Jumat, 14 Juli 2017

Teori Konstruksi Sosial Sebagai Pemikiran Peter L. Berger

Peter Ludwig Berger adalah seorang sosiolog dan teolog Amerika yang lahir pada 17 Maret 1929 di Vienna, Austria, dibesarkan di Wina dan kemudian beremigrasi ke Amerika Serikat. Salah satu karyanya yang terkenal yaitu, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, yang ditulis bersama Thomas Luckmann. Berger dikenal luas karena pandangannya bahwa realitas sosial adalah suatu bentuk dari kesadaran. Karya-karya Berger memusatkan perhatian pada hubungan antara masyarakat dengan individu. Di dalam bukunya The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, bersama Thomas Luckmann, mengembangkan sebuah teori sosiologis: “Masyarakat sebagai Realitas Objektif dan Realitas Subjektif”.1
Peter L. Berger mengompromikan pendekatan sosiologis (menuju sosiologi humanis). Menurut Berger, setiap masyarakat memiliki sistem pengetahuan yang diterima secara turun-temurun. Gagasan pengetahuan yang bersifat lokal (beberapa kalangan mengatakan sebagai tradisional) hampir ada pada setiap masyarakat, sedari dulu hingga kini. Kita mengenal pengetauan yang bisa dikatakan sebagai: mitos, takhayul, pamali, prewangan, atau apapun namanya, tetapi jelas mereka yang menciptakan, mengembangkan, dan memodifikasi. Ada sebuah contoh mitos menarik yang berkembang di masyarakat dan dipercayai hingga kini, konon, seorang kakek menyarankan pada cucunya agar selalu mengadakan kenduri di hari-hari tertentu yang diyakini keramat. Ia percaya pada suatu cerita dari leluhur, yakni suatu malam pernah ada orang ditampar makhluk yang tidak kelihatan gara-gara tidak mengadakan kenduri. Sejak saat itu, bagi masyarakat, kenduri menjadi sistem adat yang diterima begitu saja dan sulit ditinggalkan. Lain kisah tentang kenduri, lain lagi cerita tentang seorang nenek yang meyakini akan kedatangan tamu lewat isyarat yang diberikan oleh alam. Pagi itu, seekor kupu-kupu besar berwarna cokelat masuk ke ruang tamu. Sang nenek merasa senang, sebab kedatangan kupu-kupu sebagai pertanda bahwa cucunya bakalan datang. Kemudian, pada siang harinya ketika pergi ke sawah, sang nenek melihat seekor ular lewat tepat di depannya. Pertanda ini menambah kuat sekali lagi keyakinan nenek kalau cucunya bakalan dating.2
Isyarat alam yang dianggap sebagai “pertanda” ini diterima dan diyakini nenek secara turun-temurun.jelas bahwa pasti ada individu yang menciptakan, tetapi ia tidak tahu persis siapa yang menciptakan untuk pertama kali. Tetapi yang jelas, ia merupakan warisan orang-orang terdahulu yang masyarakat awetkan dan lestarikan.
Sistem pengetahuan itu terlahir dari idea tau gagasan individu. Ia tidak lahir begitu saja atau muncul dari balik bongkahan batu. Lewat tahapan sejarah tertentu, kata Peter L. Berger, muncullah proses yang disebut eksternalisasi. Menurut mereka, sistem pertanda ini juga menjadi milik masyarakat. Tidak hanya kakek dan nenek yang memiliki pengetahuan lokal tersebut, semua anggota masyarakat hampir sama memiliki keyakinan serupa. Setiap ada gejala alam yang mirip atau ada anggota masyarakat yang berkeinginan “membangkang” dari ritualisme kenduri, selalu saja ada yang mengingatkan.
Sekalipun tidak jelas siapa inisiator yang mencetuskan pengetahuan tersebut, tetapi kenyataannya sistem pengetahuan kita atas kenduri dan tanda-tanda dari binatang kita sampaikan kepada generasi sesudah kita secara turun-temurun. Hingga akhirnya mereka menerima begitu saja tanpa mempertanyakan secara rumit. Inilah yang disebut internalisasi. Individu yang masih putih dan kosong secara sadar atau tidak memasukkan nilai-nilai dan kepercayaan ke dalam dirinya. Ritualisme kenduri dan tanda-tanda dari binatang tersebut bukan lagi milik individu, tetapi milik masyarakat. Ia bersifat mengikat pada semua anggota masyarakat. semua anggota masyarakat ketika dimintai tanggapan, jawabannya selalu saja sama. Dalam tahapan ini, mulailah masuk dalam tahapan objektivasi. Sistem pengetahuan lokal tersebut berputar secara dialektis dari tahapan eksternalisasi-internalisasi dan objektivasi. Sekalipun, setiap individu tidak utuh dalam menginternalisasikan seseuatu, tetapi proses internalisasi selalu saja dilakukan sebagai bagian sosialisasi.
Konstruksi sosial merupakan suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh setiap individu terhadap lingkungan dan aspek di luar dirinya yang terdiri dari proses eksternalisasi, internalisasi, dan objektivasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. Sedangkan, Objektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.3
Di dalam eksternalisasi, individu  berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungannya, dalam moment adaptasi tersebut, sarana yang digunakan bisa berupa bahasa maupun tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan dunia sosiokulturalnya dan kemudian tindakannya juga disesuaikan dengan dunia sosiokulturalnya. Pada moment ini, terkadang dijumpai orang yang mampu beradaptasi dan juga mereka yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan dan penolakan tergantung dari apakah individu tersebut mampu atau tidak beradaptasi dengan dunia sosiokultural tersebut. Di dalam internalisasi yang merupakan moment penarikan realitas sosial ke dalam diri atau realitas sosial menjadi realitas subjektif. Realitas sosial itu berada di dalam diri manusia dan dengan cara itu, maka diri manusia akan teridentifikasi di dalam dunia sosiokulturalnya. Individu akan berusaha mengambil peran di dalam masyarakat dengan mengikuti kegiatan sosial di dalamnya, sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara dirinya dengan masyarakat pada umumnya, dan individu akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat pada umumnya. Sehingga individu dapat dikatakan bahwa dirinya telah mengidentifikasi diri dengan lingkungan sosiokulturalnya. Di dalam objektivasi, di mana individu akan berusaha untuk berinteraksi dengan dunia sosiokulturalnya. Di dalam objektivasi, realitas sosial tersebut seakan-akan berada di luar diri manusia. Ia menjadi realitas objektif, sehingga dirasa aka nada dua realitas, yaitu: 1) realitas yang berada di dalam diri atau yang subjektif, dan 2) realitas yang berada di luar diri atau yang objektif. Dua realitas tersebut membentuk jaringan intersubjektif melalui proses pelembagaan atau institusionalisasi. Pelembagaan atau institusionalisasi yaitu, proses untuk membangun kesadaran menjadi tindakan. Di dalam proses pelembagaan tersebut, nilai-nilai yang menjadi pedoman di dalam melakukan interpretasi terhadap tindakan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan, sehingga apa yang disadari adalah apa yang dilakukan.
