Selasa, 14 Maret 2017

Norbert Elias "Civilizing Process"

Salah satu tokoh yang paling menonjol dalam sosiologi dewasa ini adalah Norbert Elias. Dalam teori proses peradabannya, Norbert Elias menggunakan data empiris dari sejarah Eropa abad pertengahan. Elias juga menunjukkan bagaimana kebangsawanan dan masyarakat kerajaan menjadi semakin beradab.Hal ini ditunjukkan dalam tingkah laku yang halus, penggunaan bahasa yang tinggi dan perkembangan budaya kerajaan. Tetapi proses peradaban ini bermula dari dalam diri masyarakat sendiri sebagai proses psikologis pengendalian batin yang semakin meningkat. Jika pada zaman dahulu kala penduduk perlu dikendalikan dan diarahkan melalui tindakan-tindakan yang drastis, melalui pertempuran yang kejam, serta melalui kontrol dari luar, sekarang kehidupan sosial, politis dan ekonomis dapat dimantapkan karena pengedalian diri telah tersebar luas (Evers, 1988: 16).

Elias mengartikan civilization sebagai pemberadaban (civilizing process), sebuah proses menuju suatu masyarakat yang beradab. Kenyatannya, tulis Elias, seringkali proses pemberadaban tidak lebih dari suatu usaha pengeteknikan (technization) yang dari suatu tindakan beradab, bahkan cenderung biadab (decivilized) karena kerapkali usaha pemberadaban dilakukan secara dominatif, bahkan kekerasan oleh satu kelompok pada kelompok lain. Elias diakui sebagai salah satu sosiolog abad ke-20 yang memiliki pengaruh kuat, tidak hanya di Universitas Leicester, Inggris tempatnya mengajar, tapi juga di Jerman, Prancis dan Belanda. Beberapa tokoh yang terpengaruh oleh Ellias antara lain Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu. Elias diakui telah membuka kebuntuan yang dialami sosiologi dengan menawarkan formula untuk mengatasi dikotomi makro-mikro atau struktur-agen dalam teori-teori sosiologi (Novenanto, 2011: 183).

Perbedaan konsepsi peradaban (civilization) dengan budaya (culture) merupakan salah satu topik serius bagi Elias sehingga dia memasukkan tema ini dalam bab pembuka The Civilizing Process. Dalam antropologi, diskusi tentang perbedaan konsepsi peradaban dan budaya bukan hal baru.Ada delapan kesalahan yang kerap dilakukan oleh para etnografer atau antropolog saat melakukan studi lapangan (fieldwork) di suatu komunitas.Salah satunya, yang paling krusial adalah kebiasaan para etnografer yang kerap mencampuradukkan penggunaan konsepsi budaya dan peradaban. Seolah-olah makna keduanya sama saja, padahal keduanya itu memiliki perbedaan yang sangat fundamental (mendasar). Setiap komunitas memiliki budaya tertentu yang menjadi ciri khas atau pembeda dengan budaya komunitas lain. Hukumnya, posisi budaya suatu komunitas tidak pernah lebih tinggi daripada budaya komunitas lain. Saat seseorang mengucapkan bahwa sebuah komunitas belum berbudaya, bisa jadi yang ada di benak orang itu bukanlah konsepsi tentang budaya, melainkan peradaban.Berbicara tentang peradaban yang muncul adalah sebuah tahapan bahwa manusia atau masyarakat sedang menuju pada suatu tahap yang lebih beradab (kemajuan) atau semakin meninggalkan keberadaban (kemunduran).

