Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Senin, 01 Oktober 2018

Amalgamasi Sebagai Wujud Integrasi Nasional

Integrasi berasal dari bahasa Inggris “integration” yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma dan pranata-pranata sosial. Integrasi nasional merupakan usaha dan proses mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga tercipta keserasian dan keselarasan secara nasional (Lestari, 2015). Sebelum terbentuknya integrasi nasional, setiap aspek kehidupan haruslah memiliki modal sosial terlebih dahulu. Modal sosial merupakan penampilan organisasi sosial, seperti kepercayaan (trust), norma-norma (atau hal timbal balik) dan jaringan (dari ikatan-ikatan masyarakat), yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama. Modal sosial berfungsi untuk memelihara integrasi sosial atau mengatasi konflik di dalam masyarakat. Modal sosial dapat berperan penting dalam pencegahan disintegrasi sosial yang mungkin lahir karena potensi konflik kekerasan (Irianto, 2005).

Robert Putnam, menyatakan bahwa asosiasi dalam masyarakat terutama yang melibatkan hubungan face to face serta hubungan horizontal diantara individu akan menghasilkan trust, norma pertukaran dan kapasitas untuk civic engagement, dimana hal tersebut merupakan esensi penting dalam sebuah masyarakat demokratis. Modal sosial dapat memberikan kontribusi tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial (Irianto, 2005). Modal sosial menjadi penting perannya untuk mencegah disintegrasi sosial sekaligus membangun integrasi dalam masyarakat yang rawan konflik. Selain itu, modal sosial juga memiliki peran dalam memulihkan masyarakat akibat konflik. Modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat tersebut. Selain itu, konsep ini juga diartikan sebagai serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama (Fukuyama, 1999). 

Di Indonesia istilah integrasi masih sering disamakan dengan istilah pembauran atau asimilasi, padahal kedua istilah tersebut memiliki perbedaan. Membangun integrasi dan kohesi sosial di masyarakat majemuk yang rentan konflik seperti Indonesia sekarang ini haruslah menyentuh perbaikan pada dua dimensi baik struktur maupun kulturalnya. Dimensi struktural kita temukan dalam derajat kesenjangan atau fragmantasi dan konstelasi hubungan antar kelompok dalam masyarakat majemuk yang potensial menimbulkan konflik. Hal itu dilakukan dengan upaya mengurangi kesenjangan sosial yang mencolok antar komunitas dan memperkuat hubungan akomodatif secara timbal balik. 

Sehingga terjadi asimilasi dan amalgamasi nilai sosial-budaya serta pertukaran sosial ekonomi yang kondusif untuk integrasi sosial. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memiliki paradigma ganda. Implikasinya adalah ada berbagai pandangan yang berbeda dalam melihat satu kejadian atau konsep. Pandangan kaum fungsional berbeda dengan pandangan konflik, demikian halnya dalam memandang integrasi, masing-masing pendekatan melihatnya secara berbeda. Dalam hal ini kita akan mempelajari pendekatan fungsional dan pendekatan konflik secara sosiologis dalam memandang integrasi (Safroedin, 1996).

Amalgamasi di Indonesia
Salah satu bentuk khusus dari proses social asosiatif yaitu amalgamasi. Amalgamasi merupakan proses sosial yang melebur dua kelompok budaya menjadi satu, yang pada akhirnnya melahirkan suatu yang baru. Amalgamasi ini akan melenyapkan pertentangan-pertentangan yang ada di dalam kelompok. Amalgamasi merupakan satu proses yang terjadi apabila budaya atau ras bercampur untuk membentuk jenis budaya dan ras baru. Cara utama dalam menentukan proses amalgamasi adalah dengan terjadinya perkawinan campur antara kumpulan etnik. Teori amalgamasi dinyatakan dalam bentuk formula A+B+C=D, disini A, B, dan C mewakili kumpulan etnik berlainan dan D mewakili amalgamasi, satu kumpulan baru terhasil daripada penyatuan A, B dan C. Sebagai contoh, kumpulan-kumpulan etnik yang sedia wujud mengamalkan perkawinan campur lalu membentuk satu genarasi baru atau budaya baru tanpa menuruti budaya asal mereka (Amirah, 2012).

