Sabtu, 18 Maret 2017

Islam: Berapung-apung di Tengah Gelombang

Gerak Sejarah   
Bagi orang yang masih awam dengan sejarah, memahami arus gerak zaman yang selalu berubah-ubah barangkali akan membingungkan bahkan bisa jadi membuat pikiran langsung menjadi pening. Sebuah pertanyaan yang selalu merisaukan dalam benak saya akhir-akhir ini adalah perihal akan kemanakah sebenarnya gerak perjalanan bangsa ini? Serta akan bermuara kemana pula perjalanan bangsa ini sampai pada di titik terakhir berlabuh.  Bagi seseorang yang mau mencoba menggunakan analisis filsafat, ia akan berusaha keras secara radikal memandang arus perjalanan sejarah dengan cermat dan tidak gegabah.
    Arnold Toynbee pernah menyatakan bahwasanya sumber motor arus perjalanan sejarah umat manusia tidak lain adalah digerakkan oleh sekelompok kecil (minority group) sebagai pemilik kebudayaan. Kelompok minoritas inilah yang kemudian menciptakan kebudayaan sekaligus penggerak sejarah. Tanpa komunitas minoritas yang kuat dan kreatif, suatu kebudayaan dan sejarah tidak akan pernah berkembang. Max Weber yang fokus meneliti komunitas Calvinis di Eropa menemukan bahwasanya ternyata mereka mampu mendobrak peradaban masyarakat dari stagnan menjadi maju pesat terutama dalam hal pembangunan ekonomi.
    Ibnu Khaldun seorang filsuf dan ilmuan Islam telah menegaskan bahwasanya gerak kebudayaan dalam masyarakat sangat bergantung pada sejauhmana kekuatan ashobiyah atau fanatisme dari masing masing kelompok masyarakat. Fanatisme kelompok yang menggebu-nggebu seringkali mampu mendobrak serta mematahkan nalar dan logika sehat manusia. Khaldun juga mewanti-wanti jika ashobiah atua sektarianisme harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan banyak kegaduhan di masyarakat karena sentimen ke ashobiyahannya terlalu membabi buta dan terlalu sempit.

Mengelola Ego Sekterian  
Pemandangan-pemandangan sekteranianisme sempit lagi tertutup yang terjadi diberbagai komunitas jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan kondisi masyarakat yang semakin tidak kondusif. Ketidak kondusifan tersebut biasanya karena masing-masing grup atau komunitas menolak ruang-ruang dialog antar kelompok masyarakat. Efeknya adalah budaya toleransi semakin tergerus. Masing-masing komunitas merasa paling berhak mangkavling dan menempati kebenaran yang haq bahkan untuk masalah surga, lainnya tidak. 
    Max Weber walaupun beragama Kristen Protestan, Ia tidak segan-segan memuji perjalanan umat Islam yang dianggap sangat revolusioner dalam membangun basis budaya dan peradaban masyarakat. Dalam karyanya "Economy And Society", Weber  memuji kekuatan ashobiyah umat Islam pada era Nabi Muhammad yang dianggap zaman terbaik sepanjang perkembangan sejarah Islam. Doktrin jihad fii sabilillaah dari ajaran Islam ternyata mampu menggerakkan spirit para sahabat Nabi untuk bersama-sama membangun budaya dan peradaban umat Islam. Peradaban Islam pada fase awal yang dibangun Nabi dan para sahabat ditopang oleh kekuatan spiritualitas yang tinggi.Ketinggian peradaban ini dapat dilihat lewat bagaimana Nabi Muhammad menjadi aktor sosial yang paling handal di dunia mengalahkan tokoh-tokoh siapapun di muka bumi ini. Hal ini dapat dilihat dalam deretan tokoh yang paling berpengaruh di dunia, Nabi Muhammad SAW. menduduki posisi nomor satu dibanding dengan tokoh-tokoh lainnya.
    Sebagai pengikut risalah Nabi Muhammad tidak sepatutnya untuk berlama-lama berbangga diri dengan pujian-pujian itu. Suatu ketika dalam keadaan tenang dan hening kita sesekali perlu merenung mendalam memikirkan perihal akan ke manakah kedepan gerak umat Islam yang kian tahun jumlahnya kian membengkak. Apakah umat Islam mampu menangkap spirit peradaban Islam pada fase-fase awal Nabi yang banyak disanjung-sanjung oleh ilmuan barat tadi. Apakah umat Islam hanya berhenti menjadi buih yang mudah sekali terhempas di tengah-tengah gelombang. Ataukah justru mampu bergerak menjadi gelombang itu sendiri yang begitu dahsyat seperti tsunami yang dengan sekejap mampu meluluh lantahkan apapun yang ada di depannya. Ataukah justru umat Islam mampu menjadi gelombang dahsyat pencerahan kemajuan peradaban dunia yang mengalahkan umat manapun di muka bumi ini. 

Fanatisme dan Beban Umat   
    Untuk naik kelas menjadi gelombang pencerah peradaban rasanya kita masih harus menghela nafas panjang-panjang jika perlu barangkali kita simpan dulu angan-angan yang membumbung tinggi tersebut. Persolan yang paling krusial ditataran internal umat Islam saat ini adalah fanatisme ashobiah yang terlalu berlebih-lebihan. Hal ini jika tidak ditangani secara serius akan semakin menjadi beban umat Islam jika tidak segera mau merubah diri untuk lebih terbuka membangun dialog yang intensif satu dengan lainnya. Saya tidak tahu apakah fanatisme pada masing-masing kelompok jika tujuannya untuk kepentingan jangka pendek dan pragmatis akan mampu menghasilkan gelombang pencerahan peradaban. Atau justru hanya akan menjadi gelombang tsunami yang justru menerpa diri umat islam itu sendiri menjadi hancur berkeping-keping.
    Fanatisme ashobiah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah fanatisme yang membabi buta yang bertujuan ingin mengoyak-ngoyak keberagaman menjadi keseragaman. Fanatisme yang ingin merubah heterogennya masyarat menjadi masyarakat yang homogen. Menurut Jalaluddin Rumi, keseragaman kebudayaan terlebih dalam urusan agama adalah sebuah kemustahilan.Jadi jika ada sekelompok komunitas menghendaki keseragaman secara membabi buta maka sebenarnya mereka sama saja sedang berhadap-hadapan dengan Tuhan.
    Jika kita mau mengacu Ibnu Kholdun, solusi untuk mengatasi ego fanatisme sektarian tidak lain adalah dengan memperkuat dan mempertegas fanatisme yang levelnya lebih tinggi lagi misalnya adalah fanatisme pada negara, bangsa atau agama dalam perspektif yang lebih universal (bukan sempit/parsial). Negara dan bangsa mau tidak mau harus bersikap tegas berdiri di tengah-tengah berbagai komunitas kultural dalam menegakkan prinsip-prinsip keadilan. Ketegasan negara dalam memayungi berbagai komunitas-komuntias fanatik tadi adalah kunci dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, yakni negara kalah dengan segelintir sebagaian komunitas tadi maka bersiap-siaplah negara akan segera mengalami kegoncangan oleh sebab tidak mampu menciptakan sistem keamanan dan tatanan sosial yang aman dan stabil.

Sibuk Dengan Ashobiyah  
Terus terang kita harus jujur jika kita terlalu berlama-lama sibuk berjibaku mempertahankan ashobiyah masing-masing dari komunitas-komunitas kecil kita sehingga tidak terasa kita lupa untuk membangun sistem sosial yang tertib damai dan berkeadilan sosial dalam level yang lebih tinggi lagi yakni negara, bangsa bahkan agama. Ketidakmauan kita untuk merenung lebih dalam mencermati dengan teliti satu persatu berbagai faktor gagalnya umat Islam untuk menduduki puncak kejayaan peradaban menjadikan kita kian hari kian tidak semakin cerah dan maju melainkan makin tertinggal jauh dengan bangsa dan umat lainnya. Dari sisi politik misalnya, kaderisasi kepemimpinan kita harus kita akui masih sangat lemah. Pilkada serentak kemarin bisa kita lihat sejauhmana parpol yang memiliki basis kekuatan Islam mampu mengantarkan kandidatnya untuk menduduki posisi nomor satu di daerah. Sejauhmana pula kandidat yang benar-benar dikader oleh umat Islam mampu diunggulkan hingga terpilih dan dipercaya memimpin daerah. Saya menganngap ini adalah bagian serangkaian ujian naek kelas yang harus dilalui umat Islam. Atau jangan-jangan logika masyarakat sudah berobah menjadi sangat rasional yang tidak terlalu ambil pusing untuk mengkavling-kavling kandidat sesuai ras,golongan dan agama mereka. Mereka hanya memandang dari sejauhmana kandidat yang selama ini mereka kenal yang memberikan peran serta manfaat kepada mereka.  

Posisi Umat Islam
    Jujur saya tidak berani menilai posisi umat Islam saat ini dalam fase terpuruk, berkembang atau dalam masa-masa transisi menuju kemajuan. Ali Syariati pernah mengatakan bahwasanya tiap-tiap masyarakat akan mengalami keterpurukan jika mereka berada dalam titik ketidak seimbangan antara material dan spiritual. Jika kita mau merujuk pandangan Ali Syariati mau tidak mau kita harus menengok sejarah. Abad Pertengahan adalah Abad di mana peranan otoritas spiritual seperti gereja menjadi panglima bagi kehidupan masyarakat. Rasionalitas dan pengetahuan menjadi hak prerogratif gereja secara absoluth. Akibat dari itu semua adalah perkembangan ilmu pengetahuan mandeg karena telah terkungkung oleh otoritas kekuasaan gereja. Zaman ini oleh para ilmuan sering disebut dengan zaman kegelapan. Munculnya Renaissance dan revolusi gereja sontak membalikkan semuanya itu. Masa-masa ini adalah di mana rasionalitas menjadi panglima dalam menyelesaikan berbagai problem masyarakat. Masa-masa ini adalah Abad pencerahan di mana ilmpu pengetahuan berkembang pesat.
    Sebaliknya, bertumpu pada materialisme murni juga tidak akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan masyarakat yang kian hari makin komplek. Gagasan materialisme dari Feurbach dan Karl Marx sampai saat ini tidak cukup kuat untuk membangun peradaban masyarakat yang semakin hari semakin maju dan rumit. Manifesto komunisme yang mereka gagas sampai detik ini masih sebatas diskursus wacana teoritik yang implementasinya di masyarakat dunia ternyata kurang laku. Kapitalisme yang juga perwujudan bentuk lain penghambaan materialisme saat ini juga sedang diuji oleh sejarah. Diatas itu semua, Islam sebenarnya telah mengajarkan teologi tengah-tengah atau sering disebut wasathan.
    Menurut Arnold Toynbee akal manusia tidak boleh dibiarkan liar tanpa arah yang jelas. Akal manusia harus didampingi iman, sebab tanpa iman akal akan dapat menghancurkan peradaban dan kebudayaan. Terus terang jika kita mau berpijak pada pandangan Toynbee dan Ali Syariati sebagaimana telah saya kemukakan di atas, saya tidak berani menilai apakah keterpurukan posisi umat Islam dalam kancah globlal karena kita kurang mampu menyeimbangkan antara akal dan keimanan. Ataukah tidak mampu menyeimbangkan antara material dan spiritual, sakral dan profan.Ataukah justru karena sikap fanatisme ashobiah masing-masing komunitas Islam yang berlebih-lebihan yang cenderung menutup ruang dialog rapat-rapat. Sikap tertutup tersebut menjadikan umat Islam tidak lagi memiliki agenda bersama untuk membangun budaya dan peradaban. Kondisinya berapung-apung terus dalam geliat gelombang peradaban bangsa-bangsa dan umat lain.

Karya: Muhammad Iqbal Birsyada, Dosen Universitas PGRI Yogyakarta
 

0 komentar:

Posting Komentar