Pada bab 1 dalam buku The Civilizing Process, Elias mengungkapkan perbedaan antara culture dan civilization dalam bahasa Jerman. Bagi Elias, konsepsi budaya dan peradaban perlu dibedakan secara tegas, dan tidak bisa dicampuradukkan apalagi dipertukarkan. Kata peradaban berpretensi (berdalih) untuk mengukur derajat moralitas dari suatu komunitas, tingkat keberadaban dari suatu kebudayaan. Bagaimanapun juga, tidak semua kebudayaan dari suatu komunitas memiliki tingkat keberadaban yang sama. Akan tetapi, setiap komunitas sangat mungkin memiliki kebudayaan yang menjadikannya berbeda dengan komunitas yang lain. Pada titik ini, Elias mengajak para sosiolog untuk juga masuk ke dalam sebuah diskusi sosiologi tentang moralitas dan etika dalam masyarakat, tidak berkutat pada perihal modernisasi (proses menuju yang modern atau baru). Pokok perhatian sosiologi Elias bukanlah pada gerak modernisasi, atau pembudayaan, melainkan pada proses pemberadaban untuk mewujudkan suatu peradaban (Bauman, 1979).

Bagi banyak orang, pola-pola perilaku tersebut seakan masalah yang bersumber dari masing-masing diri, tapi dalam penelusuran lebih lanjut lahirnya perilaku-perilaku tersebut sangatlah problematik. Elias membuktikan bahwa pola-pola perilaku telah dikembangkan dalam sebuah proses perubahan sosio-psikologis yang berlangsung selama beberapa generasi. Diskusi dilanjutkan dengan mempertanyakan prosesi kelas-kelas tertentu di negara-bangsa di Eropa (Barat) yang berpikir sebagai diri merekalah yang paling beradab.Elias mengkritik superioritas Eropa (Barat) vis-a-vis budaya-budaya non-Barat.Sebuah pemikiran superior bahwa Baratlah yang paling beradab, sementara yang hidup di luar Barat tak lebih dari sekumpulan manusia yang tidak beradab (bahkan barbar).Inilah yang kemudian menjelaskan pembenaran terjadinya kolonialisme oleh bangsa Eropa (Barat) dalam kerangka ideologis memberadabkan bangsa-bangsa yang dianggap tidak beradab itu untuk dijadikan koloni mereka (Novenanto, 2011: 189).

Elias menelusuri proses transformasi rezim kesopanan dan pola-pola berbudaya sebagai suatu proses yang terintegrasi saat internalisasi larangan-larangan. Suatu model budaya yang sopan kemudian secara bertahap menjadi berlaku umum dalam pelbagai lapisan sosial dalam masyarakat. Usaha-usaha transfer kesopanan yang dilakukan tanpa dosa, bahkan dianggap sebagai pekerjaan mulia oleh bangsa-bangsa superior itulah yang menjadi subjek perhatian dalam jilid I The Civilizing Process. Pada jilid I itu, Elias lebih banyak berkutat pada pembentukan habitus.Usaha pembentukan perilaku-perilaku individual (psychogenesis) yang kelihatannya sangat sepele dan remeh-temeh, ternyata sangat berhubungan erat dengan permasalahan tata-krama atau kesopanan, seperti: membuang ingus, kentut, hubungan seks, aturan di meja makan (table manner) (Novenanto, 2011:189).

Dalam jilid II, Elias melanjutkan pembahasannya yang spesifik bahwa proses internalisasi larangan-larangan dan transfer kesopanan dalam habitus yang beradab (psychogenesis), yang banyak dibahas sebelumnya, ternyata sangat terhubung erat dengan kondisi sosial (sociogenesis) seperti perubahan-perubahan dalam pembagian kerja dari kelompok ksatria perang ke kelompok aristokrat, pergeseran demografi, proses rekonsiliasi, urbanisasi, serta pertumbuhan perdagangan dan ekonomi uang. Pada Abad Pertengahan, peran para aristokrat atau bangsawan menjadi sangat penting. Elias mengungkapkan bahwa terjadi perubahan identitas para anggota kelas menengah, dari para ksatria perang (warlords) menjadi aristokrat yang cenderung bertindak seperti birokrat penarik pajak (clerk).Di tangan para aristokrat inilah segala aturan tentang kesopanan (manner) ditentukan, khususnya kesopanan ketika menghadap raja dan ratu (Novenanto, 2011: 189).

