Klaster-3 merupakan program pemberdayaan UMKM, seperti KUR dan UMKM.
  4. Klaster-4 termasuk program rumah sangat murah, program kendaraan angkutan umum murah, program air bersih untuk rakyat, program listrik murah dan hemat, serta programpeningkatan kehidupan nelayan, dan program peningkatan kehidupan masyarakat miskin perkotaan.
Beras Miskin (Raskin)
Penyaluran RASKIN (Beras untuk Rumah Tangga Miskin) sudah dimulai sejak1998. Krisis moneter tahun 1998 merupakan awal pelaksanaan RASKIN yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin. Pada awalnya disebut program Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian diubah menjadi RASKIN mulai tahun 2002, RASKIN diperluas fungsinya tidak lagi menjadi program darurat (social safety net) melainkan sebagai bagian dari program perlindungan sosial masyarakat. Melalui sebuah kajian ilmiah, penamaan RASKIN menjadi nama program diharapkan akan menjadi lebih tepat sasaran dan mencapai tujuan RASKIN

Raskin merupakan subsidi pangan yang diperuntukkan bagi keluarga miskin.Program ini bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran (RTS) melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras dan mencegah penurunan konsumsi energy dan protein. Selain itu raskin bertujuan untuk meningkatkan/membuka akses pangan keluarga melalui penjualan beras kepada keluarga penerima manfaat dengan jumlah yang telah ditentukan. Efektivitas raskin sangat tergantung pada ketepatan jumlah sasaran penerima manfaat dan ketepatan jumlah beras yang diterima.

Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
Jamkesmas merupakan sebuah program jaminan kesehatan untuk pendudukIndonesia dibidang kesehatan. Program ini diselenggarakan secara nasional dengan tujuan untuk meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif .Program ini dijalankan oleh Kementerian Kesehatan sejak 2008. Jamkesmas diselenggarakan berdasarkan konsep asuransi sosial dan iurannya dibayar oleh pemerintah.

Menurut data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2010 ada sekitar 43,98 persenpenduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan, atau ada sekitar 56,02 persen penduduk Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan yang banyak dimiliki oleh penduduk adalah jaminan kesehatan yang berasal dari program pemerintah baik dari pusat (Jamkesmas) maupun dari daerah (Jamkesda).

Program Bantuan Siswa Miskin (BSM)
Meski dana BOS diharapkan dapat meningkatkan keikutsertaan peserta didik,namun masih tetap saja ada siswa yang putus sekolah dan tidak melanjutkan. Salah satu penyebabnya adalah orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan seperti baju seragam, buku tulis dan buku cetak, sepatu, biaya transportasi dan biaya lainnya yang tidak ditanggung oleh dana BOS. Bantuan dana diberikan untuk dipergunakan memenuhi keperluan sekolah seperti, membeli buku pelajaran, seragam sekolah, alat-alat olah raga dan ketrampilan, pembayaranan transportasi kesekolahserta keperluan lain yang berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah.

BSM adalah bantuan yang diberikan kepada siswa kurang mampu untuk dapatmelakukan kegiatan belajar di sekolah. Bantuan ini bertujuan untuk mengurangi jumlah siswa putus sekolah akibat permasalahan biaya pendidikan, serta memberi peluang bagi siswa untuk mengikuti pendidikan dilevel yang lebih tinggi. Program ini bersifat bantuan diberikan kepada siswa miskin dan tidak berdasarkan prestasi.

BSM disiapkan pemerintah mulai dari tingkat SD sampai SMA. Di jenjang pendidikan tinggi, pemerintah juga menggulirkan program beasiswa bagi anak kurang mampu dengan nama bantuan belajar mahasiswa miskin ber-IPK 2.5 dan beasiswa bidik misi. Program bidik misi bertujuan untuk meningkatkan akses dan kesempatan bagi peserta didik yang memiliki potensi akademik namun kurang mampu secara ekonomi.

