Kamis, 01 Juni 2017

Reformasi Protestan Dan Akar Kapitalisme (Telaah Kritis Pemikiran Weber & Dampaknya Terhadap Penjajahan Di Ternate)

Adalah magnum opus dari Max Weber berjudul Etika Protestan dan Spririt Kapitalisme (Die Protestantische Ethik und der Geist des kapitalismus)  yang banyak menjelaskan hubungan antara sekte Calvinis dari Protestan dan Kapitalisme. Kendati demikian, karya ini bukan satu-satunya karya Weber yang membahas tentang Protestanisme .

Tulisan ini mungkin bagi sebagian orang tak lagi penting, sebab banyak sekali referensi terkait Protestan dan Kapitalisme yang beredar di masyarakat. Bagi saya tulisan ini bukan sekedar mencari hubungan keduanya, melainkan merekonstruksi kembali reformasi Protestan (prinsip dan sebab) serta perkembangan sekte-sekte dalam Protestan dan ajaran-ajarannya yang menumbuhkan semangat kerja keras, yang menjadi akar 

Kapitalisme
Sedikitnya, saya ingin turut berkontribusi dalam memahami kembali sejarah dunia dan menariknya dalam pemahaman konteks fakta lokal, seperti jejak-jejak penjajahan kaum Portugis dan Belanda yang tak pernah lepas dari semangat tiga G. Gold (emas), Glory (kejayaan) dan Gospel (keagamaan) yang adalah aspek penting dalam penjajahan di seluruh dunia yang pada prakteknya tidak sedikit memakan korban, baik jiwa (psikologi)  maupun fisik. Semangat tiga G yang menunggangi semangat penjajahan bangsa Barat, adalah perlambang dari kerasukan dan kerakusan semangat kapitalis.

Emas, menjadi konsepsi simbolis dari akumulasi dalam semangat Kapitalisme. Mengakumulasi emas (baca : kekayaan/modal)  adalah langkah awal untuk menuju pada ekspansi baik wilayah penjajahan maupun peralatan-peralatan penunjang penjajahan, konsepsi simbolis dari glory (baca : berkuasa) bagi negara asal. Sedang, gospel adalah konsepsi dari eksploitasi yang ditamengi semangat zending. Karena bagi bangsa barat, bumi-bumi baru yang dijajahi adalah kumpulan orang-orang barbarian yang sama sekali tidak beradab.

Riwayat Hidup
Max Weber lahir di Erfurt, Thungiria, pada 21 April 1864, dari kelas menengah (pedagang linen dan produsen tekstil). Perbedaan penting antara kedua orang tuanya berpengaruh besar terhadap orientasi intelektual dan perkembangan psikologi Weber. Ayahnya seorang birokrat yang kedudukan politiknya relatif penting dan menjadi bagian kekuasaan politik yang mapan. Ibu Max Weber, Helena Fallenstein Weber, adalah seorang Calvinis yang taat, wanita yang berupaya menjalani kehidupan bersahaja (ascetic) tanpa kesenangan berlebihan.  Pada usia 18 tahun, Weber belajar di Universitas Heildelberg dan menunjukkan tingkat kematangan intelektual, namun Weber memutuskan untuk mengikuti dinas militer dan keluar dari universitas setelah kuliah tiga semester. Pada 1884, ia kembali  dan belajar di Universitas Berlin, menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Ph,D, menjadi pengacara dan mulai menjadi dosen di Universitas Berlin (Ritzer, Teori Sosiologi Modern, hal. 38).

Jauh sebelum Weber lahir, Marthin Luther telah lahir dari petani makmur di Jerman, pada tahun 1483 di Eisleben. Ayahnya menghendaki Luther menjadi ahli hukum. Di masa mudanya, ia dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas dan berani. Ia kemudian mendalami teologi Agustinus (Agustianisme) . Dalam kehidupannya, ia pernah mengalami peristiwa mistis  yang menyebabkan dirinya gandrung akan mistisisme Katolik, juga dipengaruhi oleh seorang mistikus bernama John Wicliff yang hidup sekitar abad XII. Setelah menyelesaikan studinya dari Universitas Wittenberg, ia menjadi guru besar tafsir Al Kitab di Universitas tersebut serta memegang sejumlah jabatan (Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi dan Pengaruhnya terhadap Dunia ke-3, 2010, hal. 89-90) .

