Buku Karya Braindilog

Berisi mengenai kajian analisis sosial dengan pendekatan konsep teori tokoh Sosiologi Indonesia.

Braindilog

Merupakan sebuah konsep dan metode diskusi yang di lakukan dengan tahapan Brainstorming, Dialectic, dan Logic dari teori atau permasalahan sosial yang didiskusikan.

Braindilog Sosisologi Indonesia

Mengawal Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia menuju otonomi teori Sosiologi Indonesia yang berlandaskan nilai, norma, dan kebermanfaatan masyarakat Indonesia.

Gerakan Otonomi Teori Sosiologi Indonesia

Sayembara menulis artikel sosiologi Indonesia adalah upaya Braindilog Sociology dalam menyebarluaskan gagasan otonomi teori sosiologi Indonesia.

Braindilog Goes To Yogyakarta

Diskusi Lintas Komunitas bersama Joglosonosewu dan Colombo Studies di Universitas PGRI Yogyakarta dengan tema "Konflik Horisontal Transportasi Online". Selain dihadiri komunitas, acara ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan mahasiswa dari masing-masing kampus di Yogyakarta.

Sabtu, 18 Maret 2017

Islam: Berapung-apung di Tengah Gelombang

Gerak Sejarah   
Bagi orang yang masih awam dengan sejarah, memahami arus gerak zaman yang selalu berubah-ubah barangkali akan membingungkan bahkan bisa jadi membuat pikiran langsung menjadi pening. Sebuah pertanyaan yang selalu merisaukan dalam benak saya akhir-akhir ini adalah perihal akan kemanakah sebenarnya gerak perjalanan bangsa ini? Serta akan bermuara kemana pula perjalanan bangsa ini sampai pada di titik terakhir berlabuh.  Bagi seseorang yang mau mencoba menggunakan analisis filsafat, ia akan berusaha keras secara radikal memandang arus perjalanan sejarah dengan cermat dan tidak gegabah.
    Arnold Toynbee pernah menyatakan bahwasanya sumber motor arus perjalanan sejarah umat manusia tidak lain adalah digerakkan oleh sekelompok kecil (minority group) sebagai pemilik kebudayaan. Kelompok minoritas inilah yang kemudian menciptakan kebudayaan sekaligus penggerak sejarah. Tanpa komunitas minoritas yang kuat dan kreatif, suatu kebudayaan dan sejarah tidak akan pernah berkembang. Max Weber yang fokus meneliti komunitas Calvinis di Eropa menemukan bahwasanya ternyata mereka mampu mendobrak peradaban masyarakat dari stagnan menjadi maju pesat terutama dalam hal pembangunan ekonomi.
    Ibnu Khaldun seorang filsuf dan ilmuan Islam telah menegaskan bahwasanya gerak kebudayaan dalam masyarakat sangat bergantung pada sejauhmana kekuatan ashobiyah atau fanatisme dari masing masing kelompok masyarakat. Fanatisme kelompok yang menggebu-nggebu seringkali mampu mendobrak serta mematahkan nalar dan logika sehat manusia. Khaldun juga mewanti-wanti jika ashobiah atua sektarianisme harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan banyak kegaduhan di masyarakat karena sentimen ke ashobiyahannya terlalu membabi buta dan terlalu sempit.

Mengelola Ego Sekterian  
Pemandangan-pemandangan sekteranianisme sempit lagi tertutup yang terjadi diberbagai komunitas jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan kondisi masyarakat yang semakin tidak kondusif. Ketidak kondusifan tersebut biasanya karena masing-masing grup atau komunitas menolak ruang-ruang dialog antar kelompok masyarakat. Efeknya adalah budaya toleransi semakin tergerus. Masing-masing komunitas merasa paling berhak mangkavling dan menempati kebenaran yang haq bahkan untuk masalah surga, lainnya tidak. 
    Max Weber walaupun beragama Kristen Protestan, Ia tidak segan-segan memuji perjalanan umat Islam yang dianggap sangat revolusioner dalam membangun basis budaya dan peradaban masyarakat. Dalam karyanya "Economy And Society", Weber  memuji kekuatan ashobiyah umat Islam pada era Nabi Muhammad yang dianggap zaman terbaik sepanjang perkembangan sejarah Islam. Doktrin jihad fii sabilillaah dari ajaran Islam ternyata mampu menggerakkan spirit para sahabat Nabi untuk bersama-sama membangun budaya dan peradaban umat Islam. Peradaban Islam pada fase awal yang dibangun Nabi dan para sahabat ditopang oleh kekuatan spiritualitas yang tinggi.Ketinggian peradaban ini dapat dilihat lewat bagaimana Nabi Muhammad menjadi aktor sosial yang paling handal di dunia mengalahkan tokoh-tokoh siapapun di muka bumi ini. Hal ini dapat dilihat dalam deretan tokoh yang paling berpengaruh di dunia, Nabi Muhammad SAW. menduduki posisi nomor satu dibanding dengan tokoh-tokoh lainnya.
    Sebagai pengikut risalah Nabi Muhammad tidak sepatutnya untuk berlama-lama berbangga diri dengan pujian-pujian itu. Suatu ketika dalam keadaan tenang dan hening kita sesekali perlu merenung mendalam memikirkan perihal akan ke manakah kedepan gerak umat Islam yang kian tahun jumlahnya kian membengkak. Apakah umat Islam mampu menangkap spirit peradaban Islam pada fase-fase awal Nabi yang banyak disanjung-sanjung oleh ilmuan barat tadi. Apakah umat Islam hanya berhenti menjadi buih yang mudah sekali terhempas di tengah-tengah gelombang. Ataukah justru mampu bergerak menjadi gelombang itu sendiri yang begitu dahsyat seperti tsunami yang dengan sekejap mampu meluluh lantahkan apapun yang ada di depannya. Ataukah justru umat Islam mampu menjadi gelombang dahsyat pencerahan kemajuan peradaban dunia yang mengalahkan umat manapun di muka bumi ini. 