Adapun persyaratan penerima BSM adalah siswa SD, SDLB, SMP, SMPLB, SMA, SMALB dan SMK baik negeri maupun swasta dari keluarga miskin yang:
a) dari keluarga peserta PKH,
b) memperoleh Kartu Siswa Miskin dari TNP2K atau
c) tidak sedang menerima beasiswa dari sumber lain.

Adapun persyaratan sekolah peserta program BSMadalah
a)   sekolah yang mempunyai siswa yang berasal dari keluarga miskin
b) sekolah yang memiliki surat ijin operasional/kelembagaan yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota setempat untuk sekolah umum.
Program Keluarga Harapan (PKH)
PKH adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai kepadarumah tangga sangat miskin (RTSM) dengan persyaratan tertentu. Rumah tangga yangmendapat program ini adalah RTSM yang memiliki ibu hamil atau anak balita atau anak sekolah usia 5 – 17 tahun yang masih bersekolah pada tingkat SD atau SMP. Bantuan diberikan selama 6 tahun berturut-turut.Anggota keluarga RTS tersebutdiwajibkan melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan, seperti tingkat kehadiran di sekolah, pemeriksaan kesehatan, dsb.

Tujuan jangka pendek dari program ini adalah mengurangi beban RTSM,sedangkan untuk jangka panjang diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antar generasi. Dengan mengikuti program ini, generasi berikutnya dari RTSM diharapkan dapat keluar dari perangkap kemiskinan. Program PKH juga membantu pencapaian lima tujuan MDGs, yaitu: Pengurangan penduduk miskin dan kelaparan; Pendidikan Dasar; Kesetaraan Gender;Penguranganangka kematian bayidan balita; Pengurangan kematian ibu melahirkan.
Strategi dengan mengkaji karakteristik kemiskinan dan  kesejahteraan keluarga di berbagai daerah di Indonesia 
Menurut Cahyat (2007:11) ada Tiga tingkat kondisi yang perlu dipantau dalam mengkaji kemiskinan dan kesejahteraan keluarga: (1) Kesejahteraan subjektif (subjectivewellbeing atau disingkat SWB), (2) Kesejahteraan inti (kebutuhan dasar, seperti kekayaan materi, pengetahuan dan kesehatan), dan (3) Lingkungan pendukung (konteks).

Lingkungan pendukung masih dibagi lagi menjadi dua, yaitu lingkungan sektoral (alam, ekonomi, politik dan sosial) dan lingkungan lintas sektoral (infrastruktur dan pelayanan) Perasaan kesejahteraan subjektif adalah kumpulan perasaan seseorang; bisa berupa perasaan sejahtera, rasa bahagia, rasa dihormati, rasa diakui, rasa miskin, rasa serba kekurangan, dan perasaan-perasaan sejenisnya. Perasaan ini bersifat sangat umum dan dipengaruhi oleh seluruh aspek kehidupan.

Perasaan ini bisa saja bersifat sementara dan mungkin dipengaruhi oleh kejadian-kejadian sesaat. Rumah tangga yang baru bercerai, misalnya, pasti langsung merasa tidak bahagia, walaupun mungkin keadaan materi, pengetahuan, kesehatan dan lingkungan kehidupannya dalam kondisi baik. Oleh karena itu, di samping mengukur kesejahteraan subjektif, kita juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek kehidupan lain yang lebih objektif. Walaupun aspek ini sangat subjektif, tetapi sangat penting untuk diukur karena merupakan hal yang paling inti dalam kesejahteraan. Ada banyak contoh yang menunjukkan orang kaya terkena penyakit karena perasaannya terganggu.

