Kamis, 01 Juni 2017

Memahami Pacuan Demokrasi dalam Tinjauan Teori Kritik Jurgen Habermas

Perbincangan tentang demokrasi Tahun 2017 ini mengemuka dengan tema-tema bicara yang menyentuh isu global, nasional, maupun lokal. Pada level global, ‘buming’ politik luar negeri Amerika Serikat dibawah komando Donald Trump dengan kebijakan proteksionisnya itu, begitu juga ekonomi Asia yang memosisikan Cina sebagai negara super power diikuti dinamika negara negara Uni Eropa terutama Inggris (sekalipun memutus hubungan dengan UE, atau Brexit), Jerman, Belanda, Perancis, yang dirasa berpengaruh atas pasar dan kekuatan politik dunia. Pembahasan ini begitu hingar di mata publik. Tentunya isu-isu tersebut menaruh peluang, nasib dan masa depan demokrasi Indonesia pada percaturan ekonomi dan politik yang sedang berada dalam terpaan angin kapitalisme global (global capitalism).

Secara nasional, demokrasi kemudian dilekatkan dengan isu pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, TKW, TKI bahkan menyinggung kinerja partai politik yang melemah, termasuk isu otonomi daerah. Suara pacuan demokrasi juga mengutuk pemeliharaan politik oligarki yang didorong oleh sumber daya ekonomi dan politik di kalangan tertentu saja. Mungkin yang paling hangat adalah korupsi, seperti kasus e-KTP, yang sampai sampai dicurigai kasus tersebut mengakibatkan wajah salah satu penyidik KPK (Novel Baswedan) disiram dengan air keras oleh orang tak dikenal. Demikian citra Indonesia sebagai negara demokrasi muncul begitu mudah dan beragam akhir-akhir ini.

Sementara di ranah lokal, perbincangan mengurai desentralisasi seperti implementasi UU Desa, termasuk posisi petani dan nelayan. Tidak ketinggalan juga membahas politik dinasti untuk beberapa kasus di daerah, pokoknya banyaklah yang dibicarakan. Namun di atas semua itu, penulis menemukan demokrasi saat ini justru mengalami “kebekuan” akibat dominasi negara yang bermesraan dengan investasi asing dalam memanfaatkan sumber daya alam (SDA) dan merugikan masyarakat lokal, termasuk persekongkolan sana sini oleh politisi dan para pengusaha untuk proyek tertentu dalam agenda demokrasi. Format demokrasi yang baik pun tidak luput hadir dalam opini warga dan sesegera mesti direkonstruksi demi mengembalikan roh bangsa ini sebagai bangsa yang demokratis.

Kalau boleh dimaknai, perbincangan tersebut merupakan cermin dari usaha masyarakat yang hendak menuju ke dalam dimensi kekuasaan yang rasional. Dimana orang dari berbagai kalangan dapat mencurahkan ide dan gagasannya tanpa ada pihak yang merasa haknya harus diutamakan dari yang lain, inilah ruang publik (Habermas, 1974: 49-55; Hardiman, 2009a:151). Wilayah yang memungkinkan warga masyarakat untuk membentuk opini publik di dalam proses mengenal masalah-masalah dan kepentingan umum warganegara (citizen) dalam kehidupan demokrasi.

Mulai dari masalah sosial, ekonomi, budaya, politik, pendidikan dan masih banyak lagi yang dibicarakan dalam ruang publik itu, intinya memuat keinginan bersama yang penulis sebut ingin ‘mengelolah Negara dengan demokrasi sebagai titik tumpuan sistem membangun serta memajukan harkat dan martabat masyarakat.’ Menyadari hal itu, tentunya bukan semata sebuah perbincangan, namun butuh satu sikap ke depan secara hukum dan politis yang dapat diinstitusionalisasikan sehingga bisa terakomodir dalam kebijakan pembangunan.

Diskusi Opini Tentang Demokrasi 
Sorotan publik dalam menelaah demokrasi pun tak luput dari sebuah pernyataan yang penulis anggap menjelaskan dirinya sendiri dan negara, adalah ketika Presiden Joko Widodo dalam pidato pengukuhan Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat (22/2/2017) mengatakan demokrasi Indonesia saat ini sudah “kebablasan.” Pernyataan itu memicu Saidiman, penulis opini Kompas (16/3/2017) mengutip pernyataan Jokowi lalu menafsirkan permasalahan di negara kita menyangkut dengan kebebasan. Tulisan itu menyatakan penerimaan masyarakat terhadap demokrasi Indonesia masih sangat tinggi sehingga klaim Presiden Joko Widodo tidak mendapat legitimasi teoritis maupun faktual.