Fanatisme dan Beban Umat   
    Untuk naik kelas menjadi gelombang pencerah peradaban rasanya kita masih harus menghela nafas panjang-panjang jika perlu barangkali kita simpan dulu angan-angan yang membumbung tinggi tersebut. Persolan yang paling krusial ditataran internal umat Islam saat ini adalah fanatisme ashobiah yang terlalu berlebih-lebihan. Hal ini jika tidak ditangani secara serius akan semakin menjadi beban umat Islam jika tidak segera mau merubah diri untuk lebih terbuka membangun dialog yang intensif satu dengan lainnya. Saya tidak tahu apakah fanatisme pada masing-masing kelompok jika tujuannya untuk kepentingan jangka pendek dan pragmatis akan mampu menghasilkan gelombang pencerahan peradaban. Atau justru hanya akan menjadi gelombang tsunami yang justru menerpa diri umat islam itu sendiri menjadi hancur berkeping-keping.
    Fanatisme ashobiah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah fanatisme yang membabi buta yang bertujuan ingin mengoyak-ngoyak keberagaman menjadi keseragaman. Fanatisme yang ingin merubah heterogennya masyarat menjadi masyarakat yang homogen. Menurut Jalaluddin Rumi, keseragaman kebudayaan terlebih dalam urusan agama adalah sebuah kemustahilan.Jadi jika ada sekelompok komunitas menghendaki keseragaman secara membabi buta maka sebenarnya mereka sama saja sedang berhadap-hadapan dengan Tuhan.
    Jika kita mau mengacu Ibnu Kholdun, solusi untuk mengatasi ego fanatisme sektarian tidak lain adalah dengan memperkuat dan mempertegas fanatisme yang levelnya lebih tinggi lagi misalnya adalah fanatisme pada negara, bangsa atau agama dalam perspektif yang lebih universal (bukan sempit/parsial). Negara dan bangsa mau tidak mau harus bersikap tegas berdiri di tengah-tengah berbagai komunitas kultural dalam menegakkan prinsip-prinsip keadilan. Ketegasan negara dalam memayungi berbagai komunitas-komuntias fanatik tadi adalah kunci dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, yakni negara kalah dengan segelintir sebagaian komunitas tadi maka bersiap-siaplah negara akan segera mengalami kegoncangan oleh sebab tidak mampu menciptakan sistem keamanan dan tatanan sosial yang aman dan stabil.

Sibuk Dengan Ashobiyah  
Terus terang kita harus jujur jika kita terlalu berlama-lama sibuk berjibaku mempertahankan ashobiyah masing-masing dari komunitas-komunitas kecil kita sehingga tidak terasa kita lupa untuk membangun sistem sosial yang tertib damai dan berkeadilan sosial dalam level yang lebih tinggi lagi yakni negara, bangsa bahkan agama. Ketidakmauan kita untuk merenung lebih dalam mencermati dengan teliti satu persatu berbagai faktor gagalnya umat Islam untuk menduduki puncak kejayaan peradaban menjadikan kita kian hari kian tidak semakin cerah dan maju melainkan makin tertinggal jauh dengan bangsa dan umat lainnya. Dari sisi politik misalnya, kaderisasi kepemimpinan kita harus kita akui masih sangat lemah. Pilkada serentak kemarin bisa kita lihat sejauhmana parpol yang memiliki basis kekuatan Islam mampu mengantarkan kandidatnya untuk menduduki posisi nomor satu di daerah. Sejauhmana pula kandidat yang benar-benar dikader oleh umat Islam mampu diunggulkan hingga terpilih dan dipercaya memimpin daerah. Saya menganngap ini adalah bagian serangkaian ujian naek kelas yang harus dilalui umat Islam. Atau jangan-jangan logika masyarakat sudah berobah menjadi sangat rasional yang tidak terlalu ambil pusing untuk mengkavling-kavling kandidat sesuai ras,golongan dan agama mereka. Mereka hanya memandang dari sejauhmana kandidat yang selama ini mereka kenal yang memberikan peran serta manfaat kepada mereka.  

