Kamis, 01 Juni 2017

Perempuan, Sistem Politik Patriarki, dan Hegemoni Orde Baru

Partisipasi perempuan dalam politik nasional 
Berbicara rendahnya partisipasi politik perempuan di Indonesia, tidak bisa kita lihat dari keadaan ekonomi-politik Indonesia pasca reformasi ataupun di masa sekarang. Namun kita harus melihat peralihan kekuasaan dari masa Orde Lama ke Orde Baru yang menyebabkan perempuan mengalami pendomestikan politik dan ter-suboordinasi dalam sistem politik patriarki. Peralihan ini menyebabkan menurunnya intensitas gerakan politik perempuan di ruang publik dan menyebabkan perempuan secara perlahan tersingkir dari dunia politik yang di dominasi oleh laki-laki.

Walaupun pada tahun 2008 DPR RI telah mengesahkan UU Pemilu tentang pengisian kursi legislatif 30 persen untuk suara perempuan, serta mewajibkan partai politik untuk mengusung calon perempuan sesuai dengan batas minimal suara 30 persen. Berhasilnya gerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak politiknya belumlah selesai hanya di tataran UU Pemilu saja. Suara 30 persen bagi perempuan untuk duduk di kursi legislatif tidak cukup untuk menggambarkan bahwa Indonesia telah bebas dari sistem politik patriarki. Hal ini dapat dibuktikan dengan fakta bahwa yang mengisi kursi 30 persen di DPR adalah isteri dan anggota keluarga dari elit partai/pejabat pemerintahan, ataupun mempunyai hubungan kekuasaan di lingkaran elit. Sedikit sekali perempuan yang berhasil menjadi anggota legislatif tanpa mempunyai hubungan keluarga/personal dengan para elit partai. Sehingga suara 30 persen di DPR menjadi celah bagi partai untuk berbuat curang, hal ini menggambarkan bahwa perempuan masih tertindas secara politik. Tentunya gerakan perempuan mempunyai tugas berat untuk melakukan kegiatan penyadaran terhadap masyarakat yang sudah lama menganut sistem patriarki. Sistem ini menganggap bahwa laki-laki berkewajiban sebagai pemimpin politik dan pemimpin rumah tangga, sedangkan perempuan mempunyai kewajiban sebagai pendamping suami dan pengasuh anak. Dunia politik di “identikkan” dengan laki-laki, sementara dunia rumah tangga di identikkan dengan “perempuan”.

Sistem patriarki mempunyai fungsi ideologis, ekonomi, dan politik untuk mengatur hubungan-hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial inilah yang menyulitkan perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik. Tentunya partisipasi politik tidak hanya diukur dari seorang perempuan berani mencalonkan diri sebagai calon legislatif, Bupati, WaliKota, Gubernur, ataupun Presiden. Lebih dari itu, partisipasi politik disini adalah aktifnya keterlibatan perempuan dalam mengorganisasikan gerakan sosial, keterlibatan perempuan dalam mengontrol jalannya pemerintahan, turut aktifnya perempuan dalam pembuatan kebijakan pemerintah, dan keterlibatan perempuan dalam memecahkan isu-isu sosial dan ekonomi masyarakat.

Partisipasi politik perempuan di masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru 
Pada masa pemerintahan Orde Lama (Orla), gerakan perempuan berkembang pesat baik yang berafiliasi kepada partai politik, kesamaan agama, maupun gerakan independen yang mempunyai tujuan politis. Perkembangan ini ditandai dengan terbentuknya wanita PSII (organisasi perempuan PSII), Muslimat (organisasi perempuan Partai Masyumi), dan Wanita Demokrat (organisasi perempuan PNI), dan Aisyiah (organisasi perempuan muhamadiyah). Kemudian yang tergolong dalam organisasi gerakan perempuan independen adalah Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Banyaknya organisasi gerakan perempuan terbentuk didasari semangat demokrasi dan kesetaraan gender. Meskipun pada masa Orde Lama partisipasi politik perempuan dalam parlemen hanya 2 persen saja, Namun dalam hal gerakan politik, hal ini merupakan sebuah kemajuan yang luar biasa. Karena perempuan telah mulai mengorganisasikan diri dan mandiri secara politik, sesuatu hal yang mencerminkan dimana semangat demokratisasi menyentuh batas-batas konstruksi sosial tentang gender. Karena pada masa pemerintahan Orla, pemerintah membebaskan setiap warga negara untuk membuat organisasi politik, baik organisasi yang berafiliasi kepada pemerintah maupun organisasi yang berada diluar pemerintah.

