Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Minggu, 22 Januari 2017

Undangan Diskusi Braindilog Tema Pemikiran Ibn Khaldun


Senin, 02 Januari 2017

Sosiologi Ibnu Khaldun


Hasil diskusi pemikiran peletak dasar ilmu sosiologi 'Abd-al-Rahman b.Muhammad b.Muhammad b.al-Hasan b.Muhammad b.Jabir b.Muhammad b.Ibrahim b.'Abd al-Rahman b.Khaldun. 
Pemantik : Syamsul Bakhri, S.Pd
Moderator : Dani Bina Margiana, S.Sos
Notulen : Annisa Nindya Dewi, S.Sos
Hari/Tanggal : Sabtu, 28 Januari 2017
Waktu : 19.00 – 21.00 WIB
Tempat : Mom Milk Cafe, Jl. Adi Sucipto No. 4, Banjarsari, Manahan, Surakarta

Pembukaan acara oleh moderator dimulai pukul 19.00 WIB. Pemantik menyampaikan 5 poin materi: Ilmu masyarakat manusia, Masyarakat Badui dan Hadar, Asabiyyah/ Solidaritas Sosial Masyarakat/ Perasaan Kelompok/ Loyalitas Kelompok, Perkembangan akal budi masyarakat, dan metode analisis sosial terpadu Ibnu Khaldun.

Beliau dikenal sebagai ulama multidisipliner (sejarah, sosiologi, politik, ekonomi, hukum, dan agama). Di Timur dijuluki sebagai Al Alamah (Maha Guru) dan di barat bergelar the Polymath (Penghimpun berbagai ilmu pengetahuan). Beliau lahir di Tunisia 1 Ramadhan 732H/1332M, dari lahir hingga berumur 20 tahun beliau mengenyam pendidikan atau fokus untuk belajar Tajwid, Qiroah, dan menghafal Al-Qur,an. Beliau juga mempelajari fikih mazhab Maliki, Hadist Rasul, dan Puisi. Beliau mempelajari Hadist dari Abu ‘Abd Allah Muhammad b.Jabir b.Sultan al-Qaisi al-Wadiyashi (otoritas hadist terbesar dari Tunisia) yang menganugerahkan ijazah (lisensi) kepada Ibnu Khaldun untuk mengajar bahasa dan hukum. Beliau juga menerima ijazah dari guru-guru lain dari sarjana-sarjana terkemuka yang mengungsi ke Tunisia setelah pendudukan wilayah Irfikiyah oleh Sultan Mariniyun, Abu al-Hasan pada 748M/1347H (Alatas, 2017:17).

Figur paling berpengaruh terhadap perkembangan intelektual Ibn Khaldun adalah guru utamanya, Muhammad b.Ibrahim al-Abili, guru besar ilmu-ilmu rasional. Al-Abili membuat Ibn Khaldun menyadari bahwa praktik-praktik pengajaran tertentu justru merugikan proses transmisi pengetahuan: penyebarluasan buku bacaan bisa berdampak negatif bagi penyajian ilmu pengetahuan; ketersediaan buku tidak memadai untuk pemerolehan ilmu, orang tetap memerlukan perjalanan, menemui para pakar dan belajar dibawah petunjuk mereka; ketersediaan buku ringkasan tidak dapat menyingkap hal-hal untuk dipelajari secara mendalam, sungguh penting untuk mencari ilmu dari sumber-sumber aslinya secara langsung (Alatas, 2017:18). Hal ini yang mendasari pembangunan dan gagasan pendidikan menurut Ibnu Khaldun yang ditulis dalam Muqaddimah-Nya.

Setelah itu, perjalanan hidup beliau mulai memasuki dunia ketatanegaraan dengan menjadi sekertaris pribadi sultan abu ishaq 751 H/1350 M, dan pada tahun 755 H/1354 M diangkat oleh sultan Abu Enan sebagai sekertaris dan pengurus rumah tangga istana. Setelah kerajaan Sultan Abu Enan runtuh beliau tinggal di afrika utara (Maroko) dan Andalusia (Spanyol) sebagai penasehat raja, kurang lebih selama 15 tahun. 