Posisi Umat Islam
    Jujur saya tidak berani menilai posisi umat Islam saat ini dalam fase terpuruk, berkembang atau dalam masa-masa transisi menuju kemajuan. Ali Syariati pernah mengatakan bahwasanya tiap-tiap masyarakat akan mengalami keterpurukan jika mereka berada dalam titik ketidak seimbangan antara material dan spiritual. Jika kita mau merujuk pandangan Ali Syariati mau tidak mau kita harus menengok sejarah. Abad Pertengahan adalah Abad di mana peranan otoritas spiritual seperti gereja menjadi panglima bagi kehidupan masyarakat. Rasionalitas dan pengetahuan menjadi hak prerogratif gereja secara absoluth. Akibat dari itu semua adalah perkembangan ilmu pengetahuan mandeg karena telah terkungkung oleh otoritas kekuasaan gereja. Zaman ini oleh para ilmuan sering disebut dengan zaman kegelapan. Munculnya Renaissance dan revolusi gereja sontak membalikkan semuanya itu. Masa-masa ini adalah di mana rasionalitas menjadi panglima dalam menyelesaikan berbagai problem masyarakat. Masa-masa ini adalah Abad pencerahan di mana ilmpu pengetahuan berkembang pesat.
    Sebaliknya, bertumpu pada materialisme murni juga tidak akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan masyarakat yang kian hari makin komplek. Gagasan materialisme dari Feurbach dan Karl Marx sampai saat ini tidak cukup kuat untuk membangun peradaban masyarakat yang semakin hari semakin maju dan rumit. Manifesto komunisme yang mereka gagas sampai detik ini masih sebatas diskursus wacana teoritik yang implementasinya di masyarakat dunia ternyata kurang laku. Kapitalisme yang juga perwujudan bentuk lain penghambaan materialisme saat ini juga sedang diuji oleh sejarah. Diatas itu semua, Islam sebenarnya telah mengajarkan teologi tengah-tengah atau sering disebut wasathan.
    Menurut Arnold Toynbee akal manusia tidak boleh dibiarkan liar tanpa arah yang jelas. Akal manusia harus didampingi iman, sebab tanpa iman akal akan dapat menghancurkan peradaban dan kebudayaan. Terus terang jika kita mau berpijak pada pandangan Toynbee dan Ali Syariati sebagaimana telah saya kemukakan di atas, saya tidak berani menilai apakah keterpurukan posisi umat Islam dalam kancah globlal karena kita kurang mampu menyeimbangkan antara akal dan keimanan. Ataukah tidak mampu menyeimbangkan antara material dan spiritual, sakral dan profan.Ataukah justru karena sikap fanatisme ashobiah masing-masing komunitas Islam yang berlebih-lebihan yang cenderung menutup ruang dialog rapat-rapat. Sikap tertutup tersebut menjadikan umat Islam tidak lagi memiliki agenda bersama untuk membangun budaya dan peradaban. Kondisinya berapung-apung terus dalam geliat gelombang peradaban bangsa-bangsa dan umat lain.

Karya: Muhammad Iqbal Birsyada, Dosen Universitas PGRI Yogyakarta
 

Selasa, 14 Maret 2017

Norbert Elias "Civilizing Process"

Salah satu tokoh yang paling menonjol dalam sosiologi dewasa ini adalah Norbert Elias. Dalam teori proses peradabannya, Norbert Elias menggunakan data empiris dari sejarah Eropa abad pertengahan. Elias juga menunjukkan bagaimana kebangsawanan dan masyarakat kerajaan menjadi semakin beradab.Hal ini ditunjukkan dalam tingkah laku yang halus, penggunaan bahasa yang tinggi dan perkembangan budaya kerajaan. Tetapi proses peradaban ini bermula dari dalam diri masyarakat sendiri sebagai proses psikologis pengendalian batin yang semakin meningkat. Jika pada zaman dahulu kala penduduk perlu dikendalikan dan diarahkan melalui tindakan-tindakan yang drastis, melalui pertempuran yang kejam, serta melalui kontrol dari luar, sekarang kehidupan sosial, politis dan ekonomis dapat dimantapkan karena pengedalian diri telah tersebar luas (Evers, 1988: 16).

Elias mengartikan civilization sebagai pemberadaban (civilizing process), sebuah proses menuju suatu masyarakat yang beradab. Kenyatannya, tulis Elias, seringkali proses pemberadaban tidak lebih dari suatu usaha pengeteknikan (technization) yang dari suatu tindakan beradab, bahkan cenderung biadab (decivilized) karena kerapkali usaha pemberadaban dilakukan secara dominatif, bahkan kekerasan oleh satu kelompok pada kelompok lain. Elias diakui sebagai salah satu sosiolog abad ke-20 yang memiliki pengaruh kuat, tidak hanya di Universitas Leicester, Inggris tempatnya mengajar, tapi juga di Jerman, Prancis dan Belanda. Beberapa tokoh yang terpengaruh oleh Ellias antara lain Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu. Elias diakui telah membuka kebuntuan yang dialami sosiologi dengan menawarkan formula untuk mengatasi dikotomi makro-mikro atau struktur-agen dalam teori-teori sosiologi (Novenanto, 2011: 183).

Perbedaan konsepsi peradaban (civilization) dengan budaya (culture) merupakan salah satu topik serius bagi Elias sehingga dia memasukkan tema ini dalam bab pembuka The Civilizing Process. Dalam antropologi, diskusi tentang perbedaan konsepsi peradaban dan budaya bukan hal baru.Ada delapan kesalahan yang kerap dilakukan oleh para etnografer atau antropolog saat melakukan studi lapangan (fieldwork) di suatu komunitas.Salah satunya, yang paling krusial adalah kebiasaan para etnografer yang kerap mencampuradukkan penggunaan konsepsi budaya dan peradaban. Seolah-olah makna keduanya sama saja, padahal keduanya itu memiliki perbedaan yang sangat fundamental (mendasar). Setiap komunitas memiliki budaya tertentu yang menjadi ciri khas atau pembeda dengan budaya komunitas lain. Hukumnya, posisi budaya suatu komunitas tidak pernah lebih tinggi daripada budaya komunitas lain. Saat seseorang mengucapkan bahwa sebuah komunitas belum berbudaya, bisa jadi yang ada di benak orang itu bukanlah konsepsi tentang budaya, melainkan peradaban.Berbicara tentang peradaban yang muncul adalah sebuah tahapan bahwa manusia atau masyarakat sedang menuju pada suatu tahap yang lebih beradab (kemajuan) atau semakin meninggalkan keberadaban (kemunduran).