Kesejahteraan inti terdiri dari kebutuhan dasar yangbersifat material (kebendaan) maupun bukan material, yang mencakup aspek gizi dan kesehatan, pengetahuan, dan kekayaan materi. Dalam memantau kebutuhan dasar, informasi tentang bagaimana kebutuhan dasar tersebut didapatkan (atau tidak didapatkan), seberapa sulit atau mudah mendapatkannya, atau dari mana kebutuhan itu bisa didapat, bukan merupakan hal yang penting untuk diketahui. Informasi yang penting di sini adalah apakah responden mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut setidaknya dalam 12 bulan terakhir. Dengan demikian, pada saat rumah tangga dalam keadaan miskin, pemantauan kebutuhan dasar tidak memberikan informasi tentang potensi bagi rumah tangga tersebut untuk keluar dari kemiskinan di masa depan.

Lingkungan pendukung (konteks) adalah lingkungan kehidupan yang mempengaruhi kesejahteraan inti. Misalnya, ada dua anak dengan usia dan tingkat kecerdasan yang sama tetapi tinggal terpisah pada lingkungan yang berbeda (misalnya di dua daerah yang berbeda). Salah satu anak tersebut tinggal di daerah dengan lingkungan alam yang sehat, sumber daya alam yang terjangkau serta dikelola secara lestari, dan pemerintah memberikan dukungan bagi perkembangan anak ini sampai dewasa yaitu dengan menyediakan pendidikan berkualitas tinggi yang terjangkau oleh seluruh warga.

Di lain pihak, anak yang lain tinggal di daerah dengan kondisi bertolak belakang: lingkungan alam yang rusak parah, sungai dan sumber air yang tercemar, sumber daya alam yang tinggal sedikit, serta pelayanan pendidikan yang sangat rendah. Dengan kondisi demikian, dalam 25 tahun ke depan dapat dipastikan kedua anak tersebut akan mengalami perkembangan yang jauh berbeda: anak yang tinggal di lingkungan yang mendukung akan jauh lebih maju dan berkembang karena kebutuhan kesehatan, pengetahuan dan materinya dapat dipenuhi tanpa kesulitan, yang pada akhirnya dapat memberikan perasaan sejahtera.

Dalam kaitannya dengan upaya penanggulangan kemiskinan, informasi lingkungan pendukung dapat memberikan gambaran tentang potensi suatu rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan. Sebetulnya, lingkungan pendukung dalam kenyataannya tidak terpisah dan terkotak-kotak, tetapi pengelompokan perlu dilakukan untuk mempermudah analisis. Pengelompokan juga penting dilakukan agar pengambil keputusan di tingkat daerah dapat menghubungkannya dengan pembagian urusan atau tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI). Lingkungan pendukung dibagi menjadi empat kelompok yaitu Politik, Ekonomi, Sosial, dan Alam (POLEKSAL). Lingkungan POLEKSAL dapat memastikan bahwa setiap rumah tangga mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kualitas kehidupannya dan sekaligus dapat mengurangi kerentanan terhadap kekurangan kebutuhan dasar secara berkesinambungan. Lingkungan lintas sektoral kelima, infrastruktur dan pelayanan, mempengaruhi seluruh lingkungan lainnya.

Strategi Penanggulangan Kemiskinan Menurut Akademisi
Menururut Slamet Dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Kemiskinan Petani Pedesaan, Analisis Mengenai Sebab-Sebab dan Alternatif Pemecahannya, Mencermati berbagai sebab-sebab kemiskinan petani pedesaan, sebenarnya banyak hal yang perlu diusulkan yaitu dengan cara menghapuskan penyebab kemiskinan. Namun demikian dengan kuatnya sistem politik, sistem sosial, dan sistem ekonomi yang mengglobal, menghapuskan penyebab-penyebab kemiskinan adalah suatu pekerjaan yang luar biasa beratnya atau bahkan mustahil.