Bagi Saidiman, klaim presiden itu mesti dilihat sebagai berangkat dari tekanan akan munculnya tunas-tunas fasisme dan populisme, bahwa baik fasisme maupun populisme, kedua-duanya punya anggapan sama, yaitu menganggap ada unsur dari luar yang mencoba menyerang sebuah bangsa. Perbedaannya ketika keduanya memberlakukan sistem negara. Fasisme menganggap demokrasi memperlemah bangsa, karena itu mereka mengutamakan otoritarianisme atau totaliter. Teringat William Ebenstein (2014:136-137) yang mengatakan sistem totaliter fasisme tidak segan-segan menggunakan berbagai macam paksaan, mulai dari ancaman kata-kata bahkan melalui pembunuhan secara besar-besaran.

Sedangkan populisme melihat demokrasi berada dalam bahaya ancaman dari luar, sehingga mereka hadir untuk memulihkan demokrasi dalam posisi tersebut. Dalam hal ini, fasisme maupun populisme menghadirkan elit (bukan rakyat) untuk menentukan apa kehidupan ideal sebuah negara. Intervensi elit sama sekali tidak hilang di dalam fasisme dan populisme, selanjutnya sama-sama mengorbankan kebebasan rakyat yang merupakan fondasi bangunan bangsa.

Secara filosofis, intervensi elit seperti itu mengingatkan kita pada kritik Habermas atas rasio praktis Immanuel Kant, bahwa filsafat subjek (rasio praktis) Kant menimbang-menimbang keputusannya secara monologal, yaitu tanpa persetujuan dari subjek-subjek lain. Sederhananya orang lain dalam komunikasi atau menyampaikan pendapat dianggap tidak punya otoritas individu. Hal itulah sehingga Habermas mengembangkan filsafat Kant dengan cara menghadirkan filsafat intersubjektivitas (Hardiman, 2009b:28-31; McCharty, 2011) yang lebih komunikatif.

Pemikiran Habermas itu mempunyai maksud mendamaikan perbedaan kepentingan, khususnya di dalam menjalani kehidupan demokrasi secara komunikatif. Selain itu menyangkut dengan praktek demokrasi, Habermas (dalam Goode, 2005:25-26) menganjurkan untuk tidak menjalankan kontrol atas kepentingan umum hanya pada lembaga negara maupun elit tertentu saja, tetapi lebih jauh harus melingkupi publisitas, dalam arti lembaga di luar negara (organisasi kemasyarakatan dan lain-lain) yang mempunyai hak demokratis untuk menyuarakan kepentingan umum.

berbeda dengan Saidiman, Raden Pardede (Kompas, 16.3/2017) menaruh antitesis dari demokrasi kebablasan yang dilontar Presiden Joko Widodo dengan melihat bahwa demokrasi menjadi efektif dan produktif apabila keseimbangan hak dan tanggungjawab dapat diberikan dan dilaksanakan dalam memberikan pelayanan umum ekonomi dan sosial bagi masyarakat luas.

Gagasannya mengurai persoalan demokrasi pada fakta ketidakjelasan hubungan antara principal (rakyat) dan agent (perwakilan rakyat dan pelaksana negara) yang selama ini dinilai tidak efektif dan produktif meliputi; 1) persyaratan rasionalitas dari pemilik suara, 2) kontrak kerja antara principal dan agen, 3)  pertanggungjawaban agen terhadap principal, 4) mekanisme insentif yang diberikan principal kepada agen, 5) hubungan hirarkie dan mekanisme insentif antara agen di tingkat pusat (presiden) dan agen di daerah (kepala daerah), 6) mekanisme pendanaan demokrasi dan partai politik.

Langkah selanjutnya, Raden menekankan perlunya meninjau kembali mekanisme insentif dan kontrak kerja antara rakyat dan pelaksana serta hirarki harus tersusun rapi termasuk partai politik agar demokrasi dan desentralisasi bisa menjadi produktif,  untuk melaksanakan program demi kesejahteraan masyarakat. Termasuk kepastian secara hukum atas sanksi-sanksi yang disepakati.