Pada bab 1 dalam buku The Civilizing Process, Elias mengungkapkan perbedaan antara culture dan civilization dalam bahasa Jerman. Bagi Elias, konsepsi budaya dan peradaban perlu dibedakan secara tegas, dan tidak bisa dicampuradukkan apalagi dipertukarkan. Kata peradaban berpretensi (berdalih) untuk mengukur derajat moralitas dari suatu komunitas, tingkat keberadaban dari suatu kebudayaan. Bagaimanapun juga, tidak semua kebudayaan dari suatu komunitas memiliki tingkat keberadaban yang sama. Akan tetapi, setiap komunitas sangat mungkin memiliki kebudayaan yang menjadikannya berbeda dengan komunitas yang lain. Pada titik ini, Elias mengajak para sosiolog untuk juga masuk ke dalam sebuah diskusi sosiologi tentang moralitas dan etika dalam masyarakat, tidak berkutat pada perihal modernisasi (proses menuju yang modern atau baru). Pokok perhatian sosiologi Elias bukanlah pada gerak modernisasi, atau pembudayaan, melainkan pada proses pemberadaban untuk mewujudkan suatu peradaban (Bauman, 1979).

Bagi banyak orang, pola-pola perilaku tersebut seakan masalah yang bersumber dari masing-masing diri, tapi dalam penelusuran lebih lanjut lahirnya perilaku-perilaku tersebut sangatlah problematik. Elias membuktikan bahwa pola-pola perilaku telah dikembangkan dalam sebuah proses perubahan sosio-psikologis yang berlangsung selama beberapa generasi. Diskusi dilanjutkan dengan mempertanyakan prosesi kelas-kelas tertentu di negara-bangsa di Eropa (Barat) yang berpikir sebagai diri merekalah yang paling beradab.Elias mengkritik superioritas Eropa (Barat) vis-a-vis budaya-budaya non-Barat.Sebuah pemikiran superior bahwa Baratlah yang paling beradab, sementara yang hidup di luar Barat tak lebih dari sekumpulan manusia yang tidak beradab (bahkan barbar).Inilah yang kemudian menjelaskan pembenaran terjadinya kolonialisme oleh bangsa Eropa (Barat) dalam kerangka ideologis memberadabkan bangsa-bangsa yang dianggap tidak beradab itu untuk dijadikan koloni mereka (Novenanto, 2011: 189).

Elias menelusuri proses transformasi rezim kesopanan dan pola-pola berbudaya sebagai suatu proses yang terintegrasi saat internalisasi larangan-larangan. Suatu model budaya yang sopan kemudian secara bertahap menjadi berlaku umum dalam pelbagai lapisan sosial dalam masyarakat. Usaha-usaha transfer kesopanan yang dilakukan tanpa dosa, bahkan dianggap sebagai pekerjaan mulia oleh bangsa-bangsa superior itulah yang menjadi subjek perhatian dalam jilid I The Civilizing Process. Pada jilid I itu, Elias lebih banyak berkutat pada pembentukan habitus.Usaha pembentukan perilaku-perilaku individual (psychogenesis) yang kelihatannya sangat sepele dan remeh-temeh, ternyata sangat berhubungan erat dengan permasalahan tata-krama atau kesopanan, seperti: membuang ingus, kentut, hubungan seks, aturan di meja makan (table manner) (Novenanto, 2011:189).

Dalam jilid II, Elias melanjutkan pembahasannya yang spesifik bahwa proses internalisasi larangan-larangan dan transfer kesopanan dalam habitus yang beradab (psychogenesis), yang banyak dibahas sebelumnya, ternyata sangat terhubung erat dengan kondisi sosial (sociogenesis) seperti perubahan-perubahan dalam pembagian kerja dari kelompok ksatria perang ke kelompok aristokrat, pergeseran demografi, proses rekonsiliasi, urbanisasi, serta pertumbuhan perdagangan dan ekonomi uang. Pada Abad Pertengahan, peran para aristokrat atau bangsawan menjadi sangat penting. Elias mengungkapkan bahwa terjadi perubahan identitas para anggota kelas menengah, dari para ksatria perang (warlords) menjadi aristokrat yang cenderung bertindak seperti birokrat penarik pajak (clerk).Di tangan para aristokrat inilah segala aturan tentang kesopanan (manner) ditentukan, khususnya kesopanan ketika menghadap raja dan ratu (Novenanto, 2011: 189).

Usaha penelusuran psychogenesis dan sociogenesis tidak hanya menjadi topik utama Elias dalam The Civilizing Process, tapi juga dalam karyanya yang lain, yaitu The Loneliness of the Dying.Dalam karya ini, Elias membahas masalah pengetahuan tentang kematian sebagai sumber permasalahan manusia. Kematian adalah sebuah fakta biologis yang bisa dialami manusia mana pun, namun perbincangan tentang kematian (proses kematian, mempersiapkan kematian, dan bahkan kehidupan setelah kematian) menjadi sesuatu yang tidak sopan (tabu) untuk dibicarakan dalam masyarakat. Pertanyaan yang muncul di benak Elias adalah bagaimana manusia bisa siap menghadapi kematian jika perbincangan tentang bagaimana mempersiapkan diri menghadapi kematian adalah sesuatu yang tidak sopan untuk dibicarakan (Novenanto, 2011: 189).