Menurut Peter Berger dalam buku sebuah pengantar ringkas karangan Hanneman Samuel (2012) mengemukakan “untuk memahami realitas dari masyarakat secara memadai perlu diketahui proses bagaimana realitas ini terbentuk". Berger mendasarkan diri pada dua gagasan sosiologi pengetahuan, yaitu “realitas” dan “pengetahuan”. “Realitas” mereka artikan sebagai kualitas yang melekat pada fenomena yang kita anggap berada di luar kehendak kita. Maksudnya, “realitas” merupakan fakta sosial yang bersifat eksternal, umum, dan mempunyai kekuatan memaksa kesadaran masing-masing individu. Terlepas dari individu itu suka atau tidak, mau atau tidak, “realitas” tetap ada (jadi, realitas yang bersifat objektif). Sedangkan, “Pengetahuan” diartikan sebagai keyakinan bahwa suatu fenomena riil dan mereka mempunyai karakteristik tertentu. Maksudnya, pengetahuan merupakan realitas yang hadir dalam kesadaran individu (jadi, realitas yang bersifat subjektif).
Terbentuknya realitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari adanya interaksi sosial, dimana setiap interaksi yang dilakukan oleh masyarakat menghasilkan makna-makna di dalam masyarakat itu sendiri. Dari interaksi tersebut secara bersama masyarakat memaknai sesuatu yang kemudian di dalam masyarakat disebut sebagai realitas sosial. Realitas sosial itu sendiri terbentuk bukan dari satu atau dua makna yang dibentuk oleh manusia itu sendiri, tetapi realita sosial terbentuk akibat  masyarakat membentuk makna secara bersama yang muncul akibat adanya interaksi sosial dan apa yang pernah dialaminya yang kemudian ditetapkan dengan kesepakatan bersama mengenai makna dari realitas tersebut.
Pemikiran Berger dan Luckmann mengenai konstruksi realitas secara sosial berasal dari pemikiran aliran konstruktivisme. Aliran konstruktivisme menghubungkan pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang dialami manusia. Realitas merupakan fakta sosial, dimana fakta sosial merupakan cara bertindak, berfikir, bersifat ekternal  dan sifatnya memaksa serta terbentuk karena adanya pola di dalam masyarakat. Artinya, sejak manusia dilahirkan secara tidak langsung ia  diharuskan untuk bertindak sesuai dengan lingkungan sosial dimana ia dididik dan sangat sukar baginya untuk melepaskan diri dari aturan tersebut. Sedangkan pengetahuan merupakan hasil konstruksi dari realita  yang ada di lingkungannya.
Selain itu, dalam konstruksi realitas sosial yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann, terdapat hubungan antara realitas kehidupan sehari-hari, interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari, serta bahasa dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Berger dan Luckmann berusaha menjelaskan bahwa realitas terbentuk melalui pengetahuan-pengetahuan yang dibangun oleh manusia berdasarkan pengalamannya dalam berinteraksi secara sosial secara bersama-sama dalam kehidupan bermasyarakat. Realitas yang terbentuk sebagai sebuah kenyataan dimaknai oleh Berger dan Luckmann sebagai sesuatu yang bersifat objektif, atau dipahmi oleh semua orang sesuai dengan apa adanya, sedangkan pengetahuan manusia adalah sesuatu yang subjektif, di mana pengetahuan yang dimiliki oleh manusia berbeda-berbeda sesuai dengan pengalaman yang dialaminya. Realitas kehidupan sehari-hari merupakan kenyataan yang dilakukan sebagai totalitas sehari-hari. Misalnya realitas kekampus. Realitas tersebut merupakan totalitas yang teratur baik dari segi waktu, ruang, maupun objek yang ada. Dimana pergi kekampus merupakan realitas yang harus dijalani mahasiswa setiap harinya dengan adanya aturan didalamnya, seperti adanya jam dan ruang kuliah, serta buku sebagai objeknya. Dalam realitas kehidupan sehari-hari cenderung untuk melakukan sesuatu secara berulang-ulang, seperti dalam menyelesaikan masalah, apabila seseorang mendapati masalah yang pernah dialami, mereka akan menyelesaikannya dengan cara yang sama. Realitas sosial bersifat wajar dan masyarakat dapat menerima adanya aturan-aturan tersebut meskipun bersifat menekan. Karena realitas tersebut sudah terbentuk sejak lama dan akhirnya mereka mau tidak mau harus menirma apa yang sudah menjadi realitas dalam kehidupan sehari-hari.
Selain realitas kehidupan sehari-hari, konstruksi sosial juga terbentuk akibat dari adanya interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang sudah dijelaskan diawal. Bahwa dalam kehidupan sehari-hari diperlukan adanya interaksi antara individu dengan individu atau dengan masyarakat. Di mana interaksi ini juga merupakan wujud dari realitas sosial sehari-hari. Di dalam berinteraksi seseorang akan mendapatkan kesamaan dalam beberapa kasus yang dialami masyarakat, sehingga menimbulkan adanya pemaknaaan yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri.
Berger menganggap bahasa memiliki kedudukan yang fundemental. Karena dengan bahasa kita dapat memaknai objek yang ada di dalam masyarakat. Tanpa bahasa kita tidak akan pernah tahu makna dari sebuah objek. Padahal di dalam realitas sosial terbentuk karena adanya peng-obyek-an, adanya objek yang dimaknai bersama dalam masyarakat. Yang terpenting dari objek-objek bukanlah bentuk fisiknya, tetapi makna atau maksud subjektif yang ditampilkan dalam interaksi seseorang. Sebaliknya hal-hal subjektif yang disampaikan orang lain pun hanya dapat dipahami jika ia ditampilkan dalam bentuk objek. Objek-objek yangdimaksud disini bukan hanya objek yang ada didalam masyarakat, tetapi juga objek yang menjadi pengalaman manusia, dimana melalui interaksi sehari-hari inilah terjadi pertukaran pengalaman dengan orang lain. Dengan adanya pertukran inilah muncul stok pengetahuan yang bisa diwariskan ke generasi mendatang yang  dapat dijadikan realitas sosial di masa mendatang. Orang yang memiliki stok pengetahuan, meraka dapat menanggulangi masalah yang dihadapi dengan pengetahuan yang ia miliki sebelumnya yang menjadi ralitas sosial.

