Jumat, 01 Desember 2017

Dampak Sosial Pornografi Di Indonesia Dalam Analisis Teori Jacques Lacan

Lacan adalah salah satu pemikir besar Prancis pasca strukturalisme. Ia mengadopsi pemikiran psikoanalisa Freud dan mengembangkannya menjadi teori baru. Perkembangan pemikiran Lacan juga dipengaruhi oleh konsep penanda-petanda Saussure dan antrtropologi strukturalis Lévi-Strauss. Lacan meminjam teori kompleks Oedipus dari Freud dan menjelaskan bagaimana individu masuk dalam tatanan simbolik.

Jacques Lacan lahir di Paris, pada tanggal 13 April 1901. Ia berasal dari keluarga borjouis Katolik yang taat. Lacan berkuliah di Sorbonne, dalam bidang kedokteran, dan melanjutkannya di bidang psikiatri pada tahun 1920-an. Ia mendapatkan gelar doktornya dengan tesis mengenai psikosis paranoia. Pada tahun 1934, ia menjadi anggota La société Psychoanalytique de Paris (SPP), dan awal mula ia menjadi sosok kontroversial di kalangan komunitas psikoanalis internasional, karena hal itu juga ia dikeluarkan pada tahun 1962 karena dianggap menyimpang dari praktik psikoanalisa. Pada tahun 1963, ia mendirikan L’École Francaise de Psychoanalyse yang kemudian berganti nama menjadi L’École Freudienne de Paris. Lacan juga menuangkan pemikirannya dalam berbagai tulisan, esai pertamanya “On the mirror stage as formative of the I” terbit tahun 1936. Kumpulan esai-esai Lacan selanjutnya dibukukan pada tahun 1966 dalam Écrits: A Selection. Lacan menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 9 September 1981, di Paris.
Dengan teori psikoanalisanya, Lacan memberikan banyak pengaruh bagi cultural studies, kritik kebudayaan, dan menjelaskan bagaimana fenomena-fenomena sosial terjadi di sekitar kita. Salah satu teori yang berkaitan dengan cultural studies adalah pembahasan mengenai subjektivitas dan psikoanalisa Lacan dianggap mampu untuk mengkaji secara kritis pembentukkan subjek dilihat dari tahap-tahap perkembangan terkenal Lacan; real, imajiner, dan tatanan simbolik yang akan dibahas lebih rinci pada bagian pembahasan.
Pornografi di Indonesia telah menjadi kasus yang menarik publik beberapa tahun terakhir, terlebih lagi dengan kasus-kasus video porno di kalangan artis dalam negeri, dan keluarnya UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Selain itu, dampak dari menonton video porno 7 pemuda dan 7 anak dibawah umur tega melakukan tindakan pemerkosaan, Seperti yang dituturkan oleh 14 pelaku pemerkosaan yuyun (14thn) karena mereka sering menonton video porno (antaranews, 2016). 

Berdasarkan survai komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI), Mencapai 97% anak-anak seumuran SMP dan SMA telah mengakses tautan porno. Sarana pornografi merupakan sebuah praktik sosial yang menerapkan kode-kode tertentu pada tubuh perempuan dan bisa memberikan teks dan citra yang efeknya adalah perempuan yang teraniaya, diperkosa, dan terbunuh (Bracker, 1997:123) . Apakah benar pornografi membuat perempuan teraniaya,  mendorong terjadinya tindakan pemerkosaan dan pembunuhan. Maka dari itu, penulis mengangkat tema mengenai “Dampak Sosial Pornografi di Indonesia dalam Analisis Teori Jacques Lacan”.

Pemikiran Jacques Lacan 
Ketika membicarakan Lacan, kita tidak terlepas dari pemikiran Freud mengenai Id, Ego, dan Superego, dan teori kompleks Oedipus, lalu Lacan merumuskan teori itu ke dalam ranah linguistik. Lacan menyatakan ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa dan semiotika serta linguistik dianggap masuk akal dalam menjelaskan ketidaksadaran. Ketidaksadaran menurut Lacan adalah rangkaian penandaan. Ketidaksadaran mengkondensasi dirinya lalu melakukan pemindahan, hal ini dikaitkan dengan metafora dan kiasan. (Lacan, 1977: 155-156 dalam skripsi Stephani Natalia W).