Di sinilah, Elias mengungkap penyebab frustasi para orang lanjut usia ataupun mereka yang sedang menghadapi kematian. Kemajuan ilmu kedokteran dan biologi yang seharusnya membantu manusia mempersiapkan psikis seseorang menghadapi kematian yang adalah sebuah proses biologis yang akan dialami oleh setiap orang, justru memunculkan individualisasi dalam masyarakat modern. Analisis sosiologi Elias menyebutkan dua hal penting, yaitu kondisi psikologis (psychogenesis) dan kondisi sosial (sociogenesis), yang perlu diperhatikan betul oleh para sosiolog dalam melakukan studi tentang proses pemberadaban. Sekalipun kondisi sosial sudah sangat mendukung lahirnya peradaban, namun selama kondisi psikologis belum siap, maka peradaban hanyalah sebuah utopia (bayangan).Sementara itu, jika kondisi psikologis sudah siap namun kondisi sosial belum, maka lahirlah sebuah peradaban yang prematur yang membutuhkan tambal-sulam di pelbagai sektor (Novenanto, 2011: 189).

Elias dalam Ritzer (2008: 564) mengatakan bahwa yang terpenting dalam proses peradaban adalah sosialisasi orang-orang muda sehingga mereka dapat mengembangkan “kekangan diri”. Namun sebagaimana yang banyak terjadi, meningkatnya “kekangan diri” mengandung sejumlah masalah bahwa proses peradaban orang-orang berusia muda, tidak pernah menjadi proses yang sepenuhnya tanpa menimbulkan penderitaan, ia selalu meninggalkan luka. Aspek menarik dari argument Elias adalah ia mengakui bahwa kontrol atas nafsu (kemampuan individu bertindak berdasarkan emosi bagi Elias hal tersebut bukanlah perilaku yang beradab) bukanlah satu kebaikan mutlak. Kehidupan semakin kurang kadar bahayanya, namun hidup pun menjadi semakin kurang asyik. Tidak mampu mengekspresikan emosi mereka secara langsung, orang perlu menemukan gerai lain, seperti dalam mimpi mereka atau melalui buku.

Jadi, kendati kontrol yang lebih besar terhadap nafsu memungkinkan berkurangnya kekerasan, ia pun semakin melahirkan rasa bosan dan gelisah. Rantai ketergantungan pada diri individu di dalam masyarakat yang lebih panjang diasosiasikan tidak hanya dengan lebih besarnya kontrol efektif, namun juga dengan meningkatnya sensitivitas terhadap orang lain dan pada diri. Terlebih lagi, penilaian orang menjadi semakin disamarkan dan bernuansa halus.Sebelum lahirnya masyarakat bangsawan, orang harus melindungi diri mereka dari kekerasan dan kematian.Setelah itu, ketika bahaya ini hilang, orang mampu tumbuh lebih sensitif pada ancaman dan tindakan yang jauh lebih cerdik. Semakin besarnya sensitivitas ini adalah aspek kunci dari proses peradaban dan menjadi kontributor kunci bagi perkembangan selanjutnya (Ritzer, 2008: 256).

Pembatasan diri adalah kunci bagi proses pemberadaban, Elias dalam Power and Civility (Ritzer 2012: 880-881)membahas pemberadaban adalah perubahan-perubahan di dalam pembatasan sosial yang dikaitkan dengan kemunculan hal itu di dalam pengendalian diri. Jaringan dasar yang dihasilkan dari banyak recana tunggal dan tindakan-tindakan manusia dapat memunculkan perubahan dan pola-pola yang tidak pernah dirancang atau diciptakan individu.Dari interdependensi orang-orang ini muncullah suatu tatanan sui generis, suatu tatanan yang lebih memaksa dan lebih kuat daripada kehendak dan akal manusia individual yang mengubahnya. Perintah dorongan-dorongan hati dan kerja keras manusia yang berkaitan, tatanan sosial itulah yang menentukan jalannya perubahan historis, inilah yang mendasari proses peradaban. 

Elias berbicara tentang proses-proses pemberadaban dalam dua level. Yang pertama adalah level individual dan uraian ini tidak terlampau kontroversial. Melalui proses belajar, bayi dan anak-anak harus belajar menerima standar-standar orang dewasa dalam hal perilaku dan perasaan yang lazim dalam masyarakatnya. Dengan menamakan ini sebagai proses pemberadaban kurang lebih adalah menggunakan istilah lain yang sama maksudnya dengan “sosialisasi”. Level yang kedua lebih kontroversial. Datangnya standar-standar itu nyatanya tidak selalu ada, pun tidak selalu sama. Elias berpendapat bahwa tidak mustahil untuk mengidentifikasi proses-proses pemberadaban jangka panjang sebagai pembentuk standar-standar perilaku dan perasaan secara turun-temurun di dalam kebudayaan tertentu (Beilharz, 2002: 117-118).