Bagi Raden, itu merupakan inti dari kegalauan yang dialami presiden Joko Widodo tatkala menilai demokrasi di negara kita. Bahwa kebebasan dalam demokrasi harus disertai dengan penuh tanggungjawab. Dalam pengertian Habermas (dalam Hardiman, 2009b), perlu ditinjau ulang menggunakan diskursus praktis sebagai sumber legitimasi hukum. Prosedur hukum untuk memberlakukan mekanisme insentif dan kontrak kerja.

Merujuk perbincangan publik dan berpatokan pada muatan beberapa opini Kompas tersebut, penulis dapat mengambil asumsi bahwa praktek demokrasi kita masih jauh dari idealnya sebuah negara hukum dan demokrasi. Dalam pengertian yang lebih spesifik, jalan komunikasi penuh kebebasan dan tanggungjawab menjadi layak untuk diketengahkan di dalam pacuan demokrasi di Tanah Air. Untuk itulah tulisan ini mencoba melihat kondisi demokrasi kita dengan pendekatan pemikiran Jurgen Habermas, seorang filsuf modern dan sosiolog asal Jerman. Habermas juga merupakan generasi kedua Madzhab Frankfurt.

Kepentingan Dalam Demokrasi. 
Masalah demokrasi seakan-akan mengajak kita kembali pada sebuah format dimana kontrak sosial baru atas perjalanan negara modern segera dilakukan. Apalagi konsekuensi yang dihadirkan oleh struktur politik yang tercipta setelah reformasi tidak serta merta menenggelamkan praktek-praktek yang hasilnya merugikan masyarakat. Dalam  hal ini kita bisa melihat kelemahan negara memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi sebagian besar masyarakat kita (terutama masyarakat perdesaan), karena mekanisme yang dilalui tidak disertai dengan mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban negara sebagaimana mekanisme yang dipahami sebagian besar rakyat (Lounela & Zakaria, 2002: 3-14). Ini membuat rakyat jadi rugi besar karena menanggung resiko atas eksperimentasi yang dilakukan oleh institusi negara

Eksperimentasi tersebut bisa dipahami dengan menguatnya liberalisasi ekonomi yang alih-alih mensejahterakan ternyata mendorong masalah krusial di negara kita. Misalnya yang paling nyata, konflik agraria meningkat tiap tahun sebagai akibat dari penanaman investasi asing besar-besaran di Indonesia, yang juga merupakan konsekuensi logis dari liberalisasi ekonomi dalam demokratisasi. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2016 menunjukkan konflik agraria sebanyak 450 kasus. Ini mendekati 2 kali lipat dibandingkan 2015 (dalam http://www.kpa.or.id/news/blog/kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2016/).

Konflik terbanyak terjadi di sektor perkebunan yang sangat berkaitan erat dengan dominasi negara dan investor asing mengutamakan kepentingan para pemodal dan negara, bukan kepentingan masyarakat. Kasus ini merupakan contoh dari pengarustamaan “nalar instrumental” dalam praktek demokrasi. Hakikat nalar yang dikritik oleh teoritisi generasi pertama Mazhab Frankfurt yang melihat adanya mitos, sebab janji kebebasan, kemanusiaan dan kesejahteraan dalam nalar instrumental mengalami dialektika dalam usaha manusia memosisikan dirinya sebagai makhluk yang rasional (Sindhunata, 1982: 125-135). Nalar seperti itu pada gilirannya kehilangan fungsi kritis yang hanya menjadi basis ideologi legitimasi bagi kesempurnaannya (McCharty, 2011: 24).

Basis ideologi itu mengabaikan kepentinga umum yang di Indonesia berwujud neoliberalisme dan kuat mengakar dalam rumusan peraturan perundang-undangan. Peraturan yang memberi jalan mulus bagi kepentingan pengusaha atau pemilik modal. Misalnya Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, pasal 2, pemerintah menetapkan target biofuel sebesar 5% dari konsumsi energi nasional pada 2025. Kemudian, dengan Keppres No. 10 Tahun 2006. Lalu Permen ESDM No. 32 Tahun 2008 yang mewajibkan penggunaan BBN secara bertahap di berbagai sektor, kemudian terakhir direvisi dengan Permen ESDM No. 12 Tahun 2015 (Mohammad Zaki Hussein dalam https://indoprogress.com/2017/03/bisnis-biofuel-perkebunan-sawit-dan-perampasan-tanah/).