Lacan menyinggung tiga konsep penting; kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire). Pada ketiga tahapan itu, tatanan simbolik merupakan tahapan terpenting dalam psikoanalisa. Konsep tatanan simbolik diilhami dari pemikiran Lévi-Strauss tentang hubungan kekeluargaan dalam dunia sosial. Perkembangan ketiga konsep itu dihubungkan dengan tiga fase perkembangan manusia yaitu: yang real, imajiner, dan simbolik. (Hill, 2002: 8-11).
Yang Real 
Tahapan yang real berlangsung dari sang bayi lahir hingga berumur 6-18 bulan. Sang bayi hidup digerakkan oleh kebutuhan (need) akan makanan, minuman, kenyamanan, dan lain-lain. Bayi itu selalu mendapatkan kebutuhannya, dalam artian ia mendapatkan kepuasan dari konsumsi objek itu.
Sang bayi dengan kata lain berada dalam situasi ‘kepenuhan’. Belum ada konsep ‘pribadi’ yang muncul pada tahapan ini, relasi yang terjadi hanyalah keinginan bayi dan objek pemuas yang didapatkan bayi itu. Kepenuhan dapat terjadi tanpa adanya ketiadaan. Perlu dicatat, yang real bukanlah realitas.
Yang real adalah gagasan realitas yang terbentuk dari konstruksi sosial yang terbentuk di masyarakat. Bayi tidak mengenal konsep keterpisahan dengan ibunya (Liyan). Bayi adalah individu yang tidak memiliki pemahaman atas ‘kediriannya’ dengan kata lain sang bayi tidak memiliki subjektivitas tentang konsep diri sebagai individu.
Tahapan yang real akan terhenti ketika sang bayi menyadari ia berbeda dengan ibunya (Liyan). Ketika dirinya adalah sesuatu yang berdiri sendiri selain sesuatu di luar dirinya, tepat pada saat itulah kebutuhan (need) sang bayi menjadi permintaan (demand). Kesadarannya akan keterpisahan dengan sang ibu, mengenal Liyan, secara langsung menjadikan ia kehilangan sesuatu dan tidak merasa penuh. Terjadinya ketidakpenuhan yang diakibatkan dari timbulnya permintaan ini menjadi awal mula tahapan imajiner ataule stade de mirroir.(http://escape.freud.pagespro-orange.fr/topos/psycha/psysem/miroir.htm. Diakses 14 April 2016 pukul 19.30 WIB).
Imajiner 
Fase imajiner ditandai dengan kesadaran sang bayi bahwa ia merupakan individu yang terpisah dari ibunya, atau memasuki tahapan cermin ketika tuntutan permintan mulai muncul karena terbentuknya konsep ‘kedirian’ karena identifikasi ‘diri’ yang dilakukan sang bayi atas gambar pantulan dirinya di cermin. Fase ini terjadi antara usia 6-18 bulan, sang bayi belum memiliki kendali utuh atas dirinya namun ia menyadari dirinya adalah ‘diri’ yang berdiri sendiri.
Pembentukkan ilusi ego yang terjadi karena adanya identifikasi imajiner atas pantulan diri di cermin itu menjadi ‘pembenaran’ bagi sang bayi sebagai identitas yang terpisah dari ibunya. Hal inilah yang disebut Lacan saat sang bayi mengalami méconnaisance atau kesalahpahaman sang bayi mengenali pantulannya. Sang bayi berpikir pantulan itu adalah dirinya namun sebenarnya pantulan itu bukanlah dirinya, kemudian sang bayi merepresentasikan pantulan dirinya di cermin sebagai ‘diri’ dan darisanalah tercipta ‘ego’.