Amalgamasi merupakan istilah perkawinan campur antar etnis, contohnya etnis Jawa dan Madura. Amalgamasi biasa dikaitkan dengan asimilasi budaya karena berkaitan dengan interaksi antara dua budaya berbeda. Dalam prosesnya, asimilasi pada amalgamasi biasa terjadi konflik, baik antar individu pelaku amalgamasi, antar keluarga pelaku amalgamasi, maupun antara individu dan keluarga. Konflik biasa terjadi ketika ada perbedaan kepentingan yang diperjuangkan oleh kedua budaya tadi. Dalam amalgamasi, kepentingan yang diperjuangkan adalah dominasi budaya. Konflik tersebut akan terus terjadi selama egoisme budaya tetap dipertahankan dan tidak adanya keinginan untuk memahami budaya lain (Yunita, 2012).

Amalgamasi merupakan salah satu akibat dari adanya hubungan sosial yang terjadi pada masyarakat yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, juga tidak terlepas dari adanya interaksi antara satu suku dengan suku lainnya. Kejadian yang demikian dalam interaksi sosial adakalanya mengandung arti yang positif, tetapi ada juga yang bersifat negatif nantinya dalam menyatakan identitas suku bangsa (etnik) dari masing-masing individu yang telah melakukan ikatan perkawinan. Amalgamasi telah banyak terjadi di Indonesia.

Perkawinan campuran orang Tionghoa dengan orang Indonesia yang melahirkan penggolongan orang Tionghoa Indonesia yang dalam hal ini hasil perkawinan campuran dinamakan orang peranakan. Penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi dari para perantau Tionghoa itu terhadap kebudayaan Indonesia yang ada di sekitarnya. (Koentjaraningrat, 1997). Selanjutnya perkawinan campuran orang Minangkabau dengan suku bangsa lain (Jawa, Sunda, Bugis, Melayu Riau, Batak, dan lain sebagainya) saat sedang merantau dianggap suatu hal yang biasa menurut adat Minangkabau dan kemungkinan besar terjadi karena kebiasaan kaum muda Minangkabau merantau (mencoba mengadu nasib di daerah lain di luar wilayah Minangkabau). Pilihan yang paling ideal menurut adat kebudayaan Minangkabau ialah mengawini anak perempuan dari mamak sendiri (atau di beberapa tempat juga kemenakan perempuan dari ayah) yang disebut sebagai “mengambil anak pisang”. Kalau tidak, sebaliknya mengawini gadis-gadis dari kampung yang bertetangga, asal harus dari luar suku bangsa sendiri, yakni mengikuti eksogami matrilokal. Dianggap tidaklah pantas atau menyalahi adat bila mengawini gadis dari daerah luar lingkungan adat sendiri, jangan lagi disebut untuk mengawini gadis dari luar Minangkabau (Naim, 1994).  

Sedangkan menurut adat Batak anggota dari satu marga dilarang kawin, marga adalah kelompok orang yang eksogem. Jadi semua orang yang semarga adalah orang yang berkerabat dan dengan orang yang lain marganya dapat juga dicari kaitan kekerabatan, karena mungkin saja dia mempunyai hubungan kekerabatan dengan bibi, paman, atau saudara lain, melalui hubungan perkawinan (Ihromi, 1987). Dengan demikian, pada dasarnya warga dari suku bangsa Minangkabau dengan suku bangsa Batak tidak dilarang melakukan perkawinan campuran karena masing-masing suku bangsa melarang kaumnya kawin sesuku atau semarga yang apabila dilakukan, berarti melanggar ketentuan adat dari masing-masing suku. Di Indonesia, terutama bagi berbagai suku bangsa penduduk pribumi, perkawinan campuran (antar suku bangsa atau golongan etnis) sangat bermanfaat bagi asimilasi terutama dalam masyarakat yang melaksanakan demokrasi sosial, politik dan ekonomi (Soemardjan, 1988).

Pentingnya Integrasi Nasional 
Masyarakat yang terintegrasi dengan baik merupakan harapan bagi setiap negara, sebab integrasi masyarakat merupakan kondisi yang diperlukan bagi negara untuk membangun kejayaan nasional demi mencapai tujuan yang diharapkan. Ketika masyarakat suatu negara senantiasa diwarnai oleh pertentangan atau konflik, maka akan banyak kerugian yang diderita, baik kerugian berupa fisik materill seperti kerusakan sarana dan prasarana yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maupun kerugian mental spiritual seperti perasaan kekawatiran, cemas, ketakutan, bahkan juga tekanan mental yang berkepanjangan. 