Reformasi Protestan 
Gerakan reformasi Protestan dipelopori oleh Martin Luther, Johanes Calvin  dan Zwingli  berdampak luas terhadap aspek teologi Kristiani dan pemikiran sosial politik di Eropa masa itu. Pada awalnya, gerakan ini adalah bentuk protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman atas kekuasaan imperium katolik Roma, namun gerakan ini pada hakikatnya adalah perlawanan terhadap gereja Katolik.

Burns dan Ralp dalam Syam (2010,hal 90), menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan dimulainya reformasi Protestan di Jerman adalah :
  1. Jerman pada abad XV-XVI merupakan negara agraris, negara terbelakang dibanding negara eropa lainnya. Bidang industri baik pabrik maupun perdagangan belum maju seperti di Inggris dan Italia, serta Katolikisme berwatak konservatif masih kuat berpengaruh.
  2. Penyembahan terhadap benda dan tokoh keramat masih dianggap sebagai kepercayaan yang wajib diyakini. 
  3. Rakyat Jerman sebagian besar merupakan kaum tani dan menjadi kelompok sosial yang paling menderita akibat kekuasaan katolikisme.
  4. Banyak di kalangan kaum tani, bangsawan serta pengusaha lokal dikecewakan oleh lembaga Kepausan berkaitan dengan kepemilikan tanah dan kekayaannya sering diambil gereja tanpa alasan yang jelas.
Lalu, Luther muncul sebagai pionir reformasi Kristiani di Jerman dan melakukan pembaruan keagamaan. Ia melakukan berbagai protes sosial keagamaan terhadap Paus, dengan membacakan  99  pernyataan protes kepada gereja dan lembaga kepausan. Protes ini banyak berkaitan dengan proses pemaksaan pembelian surat pengampunan dosa, penarikan pajak yang memberatkan rakyat, serta mitos kesucian dibalik kekuasaan paus dan gereja terkait hak-hak untuk menafsirkan kitab suci. Karena, pada masa Katolikisme Roma berkuasa, gereja hanya memberikan hak istimewa pada pendeta dan pastor untuk membaca dan menafsirkan Al Kitab. Selain itu, Luther juga memprotes dengan keras ajaran St. Agustinus tentang larangan menikah bagi pastor, sebab pernikahan adalah sarana penyaluran kebutuhan biologis yang bukan merupakan dosa.

Syam (2010, hal 86-87 ) menjelaskan bahwa, sebab dikeluarkannya 99 pernyataan protes oleh Luther adalah :  “Beberapa penyimpangan dalam Katolikisme yakni; pertama, banyak pemuka Katolik memperoleh posisi sosial keagamaan melalui cara-cara yang tidak etis dan amoral, dengan cara menyogok petinggi gereja untuk berkuasa. Kedua, penjualan surat pengampunan dosa (indulgencies), dengan klaim ampunan Tuhan oleh paus. Ketiga, gereja Katolik telah menjadi agen utama untuk veneration of relics atau sakramen suci/ritus pemujaan terhadap benda-benda keramat atau tokoh suci. Keempat, masalah penetapan pajak yang diterapkan imperium gereja Katolik”.

Penerapan pajak dalam berbagai bentuk, menyebabkan penduduk terutama dalam kelas bawah dalam keadaan tertekan dan menimbulkan krisis ekonomi, ketimpangan sosial serta kecemburuan bangsawan lokal, sementara kas gereja melimpah ruah.

Walaupun demikian, reformasi Protestan bukanlah gerakan yang berjalan mulus . Di Perancis, Calvin menjadi pembaharu dalam Protestan, setelah ia menuliskan keberatannya pada kepausan, bahwa “kepausan adalah sumber utama segala korupsi gereja”, pada kata pengantar untuk Al Kitab terjemahan dalam bahasa Perancis, yang ditulis sepupunya. Sejak saat itu dia mulai menyusun buku yang memasyurkan namanya – “Institutio Christiane Religionis (Institute of Christian Religion), yang dimaksudkan sebagai buku pegangan teologi iman Reformasi, dimana Alkitab sebagai dasar keputusan secara doktrinal” (Buletin Pillar, Oktober 2003, hal. 2).

