Jumat, 01 Desember 2017

Peran Modal Budaya Bagi Pendidikan Masyarakat Tapal Batas

Era otonomi daerah sudah bergulir.  Secara ekonomis era otonomi daerah ini menjadikan daerah sebagai tambang emas bagi pembangunan di masa depan.  Tambang emas itu berupa ekonomi di sektor pertambangan, pertanian, perkebunan, perikanan, perindustrian, dan pariwisata.  Untaian emas semua tersebut sebenarnya bisa dinikmati, bila sumber daya manusia (SDM) nya cukup mendukung ke arah itu.
Berbeda dengan sektor disebutkan di atas, sektor pendidikan dalam pengembangan SDM ini, bukanlah emas yang diperoleh.  Namun berupa manusia yang terdidik (educated man) dengan berbagai variasi kualitasnya.  Untuk menghasilkan manusia yang terdidik itu tidak begitu mudah memperolehnya.  Hal itu karena memerlukan waktu yang relatif lama, membutuhkan sarana dan prasarana serta dukungan lain yang memadai, tidak seperti menanam kelapa sawit yang dapat dikontrol dan dalam waktu tiga - empat tahun bisa dipetik buahnya. 
Membicarakan soal pendidikan maka sudah tentu tak terlepas dari semua upaya yang dilakukan untuk mengembangkan kualitas sumberdaya manusia. Maka sebagaimana rumusan nasional tentang “Pendidikan” dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan. Spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara ( UU RI No 20. Tahun 2003 ).
Kemudian Hamalik  (1994: 3) menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungsi secara adekuat dalam kehidupan masyarakat. Apa yang dinyatakan di atas bukanlah bersifat utopis belaka, tetapi semua itu dapat diwujudkan dalam tindakan nyata asalkan semua komponen bangsa  terutama yang berkompeten dan terkait benar-benar memberikan kontribusinya secara sungguh-sungguh. Karenanya pemerintah Indonesia telah terpicu untuk mengejar ketertinggalan itu, yaitu dengan membulatkan tekad dan  menetapkan arah kebijakan baru bagi pembenahan jalur dan jenjang pendidikan nasional. Karenanya  saat ini pembenahan jalur pendidikan  diarahkan untuk menunjang perbaikan peringkat Human Development Index (HDI) dimaksud.
Saat ini bisa dikatakan bahwa pendidikan kita sangat tertinggal jauh dari negara-negara ASEAN. Di ASEAN sendiri saat ini kualitas pendidikannya berada di posisi kelima dari 11 negara ASEAN dengan skor 0,603. Sedangkan kualitas pendidikan kita di dunia berada di posisi 108 dunia. kualitas pendidikan kita masih sangat jauh dari kata kualitas pendidikan yang bermutu. Kualitas mutu pendidikan kita tertinggal jauh dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura yang berada di posisi nomor satu di ASEAN, kualitas mutu pendidikan Singapura diberi skor 0,768 yang artinya Singapura memiliki sistem pendidikan berkualitas terbaik di ASEAN bahkan di dunia. Kemudian di posisi kedua negara ASEAN yang memiliki tingkat kualitas pendidikan terbaik di ASEAN adalah Brunei Darusssalam. Negara ini mendapat indeks pendidikan sebesar 0,692 yang menempatkan kualitas pendidikan Brunei juga berada di posisi 30 dunia. sedangkan di posisi ketiga ditempati oleh Negeri Jiran yakni Malaysia, Indeks pendidikan Malaysia diberi skor 0,671 dan menempatkan negara itu juga berada di posisi 62 dalam daftar pendidikan terbaik di dunia.
Sedangkan negara yang menempati posisi keempat mengenai kualitas pendidikan di negara ASEAN ini adalah Thailand. Thailand mendapatkan skor sebesar 0.608 dan menempatkan negara ini juga berada di posisi 89 dunia di dalam kualitas pendidikan di dunia. Setelah itu barulah Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya seperti Filipina yang berada di posisi keenam, Vietnam di posisi ketejuh, Kamboja di posisi kedelapan, Laos di posisi kesembilan, Myanmar di posisi kesepuluh, dan Timor Leste yang berada di posisi terakhir yakni posisi kesebelas.
Dari peta kualitas pendidikan yang ada diatas posisi kualitas pendidikan kita hanya lebih baik dari Filipina dan Vietnam dari daftar ranking kualitas pendidikan di dunia. bahkan yang lebih miris lagi kualitas pendidikan kita masih kalah dibawah negara-negara seperti Palestina, Samoa, dan Mongolia. Seperti yang kita ketahui bahwa negara Palestina saat ini sedang dilanda perang berkepenjangan dengan Israel. Miris kita melihatnya ketika mengetahui bahwa negara yang dilanda perang malah justru kualitas pendidikannya jauh lebih baik dari negara kita yang tidak sedang dilanda perang.
Hal ini tentunya menyebabkan kita bertanya-tanya apa yang salah dari sistem pendidikan kita sehingga mutu kualitas pendidikan kita masih berada jauh dari kata layak? Menurut hemat saya saat ini permasalahan pendidikan yakni ketimpangan kualitas pendidikan yang menjadi sorotan utama permasalahan pendidikan di negara ini. Ketimpangan pendidikan ini dapat dilihat pada timpangnya kualitas pendidikan antara kota dan desa-desa pedalaman yang di Indonesia (termasuk dalam hal ini desa-desa yang berada di daerah perbatasan).
Kita melihat bahwa sarana dan prasarana pendidikan yang ada di kota saat bisa dikatakan sudah cukup memadai sedangkan di daerah perbatasan dan di desa-desa terpencil keadaan ini malah berbalik 180 derajat. Kita melihat bahwasannya potret pendidikan di kota-kota sudah maju dan sudah dibekali dengan sarana dan prasarana yang berbau teknologi sedangkan di desa atau di daerah perbatasan, jangankan terknologi, listrik pun belum tentu ada di sekolah mereka. Jadi tidak salah jika mendengar banyaknya sekolah yang rubuh di daerah perbatasan, banyaknya guru yang lebih memilih mengajar ke negara tetangga, dan yang lebih ironisnya lagi banyaknya anak-anak yang putus sekolah dan tidak mau sekolah yang lebih memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pembahasan
Ironis memang ketika kita melihat kondisi yang menggambarkan pendidikan negara kita ini di daerah perbatasan. Bisa kita lihat bahwa ketimpangan pendidikan disana benar-benar adanya. Bukan mitos belaka jika kita menemukan banyaknya anak-anak yang putus sekolah dan menganggur di daerah perbatasan. Banyaknya cerita-cerita dari masyarakat di daerah perbatasan yang menceritakan banyaknya guru dari Indonesia yang lebih memilih mengajar di negara tetangga untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Tak jarang juga kita sering mendengarkan banyak bangunan sekolah yang tidak di aliri listrik dan banyaknya bangunan sekolah yang hampir rubuh disana. Itulah potret pendidikan negara kita di daerah perbatasan yang langsung berbatasan dengan negara lain. Miris memang mendengarkan bagaimana potret ketimpangan pendidikan antara di kota dan di daerah-daerah perbatasan.
Melihat kondisi sistem pendidikan di Indonesia saat ini, sulit untuk membuat gambaran secara umum dan terperinci untuk menjelaskan situasi sebenarnya yang terjadi pada daerah perbatasan mengenai pendidikan. Saat ini tak banyak lembaga-lembaga terkait atau stakeholder terkait yang peduli tentang nasib anak-anak bangsa ini di daerah perbatasan. Banyak anak-anak yang berada di daerah perbatasan yang bernasib tidak beruntung karena tidak dapat memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana mestinya. Di beberapa kampung atau dusun misalnya yang berada di Kalimantan yang langsung berbatasan dengan Malaysia, anak-anak disana harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki menuju ke sekolah, akses yang begitu sulitlah yang membuat anak-anak tersebut harus menerima kenyataan yang ada untuk menempuh pendidikan mereka.
Potret pendidikan di daerah memang sangat memprihatinkan, daerah-daerah perbatasan yang seharusnya menjadi pintu gerbang untuk memasuki Indonesia saat ini justru menjadi daerah yang paling terbelakang dalam hal pendidikan. Sebagai contoh adalah masyarakat yang tinggal di sepenjang daerah perbatasan. Banyak dari mereka yang lebih memilih berinteraksi dan berorientasi kepada desa terdekat dari negara tetangga ketimbang berinteraksi dan berorientasi pada desa yang berada di negeri sendiri. Miris memang melihatnya, belum lagi kesejangan sosial dan ekonomi  masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga yang juga turut mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak negatif tentunya jika ini terus dibiarkan. Inilah yang menjadi dampak buruk yang sebenarnya terjadi apabila pendidikan dan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan diabaikan. Hal ini tentunya lambat laun akan mengikis rasa nasionalisme yang bukan tidak mungkin akan mengacam kedaulatan negara ini.
Berbicara pendidikan di daerah perbatasan tentunya hal ini juga akan membicarakan sinergi antara masyarakat dan pendidikan (sekolah) di daerah perbatasan. Nasution (1999) berbicara sinergi masyarakat dan sekolah yang menyatakan bahwa sekolah yang berorientasi penuh kepada kehidupan masyarakat disebut community school  atau “sekolah masyarakat”. Sekolah ini berorientasi pada masalah-masalah kehidupan dalam masyarakat seperti masalah usaha manusia melestarikan alam, memanfaatkan sumber daya alam dan manusia, masalah kesehatan, kewarganegaraan, komunikasi dan lain sebagainya (Nasution, 1999: 149).
Melihat apa yang telah disampaikan Nasution dalam bukunya bahwa sinergi antara masyarakat dan pendidikan (sekolah) bisa memperbaiki kesenjangan kewarganegaraan. Permasalahan ketimpangan pendidikan yang terjadi di daerah perbatasan ini tidak terlepas juga dari disorientasi kewarganegaraan masyarakat yang berada di daerah perbatasan. Maka sebab itulah sebenarnya yang harus dilakukan adalah kesinergian masyarakat sekitar dan sekolah untuk membangun dan mendidik anak-anak yang ada di daerah perbatasan agar pengetahuan kewarganegaraan mereka bertambah tentang bangsa ini sehingga dikemudian hari rasa nasionalisme mereka mengakar kuat dan tidak mudah dipengaruhi oleh kelompok-kelompok tertentu yang ingin menghancurkan rasa nasionalisme mereka terhadap bangsa ini.
Modal budaya adalah suatu konsep sosiologi yang banyak mendapatkan popularitas yang meluas sejak disuarakan oleh Pierre Bourdieu. Modal budaya sendiri tidak seperti modal ekonomi. Modal budaya itu sendiri adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang. Selanjutnya  Pierre Bourdieu menjelaskan  modal budaya itu juga termasuk di dalamnya kualitas individu, pendidikan, pekerjaan, kesamaan kultur dan pembawaan (Halim, 2014:108).
Melihat apa yang dimaksud Bourdieu tentang modal budaya yang menjelaskan bahwa modal budaya itu meliputi kualitas individu, pendidikan, pekerjaan, kesamaan kultur dan pembawaan, peneliti menggaris bawahi kualitas individu, pendidikan, dan pekerjaan seperti yang Bourdieu katakana sangat berhubungan erat dengan kualitas mutu pendidikan di daerah perbatasan yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pendidikan antara kota-kota di Indonesia dengan daerah perbatasan Indonesia sebagai pintu gerbang negara.
Jika kita melihat kondisi potret pendidikan yang berada di daerah perbatasan seperti yang sudah digambarkan diatas, kualitas individu masyarakat kita di daerah perbatasan sangat memprihatinkan. Mengapa demikian ? karena untuk menciptakan kualitas individu yang baik sejatinya masyarakat di daerah perbatasan harus mendapatkan juga hak-hak pendidikan mereka secara baik dan layak, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, masyarakat di daerah perbatasan sangat terbatas mendapatkan akses pendidikan di desa mereka. Sebagai contoh sangat terbatasnya masyarakat perbatasan di dalam mendapat kualitas mutu pendidikan yang baik adalah:
1.    Susahnya akses jalan menuju sekolah mereka.
2.    Banyaknya sekolah yang mau rubuh dan tidak memiliki listrik.
3.    Terbatasnya tenaga pengajar
4.    Terbatasnya buku-buku pelajaran untuk penunjang para siswa.
Melihat kondisi yang seperti ini di daerah perbatasan negara kita, bukan suatu hal yang aneh lagi jika banyak kualitas individu masyarakat di daerah perbatasan yang mengalami keterbelakangan pendidikan. Bourdieu sendiri mengatakan jika seorang individu ingin mendapatkan pengakuan yang baik di dalam masyarakat, maka ia tentunya harus memiliki kualitas individu yang baik juga di dalam dirinya yang berguna untuk memobilasi individu lainnya terhadap dirinya. 

Selain itu masalah pendidikan juga jelas akan mempengaruhi kualitas individu seseorang. Hal ini tentunya juga tergambarkan pada masyarakat di daerah perbatasan. Banyak masyarakat di daerah perbatasan memiliki tingkat pendidikan yang rendah, banyak juga dari mereka yang putus sekolah di tengah jalan, dan ada yang bahkan tidak mau sekolah sama sekali dan lebih memilih untuk bekerja membantu perekonomian keluarganya. Potret seperti ini menggambarkan secara jelas bahwa pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat di daerah perbatasan sangatlah kurang sehingga ini berpengaruh juga pada kualitas individu mereka. Sebenarnya pendidikan dan kualitas individu ini sangat berkaitan erat di dalam modal budaya Pierre Bourdieu ini. 

Pekerjaan pun juga demikian, dikarenakan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat di daerah perbatasan hal ini ditandai dengan rendahnya pendidikan yang mereka miliki, maka pekerjaan mereka pun di daerah perbatasan bisa dikatakan kurang layak untuk bisa menghidupi keluarganya. Karena tingkat pendidikan mereka yang rendah, masyarakat di daerah perbatasan tidak bisa melamar kerja pada instansi-instansi pemerintahan setempat. Kebanyakan dari mereka bekerja serabutan, seperti berdagang ke Malaysia, sebagai buruh bangunan, nelayan, dan banyak juga yang tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran. Miris memang potret pendidikan masyarakat di daerah perbatasan yang seharusnya masyarakat maju, melek akan pendidikan, dan makmur dari segi pekerjaan mereka, tapi pada kenyataannya mereka hidup dibawah garis kemiskinan dan keterbelakangan di dalam hal pendidikan. Semoga potret pendidikan yang terjadi di daerah perbatasan ini bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk terus memberikan perhatian lebih pada masyarakat di daerah perbatasan terutama di dalam masalah pendidikan.
Kesimpulan
Diambil secara garis besar, kesimpulan dalam makalah ini adalah potret pendidikan yang terjadi di masyarakat daerah perbatasan masih sangat memprihatinkan dan begitu miris. Hal ini ditandai dengan bisa dikatakan masih rendahnya kualitas individu masyarakat daerah perbatasan, terbatasnya akses pendidikan yang mereka dapatkan, dan dampaknya juga berpengaruh pada pekerjaan yang mereka lakukan masih dibawah pekerjaan yang layak semestinya.

Daftar Pustaka
  • Bourdieu, Pierre, 1997, Outline of a Theory Practise, London,Cambrige University Pres
  • Halim, Abdul, Politik Lokal :Pola, Aktor dan Dramatikalnya, Lembaga Pengkajian Pembangunan Bangsa (LP2B) Yogyakarta
  • Hamalik, Oemar, 1994. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Bumi Aksara
  • Nasution, S, 1999. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Karya: Rahman Malik., S.Sos.,Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UNS


2 komentar:

  1. bahas teori atau metode..kritik sesekali teori itu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baik terima kasih atas masukan nya pak. Utk kedepannya bisa lebih kritis lagi.

      Hapus