Melalui artikulasi opini yang dicuatkan di dalam ruang publik semacam itu, tersimpan misi agar negara lebih responsif kepada ekspresi kepentingan dan kebutuhan kaum borjuis dalam opini publik (Prasetyo, 2012: 173). Sejumlah aturan di atas memberi arti menguatnya politisi, pejabat negara dan pengusaha besar berkolaborasi memenangkan  kepentingan mereka, lalu kesenjangan di masyarakat mengiringi penerapan kebijakan tersebut.

Fakta seperti ini oleh Habermas (dalam Hardiman [Ed], 2010: 194-195) dimengerti sebagai refeodalisasi ruang publik, karena negara dan pasar melakukan intervensi hegemonis ke dalam ruang publik yang sebenarnya berciri otonom, justru hanya untuk kepentingan pasar dan birokrasi. Dengan demikian reformasi yang bergulir sejak 1998 yang mengusung perubahan ke arah kesejahteraan rakyat masih bisa dikatakan menjadi mitos kesejahteraan saat ini. Di sini berarti mewacakan demokrasi di Indonesia menjadi sikap intelektual dalam rangka menyadari kelemahan-kelemahan yang selama ini ada. Habermas (McCharty, 2011: 95-114)  menganjurkan tidak sebatas sikap intelektual atau teoritis, namun harus benar-benar berguna secara praktis dalam rangka kepentingan emansipasi warga negara.

Pada kesempatan yang lain, terdapat kelemahan-kelemahan termasuk “penyakit” yang mengindap tubuh sosial dan politik negara ini dari dulu, yaitu korupsi dan kualitas agregat sumber daya manusia (Suwidi Tono, Kompas, 15/12/2016). Korupsi sebagai perilaku menyimpang para elit (politik, birokrat, ekonomi, pendidikan) yang mempunyai akses luas terhadap jalannya kekuasaan di Indonesia adalah fakta dimana ruang publik disalah artikan, sehingga kemiskinan dan kesenjangan muncul seperti membenarkan tiadanya ruang diskursif antara negara dan masyarakat umum.

Untuk kepentingan yang lebih emansipatoris, struktur ekonomi politik yang berjalan selama ini mesti ditinjau ulang, dan tidak melulu dilakukan sebatas perubahan undang-undang. Perubahan harus dilakukan penuh tanggungjawab kepada rakyat, sebab korupsi yang merajalela dan pertumbuhan sumber daya manusia Indonesia yang belum dapat dikatakan baik merupakan ancaman yang melingkari kita semua, baik secara lokal, nasional maupun global.

Ancaman ini pada gilirannya bisa saja akan “membunuh” generasi mendatang. Sehingga langkah yang harus digalang adalah dengan tidak memupuk kepentingan asing dan elit politik semata yang justru memelihara mitos kesejahteraan. Melainkan mengutamakan kekuasaan komunikatif yang lebih menjamah praktek demokrasi, bukan yang menghasilkan paradoks kepentingan sebagaimana dapat kita baca melalui konflik agraria di atas, atau seperti dibicarakan Raden Pardede ketika menafsir pernyataan demokrasi kebablasan dari Presiden Joko Widodo. 

Paradoks kepentingan itu telah menistakan cita-cita suci yang diemban di dalam sistem demokrasi terbuka di Indonesia. Kenyataan itu ikut membuat kesempatan berpendapat secara bebas, dalam pengertian menuntut kepentingan antar kelompok masyarakat yang berbeda, semakin tertutup. Dikatakan tertutup karena ruang komunikatif yang ada hanya diisi oleh para “borjuis besar” yang bersepakat untuk menyusun tujuan pertumbuhan ekonomi yang jauh dari kebutuhan dasar masyarakat. Dalam arti ini, lagi-lagi kita membutuhkan diskursus yang lebih intens dalam ruang publik.

Habermas (dalam Prasetyo, 2012: 174) mengatakan tiga ideal normatif yang inheren dalam konsep ruang publik. Pertama, ruang publik tidak mengasumsikan kesamaan status antarorang, diutamakan nilai kebijaksanaan yang setara dengan nilai setiap orang. Kedua, kepentingan sendiri tidak signifikansi, walau ada status yang berbeda. Ruang publik hanya butuh kesamaan akan penggunaan rasio yang bernuansa “tanpa kepentingan” (“disinterested” interest of reason). Ketiga, ruang publik pada prinsipnya bersifat inklusif, dimana perbincangan orang di dalamnya lebih dianjurkan menggunakan rasionalitasnya secara komunikatif.