Usaha penelusuran psychogenesis dan sociogenesis tidak hanya menjadi topik utama Elias dalam The Civilizing Process, tapi juga dalam karyanya yang lain, yaitu The Loneliness of the Dying.Dalam karya ini, Elias membahas masalah pengetahuan tentang kematian sebagai sumber permasalahan manusia. Kematian adalah sebuah fakta biologis yang bisa dialami manusia mana pun, namun perbincangan tentang kematian (proses kematian, mempersiapkan kematian, dan bahkan kehidupan setelah kematian) menjadi sesuatu yang tidak sopan (tabu) untuk dibicarakan dalam masyarakat. Pertanyaan yang muncul di benak Elias adalah bagaimana manusia bisa siap menghadapi kematian jika perbincangan tentang bagaimana mempersiapkan diri menghadapi kematian adalah sesuatu yang tidak sopan untuk dibicarakan (Novenanto, 2011: 189).

Di sinilah, Elias mengungkap penyebab frustasi para orang lanjut usia ataupun mereka yang sedang menghadapi kematian. Kemajuan ilmu kedokteran dan biologi yang seharusnya membantu manusia mempersiapkan psikis seseorang menghadapi kematian yang adalah sebuah proses biologis yang akan dialami oleh setiap orang, justru memunculkan individualisasi dalam masyarakat modern. Analisis sosiologi Elias menyebutkan dua hal penting, yaitu kondisi psikologis (psychogenesis) dan kondisi sosial (sociogenesis), yang perlu diperhatikan betul oleh para sosiolog dalam melakukan studi tentang proses pemberadaban. Sekalipun kondisi sosial sudah sangat mendukung lahirnya peradaban, namun selama kondisi psikologis belum siap, maka peradaban hanyalah sebuah utopia (bayangan).Sementara itu, jika kondisi psikologis sudah siap namun kondisi sosial belum, maka lahirlah sebuah peradaban yang prematur yang membutuhkan tambal-sulam di pelbagai sektor (Novenanto, 2011: 189).

Elias dalam Ritzer (2008: 564) mengatakan bahwa yang terpenting dalam proses peradaban adalah sosialisasi orang-orang muda sehingga mereka dapat mengembangkan “kekangan diri”. Namun sebagaimana yang banyak terjadi, meningkatnya “kekangan diri” mengandung sejumlah masalah bahwa proses peradaban orang-orang berusia muda, tidak pernah menjadi proses yang sepenuhnya tanpa menimbulkan penderitaan, ia selalu meninggalkan luka. Aspek menarik dari argument Elias adalah ia mengakui bahwa kontrol atas nafsu (kemampuan individu bertindak berdasarkan emosi bagi Elias hal tersebut bukanlah perilaku yang beradab) bukanlah satu kebaikan mutlak. Kehidupan semakin kurang kadar bahayanya, namun hidup pun menjadi semakin kurang asyik. Tidak mampu mengekspresikan emosi mereka secara langsung, orang perlu menemukan gerai lain, seperti dalam mimpi mereka atau melalui buku.

Jadi, kendati kontrol yang lebih besar terhadap nafsu memungkinkan berkurangnya kekerasan, ia pun semakin melahirkan rasa bosan dan gelisah. Rantai ketergantungan pada diri individu di dalam masyarakat yang lebih panjang diasosiasikan tidak hanya dengan lebih besarnya kontrol efektif, namun juga dengan meningkatnya sensitivitas terhadap orang lain dan pada diri. Terlebih lagi, penilaian orang menjadi semakin disamarkan dan bernuansa halus.Sebelum lahirnya masyarakat bangsawan, orang harus melindungi diri mereka dari kekerasan dan kematian.Setelah itu, ketika bahaya ini hilang, orang mampu tumbuh lebih sensitif pada ancaman dan tindakan yang jauh lebih cerdik. Semakin besarnya sensitivitas ini adalah aspek kunci dari proses peradaban dan menjadi kontributor kunci bagi perkembangan selanjutnya (Ritzer, 2008: 256).