Salah satu perjalanan hidup beliau yang paling menarik adalah pertemuan dengan Timur Leng. Menurut Alatas (2017: 27-28) Saat Timur Leng berhasil merebut suriah dan Aleppo, Penduduk mesir sangat ketakutan sehingga menghimpun kekuatan dibawah kepemimpinan sultan al-Tahhir al-Barquq untuk mengusir bangsa Tartar. Ibnu khaldun juga ikut berperang atas dasar permintaan sang sultan. Karena setelah peperangan antara Mesir dengan Timur Leng selama lebih dari satu bulan tetapi tidak ada pihak yang menang secara mutlak, Ibn khaldun akhirnya menemui Timur Leng di Damaskus pada Maulud 803H/ 5 oktober 1400 M, mereka bercakap-cakap cukup lama; antara Timur Leng bertanya tentang pekerjaan Ibnu khaldun, tentang sejarah afrika utara, dan karena Timur Leng terkesan dengan pengetahuan Ibnu Khaldun memerintahkannya menulis sejarah Afrika Utara. Ibnu khaldun menjelaskan pandangannya tentang kebangkitan dan keruntuhan negara, ia juga mendiskusikan penyerahan damaskus, karena setelah pertemuan bersejarah ini damaskus menyerah. Setelah selesai menulisnya ibnu khaldun menyerahkan sejarah tentang Afrika Utara yang diserahkan kepada Timur Leng dalam bentuk sebelas buku kecil. Ibnu Khaldun juga menyerahkan hadiah kepada Timur Leng berupa Al-Qur’an yang Indah, sajadah, salinan kitab Burdah (kitab yang berisi syair tentang pujian/sholawat kepada Nabi Muhammad S.A.W; Syair tersebut dicipkan oleh Imam Al Busyiri dari mesir, di Indonesia Burdah sering dilntunkan oleh kaum Nahdiyin) , dan makanan Mesir.

Setelah berumur 45 tahun beliau memutuskan untuk menyendiri dan berhenti dari berkecimpung di dunia politik. Secara menakjubkan beliau berhasil menyelesaikan karya pertamanya yaitu Muqaddimah pada pertengahan 779 H/1377 M, hanya dalam waktu 5 bulan (Enan, 2013). Setelah itu beliau hijrah ke mesir dengan tujuan berhaji 784-808H/1382-1406 M, selain itu alasan hujrahnya adalah peradaban ilmu pengetahuan di mesir yang sangat didukung oleh sang sultan. Sebelum hijrah ke mesir beliau telah selesai merampungkan karya pertamanya yaitu muqaddimah, oleh karena itu saat hijrah kemesir beliau sudah sangat dikenal oleh mahasiswa, dosen, dan sultan. Di Mesir Ibn Khaldun dijadikan hakim dan Dosen oleh sang Sultan.

Posisi intelektual Ibn Khaldun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan menurut Jurdi (2012: 40) merujuk kepada wahyu yang menjadi sumber utama untuk memperoleh pengetahuan. Khaldun memadukan pendekatan ilmu pengetahuan dengan agama atau antara wahyu dan ilham sebagai sumber ilmu pengetahuan, tradisi ini dapat di sebut sebagai upaya dalam menjelaskan epistemologi islam. Beliau membangun jenis ilmu yang sepenuhnya baru, yang disebutnya sebagai ilmu masyarakat-manusia (‘ilm al-ijtima’ al-insani) atau ilmu organisasi-sosial manusia (‘ilm ‘al umran al-basyari).

Ilmu masyarakat-manusia (‘ilm al-ijtima’ al-insani) atau ilmu organisasi-sosial manusia (‘ilm ‘al umran al-basyari) Menurut Ibnu Khaldun dalam Alatas (2017:76) Masyarakat manusia itu niscaya, Mengatakan bahwa masyarakat manusia niscaya berarti juga mengatakan manusia secara kodrati bersifat polits dan bahwa mereka tidak dapat dipisahkan dengan sejenis organisasi sosial yang dalam istilah filosofis disebut sebagai polis (madinah). Inilah makna organisasi sosial (‘umran) mereka tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri secara individual, mereka didorong untuk berkerjasama agar kebutuhannya terpenuhi, dan manusia juga harus bersatu demi mempertahankan diri. Manusia terpengaruh secara fisik, psikologis, dan sosial oleh lingkungan fisik, dan Manusia terhubung dengan dunia spiritual, yang berada di luar persepsi indra.