Namun setelah Orde Baru berkuasa, gerakan perempuan menurun secara intensitas dan kekuatan politik. Banyak organisasi perempuan dibubarkan oleh rezim karena dianggap membahayakan stabilitas pemerintahan dan tidak menguntungkan bagi pemerintah Orba. Hal ini disebabkan kekhawatiran rezim bahwa akan ada lagi pemberontakan G30S yang pada saat itu pemerintahan Orba “mengklaim” bahwa Gerwani terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintah. Oleh sebab itu rezim Orba mulai merekonstruksi organisasi gerakan perempuan untuk mendukung setiap kebijakan pemerintah dan melarang organisasi perempuan untuk mengkritik rezim Orba. Kemudian untuk mewujudkan kepentingannya, pemerintah membuat wadah baru bagi perempuan dengan menciptakan organisasi Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Orientasi organisasi ini lebih terlihat sebagai organisasi yang bekerja untuk mensukseskan kebijakan pemerintah ketimbang membuka ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik ataupun mengkritik kebijakan pemerintah. Hal ini dilakukan pemerintah untuk membatasi ruang gerak perempuan dan mendomestikkan perempuan ke ruang privat yaitu keluarga. Baik Dharma Wanita dan PKK diisi oleh istri dari pejabat pemerintahan dan ABRI dengan mengarahkan perempuan ke ranah domestik. Seperti: program menjadi ibu yang baik untuk anak, menjadi istri yang tunduk terhadap suami, dan  menjadi istri yang pintar mengelola rumah tangga. Kegiatan-kegiatan ini sengaja dilakukan agar perempuan tidak tertarik lagi dengan pengorganisasi politik dan tidak kritis terhadap pemerintahan. Sistem yang dijalankan di dalam organisasi ini menitik beratkan pada suami, semakin suami mempunyai kenaikan karir politik/jabatan, istri akan mengikuti kenaikan karir menjadi pengurus organisasi yang lebih tinggi. Semisal: ketika suami menjadi Bupati, maka Istri menjadi  Ketua pengurus PKK Kabupaten, padahal sebelumnya Istri hanya menjabat sebagai Ketua Pengurus PKK Kecamatan.

Karir seorang perempuan disini tergantung kepada karir laki-laki, hal ini menyebabkan perempuan harus berada dibawah laki-laki dalam hal apapun. Perempuan tidak mandiri secara politik karena ia hanya berharap agar suaminya naik pangkat/jabatan tertentu. Apabila perempuan mengkritik kebijakan pemerintah maka ancamannya adalah pemecatan suaminya dari pekerjaan di instansi/lembaga terkait. Kebijakan ini juga rentan dengan konflik sosial antar masyarakat, karena posisi Ketua organisasi pasti ditempati oleh istri pejabat yang mempunyai karir cemerlang dan mempunyai status sosial yang tinggi, sementara posisi anggota selalu ditempati oleh perempuan yang suaminya mempunyai status sosial yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan tingkat kecemburuan sosial juga semakin bertambah. Dalam pemerintahan Orba perempuan telah ter-suboordinasi dan tertindas selama 32 tahun, hal ini menyebabkan perempuan sampai sekarang kesulitan dalam mengorganisir gerakan sosial, ataupun terjun dalam politik praktis, karena sudah terlalu lama perempuan Indonesia di dominasi oleh sistem politik patriarki Orde Baru. Walaupun kursi perempuan dalam parlemen disaat rezim Orba naik menjadi 12 persen, namun dalam hal kemandirian politik dan mengorganisir gerakan sosial, perempuan mengalami penurunan secara drastis.                     