Pada dasarnya, beberapa prinsip reformasi yang diajarkan para pembaharu (dalam Buletin Rein, 2002,s hal. 8) adalah “prinsip yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat dibandingkan atau disetarakan dengan Kristus, termasuk Paus. Prinsip lainnya adalah manusia dapat datang kapan saja kepada Kristus, tanpa perantaraan Paus atau dapat meminta pengampunan langsung kepada Kristus tanpa membeli surat pengakuan dosa.”

Prinsip inilah  yang menimbulkan penolakan keras Luther, Calvin dan Zwingli terhadap gereja dan kepausan. Kenyataannya, pada masa itu gereja telah terlalu banyak mengalami pergeseran-pergeseran, dari Al Kitab ke mitos kesucian para Paus dan Pastor. Reformasi gerakan ini, memang tujuannya adalah untuk mengembalikan yang dianggap menyimpang oleh Luther, kembali pada hakikat kebenaran yang hanya bersumber pada Al Kitab, karena Protestan tetap mempercayai trinitas keTuhanan Kristen.

Akar Kapitalisme 
Kapitalisme adalah “sistem ekonomi yang didasarkan pada pemilikan pribadi atas sarana produksi dan distribusi untuk kepentingan pencarian laba pribadi ke arah pemupukan modal melalui persaingan bebas” (Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, 2004, hal. 72). Sebagaimana dalam salah satu sifatnya, pada dasarnya Kapitalisme adalah fenomena menarik yang tak akan habis dikaji. Berasal dari akar kata capital atau modal, capitalis atau pemilik modal dan berkembang menjadi capitalisme atau paham kepemilikan modal. Kapitalisme adalah paham yang sedikit banyak telah (dan sangat) mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi dunia.

Kapitalisme memang berkembang pesat sejak abad ke-18, sejak revolusi industri terjadi di Inggris, namun ide-ide tentang Kapitalisme telah ada sejak abad ke-8. Andhini dalam Kapitalisme dan Blackwater (2012, hal. 15), menyebutkan “Sejak abad ke-8 Inggris telah mengekspor wool ke berbagai penjuru dunia, pada abad ke-12 wool telah menjadi komoditi utama di Inggris, dan pada abad ke-18 Inggris  telah terkenal sebagai pengekspor pakaian. Kelak model industri wool ini menjadi ciri Kapitalisme yang berkembang dalam hubungan dengan perdagangan jarak jauh”.

Revolusi Industri dan Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, telah melahirkan suatu abad baru yakni abad pencerahan (Renaissance/Aufklarung), suatu perubahan dalam segala lini kehidupan termasuk pula ekonomi. Syam (2010, hal. 246) menyebutkan “...liberty, fraternity dan equality adalah semboyan persamaan dan keadilan yang dikumandangkan dalam revolusi di Perancis, telah melahirkan liberalisme  dalam lapangan politik, Kapitalisme dalam lapangan ekonomi, hedonisme dalam lapangan sosial kebudayaan dan free value dalam lapangan ilmu pengetahuan”.

Di lapangan ekonomi, perubahan orientasi ekonomi masyarakat dari pertanian ke industri, perombakan sistem kegiatan ekonomi masyarakat dari pengerjaan secara manual ke produksi menggunakan mesin, dimulai sejak ditemukannya mesin uap dan batu bara. Kapitalisme menjadi penggerak perubahan ekonomi Eropa abad 18 karena inovasi baru tersebut, dan didukung dengan berbagai kebijakan termasuk  laissez-faire, “...yang mencakup perdagangan bebas, keuangan yang kuat dengan standar emas) , anggaran belanja berimbang, dan bantuan kemiskinan umum” (Andhini, 2012, hal. 16).

Di Inggris, perdagangan bebas tercermin dari “....dihapuskannya Undang-Undang Jagung pada tahun 1864, merupakan gambaran yang mendukung kepentingan kaum bisnis. Kapitalis membawa kaum borjuis ke posisi yang cukup berpengaruh dan sukses ekonomis menghasilkan kekuatan politis yang pada gilirannya melahirkan kebijakan yang menguntungkan kapitalis.” (Andhini, 2012, hal. 17)

Kapitalisme dan Dukungan Ajaran Agama
Salah satu ajaran Agustianisme adalah menganggap bahwa “berdagang itu buruk karena menjauhkan manusia dari usaha mencari Tuhan” (Andhini, 2012, hal. 18). Namun, bagi Luther kerja keras merupakan suatu panggilan Tuhan, gagasan inilah yang bagi Weber dipandang sebagai salah satu moralitas Kapitalisme. Kerja keras (beruf) secara harfiah berarti pekerjaan, namun kata dalam bahasa Jerman ini diterjemahkan sebagai calling dalam bahasa Inggris, karena konotasi maknanya lebih bermakna panggilan.