Menurut Slamet Alternatif pemecahan masalah kemiskinan adalah dengan  mengetengahkan suatu pendekatan kemiskinan yang sekarang ini juga disarankan oleh para penasehat Bank Dunia. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan modal sosial. Pendekatan ini telah ditunjukkan oleh banyak peneliti yang menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan berkaitan erat dengan peranan modal sosial. Modal sosial berkaitan dengan social networking, norm of trust, mutual reciprocity dan mutual benefit. Hasil penelitian Grootaert (1999), Putnam (2000; 2002), Coleman (2000), Woolcock (2002), Slamet (2010) menunjukkan bahwa modal sosial dapat membantu dalam pengentasan kemiskinan. Menurut hasil penelitian Slamet (2010) modal sosial dapat diciptakan melalui pembangunan institusi-institusi sosial. Institusi sosial memungkinkan terbentuknya modal sosial yang pada gilirannya dapat mengentaskan kemiskinan.
Slamet (2012: 177) meninjau ulang atas upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia semenjak pemerintahan Orde lama sampai sekarang untuk menurunkan angka kemiskinan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Beberapa implikasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan yaitu:
  1. Pengentasan dari kemiskinan harus dirancang berdasarkan atas strategi perencanaan bottom-up, bukannya top-down.
  2. Program pengentasan dari kemiskinan harus diterapkan pada wilayah yang berskala kecil lebih dahulu sebagai uji coba, konseptualisasi, rancangan program, pelaksanaan program, dan dampak program harus dievaluasi. Keputusan harus dibuat apakah program harus direvisi, dihentikan atau dilanjutkan. Menerapkan program secara nasional harus secara hati-hati dan tidak pukul rata.
  3. Banyak program-program pengentasan dari kemiskinan tidak dievaluasi oleh pakar sehingga pemegang otoritas tidak mengerti kelemahan dan kekuatan program. Karenanya program-program pengentasan dari kemiskinan harus disertai secara melekat anggaran untuk monitoring dan evaluasi. Dengan cara yang demikian pemerintah, lembaga swadaya masyarakat atau para penyandang dana tidak mengulang kesalahan.
  4. Program pengentasan dari kemiskinan seharusnya tidak dilakukan dengan cara yang tumpang tindih. Kenyataan ada wilayah yang menerima banyak program-program pengentasan dari kemiskinan, sebaliknya ada daerah yang sama sekali tidak menerimanya.
  5. Banyak program yang dilancarkan atas dasar pendekatan karitatif. Model pengentasan dari kemiskinan semacam itu pada kenyataannyamenciptakan mental pengemis di kalangan penduduk miskin. Pendekatan karitatif bagi pembentukan karakter bangsa harus dihindari.
  6. Program pembangunan nasional harus menempatkan orang miskin pada kedudukan yang sama. bila mereka diabaikan mereka cenderung terlibat pada gerakan-gerakan sosial, agama atau politik yang ekstrim. fakta sejarah membuktikan bahwa petani gurem, nelayan, dan buruh cenderung lebih mudah teragitasi dan terprovokasi untuk melawan otoritas.
  7. Temuan dilapangan menunjukan bahwa lembaga-lembaga lokal yang ada di dalam masyarakat dapat berfungsi untuk menjembatani dan menghubungkan dengan orang atau pihak luar. Lembaga lokal itu secara nyata terbukti memainkan peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adalah kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi lemaba-lembaga lokal itu sehingga dapat digunakan sebagai saluran bertindak untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat.
  8. Lembaga sosial baru dapat didirikan dibawah bimbingan dan fasilitas departemen tertentu. Misalnya, departemen pertanian, departemen kesehatan, dan departemen lainnya. Lembaga-lembaga sosial itu dapat dipergunakan sebagai agen perubahan dalam pembangunan.
  9. Banyak masalah harus dipecahkan. Masalah pertama adalah bagaimana caranya meningkatkan derajat partisipasi masyarakat miskin di dalam lembaga-lembaga sosial. Kedua, bagaimana cara mengubah sikap mentalwarga khususnya penduduk miskin. Ketiga, bagaimana caranya agar tumbuh dikalangan penduduk miskin etos kerja yang tinggi dan virus N Ach (need for achievement). Keempat, bagaimana agar lemabaga sosial yang ada bukan menguntungkan the haves saja tetapi dapat berfungsi untuk meningkatkan distribusi pendapatan, meningkatkan ras keadilan dan dapat meningkgatkan kepedulian bersama atas masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Pendapat lainnya menurut Sholeh Dosen Ekonomi Universitas Yogyakarta dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “Kemiskinan:Telaah dan beberapa Strategi penaggulangannya”, Untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia perlu diketahui faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan atau mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kemiskinan (jumlah penduduk miskin) di Indonesia sehingga kedepannya dapat diformulasikan sebuah kebijakan publik yang efektif untuk mengurangi tingkat kemiskinan di negara ini dan tidak hanya sekedar penurunan angka-angka saja melainkan secara kualitatif juga.

