Jumat, 17 Februari 2017

Problematika Glokalisasi di Indonesia : Melestarikan Vs Menghilangkan Budaya Indonesia

Globalisasi ??
Apa itu globalisasi ? sepertinya kata tersebut sudah sangat sering terdengar di telingan kita sehari-hari dan sejatinya kita sudah berada di dalam pusaran arus globalisasi tersebut. Globalisasi dipandang oleh Ulrich Beck (2000) dalam  (Suyanto, 2013) yakni suatu proses yang tidak monokausal atau linear (satu arah), melainkan dipahami sebagai proses interaksi yang multidimensional dan multidireksional. Secara sederhana pendapat dari Beck adalah bahwa proses globalisasi itu memiliki interaksi yang sangat kompleks.
Sementara tokoh lain,yakni George Ritzer mendefiniskan globalisasi sebagai proses penyebaran kebiasaan-kebiasaan yang mendunia, ekspansi hubungan yang melintasi benua, organisasi dari kehidupan sosial pada skala global, dan pertumbuhan dari sebuah kesadaran global bersama (Ritzer, 2006: 96). Gagasan tentang globalisasi mencakup sejumlah proses transnasional yang dapat dipisahkan satu sama lain. Lebih jauh lagi, Anthony Giddens menyebut globalisasi sebagai suatu proses yang dialektis (Kristiatmo, 2007: 77). Sebagaimana dikatakan oleh Giddens bahwa globalisasi merupakan suatu proses yang dialektis, maka muncul anti-tesis terhadap globalisasi, khususnya glokalisasi. Apa itu glokalisasi ?
Glokalisasi ??
Glokalisasi (Suyanto, 2013) adalah konsep yang dilahirkan paradigma hibridasi budaya yakni percampuran budaya sebagai akibat dari globalisasi dan produksi, semacam budaya hibridasi yang unik, yang tidak bisa direduksi secara hitam putih sebagai budaya lokal maupun global.
Menurut Roland Robertson (2001) dalam (Suyanto, 2013), unsur-unsur penting dalam proses glokalisasi, antara lain : pertama, dunia sedang berkembang menjadi lebih pluralistis. Kedua, para individu dan semua kelompok lokal memiliki kekuatan yang luar biasa untuk beradaptasi, berinovasi, dan bermanuver di dalam sebuah dunia yang mengalami glokalisasi. Teori glokalisasi memandang individu dan kelompok lokal sebagai agen sosial yang penting dan kreatif. Ketiga, semua proses sosial bersifat saling berhubungan dan bergantung satu dengan lainnya. Keempat, komoditas dan media tidak dipandang (sepenuhnya) koersif, tetapi tepatnya menyediakan materi untuk digunakan dalam ciptaan individu atau kelompok di seluruh dunia yang mengalami glokalisasi.
Sederhananya glokalikasi merupakan proses penawaran/masuknya produk global dengan memperhatikan isu lokal yang ada. Produk global ini tetap memanfaatkan global-brand yang dimilikinya, namun melakukan adaptasi sesuai dengan konteks budaya lokal yang ada. Perubahan yang dilakukan tidaklah selalu berupa produk, melainkan dari segi strategi pemasaran untuk menarik pasar baru.
Serba-Serbi Glokalisasi di Sekitar Kita
Glokalisasi muncul sebagai efek dari globalisasi, dimana di dalamnya terdapat penyesuaian dengan budaya atau kebiasaan masyarakat setempat yang terkena terpaan global. Secara umum glokalisasi dapat dilihat sebagai upaya untuk menunjukan identitas kelokalan kita, tapi di sisi lain, glokalisasi menjadi alat untuk masuknya budaya global.
Beberapa hal sebagai contoh fenomena glokalisasi di Indonesia anatara lain, sajian KFC dengan rasa pedas, McD dengan sajian rasa balado, kemudian steak yang disantap menggunakan nasi, batik yang dipadukan dengan klub-klub bola luar negeri.
 