Ide bahwa standar-standar itu mengalami perubahan tidaklah kontroversial yang menjadi kontroversial adalah apakah perubahan itu berupa proses-proses perubahan terstruktur dengan arah yang meskipun tidak direncanakan tetapi bisa diamati dari waktu ke waktu. Pada abad ke-19, cara orang Barat menggunakan kata peradaban menunjukkan bahwa mereka sebagian besar telah lupa akan proses pemberadaban. Karena yakin akan keunggulan mereka sendiri yang kini tampak sebagai standar internal dan abadi, maka mereka berniat untuk hanya “memberadabkan” kaum pribumi di negara-negara yang mereka jajah (atau kalangan yang lebih rendah dalam masyarakat mereka sendiri). Mereka tidak sadar bahwa nenek moyangnya sendiri pun menjalani proses belajar, suatu proses pemberadaban yang dengannya mereka mendapatkan karakteristik yang kini dianggap sebagai ciri-ciri keunggulan bawaan yang dibayangkan (Beilharz, 2002: 118-119).

Peradaban mengubah kelakuan dan perasaan manusia secara terarah. Namun ternyata proses peradaban itu bukan hasil dari rencana yang ada pada suatu saat di masa silam pernah disusun oleh sekelompok orang dan kemudian berdasarkan konsep rasional secara perlahan-lahan dilaksanakan melalui tindakan-tindakan yang sesuai. Peradaban seperti juga rasionalisasi bukanlah “rasio” manusia ataupun hasil dari pelaksanaan rencana matang yang pernah disusun jauh di masa silam. Proses peradaban sesungguhnya tidak lain merupakan masalah hakiki dalam proses perubahan terus-menerus yang berlangsung sepanjang sejarah. Proses perubahan itu secara keseluruhan tidak direncanakan secara rasional, namun tidak juga terdiri hanya atas rangkaian peristiwa tak beraturan yang muncul dan hilang serta tokoh yang tak jelas tampaknya (Evers, 1988: 3-4).

Maksud, perbuatan, emosi dan pikiran rasional tiap-tiap manusia selalu berkaitan secara positif ataupun negatif.Hubungan kait-mengkaitkan yang selalu ada antara masing-masing rencana dan perbuatan manusia dapat menimbulkan perubahan atau menciptakan hal-hal baru yang tidak pernah direncanakan atau diciptakan dengan sengaja oleh seorang pun juga.Maka dari hubungan itu, dari saling ketergantungan manusia, tumbuhlah tatanan yang khas, yang lebih mengikat dan lebih kuat daripada kemauan dan rasio masing-masing manusia yang menjadi bagian atau pendukungnya. Tata hubungan yang kait-mengkaitkan itulah yang menentukan arah dan laju perubahan dalam sejarah dan menjadi dasar bagi proses peradaban (Evers, 1988: 4).

Pada tingkat perkembangan peradaban itu sistem kegiatan anggota masyarakat telah menjadi sangat rumit dan luas, sehingga kesiagaan yang dituntut dari setiap anggota masyarakat untuk berlaku secara “benar” dalam rangka sistem itu juga menjadi amat tinggi. Hal ini pada gilirannya menyebabkan timbulnya mekanisme pengendalian kelakuan secara sadar di dalam diri manusia, di samping mekanisme pengendalian kelakuan yang bersifat otomatis dan berakar dalam bawah sadar. Mekanisme yang disebut terakhir berfungsi mencegah kelakuan yang melanggar norma masyarakat (Evers, 1988: 7). 

Dalam kenyataannya hasil proses peradaban individu jarang sekali dengan jelas bersifat positif dan negatif. Kebanyakan orang “beradab” berada di garis tengah antara kedua kutub ekstrim itu.Dalam tabiatnya terdapat sifat yang positif dan negatif untuk masyarakat, ciri yang mendukung tercapainya kepuasan subyektif dan ciri yang menghambatnya.Semua itu bercampur dengan proporsi yang berbeda-beda.(Evers, 1988: 23-24).Elias mengembangkan suatu teori sosiogenetik yang canggih mengenai pengetahuan dan ilmu pengetahuan.Dalam perspektif perkembangan pengetahuan manusia di sepanjang sejarah spesies ini, “simpul ganda” dalam hubungan antara sejumlah bahaya yang dihadapi manusia dengan rasa cemas yang mereka alami merupakan kendala-kendala awal yang besar untuk terbebas dari bentuk pengetahuan yang memiliki kandungan emosional, muatan fantasi dan “pelik”.Pembebasan itu tidak pernah lengkap sepenuhnya, tetapi penguasaan atas bahaya dan kecemasan sosial tertinggal di belakang penguasaan atas kekuatan-kekuatan alam sehingga ilmu-ilmu sosial tetap relative kuang otonom dan “terpisah’ dari ilmu-ilmu alam (Sobur, 2015: 186).

Berdasarkan penjelasan Norbert Elias mengenai peradaban bahwasannya peradaban merupakan proses pembentukan jiwa individu yang hidup di dalam suatu masyarakat yang tinggal menyatu dengan lingkungan alam di sekitar huniannya. Proses peradaban merupakan masalah hakiki dalam proses perubahan suatu masyarakat secara terus-menerus yang berlangsung sepanjang hidupnya hingga menciptakan sebuah kebudayaan yang memiliki nilai tinggi, halus, indah dan maju. Tidak hanya bersifat seperti barang, bangunan dan benda-benda, tetapi juga merujuk pada wujud gagasan, ide dan perilaku manusia yang tinggi, halus dan maju, pada akhirnya membentuk suatu peradaban. Secara keseluruhan proses tersebut tidaklah direncanakan secara rasional, hal tersebut terjadi mengalir secara alami dan bahkan tidak disadari oleh pelakunya sendiri yaitu masyarakat.
Karya: Annisa Nindya Dewi, S.Sos
Mahasiswi Pascasarjana Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Referensi

Beilharz. Peter. 2002. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Evers, Hans Dieter. 1988. Teori Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Novenanto, Anton. 2011. Sejarah Pemberadaban: Mengenalkan Norbert Elias Pada Sosiologi Indonesia. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 24, No. 3
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern.Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sobur, Alex. 2015. Kamus Besar Sosiologi. Bandung: Pustaka Setia.