Strategi dan kebijakan alternatif yang berpihak kepada rakyat miskin, option for the poor menjadi kebutuhan mutlak menanggulangi kemiskinan. strategi dan kebijakan alternatif menanggulangi kemiskinan desa dapat dilakukan dengan cara memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk memperoleh layanan pendidikan yang memadai, redistribusi lahan dan modal pertanian yang seimbang, mendorong perkembangan investasi pertanian dan membuka kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk memperoleh kredit usaha yang mudah, memperkenalkan sistem pertanian modern dengan teknologi baru yang memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk menggali sumber-sumber pendapatan yang memadai,memperkuat komitmen eksekutif dan legislatif untuk memperbaiki tatanan pemerintahan dan mendorong agenda pembangunan daerah memprioritaskan pemberantasan kemiskinan sebagai skala prioritas yang utama. Kebijakan dan program yang memihak orang miskin perlu difokuskan kepada sektor ekonomi riil dan harus menggunakan paradigma keberpihakan kepada orang miskin.

Kesimpulan
  1. Kemiskinan adalah suatu situasi dimana seseorang atau rumah tangga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, sementara lingkungan pendukungnya kurang memberikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan atau untuk keluar dari kerentanan.
  2. Konsep kemiskinan dan kesejahteraan yang baru diperlukan untuk menghubungkan aktivitas pemantauan dan perencanaan secara lebih baik. Ciri khas lokal, kepentingan pemerintah daerah, dan persepsi masyarakat tentang kemiskinan dan kesejahteraan dipelajari melalui studi kehidupan masyarakat secara mendalam, lokakarya pemerintah, dan analisis kebijakan.
  3. Faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan menurut Hartomo dan Aziz dalam Hudayana (2009:28-29) yaitu; Pendidikan yang Terlampau Rendah, Malas Bekerja, Keterbatasan Sumber Alam, Terbatasnya Lapangan Kerja, Keterbatasan Modal, dan Beban Keluarga.
  4. Kartasasmita dalam Rahmawati (2006:4) mengemukakan bahwa, kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, diantaranya yaitu; Rendahnya Taraf Pendidikan, Rendahnya Derajat Kesehatan, Terbatasnya Lapangan Kerja, dan Kondisi Keterisolasian.
  5. Strategi penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah menurut buku analiis data kemiskinan Kementrian sosial RI dan BPS (2012 : 62-69) Program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia dibagi ke dalam 4 klaster, yaitu: 1) Klaster-1 merupakan program perlindungan sosial berbasis keluarga berupa bantuan siswa miskin, JAMKESMAS, raskin, PKH, BLT, dan lain-lain. 2) Klaster-2 merupakan program-program pemberdayaan masyarakat, seperti PNPM mandiri yang bertujuan memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas berpartisipasi, kesempatan kerja dan berusaha, tanah, sumber daya alam, dll. 3) Klaster-3 merupakan program pemberdayaan UMKM, seperti KUR dan UMKM. 4) Klaster-4 termasuk program rumah sangat murah, program kendaraan angkutan umum murah, program air bersih untuk rakyat, program listrik murah dan hemat, serta program peningkatan kehidupan nelayan, dan program peningkatan kehidupan masyarakat miskin perkotaan.