KFC merupakan produk luar negeri yang masuk ke Indonesia layaknya McD yang berkonsep makanan siap saji. Rasa pedas pada varian KFC merupakan adopsi dari identitas masyarakat Indonesia yang gemar akan rasa pedas, demikian pula dengan burger balado, karena balado merupakan salah satu jenis keanekaragaman kuliner di Indonesia. Beberapa daerah mengenal sajian steak yang disantap beserta nasi, iya, orang Indonesia yang memiliki semacam sugesti bahwa “kalau belum makan nasi itu bukan makan namanya”, makan nasi di Indonesia bukan sekedar kebutuhan tetapi sudah membudaya, meskipun sebagian daerah di Indonesia memiliki makanan pokok bukan nasi (papeda). Batik juga merupakan hasil kreasi budaya milik Indonesia khas Jawa, Batik memang sudah merambah ke dunia internasional, sehingga tidak jarang aksesn batik digunakan oleh beberapa brand dunia.
Adopsi nilai-nilai global yang kemudian di kombinasikan dengan budaya-budaya lokal merujuk pada upaya penyeimbangan antara budaya global dan budaya lokal. Untuk maksud tersebut identitas ke-Indonesiaan harus  mengandung unsur universal yang dapat diterima dunia dan pada saat yang sama menunjukkan keunikan hanya ada di Indonesia. Hal itu berarti kita harus mencari nilai tertinggi yang ada dalam budaya ini yang bisa diangkat sebagai milik dunia.
Kemunculan glokalisasi tidak semata merupakan reaksi alami atas masuknya budaya global, tetapi dari sudut pandang ekonomi, fenomena glokalisasi dapat dikatakan merupakan hal yang sengaja diciptakan sebagai sarana marketing atau pemasaran produk. Suatu pertimbangan yang sulit dilakukan karena budaya lokal Indonesia selalu memiliki makna yang tinggi dan dengan posisinya yang sangat di hargai sekaligus sebagai hal yang mahal sehingga budaya lokal dapat digunakan sebagai jalan yang mudah diterima masuknya budaya global melalui wajah glokalisasi.
Jadi, Glokalisasi : Melestarikan atau Menghilangkan identitas Indonesia ??Perkara tersebut sedikit pelik karena dengan hadirnya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang menuntut adanya keunikan tersendiri dan memasarkannya ke berbagai negara hingga ranah global. Kebijakan yang akan sulit bagi Indonesia apabila tidak menunjukkan identitas sebagai daya tarik tersendiri diantara produk-produk pasar bebas lainnya.
Beberapa perusahaan multinasional atau bisnis waralaba seperti McD, KFC, Pizza Hut memiliki strategi dalam hal “menaklukan lidah” orang Indonesia, yaa...dengan cara memberikan inovasi rasa Indonesia, sehingga konsumen merasakan adanya perceived image yang positif terhadap produk-produk luar sehingga secara disadari atau tidak budaya global akan mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat, bahkan mendapatkan suatu added value atas upaya yang dilakukan oleh perusahaan atau waralaba asing.
Jika ditelisik lebih jauh tentang bagaimana glokalisasi terjadi, sempat terpikirkan adakah kemungkinan bahwa budaya Indonesia akan semakin terkomodifikasi. Kembali pada realitas masuknya budaya global, sangat erat kaitannya dengan suatu mekanisme yang disebut promosi, menurut Marshall McLuhan (Bungin, 2008) mengatakan, “kecenderungan yang tetap dari periklanan (promosi) adalah menyatakan produk sebagai sebuah bagian yang integral dari berbagai tujuan dan proses sosial yang luas”. Artinya promosi menjadi cara untuk menunjukkan hal-hal domestik ke dunia publik.