Dalam konstruksi realitas sosial terdapat dua bentuk realitas sosial yaitu, masyarakat sebagai realitas objektif, dan masyarakat sebagai realitas subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang bersifat apa adanya, artinya realitas yang tidak ada dalam diri manusia itu sendiri, sebagai contoh adalah lingkungan tempat manusia itu berada. Realitas subjektif adalah realitas yang berada dalam diri manusia yang dikonstruksi berdasarkan pengalamannya. Sebagai contoh dari realitas subjektif adalah pandangan, penilaian, konsep, aturan, dan sebagainya.

Rujukan:
Samuel, Hanneman. (2012). Peter Berger: Sebuah Pengantar Ringkas. Depok: Penerbit Kepik.
Dwi Susilo, Rachmad K. (2008). 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi Para Peletak Sosiologi Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Sumber lain:
[1]  https://id.m.wikipedia.org/wiki/Peter_L._Berger
[2] Rachmad K. Dwi Susilo. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi para Peletak Sosiologi Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
[3] Sebuah artikel tentang Teori Konstruksi Sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, diakses dari http://argyo.staff.uns.ac.id/2013/04/10/teori-konstruksi-sosial-dari-peter-l-berger-dan-thomas-luckman/

Karya: Alan Sigit Fibrianto Dosen Sosiologi UM

5 komentar:

  1. makasih ..sangat bermanfaat dan membantu dlm penulisan penelitian saya

    BalasHapus
  2. Terimakasih, sangat membantu dan bermanfaat bagi penulisan penelitian saya. sukses untuk Braindilog Sosiologi Indonesia

    BalasHapus
  3. terimakasih banyak sangat membantu :)

    BalasHapus