Konsep dalam Protestan ini pertama kali digunakan dalam “satu ungkapan pada Yesus Sirakh (6:20 dan 21) yang secara tepat memuat makna modern dari kata itu” (lihat Max Weber, 2006, hal. 62 dan 230). Konsepsi ini lalu menjadi terkenal dikalangan penganut Protestan, “...lantas menghasilkan suatu dogma sentral dari seluruh kelompok umat Protestan. Luther mengembangkan konsepsi pada dekade pertama dari aktivitasnya sebagai seorang reformator. Kerja dalam panggilan tampak bagi Luther sebagai ungkapan yang keluar dari cinta persaudaraan. Oleh karenanya, setiap panggilan yang sah secara pasti mempunyai manfaat yang sama dalam pandangan Tuhan” (lihat Weber, 2006, hal. 64).

Perjuangan mencari nafkah tidak lagi menjadi beban manusia atau menjauhkan manusia dari spirit keagamaan, sebagaimana diajarkan  Agustianisme. Sebaliknya, kerja keras lalu ditransformasikan sebagai panggilan Tuhan, dari sinilah moralitas Kapitalisme dikembangkan, termasuk oleh sekte Calvinisme.

Marx, dalam Manuskrip tentang Ekonomi dan Filsafat, bagian III Kepemilikan Pribadi dan Buruh (lihat terjemahan Manuskrip dalam Erik Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, 2004, hal. 158) menuliskan bahwa : “Ketika Luther menganggap agama dan keyakinan sebagai esensi dunia nyata, dan dengan alasan ini mengambil posisi yang menentang paganisme Katolik; ketika dia membatalkan religiusitas eksternal manakala membuat religiusitas sebagai esesnsi batiniah manusia; ketika dia menegasikan perbedaan antara pendeta dan orang awam keran dia mentransfer pendeta ke dalam hati orang awam, sehingga kekayaan yang menjadi bersifat eksternal  dan independen terhadap manusia dibatalkan oleh fakta bawa kepemilikan pribadi dimiliki manusia itu sendiri, dan manusia sendiri dianggap esensinya. Tetapi akibatnya, manusia itu sendiri dibawa menuju wilayah kepemilikinan pribadi, sebagaimana luther dibawa ke wilayah agama.

....manusia tidak lagi berada dalam kondisi ketegangan eksternal dengan substansi eksternal kepemilikan pribadi, dan menjadikan dirinya sebagai mahluk yang memiliki barang pribadi dan ditunggangi ketegangan.”
Dalam penggalan kutipan tersebut, jelaslah bahwa bukan hanya Weber yang mengaitkan Protestan dengan semangat moralitas, demikian pula Marx. Bedanya, jika Weber menganggap bahwa “...Luther tidak dapat dituntut apa-apa karena semangat Kapitalisme dalam pengertian istilah yang digunakan...” (lihat, Weber, 2006, hal. 65), Marx justru menegaskan bahwa saat Luther melakukan reformasi Protestan dengan segala ajaran pembaharunya, ia secara resmi mengajarkan tentang kepemilikan pribadi sebagai perlawanan terhadap pemilikan eksternal (dalam hal ini –saya kira- ia mengajak pengikutnya melawan dominasi gereja terhadap sebagian besar kekayaan rakyat melalui penarikan pajak yang besar dengan bekerja keras).

Walaupun demikian Weber tidak berhenti pada Protestan sekte Lutheranisme, melainkan terus melanjutkan studi tentang semangat dan moralitas kepitalisme dengan meneliti sekte Calvinisme . Baginya, Calvinisme yang paling banyak memiliki etika-etika yang menimbulkan moralitas Kapitalisme, yang merupakan pengaruh dari sanksi-sanksi psikologis kepercayaan agama dan tindakan untuk melaksanakan ajaran agama. “Tuhan bagi kaum Calvinis tidak hanya menuntut umat nya sebuah perbuatan baik, tetapi menuntut satu kehidupan yang dipenuhi dengan perbuatan-perbuatan baik yang dipadukan ke dalam satu sistem yang menyatu” (Weber, 2006, hal. 110).