Méconnaissance juga menciptakan sebuah pelindung subjektivitas atas sebuah gambaran semu atau ilusi dari kesatuan ‘diri’ yang salah dimengerti. Sebuah penyatuan dan keseluruhan yang melingkupi konsep ‘diri’ yang tidak penuh karena adanya posisi ke’lainan’ (liyan). (Lacan, 2004: 306-307 dalam skripsi Stephani Natalia W).
Dalam proses inilah pemahaman ‘keakuan’ sang bayi terbentuk seperti konsep kompleks Oedipus pada teori Freud di mana sang anak merasakan adanya gangguan atas hubungannya dengan liyan atas identifikasi yang dilakukannya atas pantulan cermin, sehingga menimbulkan konflik dengan ‘ketidakpenuhan’ yang terjadi dalam dirinya. Perpecahan dalam diri itulah yang menyebabkan sang anak lalu membuat gambaran tentang ego ideal yang diperolah dari keadaan “Liyan” dan akan berusaha terus menerus mencapai kepenuhan itu dengan mencapai ideal ego.
Tatanan Simbolik 
Tatanan simbolik ditandai dengan adanya konsep hasrat (desire). Simbolik juga menjadi struktur bahasa yang menjadikan manusia subjek yang berbicara untuk menjadi ‘aku’ dan berkata sebagai ‘aku’ untuk mencapai suatu kondisi yang stabil sebagai individu. Sang anak akan masuk ke dalam dunia simbolik ketika ia mengetahui konsep “Liyan” dan dirinya teridentifikasi dari gambaran pantulan cermin. Sang anak mau tidak mau akan memasuki tahapan simbolik yang merupakan struktur dari bahasa, di mana di dalamnya sang anak akan menjadi subjek yang berbicara.
Tahapan imajiner dan simbolik dikatakan Lacan bersinggungan, terjadi pada saat sang anak menyadari ‘keakuannya’ saat melihat pantulan cermin dan melihat gambar ‘yang lain’ dalam cermin itu. Bahasa menjadi penting karena dapat diterima oleh akal sehat, begitu pula tatanan simbolik. Tatanan simbolik didasarkan pada suatu hal yang rasional, adanya identitas, sesuatu yang berasal dari logika, sistem yang bekerja secara tepat dan validitasnya terjamin.
Sang anak sebagai subjek dapat dikatakan mulai masuk ke dalam tatanan simbolik ketika ia merasakan kepenuhan ketika ia mengikuti hal-hal yang ada dalam tatanan simbolik, sama seperti yang dirasakan dalam tahapan imajiner. Namun perasaan akan keinginan untuk mencapai kepenuhan diri tidak akan pernah ditemukan dalam individu, dan disanalah ironi kehidupan manusia. Itulah mengapa Lacan menyebutkan tatanan simbolik sebagai perubahan ‘liyan’. Ketidaksadaran adalah wacana atas ‘liyan’, tatanan simbolik berisikan hukum dan peraturan yang mengatur keinginan (desire) yang bertentangan dalam dunia imajiner. Tatanan simbolik dengan kata lain adalah faktor yang menentukan subjektivitas, subjek selalu berada di tataran imajiner dan simbolik, tetapi imajiner hanyalah fatamorgana dari apa yang terjadi pada tataran simbolik.
Phallus (nom-du-père) 
Konsep Lacan mengenai nom-du-père berasal dari kompleks Oedipus Freud yang dikembangkan secara sosial-budaya. Nom-du-père adalah konsep inti dari tatanan simbolik, ketika Freud menyatakan penis sebagai sebuah simbol ‘utuh’ dari sisi biologis dan pembeda antara laki-laki dan perempuan. Lacan menyatakan nom-du-pere adalah Liyan atau sering juga disebut sebagai phallus.