Di Indonesia, sistem modern di bawah kapitalisme dunia yang melembaga sekarang berakhir pada keharusan warga negara untuk mempunyai modal material agar bisa berpartisipasi secara langgeng di ruang publik. Padahal, hakikat demokrasi dan dijalankannya sistem desentralisasi bertujuan untuk memudahkan masyarakat dan menciptakan keadilan ekonomi dan sosial maupun budaya.

Namun ideologi dibelakang semua ini masih terlalu sulit untuk diintegrasikan bersama kepentingan masyarakat, yaitu kapitalisme yang dilaksanakan dengan kebijakan neoliberalisme. Pada akhirnya, warga masyarakat yang tidak punya akses terhadap kekuasaan administratif negara menjadi korban dari ketidakadilan ideologi ini. Menurut penulis, praktek demokrasi Indonesia mesti ditinjau kembali. Ideologi dan kepentingan (interest) menjadi hal yang paling mendasar melahirkan ruang publik di Indonesia, namun saat ini belum dijalankan sesuai nilai-nilai keadilan atau kesetaraan  sosial.  Kritik ini setidaknya mengarah pada kritik ideologi kepentingan yang yang dibawa kapitalisme negara di Tanah Air.

Krisis Legitimasi 
Dengan mendekati pada pemikiran Habermas, maka tentunya kasus-kasus seperti konflik agraria, dinasti politik di ranah lokal yang mengorbankan kepentingan warga, kasus korupsi e-KTP, yang terjadi di era kapitalisme sekarang mencerminkan adanya krisis legitimasi (legitimation crisis) dalam demokrasi. Sangat masuk akal untuk konteks kita di Indonesia bila meminjam suguhan arguman Habermas (dalam McCharty, 2011: 469-470) bahwa  krisis tersebut diarahkan pada dampak yang lahir dari kontradiksi dasar kapitalisme kontemporer, dimana kontradiksi dasar tatanan kapitalis tetap berupa penggalian swasta terhadap kesejahteraan publik. Kecenderungan krisis itu bagi Habermas (dalam Hardiman. 2009a: 181-184) dapat dikategorikan ke dalam “hipotesis” tiga kecenderungan; Pertama, kecenderungan krisis ekonomi. Kedua, kecenderungan krisis politik, dan ketiga, kecenderungan krisis sosio kultural.

Untuk kecenderungan pertama, di Indonesia sangat terasa sekali. Ini berkaitan dengan kenyataan sosial ekonomi kita yang menampilkan kesenjangan begitu melebar. Krisis tersebut juga menjelaskan bagaimana ketergantungan ekonomi Indonesia dengan proteksi kapitalisme global yang akan memberi pengaruh pada perhitungan inflasi, pertumbuhan ekonomi, industrialisasi sektor perkebunan di Indonesia (yang mengakibatkan konflik agraria). Habermas melihat pengaruh kapitalisme lanjut dalam wujud liberalisme kehidupan ekonomi dan sosial sebagai biang pemicu lahir krisis tersebut. Nyatanya kita di Indonesia dengan sistem ekonomi yang  ada turut mereproduksi kemiskinan warga dan kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup kasat mata.

Lebih parah lagi, dalam kecenderungan kedua, praktek politik kita setelah reformasi bahkan menghasilkan kelompok-kelompok elit korup, baik di tingkat nasional maupun lokal. Ditingkat lokal, sering sekali terjadi politik familisme dimana kekuasaan politis hanya berputar dilingkaran keluarga atau elit tertentu (Djati, 2013; Agustino & Yusoff, 2010). Mereka menjadi semacam koridor demokrasi aras lokal yang sama sekali tidak punya nilai komunikatif dalam konteks mendemokratisasikan kekuasan dan distribusi kepentingan bagi warga di daerah.