Karya besar Ibn Khaldun adalah Kitab Al Ibrar dan At-Ta’rif (auto biografi ibn khaldun yang ditulis oleh ibn khaldun sendiri). Kitab Al-Ibrar terdiri dari 7 Jilid/Bab, Jilid pertama adalah Muqaddimah; disana dijelaskan mengenai Assabiyah yang di dalamnya dijelaskan secara detail mengenai masyarakat Badui (Beduouin) dan Hadar (Sedentary Society). Ibnu khaldun memberi nama kajian mengenai kesukuan tersebut ‘Ilm-Al Umran. Pada Jilid ke 2-5 adalah tentang sejarah bangsa arab, sedangkan jilid ke 6-7 adalah sejarah bangsa barbar dan suku-suku lainnya.

Masyarakat nomaden (Badui) sama seperti halnya masyarakat menetap membentuk sebuah kelompok alami. Ragam mata pencaharian mempengaruhi keadaan masyarakat. Mereka yang berkerja dengan cocok tanam atau berternak tinggal di daerah gurun. Organisasi sosial mereka sekedar memenuhi kebutuhan untuk hidup secara subsisten. Jika ada peningkatan kemakmuran mereka mulai hidup diatas level subsisten. Mungkin membangun kota, mengembangkan seni kuliner, seni murni, seni arsitektur, serta menikmati kemewahan dan kenyamanan yang besar. Orang nomaden lebih baik atau lebih bermoral dari pada orang yang hidup menetap (Hadar). Alasannya jiwanya yang alami lebih mudah meresap kebaikan atau keburukan, bergantung mana yang lebih berkesan dan berpengaruh. jiwa orang menetap mengenal kejahatan lebih awal karena mereka lebih terbuka terhadap kemewahan dan sukses duniawi. Orang nomaden lebih pemberani, gaya hidup bermukim orang yang menetap cenderung malas dan santai, mereka bergantung pada otoritas penguasa untuk perlindungan.

Berikut merupakan Tipologi dualistik khaldunian dengan sosiolog barat menurut Dhaouadi dalam Pribadi (2014:21):

No
Tokoh Sosiologi
Jenis Tipologi dualistik
1
Ibn Khaldun
Beduoin/Sedentary Society (Badui-hadar)
2
Tonnies
Gemeinschaft/Gesellschaft Society
3
Durkheim
Mechanic/Organic Solidarity Society
4
Cooley
Primary/Secondary Group Society
5
Redfield
Folk/Urban Society
6
Howard Becker
Sacred/Secular Society
7
D.Lerner
Traditional/Modern Society
8
Parsons
Pattern variabels (Particularism/universalism oriented Society)

Selain badui dan hadar Ibnu Khaldun juga membahas mengenai konsep Asabiyyah/ Solidaritas Sosial Masyarakat/ Perasaan Kelompok/ Loyalitas Kelompok. Menurut ibnu khaldun Assabiyah adalah sebuah perasaan tentang kesamaan dan kesetiaan kepada sebuah kelompok yang terutama dibangun berdasarkan ikatan darah. Memang ada tiga jenis hubungan yang membentuk Asabiyyah: Hubungan darah (Shilat al-rahim), Hubungan patron-klien (wala), Dan aliansi (hilf)

Assabiyah ditentukan dari unsur mana yang lebih dominan dari tiap-tiap unsur, ikatan darah merupakan Asabiyyah yang paling kuat dan terpercaya serta menciptakan solidaritas yang kuat. Namun, ketika unsur kekeluargaan melemah maka hubungan patron-klien dan afiliasi/aliansi bisa menjadi unsur-unsur dominan dalam hubungan kelompok, mengangkat bentuk Asabiyyah yang lebih lemah. Kepemimpinan sebaiknya dari keturunan yang sama dan memiliki perasaan kelompok yang unggul/besar. Sehingga setiap anggota kelompok bersedia untuk mengikuti dan mematuhinya.