Phallus yang dimaksud Lacan bukanlah penis tetapi sesuatu yang secara simbolik mengisyaratkan kepenuhan dan menjadi inti dari pusat tatanan simbolik. Phallus menjadi representasi sistem nilai, norma, dan kekuasaan partriarkal yang menjadi dasar tatanan simbolik. Seperti dikatakan Lacan sebelumnya bahwa bahasa menjadi penting karena adanya rantai penanda dan petanda yang terikat satu sama lain dan tidak pernah terputus, konsep ini diadaptasi dari Saussurean, namun Lacan mengoreksi Saussure, ia menyatakan petanda merupakan sesuatu yang cair atau tidak tetap, bukan sesuatu yang ‘ajeg’. Sama halnya dengan bahasa, phallus merupakan struktur dari bahasa itu sendiri, ia adalah pusat yang mengatur ke’ajeg’an simbolik, ia adalah penanda yang berada dalam tataran ketidaksadaran, bersifat tidak stagnan, maka dari itu phallus dapat menjadikan sebuah makna menjadi tegas.
Dalam memahami pengertian phallus, kita harus memahami juga peran kastrasi. Definisi mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan dari ketakutan akan kastrasi di mana Lacan menggambarkan individu takut kehilangan sesuatu (dalam hal ini penis), seperti dijelaskan di atas, Lacan mengandaikan phallus pada perempuan sama halnya dengan vagina, payudara, dan klitoris. Konsep penis dapat digantikan sebagai sesuatu kekurangan dalam kebertubuhannya. Phallus is what no one can have but everyone wants: a belief in bodily unity wholeness perfect (Robertus, 2008:3).
Jouissance 
Jouissance adalah suatu ‘kenikmatan’, Lacan menjelaskan hal ini merupakan kenikmatan yang melebihi kenikmatan itu sendiri, namun kenikmatan ini hanyalah berada pada satu titik dan dari kenikmatan itu juga kita akan merasakan penderitaan dan kesakitan yang tidak berujung.
Jouissance bukan merupakan pengalaman ‘kenikmatan’ murni, sama seperti dua keping mata uang, kenikmatan akan didapatkan karena adanya sensasi dari ‘kesakitan’ tertentu. Lacan menjelaskan adanya perasaan ingin mencapai jouissance diakibatkan adanya situasi ‘la manque’ terhadap hal tertentu, bersamaan ketika kita meniadakan rasa itulah, kita mendapatkan kenikmatan dalam tanda-tanda dalam tataran simbolik yang real. (Robertus, 2008:6).
Jouissance dapat dikaitkan dengan konsep masokis di mana individu menyakiti dirinya untuk mencapai kepuasan tertentu, hal ini tidak hanya berada pada ranah seksual, tapi juga dalam ranah sosial, seseorang merepresi keinginannya untuk menemukan sebuah kepuasan dari rasa sakit atas penekanannya atas keinginannya itu. Jouissance menjadi alas dari keinginan sehingga kenikmatan dari mengingini sesuatu akan terus terjadi demi proses pencapaian keinginan itu sendiri, karena individu menemukan kepuasan dalam mengingini di dalam ketiadaan kepuasan.

Pornografi
Secara etimologis, pornografi berasal dari dua kata Yunani, ‘porneia’ yang berarti seksualitas yang tidak bermoral dan kata ‘grafe’ yang berarti tulisan, jadi pornografi adalah tidakan seksual tidak bermoral. Pornografi umumnya dapat berupa gambar, tulisan, video, atau apapun yang mengekspos masalah seksualitas, di Indonesia sendiri hal itu dapat berupa penampilan sesorang yang merangsang dengan pakaian minim atau gerakan-gerakan yang merangsang. (http://sabda.org/artikel/pornografi. Diakses 14 April 2016 pukul 20.00 WIB).
Menurut Bracher (2005:124-125) di dalam sarana pornografis dan di dalam tingkat seksual yang paling mendalam, yang dimaknai sebagai perempuan dan laki-laki bergantung pada apa yang dilakukan seseorang pada siapa di dalam penentuan secara kode pada seks pornografis. Bangunan pornografis tentang yang laki-laki mensyaratkan adanya dominasi dan kemampuan untuk melakukan penetrasi, dima hal ini dibangkitkan secara paksa, bangunan pornograis seorang perempuan mensyaratkan adanya penyerahan diri dan diberikannya tempat untuk melakukan penetrasi, baik pada lubang yang sudah ada maupun pada kulit itu sendiri.
Pembicaraan pornografi di Indonesia tidak lepas dari diskusi tentang tubuh perempuan. Di Indonesia sendiri telah diberlakukan represi terhadap tubuh dan seksualitas dengan legitimasi negara dalan UU No. 44/2008 mengenai Pornografi. Pasal yang menyatakan pelarangan kepada orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, dll pornografi secara eksplisit maupun implisit seperti persenggamaan menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak.
Masalah pornografi menjadi momok dalam dunia sosial, terlebih lagi UU ini menempatkan posisi perempuan yang terdesak, karena terlihat dengan jelas bahwa UU ini menjadikan perempuan sebagai objek pada budaya patriarkal. Kontroversi yang terjadi pada diskriminasi perempuan dimuat dalam opini Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Wakil Ketua DPD RI dalam Kompas (27/3/2010) mengenai kasus Karang Anyar, Jawa Tengah, di mana seorang perempuan yang seharusnya dilindungi justru dipidana lima bulan menggunakan pasal-pasal dalam UU Pornografi. Banyaknya kerancuan dalam pasal-pasal UU Pornografi menimbulkan misintrepretasi yang dapat menjebak perempuan sebagai korban, apalagi di tengah kondisi Indonesia yang memang budayanya kental dengan subjektivitas maskulin dan cenderung misoginis.
Contoh kasus lain yang memperlihatkan subjektivitas maskulin dalam kasus pornografi di Indonesia terjadi di Bali, DPRD Bali dengan tegas menolak berlakunya UU Pornografi di sana, (Konferensi Pers DPRD Bali di Jakarta, 26/11/08) tidak hanya di Bali, penduduk di Papua pun melakukan hal yang serupa (Konferensi Pers Perwakilan Masyarakat Papua Menolak RUU Pornografi di Jakarta, 25/09/08). Hal ini jelas dilakukan karena UU Pornografi cenderung dinilai ambigu dan berbenturan dengan budaya Bali dan Papua yang dianggap mempertontonkan ketelanjangan di depan publik, dalam hal ini adalah kebiasaan perempuan yang tidak mengenakan penutup untuk menutupi payudara mereka. UU Pornografi dinilai tidak relevan bagi pluralitas yang terjadi di Indonesia, dan kembali lagi bahwa UU Pornografi ini hanya merupakan kerugian bagi perempuan karena berangkat dari subjektivitas maskulin. (http://www.sejuk.org/kolom/gender/75-tubuh-perempuan-dan-pornografi.html).
Dampak sosial pornografi di Indonesia dalam analisis teori Jacques Lacan 

Pornografi merupakan salah satu kritik kebudayaan yang dapat dilihat dari sudut pandang Lacanian. Berikut dijelaskan bagaimana subjektivitas maskulin terbentuk dalam tataran simbolik yang menyatakan posisi perempuan yang diobjekkan dalam segala macam bentuk pornografi. Mengutip Bracher dalam bukunya Jacques Lacan: Diskursus dan perubahan sosial, “Sarana pornografi merupakan sebuah praktik sosial yang menerapkan kode-kode tertentu pada tubuh perempuan yang teraniaya, diperkosa, dan terbunuh.” (Bracker, 2005:123).
Dengan kata lain, pornografi menempatkan posisi perempuan yang terdegradasi karena mereka dijadikan objek hasrat (desire) dari laki-laki. Pornografi secara umum diperuntukkan bagi kaum laki-laki heteroseksual. Laki-laki ditempatkan dalam posisi subjek aktif dan perempuan dalam objek pasif. Bracher (2005) mengutip Kappeler bahwa yang ditunjukkan dalam analisis kaum feminis terhadap struktur pornografis adalah semata-mata objektifikasi perempuan demi kepentingan eksklusif subjektifikasi laki-laki. Laki-laki adalah subjek murni dalam artian ia tidak dapat menjadi objek (Hlm. 125). Lacan, memaparkan bahwa hasrat (desire) yang ditampilkan dalam pornografi adalah hasrat anaklitik atau hasrat yang semata-mata ada untuk mendapatkan kenikmatan seksual, bukannya hasrat narsistik (hasrat untuk dicintai). Hasrat ini dijelaskan lebih rinci dalam tiga tahapan Lacanian: yang real, imajiner, dan simbolik.
Dalam yang real, posisi perempuan ditempatkan sebagai Liyan yang menjadi objek bagi hasrat maskulin ataupun menjadi subjek yang berhasrat untuk menjadi objek hasrat maskulin. Dalam imajiner, hasrat pada perempuan diperlihatkan sebagai bentuk tubuh indah semampai yang berfungsi sebagai objek seksual, dan citraan laki-laki sebagai alter ego ataupun pesaing. Dalam simbolik, masyarakat, alam, dan Tuhan ditempatkan sebagai yang menghasratkan bentuk kenikmatan tertentu dan memberikan legitimasi pada setiap identitas seksual.
Fakta-fakta yang terjadi bahwa dalam setiap kasus pornografi ditemukan unsur-unsur yang membuktikan degradasi nilai perempuan yang semakin memperkuat budaya patriarki, fakta-fakta itu antara lain: setiap pornografi menampilkan perempuan sebagai sosok yang menikmati tindakan perkosaan, kenikmatan yang dirasakan perempuan dari tindakan yang dilakukan laki-laki selama bersenggama, pemujaan penis, dan deskripsi rinci terhadap tubuh perempuan (eksploitasi tubuh perempuan). (Bracher, 2005: 128-129).
Tatanan simbolik mengatur masyarakat sedemikian rupa lewat norma-norma yang diberlakukan di masyarakat dan hal ini tertanam di bawah sadar kita. Individu ada di dunia dengan tatanan sosial yang sudah terbentuk dalam masyarakat, kita masuk sebagai subjek, dan harus ‘berbicara’ dengan bahasa yang sama (dalam artian mengikuti tatanan sosial itu) untuk dapat masuk dalam masyarakat. Bahasa yang bersifat maskulin membentuk subjektivitas dalam tataran simbolik phallogosentris sehingga subjek mendapatkan subjektivitasnya dalam tatanan simbolik untuk berbicara sebagai subjek dalam bahasa. Setelah melewati ketiga tahapan perkembangan itu, subjek terpaku pada aturan-aturan yang berpusat pada maskulinitas atau nom-du-père dengan phallus sebagai penanda.
Sebuah sistem sosial bahasa maskulin terbentuk dari budaya patriarkal, yang menjadikan perspektif laki-laki sebagai satu-satunya perspektif yang diperhitungkan dalam dunia sosial, dan menempatkan perempuan pada posisi inferior dengan memperlihatkan adanya dominasi pada ‘Liyan’. Dalam nom-du-père, posisi dominan laki-laki terpaparkan dengan amat jelasnya membentuk stereotip dalam masyarakat pada setiap jenis kelamin dalam struktur sosialnya.
Melihat contoh kasus di atas, terlihat jelas bahwa adanya usaha atau praktek pornografi menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan sebagai Liyan (the other). Setiap tindakan pornografi yang terjadi seharusnya menyadarkan publik bahwa perempuan dijadikan pihak yang dirugikan karena menjadi objek dari hasrat ‘imajiner’ laki-laki sebagai diri (self).
Keberadaan UU Pornografi terlihat melindungi perempuan atas ekploitasi tubuh perempuan, tetapi tidak begitu menurut penulis. UU ini membatasi gerak perempuan dan secara tidak langsung mengiyakan posisi perempuan yang memang menjadi objek hasrat laki-laki (terlihat jelas dalam hal ‘dilarang memperlihatkan segala sesuatu yang dapat merangsang).
Realita yang terjadi adalah UU ini didasarkan secara sosiologis atas mayoritas pandangan masyarakat Indonesia, dan negara mencampuradukkan norma agama dengan peraturan negara yang terlalu jauh masuk dalam kehidupan privat masyarakat. Hal yang berangkat dari norma agama ini dianggap sebagai sesuatu yang melegitimasi ideologi patriarki di mana negara membuat suatu tirani atas sebuah perspektif yang mendiskriminasikan perempuan sebagai objek dalam UU itu.
Terlebih lagi, UU ini tidak bekerja secara baik karena pada dasarnya masyarakat Indonesia cenderung berbudaya misoginis (menyalahkan perempuan atas aktivitas seksual laki-laki), hal itu menempatkan perempuan sebagai objek seksual yang disalahkan atas hasrat laki-laki yang timbul, sehingga adanya UU Pornografi dalam prakteknya justru digunakan untuk menempatkan perempuan pada posisi disalahkan, bukan menjamin posisi perempuan sebagai minoritas.

Selain itu, berita mengenai pemerkosaan dan pembunuhan yuyun (14thn), mereka mengaku sebelumnya menonton video porno, kejadian tersebut merupakan sebuah “penyingkiran cinta”. Menurut Bracher (2005:146) pornografi bekerja secara umum untuk menindas cinta, termasuk satu-satunya jenis cinta yang menurut Lacan bisa ada bersama-sama dengan hasrat: cinta yang ada mengatasi hukum, cinta tentang perbandingan dan hal linnya yang membuat perawatan psikoanalisis menjadi mungkin dilakukan.

Seseorang yang menonton pornografi akan mengalami perubahan identifikasi mendasar dan hasrat, hilangnya hasrat narsistik (hasrat untuk mencintai dan dicintai) tapi yang muncul adalah hasrat anaklitik (hasrat pemenuhan kebutuhan). Sehingga yang muncul pada pandangan individu ini ketika menginginkan seorang perempuan adalah tidak untuk dicintainya akan teatapi hanya untuk memenuhi hasratnya. Sehingga tindakan pemerkosaanpun dapat terjadi.

Sisi negatif dari pornografi ini menyingkirkan reproduksi dalam pemuasan hasrat anaklitik. Artinya, hal ini dilakukan hanya semata-mata untuk memenuhi hasrat saja dan menghindari reproduksi antara laki-laki dan perempuan. Selain itu adanya pengejaran suatu objek “perempuan” yang menjanjikan rasa suka cita yang terbatas (jouis-sens).
  
Kesimpulan
Psikoanalisa Lacan adalah salah satu buah pemikiran posstrukturalisme yang menggabungkan psikoanalisa Freud, antropologi strukturalis Lévi-Strauss, dan konsep semiotika Saussure. Pemikiran Lacan menekankan bahwa konstruksi wacana sama seperti alam bawah sadar yang terdiri dari tiga tahap perkembangan: Yang Real, Imajiner, dan Tatanan Simbolik. Yang real adalah tahapan di mana individu terpaku pada kebutuhan (need) dan merasakan kepenuhan, sementara tahapan imajinaer atau fase cermin terjadi ketika kebutuhan (need) menjadi permintaan (demand) atau kesadaran individu akan ‘kediriannya’, sementara itu tahapan terakhir memegang peranan penting pada subjektivitas individu yang terjadi dalam siklus kehidupan sosial di mana nilai-nilai masyarakat terkondendasi.
Keadaan dalam tatanan simbolik seperti bahasa yang memaksa individu menjadi subjeknya, individu akan melakukan hal itu untuk mencapai suatu ‘kepenuhan’ seperti tahap yang real. Dalam tatanan simbolik, Lacan menjelaskan adanya phallus yang menjadi simbol dalam tatanan itu, simbol yang dimaksudkan Lacan tidak hanya penis, perlu ditekankan bahwa penis hanyalah salah satu contoh phallus. Keadaan individu yang rela untuk merasakan rasa sakit untuk mencapai ‘kepenuhan’ inilah yang dimaksudkan Lacan dengan jouissance.