Di sisi tertentu bisa dibilang demokrasi pasca reformasi memunculkan demokrasi oligarki. Klaim Jokowi tentang demokrasi “sudah kebablasan” termasuk berisikan posisi oligarki yang juga menguat, meskipun Jokowi tidak menyebut itu oligarki (Haris Samsuddin, dalam https://indoprogress.com/2017/02/demokrasi-oligarki-bukan-demokrasi-kebablasan/). Ini bertentangan dengan gagasan sistem politik memerlukan masukan loyalitas, sedangkan keluarannya adalah keputusan administratif yang dilaksanakan secara berdaulat (Hardiman, 2009a). Desentralisasi yang menyediakan kesempatan mendorong kesejahteraan bisa dikatakan masih jalan di tempat, bahkan sama sekali belum memberikan kedaulatan masyarakat, atau masih terdapat sentralisasi kepentingan di dalam desentralisasi pemerintahan kita saat ini. Ini mesti disadari bahwa demokratisasi (Suseno, 2001:47) berarti melawan monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menentukan apa yang baik bagi masyarakat.

Bagi Habermas (dalam Hardiman, 2009a), krisis legitimasi politik menjalar karena sistem legitimasi atau sistem politik tak berhasil mempertahankan loyalitas massa, atau ketidakmampuan sarana-sarana administratif menjaga atau menetapkan struktur-struktur normatif yang mendukung kepentingan warga. Fakta saat ini bila dimaknai lebih jauh, maka pelaksanaan demokrasi di era otonomi daerah justru lebih mensejahterakan para elit politik, pemegang saham korporasi besar,  dari pada masyarakat. Di satu sisi, harus diakui bahwa kondisi demokrasi yang carut marut ini merupakan ekses langsung dari melemahnya civil society. Di sinilah samudera pemikiran Habermas (Khon, 2011: 238-240) bisa menyediakan kita pemahaman untuk secara praksis mengontrol jalannya kesetaraan kepentingan demokratis melalui keterlibatan peran civil society dalam ruang publik.

Kecenderungan ketiga menggambarkan kondisi negara kita mengalami pengeluaran sosiokultural sebagai akibat dari masukan krisis ekonomi dan krisis politik. Secara realistis, akumulasi modal investor di bawah kapitalisme dan pemusatan kekuasaan oleh sekelompok elit politik mendorong munculnya tindakan-tindakan yang memungkinkan ketidakaturan sosial di dalam kehidupan sosial masyarakat kita, yang dimulai dari cara elit kita berpolitik itu. Jika Habermas mencoba untuk mendiagnosakan dengan menghadirkan tiga kecenderungan tersebut, maka sebenarnya di Indonesia sudah terjadi dalam bentuk yang paling riil.

Praktek ekonomi, politik dan budaya malah menjadi masalah krusial dalam agenda demokrasi di Indonesia pasca reformasi. Habermas mengatakan (dalam Hardiman, 2009a) krisis-krisis keluaran dalam sistem ekonomi dan politik akan mengganggu masukan dalam sistem sosiokultural. Bahkan Habermas (dalam McCharty, 2011;470) melihat kecenderungan krisis masa depan lebih bukan pada ekonomi, namun kekhawatirannya lebih pada terjadinya krisis sosio-kultural. Dengan demikian kita bisa mengambil poin dari Habermas ini bahwa idealnya di Indonesia saat ini perlu adanya pemasukan terhadap masyarakat secara politik maupun ekonomi dalam rangka menjaga keseimbangan sosiokultural di masa akan datang.

PENUTUP 
Praktek demokrasi di Indonesia diapit oleh kepentingan modal ekonomi dan politik sekelompok elit tertentu, karena tak dapat disangkal demokrasi kita sudah terkurung dalam sangkar kapitalisme global (global capitalism). Dalam posisi yang demikian, ruang diskursus komunikatif yang ditawarkan Habermas menjadi penting untuk diadakan dalam demokratisasi, terutama dalam era otonomi daerah saat ini. Hal ini akan mendorong partisipasi masyarakat secara efektif dalam rangka memahami perbedaan kepentingan secara bersama tanpa adanya dominasi kelompok maupun elit negara. Pada saat yang sama gerakan civil society harus lebih diperkuat lagi di dalam mengontrol kepentingan masyarakat. Karena kondisi demokrasi yang kebablasan seperti kata Jokowi juga merupakan akibat dari lemahnya peran civil society.

Klaim tentang demokrasi sudah “kebablasan” dalam hubungan ini adalah sebuah cermin tentang krisis ruang publik, krisis karena pertentangan kepentingan di dalamnya merupakan akibat dari refeodalisasi dan komersialisasi atau pengaburan atas kepentingan masyarakat dengan cara mengakomodir kepentingan investor asing di dalam kebijakan pengelolaan sumber daya. Dalam konteks hubungan warga dan negara, tentunya cara-cara itu terjadi karena didorong dalam sebuah sistem yang melibatkan peran politisi di pusat maupun daerah.