Pembatasan diri adalah kunci bagi proses pemberadaban, Elias dalam Power and Civility (Ritzer 2012: 880-881)membahas pemberadaban adalah perubahan-perubahan di dalam pembatasan sosial yang dikaitkan dengan kemunculan hal itu di dalam pengendalian diri. Jaringan dasar yang dihasilkan dari banyak recana tunggal dan tindakan-tindakan manusia dapat memunculkan perubahan dan pola-pola yang tidak pernah dirancang atau diciptakan individu.Dari interdependensi orang-orang ini muncullah suatu tatanan sui generis, suatu tatanan yang lebih memaksa dan lebih kuat daripada kehendak dan akal manusia individual yang mengubahnya. Perintah dorongan-dorongan hati dan kerja keras manusia yang berkaitan, tatanan sosial itulah yang menentukan jalannya perubahan historis, inilah yang mendasari proses peradaban. 

Elias berbicara tentang proses-proses pemberadaban dalam dua level. Yang pertama adalah level individual dan uraian ini tidak terlampau kontroversial. Melalui proses belajar, bayi dan anak-anak harus belajar menerima standar-standar orang dewasa dalam hal perilaku dan perasaan yang lazim dalam masyarakatnya. Dengan menamakan ini sebagai proses pemberadaban kurang lebih adalah menggunakan istilah lain yang sama maksudnya dengan “sosialisasi”. Level yang kedua lebih kontroversial. Datangnya standar-standar itu nyatanya tidak selalu ada, pun tidak selalu sama. Elias berpendapat bahwa tidak mustahil untuk mengidentifikasi proses-proses pemberadaban jangka panjang sebagai pembentuk standar-standar perilaku dan perasaan secara turun-temurun di dalam kebudayaan tertentu (Beilharz, 2002: 117-118).

Ide bahwa standar-standar itu mengalami perubahan tidaklah kontroversial yang menjadi kontroversial adalah apakah perubahan itu berupa proses-proses perubahan terstruktur dengan arah yang meskipun tidak direncanakan tetapi bisa diamati dari waktu ke waktu. Pada abad ke-19, cara orang Barat menggunakan kata peradaban menunjukkan bahwa mereka sebagian besar telah lupa akan proses pemberadaban. Karena yakin akan keunggulan mereka sendiri yang kini tampak sebagai standar internal dan abadi, maka mereka berniat untuk hanya “memberadabkan” kaum pribumi di negara-negara yang mereka jajah (atau kalangan yang lebih rendah dalam masyarakat mereka sendiri). Mereka tidak sadar bahwa nenek moyangnya sendiri pun menjalani proses belajar, suatu proses pemberadaban yang dengannya mereka mendapatkan karakteristik yang kini dianggap sebagai ciri-ciri keunggulan bawaan yang dibayangkan (Beilharz, 2002: 118-119).

Peradaban mengubah kelakuan dan perasaan manusia secara terarah. Namun ternyata proses peradaban itu bukan hasil dari rencana yang ada pada suatu saat di masa silam pernah disusun oleh sekelompok orang dan kemudian berdasarkan konsep rasional secara perlahan-lahan dilaksanakan melalui tindakan-tindakan yang sesuai. Peradaban seperti juga rasionalisasi bukanlah “rasio” manusia ataupun hasil dari pelaksanaan rencana matang yang pernah disusun jauh di masa silam. Proses peradaban sesungguhnya tidak lain merupakan masalah hakiki dalam proses perubahan terus-menerus yang berlangsung sepanjang sejarah. Proses perubahan itu secara keseluruhan tidak direncanakan secara rasional, namun tidak juga terdiri hanya atas rangkaian peristiwa tak beraturan yang muncul dan hilang serta tokoh yang tak jelas tampaknya (Evers, 1988: 3-4).