Pornografi merupakan salah satu fenomena yang terjadi di Indonesia, Lacan melihat fenomena ini sebagai degradasi dari nilai perempuan dilihat dari tiga tahapan perkembangan. Pornografi menjadikan perempuan objek hasrat (desire) dari keinginan laki-laki, dan adanya UU Pornografi tidak membantu melindungi hak perempuan, justru malah melegitimasi ideologi patriarki dilihat dari subjektivitas maskulin yang bersifat phallogosentris terjadi di Indonesia, dengan kata lain mengukuhkan budaya misogini.
Hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus pornografi yang merugikan pihak perempuan. Teori Lacan hanya mampu menjelaskan posisi inferior perempuan dalam kasus pornografi akibat subjektivitas maskulin yang terbentuk pada budaya patriarki. Kesimpulan yang didapatkan adalah budaya Indonesia yang masih bersifat phallogosentris dinilai sudah tidak relevan melihat adanya ketidakadilan bagi perempuan, untuk itu dibutuhkan perombakan tatanan simbolik yang mengacu pada subjektivitas feminis.
Kasus pemerkosaan seperti yang dialami Yuyun dapat terjadi karena pelaku (seseorang yang menonton pornografi) akan mengalami perubahan identifikasi mendasar dan hasrat, hilangnya hasrat narsistik (hasrat untuk mencintai dan dicintai) tapi yang muncul adalah hasrat anaklitik (hasrat pemenuhan kebutuhan). Sehingga yang muncul pada pandangan individu ini ketika menginginkan seorang perempuan adalah tidak untuk dicintainya akan teatapi hanya untuk memenuhi hasratnya. Sehingga tindakan pemerkosaanpun dapat terjadi.

Saran
  1. Melakukan penelitian mengenai identifikasi dan penyingkapan hasrat yang tersebunyi untuk menjawab dampak sosial destruktif pornografi di Indonesia.
  2. Mempromosikan cinta yang narsistik (saling mencintai) dalam pemenuhan hasrat.
  3. Melakukan pendidikan seks kepada anak sejak dini dan mulai terbuka tentang seks kepada anak saat usia remaja.
DAFAR PUSTAKA
  • Bracher, Mark. (2005). Jacques Lacan: Diskursus, dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Yogyakarta: Jalasutra.
  • Hill, Philip. (2002). Lacan untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
  • Natalia W, Stephanie. (2009). Keterasingan perempuan di dalam subjektivitas maskulin: sebuah analisa kritis atas tatanan simbolik Jacques Lacan. Depok: Universitas Indonesia.
  • Robet, Robertus. (2011). “Provokasi Lacan terhadap Seksuasi dan Tindakan Etis” dalam Kuliah Umum Seksualitas di Salihara.
  • Undang Undang Republik Indonesia  No.44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
  • Antaranews. Khofifah: Pemerkosa Yuyun terpengaruh video porno. Online http://m.antaranews.com/berita/559253/khofifah- pemerkosa-yuyun- terpengaruh-video-porno.Accessed [30/05/2016].
  • Komisi perlindungan anak Indonesia. 2016. Online www.kpai.go.id/[Accessed 30/05/2016].
  • Online.http://escape.freud.pagespro-orange.fr/topos/psycha/psysem/miroir.htm. [Diakses 14 April 2016].
  • Online.http://sabda.org/artikel/pornografi. [Diakses 14 April 2016].
  • Online.http://www.sejuk.org/kolom/gender/75-tubuh-perempuan-dan pornografi.html. [Diakses 14 April 2016].
Karya:
Syamsul Bakhri,S.Pd (Kiri), A Zahid, S.Sos.,M.Si (Tengah), Alan Sigit Fibrianto, S.Pd (Kanan)
Pengurus Komunitas Braindilog Sociology




0 komentar:

Posting Komentar