Disisi lain banyak pula potensi sumber daya yang dimiliki oleh negara, yang mestinya dapat digunakan untuk melaksanakan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat, harus dikorbankan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dengan demikian negara yang senantiasa diwarnai konflik di dalamnya akan sulit untuk mewujudkan kemajuan. Integrasi masyarakat yang sepenuhnya memang sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan, karena setiap masyarakat disamping membawakan potensi integrasi juga menyimpan potensi konflik atau pertentangan. Persamaan kepentingan, kebutuhan untuk bekerja sama, serta konsensus tentang nilai-nilai tertentu dalam masyarakat, merupakan potensi yang mengintegrasikan (Lestari, 2015).

Sebaliknya perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat seperti perbedaan suku, perbedaan agama, perbedaan budaya, dan perbedaan kepentingan adalah menyimpan potensi konflik, terlebih apabila perbedaan-pebedaan itu tidak dikelola dan disikapi dengan cara dan sikap yang tepat. Namun apapun kondisi integrasi masyarakat merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk membangun kejayaan bangsa dan negara, dan oleh karena itu perlu senantiasa diupayakan. Kegagalan dalam mewujudkan integrasi masyarakat berarti kegagalan untuk membangun kejayaan nasional, bahkan dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara yang bersangkutan. 

Keinginan yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkan aspirasi masyarakat, kebijakan pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat, dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang sah dan ketaatan warga masyarakat melaksanakan kebijakan pemerintah adalah pertanda adanya integrasi dalam arti vertikal. Sebaliknya kebijakan demi kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang tidak atau kurang sesuai dengan keinginan dan harapan masyarakat serta penolakan sebagian besar warga masyarakat terhadap kebijakan pemerintah menggambarkan kurang adanya integrasi vertikal. Memang tidak ada kebijakan pemerintah yang melayani dan memuaskan seluruh warga masyarakat, tetapi setidak-tidaknya kebijakan pemerintah hendaknya dapat melayani keinginan dan harapan sebagian besar warga masyarakat.

Sedangkan jalinan hubungan dan kerjasama di antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat, kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai antara kelompok-kelompok masyarakat dengan pembedaaan yang ada satu sama lain, merupakan pertanda adanya integrasi dalam arti horizontal. Pertentangan atau konflik antar kelompok dengan berbagai latar belakang perbedaan yang ada, tidak pernah tertutup sama sekali kemungkinannya untuk terjadi. Namun yang diharapkan bahwa konflik itu dapat dikelola dan dicarikan solusinya dengan baik, dan terjadi dalam kadar yang tidak terlalu mengganggu upaya pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat dan pencapaian tujuan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Amira, Fadhilah. 2012. Hubungan Etnik. Diakses dari: http://hubunganetnikukm.blogspot.co.id/ pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 06.01 WIB 
Fukuyama, Francis.1999. The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Penerbit Qalam
Lestari, Niva. 2015. Integrasi Nasional. Diakses dari: http://lestarisurningsih.blogspot.co.id/2015/04/makalah-pendidikan-kewarganegaraan.html pada tanggal 24 Oktober 2015 pukul 13:21 WIB  
Ihromi, T.O. 1987. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. 
Irianto, Agus Maladi. 2005. Pencarian Identitas dan Integrasi Kebudayaan pada Masyarakat Multikultural. Disajikan dalam Seminar Internasional “Keanekaragaman Budaya Sebagai Perekat Keutuhan Bangsa Menuju Indonesia Baru” yang diselenggarakan dalam rangka Lustrum VIII Fakultas Sastra UNDIP di Semarang
Krisyanto, Dimas. 2015. Perbedaan Akultuturasi Asimilasi dan Amalgamasi. Diakses dari: http://globespotes.blogspot.co.id/2015/03/perbedaan-akultuturasi-asimilasi-dan.html pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 05.42 WIB
Koentjaraningrat. 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan
Naim, Mochtar. 1984. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 
Safroedin, Bahar dan A. B. Tangdililing. 1996. Integrasi Nasional : Teori, Masalah dan 
Soemardjan, Selo. 1988. Steriotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial. Jakarta: Pustaka Grafika. 
Yunita, Meriska. 2012. Amalgamasi. Diakses dari: http://mariskayunita2.blogspot.co.id/2012/05/amalgamasi.html pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 05.37 WIB

Annisa Nindya Dewi
Magister Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email : sanindyadewi@gmail.com