 

Kamis, 02 Maret 2017

Menakar Film “The Dark Knight Rises”, Dengan “Ashobiyyah” Ibnu Khaldun dan “Dimensi Politik” Stephen Lukes

Film yang berjudul “The Dark Knight Rises” ini menceritakan adanya kekacauan di sebuah kota yang bernama Ghotam. Dengan Pelaku utamanya Bruce Wayne (Christian Bale) yang terlihat agak renta dan letih karena memiliki cedera di salah satu kakinya. Di rumah besarnya, ia dengan setia ditemani oleh Alfred (Michael Caine). Ia pun tak berdaya saat seorang wanita cantik bernama Selina Kyle (Anne Hathaway) datang mencuri kalungmutiara peninggalan ibunya. Dia juga mencuri sidik jari Wayne untuk dijual ke seorang miliarder bernama John Daggett (Ben Mendelssohn).
Tanpa disadari, ternyata kota Ghotam memiliki banyak ancaman. Wayne yang berjiwa nasionalis dan menginginkan kedamaian di Ghotam, ternyata berubah menjadi kegelapan. Pasalnya, di kota ini terdapat teroris bernama Bane (Tom Hardy) yang menginginkan kehancuran atas kota ini. Bahkan Bane pada akhirnya menjadi lawan dari Wayne itu sendiri. Pada suatu masa, akhirnya Bane berhasil mengalahkan dan memenjarakan Wayne.
Sementara itu, Bane yang sukses mengacaukan pasar saham menjadi besar kepala dan melanjutkannya dengan menyerang sebuah stadion ketika sebuah pertandingan rugbi sedang berlangsung. Lapangan runtuh karena bangunan di bawahnya telah hancur berantakan. Bane langsung memproklamirkan dirinya sebagai penguasa kota dengan hukum baru bentukannya. Pengumuman tersebut dirilis di semua media yang saat itu sedang meliput pertandingan.
Namun pada akhirnya, setelah terjadi kekacauan yang dipelopori oleh Bane, Wayne merasa perlu untuk bangkit kembali. Menyelamatkan kotanya dari ancaman bom peledak yang dipasang oleh Bane saat itu. Wayne pun akhirnya berhasil lolos dari penjara gelap bawah tanah setelah berkali-kali mengalami kegagalan meloloskan diri. Dari gelapnya penjara, Wayne berhasil mengalahkan Bane dan menyelamatkan kota Ghotam dari kehancuran.
Alur cerita film ini memang begitu panjang, namun apabila kita bisa menelisik lebih jauh, banyak pesan tersirat dalam film ini. Baik mengenai sebuah peradaban maupun mengenai isu-isu politik yang berkembang dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Bahkan, dimensi politik terlihat sangat jelas dalam film ini.
Film ini juga terkait erat dengan pendapat Ibnu Khaldun tentang politik. Menurutnya, manusia diciptakan sebagai mahkluk politik atau sosial. Yaitu, mahkluk yang senantiasa membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Sehingga, kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (Dharury) (Muqoddimah:41).
Selain itu, masyarakat juga membutuhkan sebuah organisasi dalam menentukan peradaban. Masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antar anggota masyarakat. Dalam film ini terlihat jelas, Wayne yang berperan sebagai Batman menjadi penengah dan menjadi pahlawan antara penjahat dengan birokrasi pemerintah (polisi).
Dimensi politik juga sangat terlihat jelas dalam film ini. Seperti yang dikatakan Stephan Lukes dengan teorinya mengenai dimensi kekuasaan. Menurutnya, ada tiga pihak yang harus diperhitungkan dalam sebuah kekuasaan. Pertama, penguasa yang menjalankan roda kekuasaan dalam sebuah negara. Dalam hal ini dipegang oleh otoritas polisi, yang memegang secara penuh aturan keamanan di kota Ghotam. Kedua, pihak oposisi. Yaitu pihak yang bisa menggagalkan suatu kebijakan terutama dari pemerintah. Terlihat jelas yang menjadi oposisi atau lawan dari penguasa dalam hal ini ialah Bane. Sang teroris yang menginginkan kehancuran kota Ghotam dan ingin menyamaratakan semua kelas dikalangan masyarakat. Baik penjahat maupun tidak. Bahkan Bane ingin mengeluarkan semua penjahat dari dalam penjara dan menjebloskan polisi ke dalam penjara. Ada cara pandang yang berbeda dari Bane ketika melihat kehidupan.
Ketiga, orang yang berpihak sebagai pengamat. Biasanya, pihak ketiga ini yang bisa menyelesaikan dan memberi solusi atas sebuah pemasalahan yang terjadi. Film ini menceritakan Wayne sebagai anggota masyarakat yang bijak. Ingin menyelamatkan kotanya namun ia bukanlah penguasa. Menjadi penengah antara penjahat dengan pemerintah yang ada.
Teori Ibnu Khaldun tentang Ashobiyah juga terlihat jelas dalam film ini. Di mana Group Feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme atau sentimen sosial yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada sudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti.
Solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan, mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu juga saat Wayne memutuskan untuk mengalahkan Bane demi kedamaian negerinya Ghotam.
Karya: TriMuryani
Mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Alamat Domisili: Jl. Santan 6 No 63
Maguwoharjo, Depok Sleman, Yogyakarta