Bagi kaum Calvinis kehidupan yang dipenuhi perbuatan baik, tidak semata-mata pelayanan terhadap Tuhan dalam gereja, melainkan juga melalui perbuatan baik karena “tidak terdapat kehidupan yang nyaman dan bersahabat” , oleh karenanya kaum Calvinis menciptakan keselamatan dan kenyamanan mereka sendiri. Luther (dalam Weber, 2006, hal. 274) mengatakan “Tangisan mendahului tindakan dan penderitaan melampaui semua pencapaian (Weinen geht vor Wirken und Leiden übertrifft alles tun)”.

Calvin dalam aspek ekonomi menekankan bahwa (Weber, 2006, hal. 189) “....ketika manusia, misalnya para buruh dan pengrajin, berada dalam kondisi miskin, mereka akan tetap setia kepada Tuhan ”. Olehnya, dogmatis tentang tetap bekerja keras dan mempertahankan hidup sederhana sebagai dampak psikologis kepercayaan keagamaan dijalankan dengan taat.

“Suatu etika ekonomi borjuis secara khusus telah tumbuh, dengan suatu kesadaran berdiri di dalam kepenuhan dari rahmat Tuhan dan secara jelas diberkati oleh-Nya, usahawan borjuis, sejauh dia tetap berada di antara ikatan-ikatan dari kebenaran formal, sejauh perilaku moralnya tanpa cacat dan cara menggunakan kekayaannya tidak ditolak, dapat mengikuti minat perhatian yang berhubungan dengan uang seperti yang dia inginkan dan dia rasakan bahwa dia sedang memenuhi suatu tugas dengan melakukan hal itu. Kekuataan dari askese keagamaan menyediakan dia suatu tambahan dengan para pekerja yang serius, setia, dan sangat rajin, yang mengikatkan diri mereka dalam pekerjaan mereka sebagai suatu tujuan hidup yang memang dikehendaki oleh Tuhan” (Weber, 2006, hal. 189).

Pada akhirnya etika-etika demikianlah yang menjadi acuan perkembangan Kapitalisme, tidak dapat kita pungkiri bahwa, terlepas dari etika tersebut sebuah dogma esensial gereja atau tambahan, reformasi Protestan telah memberikan kita sebuah pengetahuan tentang kondisi keagamaan pada abad pertengahan di Eropa. Walaupun pada perkembangannya, dogma tersebut sebagaimana dijelaskan Weber (2006, hal. 266) membuat “... banyak Calvinis yang dianggap ortodoks tidak bisa menghindarkan diri masuk ke dalam semacam tindakan yang mengejar untung (mercenariness)”.

Zending dan Penjajahan di Ternate
Penjajahan di Ternate, dimulai pada 1522 M saat Portugis  pertama kali menginjakkan kaki pada masa pemerintahan Bayanullah. Namun, misi jesuit  (Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah, 007, hal. 216) baru secara resmi dilakukan “...pada tahun 1534 M saat Tristiao de Ataide diangkat sebagai gubernur ke-6 untuk Maluku. Ia tiba di Ternate bersama seorang pastor Katolik bernama Simon Vaz.” Walaupun demikian, “upaya penyebaran agama Katolik di Maluku pada masa awal dilakukan oleh seorang pedagang bernama Gonsalo Veloso.” (Amal, 2009, hal. 216).

Pada masa de Ataide, di Ternate telah berkuasa Hairun Jamil (1535-1545) sebagai pengganti Tabariji. Tabariji adalah sultan Ternate yang mengkonversi agamanya ke Katolik saat bertemu Jordao de Freitas di pengasingannya di Goa . Selain Tabariji (nama baptis Don Manuel), “....Raja Mamuya dan Sangaji Tolo akhirnya dibaptis di benteng Gamlamo, Ternate, dalam suatu upacara megah yang dipimpin pastor Simon Vaz” (Amal, 2009, hal. 218) terjadi pada masa de Ataide berkuasa.

Misi Jesuit di Maluku, memang membawa hasil walaupun membutuhkan waktu lama. Masa keberhasilan misi jesuit oleh Portugis adalah tahun 1530-1570, “sampai di 1555 di Moro saja telah berhasil dikonversi paling tidak 30 pemukiman.” (Amal, 2009, hal. 218-219) Misi ini berakhir pada 1570 M, saat Khairun dibunuh dan Babullah naik tahta, ia memerintahkan penumpasan dan pengusiran Portugis dari Maluku.