Hegemoni politik Orde Baru dan upaya pembebasan perempuan Pasca-Reformasi

Sistem politik Orde Baru didesain sedemikian rupa agar gerakan perempuan terkondisikan dalam kesadaran palsunya. Pemerintah Orba menggunakan instrumen lembaga pemerintahan untuk memasukan nilai dan budaya kepada perempuan, hal ini digunakan agar perempuan patuh terhadap aturan-aturan yang sengaja untuk mendomestikan perempuan ke ranah privat, serta menjauhi kegiatan politik yang membahayakan rezim. Dengan dipilihnya Dharma Wanita dan PKK menjadi penyambung kepentingan politik pemerintah, maka dengan sendirinya rezim akan lebih mudah untuk mengatasi konflik dan memastikan agar kekuasaannya tetap aman terkendali. Dalam teori hegemoni, Antonio Gramsci melihat bahwa penundukan atas struktur sosial dan politik dengan menggunakan basis superstruktur (dalam hal ini pemerintah) mempunyai kepentingan langsung untuk menyingkirkan musuh-musuh politik yang berbahaya bagi kelas penguasa. Penginternalisasian nilai dan budaya dari penguasa kepada yang dikuasai menyebabkan masyarakat/individu terjebak dalam logika penguasa dan cara bermain yang sudah diatur sebelumnya. Pengkondisian ini mempunyai fungsi sebagai alat pengontrol yang bertujuan mengkondisikan masyarakat untuk tetap patuh dan takut. Bentuk kekerasan simbol, dan intimidasi secara koersif merupakan instrumen kekuasaan yang berusaha menakut-nakuti masyarakat/individu untuk tidak melakukan perlawanan terhadap rezim. 

Akan tetapi setelah Pasca-Reformasi gerakan perempuan berusaha untuk keluar dari aturan dan dogma yang dibuat oleh Orde baru. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya organisasi gerakan perempuan non-pemerintah yang berdiri dan melakukan kegiatan advokasi masyarakat, maupun melakukan kegiatan edukasi terhadap pentingnya partisipasi politik bagi perempuan. Gerakan Perempuan juga semakin menguat di Indonesia, hal ini menjadi kekuatan bagi perempuan agar tidak dipandang sebelah mata secara politik, dan membuktikan bahwa perempuan juga ambil bagian dalam proses demokratisasi. Gramsci sendiri menyebutkan bahwa satu-satunya cara untuk melawan hegemoni penguasa adalah melakukan “Counter Hegemoni”. Pembebasan perempuan dari suboordinasi sistem patriarki, hanya bisa dilakukan oleh perempuan itu sendiri. Oleh sebabnya dengan menguatnya gerakan perempuan ataupun gerakan sosial yang lain dalam menawarkan alternatif pemikiran dan politik yang berbeda dengan arus pemikiran Orde Baru, maka pertarungan hegemoni ini akan tergantung kepada seberapa kuat pihak-pihak yang saling berhadapan itu mampu mendapatkan kepercayaan masyarakat. Pembebasan perempuan memang bukanlah sesuatu hal yang mudah namun kita harus percaya bahwa kesadaran membutuhkan peristiwa dan pengalaman historis tertentu, kesadaran tidak datang dengan sendirinya ia di bentuk oleh situasi dan kondisi tertentu, dan gerakan perempuan telah mendapatkan kesadarannya untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa. Walaupun masih ada banyak kekurangan terkait gerakan perempuan. Namun kalau tidak bergerak sekarang, kapan lagi? Sebuah kesetaraan sosial antara laki-laki dan perempuan bukanlah hal yang utopis belaka, namun sesuatu yang mungkin dan akan terjadi. Karena tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia, kita harus mencobanya untuk mengetahui hasilnya, kata Napoleon Bonaparte.


Karya: Danang Pamungkas
DPO Colombo Studies dan PO SR Kampung Halaman


0 komentar:

Posting Komentar