Dramaturgi Perantau Madura (Studi Kasus pada Pedagang Madura di Pasar Kota Gresik)

Madura. Apa yang tergambar dalam pikiran anda ketika mendengar kata Madura? Orang yang Kasar? Selalu bawa Celurit? Beringas? Yah itulah yang sudah pasti tergambar dalam pikiran kita jika mendengar tentang suku ini. Suku Madura terletak di Provinsi Jawa Timur, dimana mereka hidup tentu di Pulau Madura dan menyebar keseluruh Indonesia bahkan dunia.
Salah satu kota yang menjadi rantauan masyarakat Madura adalah Kabupaten Gresik. Para perantau Madura biasanya dapat kita jumpai di area Pasar Kota Gresik. Orang Madura dalam buku Manusia Madura karya Mien Ahmad Rifai (2007) digambarkan sebagai orang yang beringas, menggunakan pakaian yang tidak serasi, tidak tahu aturan yang terkonstruksi sejak masa penjajahan Belanda. Maka jangan heran jika konstruksi tersebut menguat dan menjadi stereotype pada sebagian besar masyarakat kita.
Kembali kita bahas tentang orang Madura yang menjadi pedagang dan tukang parkir di Pasar Kota Gresik. Disini pedagang Madura yang mayoritas adalah ibu-ibu melakukan penyamaran atau berdramaturgi menjadi orang Jawa. Iyakah?, jika kita sebagai orang awam, maka akan sulit mengenali mana yang orang Madura dan mana yang orang Jawa. Mereka dipasar tersebut menjual bubur, buah, pakaian, sayuran dan peralatan dapur.

Orang Madura menggunakan bahasa jawa dalam menawarkan dagangan mereka. “Monggo mas bubure” (Silahkan mas buburnya)“yo gak oleh mas nek sepoloh ewu”(ya tidak boleh kalau sepuluh ribu), kata tersebut merupakan perkataan yang mereka ucapkan ketika penulis memancing interaksi dengan bahasa jawa. Kemudian untuk pembuktian bahwa mereka sebagai orang Madura adalah penulis mencoba membalas dengan bahasa Madura “kakehnjek?” (kamu tidak?), “oh lokoleh mon sepoloh ebu?” (oh tidak boleh kalau sepuluh ribu?), dan ibu-ibu penjual tersebut menjawab dengan senyum“eh reng medureh”(eh orang Madura).

Para pedagang Madura di Pasar ini akan lebih sering berinteraksi menggunakan bahasa Jawa, dan tetap akan berbahasa Madura apabila berinteraksi dengan sesama orang Madura. Kita pasti pernah dengar istilah Dramaturgi bukan? Benar, Dramaturgi dari tokoh Sosiologi yang bernama Erving Goffman. Goffman dalam Ritzer (2012) menjelaskan bahwa dramaturgi adalah dua sisi wajah manusia antara front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). Dimana manusia pada setiap harinya bermain peran (front stage) sebagai orang lain atau baik guna mendapatkan kesan dari lawan interaksi mereka.

Disini para pedagang Madura yang mayoritas adalah ibu-ibu dengan menggunakan pakaian yang tidak mencolok seperti yang dijelaskan dalam buku Manusia Madura. Kenapa hal ini dilakukan? Karena kita tahu sendiri dalam buku Manusia Madura juga dijelaskan bahwa budaya Jawa sudah terlanjur diakui sebagai budaya dominan dan kuatnya stereotype orang Jawa terhadap orang Madura.
Mereka melakukan pengaburan status kemaduraan mereka dari sisi bahasa dan pakaian, sehingga setiap pembeli yang dating tidak akan menyadari bahwa mereka adalah orang Madura. Ada satu hal yang menjadi symbol bahwa mereka adalah orang Madura yaitu penggunaan ikat rambut yang sedikit menjulang dan ditutupi dengan kerudung. Lalu bagaimana dengan backstage mereka? Apakah terlihat?, jawabannya adalah terlihat. Bagaimana membuktikannya? Dengan sedikit memancing menggunakan bahasa Madura saat bertransaksi dan hal ini juga mereka lakukan dengan sesame pedagang Madura tetapi dengan volume suara kecil.  

Dapat penulis simpulkan bahwa dramaturgi pedagang Madura dilakukan untuk mendapatkan kesamaan status dalam perdagangan di pasar tersebut dan akibat dari marjinalisasi tersirat oleh orang Jawa terhadap orang Madura. Sebagaipenutup, Michael Banton pernah mengatakan bahwa sifat dari Prasangka menjadi dasar dalam menilai suatu ras, etnis dari apa yang dilihatnya. Dan Prasangka dapat menimbulkan stratifikasi etnis dan perlakuan. Tetapi Prasangka bias diluruskan dengan pendidikan dan penyuluhan.

Referensi:

Rifai, M. A.2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media

Ritzer, G. 2012. Teori sosiologi dari sosiologi klasik sampai perkembangan terakhir post-modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wiyata, A. Latief.2013. Mencari Madura. Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing. 

Tim Penulis: Ade Julandha Wiranata, Atika Puspitasari, dan Zuhairiyah
Mahasiswa Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo Madura.