“Gereja Kristen Protestan memulai kehadirannya di Maluku pada 1621 . Cikal bakalnya adalah perkumpulan ‘pelayat orang sakit’, yang memberikan pelayanan spiritual kepada orang-orang sakit. Pada 1262, perkumpulan yang dipimpin Tobias dan kawan-kawannya ini diberi izin operasional oleh Gubernur Kompeni Houtman . Pada tahun yang sama, telah bertugas di Bacan Kornelis Maas dan Geritszoon Bloem di Tafasaho, Makian.” (lihat Amal, 2009, hal. 221)

Misi zending di Maluku dibawa oleh Belanda melalui serikat dagang VOC, yang merupakan salah satu negara penganut Calvinis selain Perancis dan Switzerland. Selama lebih dari dua setengah abad menjajah, Belanda melakukan zending disamping “berdagang”. Namun hasil yang dicapai kurang memuaskan, tercatat (Amal, 2009, hal. 222) “di Ternate, komunitas Kristen terbatas di ‘kampung Serani’ yang sebagian besar penduduknya bukan etnis Maluku Utara, tetapi Manado, Sangir dan Ambon. Sementara di Makian dan Tidore, bisa dikatakan penginjilan ‘tidak berbekas’. Di Bacan, karena digarap lebih intens, hasilnya agak memadai.” 

Kemajuan penginjilan yang paling membawa hasil gemilang adalah penginjilan di Halmahera Utara, yang dibuktikan dengan didirikannya perkumpulan Zending Belanda. Galela merupakan pos pertama UZV (Utrechtsche Zending Vereniging) di Halmahera.

“Pada 1875, pemukiman UZV di galela terbakar habis. Van Dyken lalu memindahkan posnya ke Duma, sebuah kampung di pedalaman Galela. Pemilihan Duma sebagai pos pengganti barangkali didasarkan pada kenyataan bahwa 1871 beberapa pribumi Duma meminum ‘ake sarani’ sebagai tanda konversi mereka ke agama Kristen.

Van Dyken bekerja di Duma selama 35 tahun, dan selama itu pula Duma- berpenduduk sekitar 200 jiwa pada 1899- menjadi komunitas Kristen.” (Amal, 2009, 223)

Penutup 
Secara kebetulan, Belanda yang menjadi penyebar Protestan pertama di Maluku adalah negara yang menganut Sekte Calvinis, yang dipandang weber sebagai sekte yang etika dan moralitasnya menjadi etika kapitalisme. Pada penyebarannya, misi yang dibawa bersamaan dengan misi “perdagangan” VOC yang berakhir penjajahan selama dua setengah abad.

Terlepas dari benar tidaknya, fakta-fakta etika protestan yang menjadi semangat kapitalisme, tidak dapat dipungkiri bahwa kapitalisme dan kolonialis bagai dua sisi mata uang, saling mendukung antar satu dengan lain.

Referensi
Andhini (2012). Kapitalisme dan Blackwater. Mahaka Publishing: Jakarta.
Amal, Adnan (2009). Kepulauan Rempah-Rempah.Pusat Kajian Agama dan Masyarakat UIN Alaudin: Makassar.
Fromm, Erich (2004). Konsep Manusia Menurut Marx. Cet. ke-3. Pustaka Pelajar:  Yogyakarta.
Macquarrie, Kim (2010). Hari-Hari Terakhir Bangsa Inca.Elex Media Komputindo: Jakarta.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman (2007). Teori Sosiologi Modern. Cet. Ke-4. Kencana : Jakarta.
Syam, Firdaus (2010). Pemikiran Politik Barat. Cet. Ke-2. Bumi Aksara : Jakarta.
Tim Peneliti Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN Ternate (2012). Sejarah Sosial Kesultanan Ternate. Ombak : Yogyakarta.
Weber, Max (2006). Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Cet. Ke-1. Pustaka Pelajar:  Yogyakarta.
Weber, Max (2009). Sosiologi. Cet. Ke-2. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.

Sumber Lain :  

Karya:
Nofi Hayatuddin
PILAS Institute

0 komentar:

Posting Komentar