Maksud, perbuatan, emosi dan pikiran rasional tiap-tiap manusia selalu berkaitan secara positif ataupun negatif.Hubungan kait-mengkaitkan yang selalu ada antara masing-masing rencana dan perbuatan manusia dapat menimbulkan perubahan atau menciptakan hal-hal baru yang tidak pernah direncanakan atau diciptakan dengan sengaja oleh seorang pun juga.Maka dari hubungan itu, dari saling ketergantungan manusia, tumbuhlah tatanan yang khas, yang lebih mengikat dan lebih kuat daripada kemauan dan rasio masing-masing manusia yang menjadi bagian atau pendukungnya. Tata hubungan yang kait-mengkaitkan itulah yang menentukan arah dan laju perubahan dalam sejarah dan menjadi dasar bagi proses peradaban (Evers, 1988: 4).

Pada tingkat perkembangan peradaban itu sistem kegiatan anggota masyarakat telah menjadi sangat rumit dan luas, sehingga kesiagaan yang dituntut dari setiap anggota masyarakat untuk berlaku secara “benar” dalam rangka sistem itu juga menjadi amat tinggi. Hal ini pada gilirannya menyebabkan timbulnya mekanisme pengendalian kelakuan secara sadar di dalam diri manusia, di samping mekanisme pengendalian kelakuan yang bersifat otomatis dan berakar dalam bawah sadar. Mekanisme yang disebut terakhir berfungsi mencegah kelakuan yang melanggar norma masyarakat (Evers, 1988: 7). 

Dalam kenyataannya hasil proses peradaban individu jarang sekali dengan jelas bersifat positif dan negatif. Kebanyakan orang “beradab” berada di garis tengah antara kedua kutub ekstrim itu.Dalam tabiatnya terdapat sifat yang positif dan negatif untuk masyarakat, ciri yang mendukung tercapainya kepuasan subyektif dan ciri yang menghambatnya.Semua itu bercampur dengan proporsi yang berbeda-beda.(Evers, 1988: 23-24).Elias mengembangkan suatu teori sosiogenetik yang canggih mengenai pengetahuan dan ilmu pengetahuan.Dalam perspektif perkembangan pengetahuan manusia di sepanjang sejarah spesies ini, “simpul ganda” dalam hubungan antara sejumlah bahaya yang dihadapi manusia dengan rasa cemas yang mereka alami merupakan kendala-kendala awal yang besar untuk terbebas dari bentuk pengetahuan yang memiliki kandungan emosional, muatan fantasi dan “pelik”.Pembebasan itu tidak pernah lengkap sepenuhnya, tetapi penguasaan atas bahaya dan kecemasan sosial tertinggal di belakang penguasaan atas kekuatan-kekuatan alam sehingga ilmu-ilmu sosial tetap relative kuang otonom dan “terpisah’ dari ilmu-ilmu alam (Sobur, 2015: 186).

Berdasarkan penjelasan Norbert Elias mengenai peradaban bahwasannya peradaban merupakan proses pembentukan jiwa individu yang hidup di dalam suatu masyarakat yang tinggal menyatu dengan lingkungan alam di sekitar huniannya. Proses peradaban merupakan masalah hakiki dalam proses perubahan suatu masyarakat secara terus-menerus yang berlangsung sepanjang hidupnya hingga menciptakan sebuah kebudayaan yang memiliki nilai tinggi, halus, indah dan maju. Tidak hanya bersifat seperti barang, bangunan dan benda-benda, tetapi juga merujuk pada wujud gagasan, ide dan perilaku manusia yang tinggi, halus dan maju, pada akhirnya membentuk suatu peradaban. Secara keseluruhan proses tersebut tidaklah direncanakan secara rasional, hal tersebut terjadi mengalir secara alami dan bahkan tidak disadari oleh pelakunya sendiri yaitu masyarakat.
Karya: Annisa Nindya Dewi, S.Sos
Mahasiswi Pascasarjana Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Referensi

Beilharz. Peter. 2002. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Evers, Hans Dieter. 1988. Teori Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Novenanto, Anton. 2011. Sejarah Pemberadaban: Mengenalkan Norbert Elias Pada Sosiologi Indonesia. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 24, No. 3
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern.Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sobur, Alex. 2015. Kamus Besar Sosiologi. Bandung: Pustaka Setia.


 

0 komentar:

Posting Komentar