  6. Strategi dengan mengkaji karakteristik kemiskinan dan  kesejahteraan keluarga di berbagai daerah di Indonesia Menurut Cahyat (2007:11) ada Tiga tingkat kondisi yang perlu dipantau dalam mengkaji kemiskinan dan kesejahteraan keluarga: (1) Kesejahteraan subjektif (subjectivewellbeing atau disingkat SWB), (2) Kesejahteraan inti (kebutuhan dasar, seperti kekayaan materi, pengetahuan dan kesehatan), dan (3) Lingkungan pendukung (konteks).
  7. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Menurut Akademisi; Menururut Slamet Dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret alternatif pemecahan masalah kemiskinan adalah dengan pendenkatan modal sosial. modal sosial dapat diciptakan melalui pembangunan institusi-institusi sosial. Institusi sosial memungkinkan terbentuknya modal sosial yang pada gilirannya dapat mengentaskan kemiskinan. Selain itu, Menurut Sholeh Dosen Ekonomi Universitas Yogyakarta Kebijakan dan program yang memihak orang miskin perlu difokuskan kepada sektor ekonomi riil dan harus menggunakan paradigma keberpihakan kepada orang miskin.
Saran
  1. Sebagai generasi muda harus memiliki jiwa wirausaha sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan dan membantu pengentasan kesmiskinan
  2. Perlu adanya kajian mendalam mengenai karakteristik kemiskinan di setiap daerah sehingga penanggulangan kemiskinan dapat berjalan dengan baik dan tepat sasaran.
  3. Pemerintah harus fokus dalam mengatasi masalah penanggulangan kemiskinan dan membuat kebijakan yang berpihak kepada masyarakat miskin.
Daftar Pustaka
  • Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2004.
  • Barrientos, A.2010. Social Protection and Poverty. Social Policy and Development Programme Paper Number No. 42. E-paper. United Nations Research Institute for SocialDevelopment.
  • Cahyat, A., Gönner, C. dan Haug, M. 2007. Mengkaji Kemiskinan dan Kesejahteraan Rumah Tangga: Sebuah Panduan dengan Contoh dari Kutai Barat, Indonesia. CIFOR, Bogor, Indonesia.
  • Kementrian Sosial Republik Indonesia dan Badan Pusat Statistik. 2012. Analisis Data Kemiskinan Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011.
  • Martono, N. 2014. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial-Ed.Revisi-Cet.3. Jakarta: Rajawali Pers.
  • Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 96 Tahun 2015 Tentang percepatan penanggulangan kemiskinan.
  • Slamet, Y.2012. Modal Sosial dan Kemiskinan Tinjauan Teoritik dan Kajian dikalangan Penduduk Miskin di Perkotaan.Surakarta: UNS Press.
  • Sumodiningrat, Gunawan, 1998, Membangun Perekonomian Rakyat, Pustaka
  • Pelajar, Yogyakarta
  • World Bank Institute. 2005. Introduction to Poverty Analysis: Poverty Manual. World Bank Institute. 
Karya Ilmiah:
  • Hudaya, Dadan. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia. Skripsi: Institut Pertanian Bogor.
  • Rahmawati, Y.I.2006. Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten Pcitan Provinsi Jawa Timur. Skripsi: Program Studi Pertanian dan Sumberdaya, Faultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
  • Slamet, Y. Kemiskinan Petani Pedesaan, Analisis Mengenai Sebab-Sebab dan Alternatif Pemecahannya. Seminar Nasional Laboratorium Sosiologi: Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.
  • Sholeh, M. Kemiskinan :Telaah dan beberapa Strategi penaggulangannya.Pendidikan Ekonomi Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi: Universitas Negeri Yogyakarta.
  • Suryawati, C. 2005. Memahami Kemiskinan Secara multidimensional. JMPK Vol.8/No.03/September/2005.
Internet:
www.sindonews.com

Karya: Syamsul Bakhri, Pengurus Braindilog Sociology