Selain itu Ibnu Khaldun Juga merumuskan Teori Kebangkitan dan kemerosotan negara (Muqaddimah, 2016 ;10-11): Pertama, Tahap pendirian negara; tahap untuk mencapai tujuan, penaklukan, dan merebut kekuasaan. Negara tidak akan tegak kecuali dengan adanya Asabiyyah. Kedua, Tahap memusatkan kekuasaan; memonopoli kekuasaan dan menjatuhkan anggota-anggota Asabiyyah dari roda pemerintahan. Ketiga, Tahap kekosongan; Tahap untuk menikmati buah kekuasaan seiring dengan watak manusia, seperti mengumpulkan kekayaan, mengabadikan peninggalan-peninggalan dan meraih kemegahan. Keempat, Tahap ketundukan dan kemalasan; negara dalam keadaan statis, tidak ada perubahan apapun. Kelima, Tahap foya-foya dan penghamburan kekayaan; negara telah memasuki masa ketuaan dan telah diliputi penyakit kronis yang tidak dapat dihindari dan akan menuju keruntuhan.

Menurut Alatas (2017:69) apa yang disajikan Ibn khaldun (Kitab Muqaddimah) sejatinya merupakan sebuah ilmu tersendiri dengan pokok bahasan tersendiri (maudhu), yaitu organisasi-sosial manusia (‘ilm ‘al umran al-basyari) dan ilmu masyarakat-manusia (‘ilm al-ijtima’ al-insani), ilmu tersebut memiliki masalah tersendiri (masa’il) yaitu penjelasan tentang kondisi-kondisi dasar masyarakat. Ibnu Khaldun sangat sadar bahwa ia sedang menemukan sebuah ilmu baru, beliau menganggap diskusi tentang tujuan ini menjadi sesuatu yang baru, luar biasa, dan bermanfaat. Beliau juga mengklaim bahwa ilmu ini belum ada dikalangan ilmuan yang telah mendahuluinya entah orang Yunani, Persia, Suriah, Kaldea, atau Arab. Ilmu ini tidak termasuk kedalam ilmu retorika yang telah didiskusikan oleh Aristoteles dalm Organom, yang membicarakan daya persuasif dari bahasa. Ilmu ini juga tidak masuk kategori ilmu politik, karena politik berurusan dengan administrasi berikut basis etika dan filosofisnya.

Suatu hal yang menarik dari hasil membaca karya Ibn khaldun adalah tentang konsep evolusi pemikiran dan perkembangan manusia, padahal beliau hidup 500 tahun sebelum Comte tapi konsep tersebut sudah jauh melampaui zamannya. Konsep tersebut mirip dengan 3 tahap perkembangan evolusi pemikiran yang digagas Comte yaitu teologi, metafisika, dan positifistik. Khaldun dalam Pribadi (2014:195) menjelaskan konsep dan perkembangan manusia sebagai berikut; Pertama, akal tamyizi (pembeda) adalah akal budi manusia bersifat religi, kepercayaan, dan keimanan; Kedua, akal tajribi (Mencoba) adalah percobaan, pengalaman, dan pengulangan (keberagaman pengetahuan yang bersifat subjektif); Ketiga, akal nazari (Rasional) adalah memahami objek dengan baik dan memiliki persepsi spesifik mengenai yang ada atau objek dunia baik yang empiris atau metafisis.
Dijelaskan oleh Alatas (2017:108) tingkat pertama adalah kemampuan untuk memahami dan menata hal-hal di dunia eksternal yang tampak acak dan tak beraturan, melalui kecerdasan pembeda (‘aql al-tamyizi) manusia mampu membedakan apa yang mendatangkan manfaat dan mudarat. Tingkat kedua adalah kemampuan membentuk gagasan dan mengembangkan perilaku yang diperlukan dalam berinteraksi dengan sesama manusia, tingkat berfikir ini melibatkan apersepsi atau pembenaran (tashdiqat) yang berkembang melalui pengalaman, ini disebut sebagai kecerdasan eksperimental (‘aql al-tajribi). Tingkat ketiga adalah kemampuan berfikir yang memasok pengetahuan atau opini (zann) tentang hal-hal diluar persepsi indraa, itu melibatkan persepsi dan apersepsi, ini disebut sebagai kecerdasan spekulatif (‘aql al-nazari).

