Jumat, 09 Februari 2024

Fenomena Flexing dalam Perspektif Sosiologi

Menurut sosiolog Indonesia, Selo Soemardjan, globalisasi adalah terbentuknya sebuah komunikasi dan organisasi di antara masyarakat satu dengan yang lainnya yang berbeda di seluruh dunia yang bertujuan untuk mengikuti kaidah-kaidah baru yang sama. Hubungan tersebut disebabkan oleh penemuan baru, seperti alat elektronik dan internet.

Salah satu dampak globalisasi adalah kemajuan teknologi yang tidak bisa kita hindari. Namun, kemajuan teknologi tidak selamanya memberi dampak positif, sehingga kita harus bijak dalam memanfaatkan teknologi.

Adanya fenomena flexing merupakan salah satu fenomena yang muncul akibat dari kemajuan teknologi, seperti media sosial dan internet. Flexing adalah suatu fenomena sosial yang semakin populer di kalangan masyarakat. Istilah flexing pertama kali digunakan pada tahun 1899 oleh Thorstein Veblen di bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institusion. Dalam teorinya, ahli ekonomi dan sosiolog berkebangsaan Amerika ini, mengungkapkan ‘konsumsi yang mencolok’ untuk menggambarkan bagaimana benda atau barang dipamerkan untuk menunjukkan status dan posisi sosial.  Secara garis besar, flexing adalah suatu kebiasaan seseorang untuk memamerkan apa yang dimilikinya di media sosial. Kemudian, tindakan ini dilakukan untuk mendapatkan pengakuan orang lain.

Dalam perspektif sosiologi, fenomena ini dapat dilihat sebagai bagian

dari budaya konsumsi yang semakin berkembang pada masyarakat modern. Salah satu faktor yang memengaruhi adanya fenomena flexing adalah tekanan sosial untuk menunjukkan sesuatu yang berhasil dimiliki atau untuk menunjukkan status sosial yang tinggi.

Pada masyarakat Indonesia sendiri, fenomena flexing tengah ramai diperbincangkan di berbagai lapisan masyarakat. Hal ini terjadi setelah terungkapnya penganiayaan yang dilakukan oleh anak mantan pejabat Dirjen pajak Rafael Alun (Mario Dandi) terhadap anak dari pengurus GP Anshor (David). Kasus ini menarik perhatian masyarakat Indonesia, karena gaya hidup mewah yang ditunjukkan oleh Mario Dandi di media sosialnya. 

Selain kasus tersebut, munculnya crazy rich dari berbagai daerah di Indonesia juga menarik perhatian masyarakat. Salah satunya adalah ditangkapnya crazy rich asal Surabaya Wahyu Saptian Dyfrig atau yang lebih dikenal dengan Wahyu Kenzo. Sebelum ditangkap atas kasus investasi robot trading, Wahyu Kenzo kerap kali pamer gaya hidup mewah atau flexing di akun media sosial Instagram maupun Facebook miliknya. Wahyu juga dikenal sebagai sportcar enthusiast, dengan menunjukkan sejumlah koleksi mobil mewah seperti jip Mercy Brabus yang harganya mencapai belasan miliaran rupiah. Tak hanya itu, wahyu juga kerap kali memamerkan bisnisnya di media sosial yaitu situs Pansaka.id, yang menjual berbagai macam produk kecantikan wanita hingga makanan dan minuman kesehatan. Selain pamer tentang barang dan pencapaian yang dimilikinya, Wahyu juga memamerkan fotonya dengan beberapa pejabat Indonesia, seperti ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Khofifah Indar Prawansa, Ridwan Kamil, hingga mantan menteri BUMN Dahlan Iskan.

Tak hanya Mario Dandi dan Wahyu Kenzo, banyak bermunculan masyarakat Indonesia yang kerap kali flexing di media sosialnya. Hal ini merupakan akibat dari kemajuan teknologi dan budaya konsumsi yang semakin berkembang di masyarakat. Selain itu, masyarakat juga berlomba-lomba untuk menunjukkan status sosialnya agar memperoleh Prestige dan Privilege. 

Flexing atau pamer kemewahan ini juga banyak pula ditemukan di berbagai media sosial seperti tiktok, facebook, instagram, youtube, twitter dan sebagainya. Bahkan banyak para vlogger atau conten creator di Indonesia yang menjadikan ajang flexing atau pamer kemewahan sebagai konten di laman media sosialnya.

Diantara faktor-faktor pendukung perilaku flexing adalah adanya reaksi memuaskan dari masyarakat, tingginya self-esteem atau penghargaan diri individu, tingkat kemampuan interpersonal yang baik, adanya sikap optimisme diri individu yang tinggi (Ety, 2022).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur Khayati tahun 2022, perilaku flexing dapat menimbulkan dampak negatif, diantaranya yaitu:

1. Perilaku semakin konsumtif karena melakukan berbagai macam cara untuk memenuhi kesan sebagai orang kaya.

2. Ketidakmampuan diri memenuhi gaya hidup flexing (berhutang) akan menjadi beban dan masalah.

3. Rasa empati yang dimiliki semakin sedikit dikarenakan tidak peduli terhadap orang yang membutuhkan bantuan, mereka hanya fokus pada pamer kekayaaan.

Selain itu, perilaku flexing juga dapat menyebabkan gangguan kepribadian narsistik yaitu perilaku seseorang yang berlebihan dalam memandang dirinya sendiri (Sari, 2021).

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi perilaku flexing, diantaranya yaitu:

1. Mengatur postingan di media sosial hanya untuk orang terdekat saja

2. Memposting pencapaian diri di media sosial dengan sewajarnya saja

3. Memposting pencapaian diri di media sosial menggunakan bahasa yang menginspirasi orang lain. 

Cara pengendalian lain yang juga dapat dilakukan yaitu dengan mengontrol pandangan terhadap diri sendiri agar tidak melebur dengan kecenderungan menjadi superior atas individu lain.


Daftar Pustaka:

Nurhayat, E., & Noorrizki, R. D (2022). Flexing: Perilaku Pamer Kekayaan di Media Sosial dan Kaitannya dengan Self-Esteem. Jurnal Flourishing, 2(5), 368–374

Khayati, Nur., dkk (2022). Fenomena Flexing Di Media Sosial Sebagai Ajang  Pengakuan Kelas Sosial Dengan Kajian Teori Fungsionalisme Struktural. Jurnal Sosialisasi, Vol. 9, Nomor 2.

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-kisaran/baca-artikel/14817/Crazy-Rich-Flexing-dan-Melunturnya-Budaya-Ketimuran.html

https://www.liputan6.com/lifestyle/read/5227740/sebelum-ditangkap-crazy-rich-surabaya-wahyu-kenzo-suka-flexing-mobil-mewah-di-media-sosial

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6116402/globalisasi-pengertian-menurut-para-ahli-dan-dampaknya-di-indonesia

Karya: AULIA GITA INDAH SARI MAN 2 MALANG



0 komentar:

Posting Komentar