Kamis, 02 Maret 2017

Dramaturgi Perantau Madura (Studi Kasus pada Pedagang Madura di Pasar Kota Gresik)

Madura. Apa yang tergambar dalam pikiran anda ketika mendengar kata Madura? Orang yang Kasar? Selalu bawa Celurit? Beringas? Yah itulah yang sudah pasti tergambar dalam pikiran kita jika mendengar tentang suku ini. Suku Madura terletak di Provinsi Jawa Timur, dimana mereka hidup tentu di Pulau Madura dan menyebar keseluruh Indonesia bahkan dunia.
Salah satu kota yang menjadi rantauan masyarakat Madura adalah Kabupaten Gresik. Para perantau Madura biasanya dapat kita jumpai di area Pasar Kota Gresik. Orang Madura dalam buku Manusia Madura karya Mien Ahmad Rifai (2007) digambarkan sebagai orang yang beringas, menggunakan pakaian yang tidak serasi, tidak tahu aturan yang terkonstruksi sejak masa penjajahan Belanda. Maka jangan heran jika konstruksi tersebut menguat dan menjadi stereotype pada sebagian besar masyarakat kita.
Kembali kita bahas tentang orang Madura yang menjadi pedagang dan tukang parkir di Pasar Kota Gresik. Disini pedagang Madura yang mayoritas adalah ibu-ibu melakukan penyamaran atau berdramaturgi menjadi orang Jawa. Iyakah?, jika kita sebagai orang awam, maka akan sulit mengenali mana yang orang Madura dan mana yang orang Jawa. Mereka dipasar tersebut menjual bubur, buah, pakaian, sayuran dan peralatan dapur.

Orang Madura menggunakan bahasa jawa dalam menawarkan dagangan mereka. “Monggo mas bubure” (Silahkan mas buburnya)“yo gak oleh mas nek sepoloh ewu”(ya tidak boleh kalau sepuluh ribu), kata tersebut merupakan perkataan yang mereka ucapkan ketika penulis memancing interaksi dengan bahasa jawa. Kemudian untuk pembuktian bahwa mereka sebagai orang Madura adalah penulis mencoba membalas dengan bahasa Madura “kakehnjek?” (kamu tidak?), “oh lokoleh mon sepoloh ebu?” (oh tidak boleh kalau sepuluh ribu?), dan ibu-ibu penjual tersebut menjawab dengan senyum“eh reng medureh”(eh orang Madura).

Para pedagang Madura di Pasar ini akan lebih sering berinteraksi menggunakan bahasa Jawa, dan tetap akan berbahasa Madura apabila berinteraksi dengan sesama orang Madura. Kita pasti pernah dengar istilah Dramaturgi bukan? Benar, Dramaturgi dari tokoh Sosiologi yang bernama Erving Goffman. Goffman dalam Ritzer (2012) menjelaskan bahwa dramaturgi adalah dua sisi wajah manusia antara front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). Dimana manusia pada setiap harinya bermain peran (front stage) sebagai orang lain atau baik guna mendapatkan kesan dari lawan interaksi mereka.

Disini para pedagang Madura yang mayoritas adalah ibu-ibu dengan menggunakan pakaian yang tidak mencolok seperti yang dijelaskan dalam buku Manusia Madura. Kenapa hal ini dilakukan? Karena kita tahu sendiri dalam buku Manusia Madura juga dijelaskan bahwa budaya Jawa sudah terlanjur diakui sebagai budaya dominan dan kuatnya stereotype orang Jawa terhadap orang Madura.
Mereka melakukan pengaburan status kemaduraan mereka dari sisi bahasa dan pakaian, sehingga setiap pembeli yang dating tidak akan menyadari bahwa mereka adalah orang Madura. Ada satu hal yang menjadi symbol bahwa mereka adalah orang Madura yaitu penggunaan ikat rambut yang sedikit menjulang dan ditutupi dengan kerudung. Lalu bagaimana dengan backstage mereka? Apakah terlihat?, jawabannya adalah terlihat. Bagaimana membuktikannya? Dengan sedikit memancing menggunakan bahasa Madura saat bertransaksi dan hal ini juga mereka lakukan dengan sesame pedagang Madura tetapi dengan volume suara kecil.  

Dapat penulis simpulkan bahwa dramaturgi pedagang Madura dilakukan untuk mendapatkan kesamaan status dalam perdagangan di pasar tersebut dan akibat dari marjinalisasi tersirat oleh orang Jawa terhadap orang Madura. Sebagaipenutup, Michael Banton pernah mengatakan bahwa sifat dari Prasangka menjadi dasar dalam menilai suatu ras, etnis dari apa yang dilihatnya. Dan Prasangka dapat menimbulkan stratifikasi etnis dan perlakuan. Tetapi Prasangka bias diluruskan dengan pendidikan dan penyuluhan.

Referensi:

Rifai, M. A.2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media

Ritzer, G. 2012. Teori sosiologi dari sosiologi klasik sampai perkembangan terakhir post-modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wiyata, A. Latief.2013. Mencari Madura. Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing. 

Tim Penulis: Ade Julandha Wiranata, Atika Puspitasari, dan Zuhairiyah
Mahasiswa Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo Madura.

0 komentar:

Posting Komentar