Akhirnya masyarakat yang sudah lama berdiri di atas fondasi bangsa tidak diberikan kewenangan di dalam menentukan mana kebijakan yang layak, masyarakat dibikin tidak berdaulat. Demokrasi kita ternyata semakin melegalkan praktek korporatisme dan mengorbankan kedaulatan masyarakat. Di ranah lokal, proses demokratisasi semakin memosisikan elit politik mengonsentrasikan kepentingan dan kekuasaan, bahkan hanya pada keluarga mereka yang mempunyai akses ke sana. Sehingga memberi arti bahwa pacuan demokrasi di Indonesia sesungguhnya sedang berada dalam krisis legitimasi, yang juga berarti krisis keadilan dan kemanusiaan. Untuk itulah ruang yang lebih komunikatif menjadi sangat penting dan segera dibuka lebar-lebar untuk mendialogkan kepentingan antara agen (wakil rakyat dan negara) dengan principal (masyarakat)***

Daftar Pustaka
Buku
Ebeinstein, William, 2014. Isme Isme Yang Mengguncang Dunia: Komunisme, Fasisme, Kapitalisme, Sosialisme. Yogyakarta: Narasi.
Goode, Luke, 2005. Jurgen Hubermas: Democracy and the Public Sphere. London. Pluto Press.
Habermas, Jurgen. The Public Sphere: An Ensiclopedy Article (1964). New German Critique, No. 3 (Autumn, 1974).
Hardiman, F. Budi, 2010. Komersialisasi Ruang Publik menurut Hannah Arendt dan Jurgen Habermas dalam F. Budi Hardiman [Ed]. Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius.
_________, 2009a. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta. Kanisius. Edisi Kedua
_________, 2009b. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta. Kanisius.
McCharty, Thomas, 2011. Teori Kritis Jurgen Habermas. Bantul: Kreasi Wacana. Cetakan Keempat.
Khon, Sally, 2014. Civil Society and Equality dalam Michael Edwards [Ed]. The Oxford Handbook of Civil Society. New York. Oxford University Press
Sindhunata, 1982. Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta. PT. Gramedia
Suseno, Frans Magnis, 2001. Kuasa &Moral. 2001. Jakarta: Gramedia. Cetakan Kelima

Jurnal dan Koran 
Agustino, Leo dan Mohammad Agus Yusoff. Politik Lokal di Indonesia: Dari Otokratik ke Reformasi Politik dalam Jurnal Ilmu Politik. Edisi, 21. 2010
Djati, Wasisto Rahardjo. Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal dalam Jurnal Sosiologi MASYARAKAT. Vol. 18, No. 2, Juli 2013
Kompas, 15 Desember 2016. Suwidi Tono. Titik Kritis Negara-Bangsa.
Kompas, 16 Maret 2017. Raden Pardede. Demokrasi Produktif.
Kompas, 16 Maret 2017. Saidiman Ahmad. Kebebasaa dan Demokrasi Kebablasan.
Lounela, Anu & R. Yando Zakaria. Menuju Sebuah Kontrak Sosial Baru. (pengantar) dalam Jurnal Wacana. Mencari Format Negara Baru. Edisi 10 Tahun III 2002.
Prasetyo, Antonius Galih. Menuju Demokrasi Rasional: Melacak Pemikiran Jurgen Habermas Tentang Ruang Publik dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 16, Nomor 2, November 2012

Internet
Hussein, Mohammad Zaki. Bisnis Biofuel, Perkebunan Sawit dan Perampasan Tanah. Dalam https://indoprogress.com/2017/03/bisnis-biofuel-perkebunan-sawit-dan-perampasan-tanah/.Diakses Tanggal 25 Maret 2017. Yogyakarta
Samsuddin, Harris. Demokrasi Oligarki! Bukan Kebablasan. Dalam https://indoprogress.com/2017/02/demokrasi-oligarki-bukan-demokrasi-kebablasan/. Diposting 27 Februari 2017. 
http://www.kpa.or.id/news/blog/kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2016/. Akses Tanggal 29 Maret 2017. Yogyakarta


Karya: Wawan Ilyas
Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM

0 komentar:

Posting Komentar