Melalui tulisan ini saya tidak mendikte tentang bagaimana kita harus melestarikan budaya lokal. Unsur ke-Indonesiaan tentu harus menjadi karakter bagi pemilik budaya tersebut, kita tidak hanya mengakui adanya suatu budaya tetapi benar-benar menunjukkan sebagai jati diri yang menjiwai budaya tersebut. Glokalisasi yang mengimplementasikan akses lokal dalam upaya menyebarkan globalisasi menjadi hal yang  harus di pahami betul-betul, karena kita pada posisi untuk melestarikan dan mem-filter budaya Indonesia yang dipublikasikan ke dunia global.
Dalam gambaran Roland Robertson (Featherstone, 1995: 25) dalam (Bungin, 2008) menjelaskan, kehidupan masyarakat di masa mendatang, tidak lagi dibatasi pada persoalan global ataupun persoalan lokal, akan tetapi kedua persoalan itu menjadi satu, yaitu dunia ini terdiri dari bagian-bagian kecil yang berinteraksi secara global melalui tata hubngan informasi, membentuk cybernetic raksasa.
Dapat diprediksi masa depan budaya lokal tidak lagi bersifat personal, eksklusif dan sakral tetapi akan menjadi bagian dari sebuah entitas global yang homogen, sporadis dan menjadi aksesoris bagi siapa saja yang mengenakan. Mungkin konsep melestarikan akan melebur pada tujuan produksi dan semakin banyak budaya yang menjadi komoditas. Namun dikatakan hilang pun tidak bisa, karena secara kongkret budaya lokal masih ada, hanya saja entitas budaya lokal berada pada posisi yang dikotomis, dimana fungsi nilai dan fungsi nilai saling mensupport mengakarnya budaya globalisasi.
Kesimpulan
Dari burger ke balado layaknya dua dimensi yang sangat jauh dan berbeda konsep namun menyatu dalam satu gigitan siap saji di McD Indonesia. Sebuah gambaran yang jelas untuk mengartikan konsep glokalisasi, merujuk pada adopsi budaya lokal dalam produk global sebagai bentuk lain dari globalisasi.
Dua entitas yang di masa depan nanti tidak bisa dipisahkan menjadi masing-masing bagian personal, melainkan saling melebur dan beriringan di bawah payung modernisasi. Sebagai bangsa Indonesia, saya pribadi tidak bisa mengatakan hal tersebut merupakan upaya pelestarian maupun penghilangan. Hemat saya, budaya lokal saat ini berada dalam posisi ambivalensi disatu sisi budaya semakin dikenal oleh masyarakat dan memiliki dampak penerimaan yang besar dengan adanya local branding yang diusung, namun di sisi lain, mulai pudarnya keunikan dan eksklusivitas budaya lokal karena tidak ada batasan untuk menjangkau budaya tersebut dalam konteks ruang maupun waktu.
Budaya semakin tenar dan semakin kehilangan makna, sama seperti ungkapan kasih sayang, semakin sering diucapkan maka semakin hambar rasanya dan menjadi biasa. Analogi yang dapat menggambarkan glokalisasi, semakin sering budaya di komodifikasikan maka masyarakat akan semakin tercerabut dari akar budayanya yang moralis kemudian perlahan berubah menjadi masyarakat “materi” dan kosmopolitan.


Karya: Dani Bina Margiana, S.Sos
Mahasiswi Pascasarjana Sosiologi UNS
 
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Prof. Dr. H. M. Burhan, S.Sos, M.Si. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa : Kekuatan Penhgaruh Media Massa, Iklan Televisi, Dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L.Berger & Thomas Luckman. Jakarta : Prenada Media Group.
Kristiatmo, Thomas. 2007. Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan: Pengantar Memahami Subjektivitas Modern Menurut Perspektif Slavoj Zizek, Yogyakarta: Jalasutra.
Kompasiana, 2014. Kami Tidak Lupa Indonesia. Yogyakarta : Bentang Pustaka.
Ritzer, George. 2006. The Globalization of Nothing: Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi Ekonomi : Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme Edisi Pertama. Jakarta : PT. Kharisma Putra Utama.

0 komentar:

Posting Komentar