Perbedaan Khaldun dengan Comte hanya terletak pada tahap berfikir positifistik, kalau Comte menghilangkan sebab metafisis, khaldun pada tahap terakhir justru menempatkan sebab metafisis dalam tahap nazari karena sebab metafisis memang sulit dianalisis secara rasional tapi bukan berarti tidak bisa, khaldun berpendapat segala sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh pengtahuan dalam menjelaskannya, ada campur tangan Allah yang maha tau dan maha kuasa, oleh karena itu khaldun menggunakan analisis sosial terpadu dalam mengenalisis data dan fakta sosial dikaitkan dengan agama (Al-Qur’an dan Hadist).

Selain mengenai konsep evolusi pemikiran, konsep integrasi ilmu menurut ibn khaldun menjadi hal yang menarik bagi para ilmuan yang meneliti pemikiran ibn khaldun. Yaitu Konsep ‘Ilm-Al umran yang dianggap menjadi cikal bakal ilmu sosial. Berikut merupakan konsep integrasi ilmu oleh Ibn Khaldun dalam Pribadi (2014); Pertama, Naqliyah dan Qauniyah adalah Ilmu dari Al-Qur’an dan Hadist; Kedua, Aqliyah/Kauniyah adalah Ilmu yang dihasilkan dari aktifitas berfikir manusia, yaitu jenis ilmu alam dan eksata; KetigaUmran/Nafsiyah adalah Ilmu mengenai Civilization atau kehidupan sosial. Jika diilustrasikan sebagai berikut:


Metodologi yang digunakan Ibn Khaldun dikenal sebagai metode analisis sosial terpadu, yaitu penggabungan data dan fakta sosial dengan agama (Al-Qur’an dan Hadist). Dalam hal ini menggunakan pendekatan ‘Ilm al-Umran yaitu memahami manusia maka senantiasa melihatnya dikaitkan dengan masyarakat. Mirip dengan konsep Berger dalam konstruksi sosial.

Menarik bagi saya disaat sekarang para sosiolog memperdebatan mengenai paradigma sosiologi atau ilmu sosial yang mengerucut pada paradigma terpadu, jauh melampaui zamannya Khaldun telah menggunakan metode tersebut. kita mengenal 3 gerbong besar filsafat Barat yaitu Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisme, di dalam sosiologi ada 3 paradigma besar yaitu fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial, perkembangannya sekarang beberapa tokoh teoritisi sosiologi modern dan post modern keluar dari 3 paradigma besar tersebut. Boerdieu menggabungkan paradigma fakta sosial dan definisi sosial dalam teori strukturalisme konstruktif, Derrida dan Giddens tidak mendasar hanya pada satu paradigma, dan terakhir karya Ritzer yang menawarkan paradigma baru dengan nama paradigma integratif (terpadu) yaitu melihat permasalahan sosial secara menyeluruh dengan menggabungkan paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Hal tersebut menjadikan saya semakin kagum denga Ibn Khaldun, tokoh peletak dasar ilmu-ilmu sosial yang pada zamannya ilmu pengetahuan masih sangat umum dan belum terspesifikasi. Dengan pemaparan diatas, telah terbukti beliau merupakan peletak dasar ilmu sosiologi dan bisa disebut dengan bapak sosiologi dunia, sayangnya selama ini kurang dikenal dan tidak banyak referensi tentang karya-karyanya yang sangat menakjubkan. Ibnu Khaldun wafat di Kairo Mesir, pada 25 Ramadan 808 H/19 Maret 1406 (Khaldun, 2016:1087).

Karya: Syamsul Bakhri, S.Pd., M.Sos
Ketua Umum Braindilog Sosiologi Indonesia

Daftar Pustaka

Alatas, S.F. 2017. “Ibnu Khaldun Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi”. Mizan: Bandung.
Enan, M.A. 2013. “Biografi Ibnu Khaldun Kehidupan dan Karya Bapak Sosiologi Dunia” Zaman : Jakarta.
Pribadi, M. 2014 “Pemikiran Sosiologi Islam Ibn Khaldun”. SUKA Press: Yogyakarta.
Jurdi, S. 2012 “Awal Mula Sosiologi Modern Kerangka Epistemologi, Metodologi, dan Perubahan Sosial Perspektif Ibn Khaldun ” Kreasi Wacana: Bantul.
Khaldun, I. 2016. “Mukaddimah Ibnu Khaldun”. Pustaka Al Kautsar: Jakarta Timur.

Dokumentasi Acara Diskusi Ibnu Khaldun: