Diskursus Antiaborsi; Diskursus kontemporer lain yang memiliki cukup
kekuatan dan berarti secara sosial adalah diskursus antiaborsi. Dalam
tahun-tahun belakangan ini konflik mengenai aborsi merupakan salah satu
perdebatan yang paling panas dan menghasilkan perpecahan. Kemudian,
keberhasilan para penganut antiaborsi yang cukup tegas dan dalam
beberapa kasus cukup keras, datang dari komitmen total, sehingga
diskursus mereka bisa membangkitkan minat banyak orang. Meskipun
demikian, anehnya tidak terlalu banyak tulisan tentang diskursus ini,
dan satu-satunya kajian komprehensif yang ada adalah sebuah buku yang
penuh wawasan dan mencerahkan karya Celeste Condit (Bracher, 1997: 153).
Selain itu, juga masih terdapat pertanyaan tak terjawab mengenai
bagaimana diskursus ini telah membangkitkan begitu banyak dukungan dalam
perjuangan menentang aborsi, pertanyaan yang cukup menarik perhatian
bukan hanya bagi para pendukung aborsi, melainkan juga pada setiap pihak
yang memiliki minat cukup besar terhadap patriarkisme yang
diejawantahkan dan dipromosikan penganut antiaborsi. Ini karena seperti
pornografi, diskursus antiaborsi merupakan senjata yang sangat kuat
dalam melawan patriarki, yang berfungsi untuk mencabut hak para
perempuan dalam mengendalikan tubuh mereka sendiri, bukan hanya
menyangkal bahwa mereka memiliki hak untuk memilih aborsi. Tetapi juga
hanya dengan melakukan penitik-beratan hampir seluruhnya pada janin dan
mengabaikan tubuh dan subjektivitas perempuan tersebut. Dalam rangka
menentang dorongan patriarkal dari diskursus antiaborsi ini, kuncinya
adalah memahami dan menunjukkan bagaimana hal ini bekerja pada
identifikasi dan hasrat yang ada pada orang-orang yang menganutnya.
Upaya menampilkan identifikasi dan bentuk-bentuk hasrat lain yang
bekerja adalah dengan menggunakan metode psikoanalisis yang pada
akhirnya paling efektif dan etis dimana metode ini akan memberikan
kritik kepada kekuatan-kekuatan ini dan dengan demikian memberikan
potensi perubahan kepadanya.
Dalam upaya meneliti
sumber-sumber kekuatan interpelatif dalam diskursus antiaborsi, kita
bisa memulainya dari adanya pengakuan bahwa jika diskursus ini telah
membangkitkan perlawanan terhadap aborsi yang begitu keras pada banyak
orang, maka ini berarti bahwa diskursus tersebut telah berhasil dalam
membuat aborsi menjadi begitu mengancam bagi orang-orang tersebut. Oleh
sebab itu dalam meninjau kekuatan interpelasi diskursu antiaborsi, kita
bisa memusatkan diri pada upaya mencari unsur-unsur yang ada dalam
ketiga register simbolik, imajiner, dan real yang mengancam rasa
identitas atau kesejahteraan seseorang yaitu, narsisismenya.
Ancaman terhadap Penanda Utama dan Identitas Tatanan Simbolik
Mungkin
ancaman yang paling jelas adalah tantangan yang mengatakan bahwa aborsi
ditampilkan sebagai menentang sistem nilai atau keyakinan tertentu.
seperti yang telah diutarakan oleh beberapa orang komentator, yang
dipertaruhkan di dalam diskursus antiaborsi bukan hanya masalah aborsi
itu sendiri, melainkan juga seluruh kode moral (Luker, 174, 183), dan
mengatasi hal itu adalah sebuah pandangan dunia yang bersifat mendasar
(Luker, 158) atau sebuah filsafat eksistensi (Merton, 30). Ancaman
terhadap kode moral ini diartikulasikan di dalam sebuah argumen yang
membentuk batu penjuru posisi kaum antiaborsi: pernyataan bahwa sebuah
janin itu adalah hidup dan bahwa dengan demikian aborsi adalah sebuah
pembunuhan yang berarti merupakan tindakan melanggar hukum.
Seperti
yang dikatakan oleh Andrew Merton, gerakan ini membunuh siapapun yang
menyetujui aborsi legal sebagai yang paling sedikit hanya diam saja dan
tidak melakukan apa-apa saat jutaan manusia tidak berdosa terbunuh.
Logikanya seperti ini: a) embrio/janin adalah manusia dalam pengertian
yang paling penuh dan, dengan demikian, memerlukan perlindungan; b)
aborsi membunuh embrio/janin; maka c) aborsi adalah pembunuhan, dan d)
siapapun yang menyetujui aborsi juga setuju pada pembunuhan (Merton, 7).
Dari
sudut pandang diskursus antiaborsi ini, siapapun yang mempraktikkan
aborsi akan diletakkan pada posisi sebagai para pelanggar hukum,
orang-orang yang tersingkir, bukan dari hukum negara, melainkan dari
hukum Tuhan atau hukum Alam. Hasilnya adalah para subjek ditolak dari
cinta yang datang dari Liyan yang Simbolik (pemuasan narsisistik pasif).
‘Kehidupan’
Upaya
menolak atau memberikan keabsahan pada identitas seseorang yang
dilakukan oleh Liyan yang simbolik juga dinyatakan sebagai yang secara
tidak langsung dipromosikan oleh aborsi melaui ancaman bahwa aborsi ini
membuat sejumlah penanda utama membentuk bagian dari inti rasa identitas
tatanan simbolik yang terletak di dalam ideal ego. Ancaman yang datang
dari sini bisa tampil dalam salah satu dari dua bentuk. Pertama, adalah
nilai penanda utama itu sendiri yang dirasakan mengalami serangan yang
menjadi ancaman terhadap ideal ego, atau dimilikinya penanda utama pada
subjek manusia dirasakan terancam oleh aborsi, sehingga mengancam ego
ideal para subjek.
Penanda
utama paling menonjol yang banyak dipakai dalam diskursus antiaborsi
adalah ‘kehidupan’. Seperti yang diamati Condit, “Selama berlangsungnya
kontroversi aborsi, nilai pembentukkan utama yang melandasi posisi kaum
antiaborsi adalah kehidupan”. Salah satu keberhasilan utama diskursus
antiaborsi adalah menetapkan hubungan metonimia ‘janin’ dengan
kehidupan. Condit memberitahu kita, “Sejak tahun 1960-an upaya retorik
utama dari gerakan pro-Kehidupan adalah...menghabiskan waktu dalam
membentuk dan membesarkan hubungan verbal antara istilah janin dengan
kehidupan. Istilah konkret janin dan kehidupan yang bernilai abstrak
dijalin bersama-sama terutama dengan diulang-ulangnya pernyataan tentang
klaim bahwa otoritas ‘sains’ telah menemukan bahwa janin adalah manusia
dari sejak pembuahan (Bracher, 1997: 156).
Hubungan
metonimia ini juga datang melalui metafora: istilah ‘bayi yang belum
lahir’, menggantikan istilah ‘janin’, dan yang menyertainya dalah
hubungan metonimia dengan kehidupan. Selama diskursus antiaborsi
meyakinkan para pengikutnya melalui diberlakukannya metafora dan
metonimia seperti ini, bahwa janin itu merupakan salah satu tahap
kehidupan manusia, hal ini cukup berhasil dalam meletakkan aborsi yang
menghancurkan janin sebagai ancaman terhadap ‘kehidupan’. Ancaman ini
sering disuarakan dengan cukup eksplisit, seperti ungkapan yang sering
dinyatakan bahwa aborsi melecehkan ‘kesucian kehidupan manusia’. Sebagai
contoh dalam buku singkat tentang aborsi karya Ronald Reagan,
ungkapan-ungkapan seperti ‘nilai suci kehidupan manusia’ dan ‘kesucian
kehidupan manusia’ muncul berkali-kali sebagai nama nilai puncak yang
diancam untuk dihancurkan oleh aborsi. Maka ancaman yang
direpresentasikan aborsi terhadap identitas seseorang menjadi eksplisit
saat Reagan mengatakan, “Kita tidak akan pernah memahami nilai kehidupan
kita sendiri sebelum kita mengakui nilai kehidupan orang lain,”
(Reagan, 38) dan memperingatkan bahwa upaya memperkecil satu kategori
kehidupan manusia akan memperkecil nilai semua kehidupan (Reagan, 18).
Singkatnya,
bagi para penganut antiaborsi, aborsi dianggap sebagai yang memberikan
ancaman, karena hal ini dilihat sebagai yang membahayakan status penanda
utama ‘kehidupan’, yang diharapkan oleh para penganut antiaborsi untuk
berfungsi sebagai penanda yang bersifat transenden. Buku Reagan ini
ditutup dengan upaya seperti itu untuk menetapkan ‘kehidupan’ sebagai
penanda yang secara mutlak bersifat stabil dan tidak bersifat mendua
serta menegaskan “hak transenden semua makhluk hidup untuk mendapatkan
kehidupan, hak yang tanpanya semua hak lain tidak akan bermakna,” dan
memperingatkan bahwa jika kita gagal dalam menjaga kemutlakan nilai ini,
“masa depan Amerika Serikat sebagai negeri bebas berada dalam bahaya”
(Reagan, 38). Oleh karena itu, aborsi diposisikan sebagai ancaman
terhadap identitas nasional seseorang dan juga identitas spesies
seseorang, dimana kedua-duanya merupakan unsur penting ideal egonya itu.
‘Kedirian’
Terkait
erat fungsinya dengan penanda utama ‘kehidupan’, ada satu penanda lain,
yaitu ‘kedirian’ (atau istilah yang sinonim dengannya), yang dengan
tegas dicantumkan penganut antiaborsi pada janin dan bahkan embrio.
Seperti yang diamati Merton, “Landasan untuk memperdebatkan kedirian
janin, apalagi embrio, banyak dan bervariasi. Walaupun demikian, ada
gerakan kuat di sekitar upaya memastikan jani sebagai suatu pribadi.
Sebagian besar literatur yang mendukung hak untuk hidup melihat hal ini
sebagai sebuah fakta sebagai sesuatu yang sudah begitu jelas sehingga
tidak perlu dieksplorasi dengan lebih mendalam” (Merton, 6), persis
seperti kita lihat, sebagai yang mendefinisikan sebuah penanda utama.
Nilai dan kesucian penanda ini, seperti nilai dan kesucian ‘kehidupan’,
tidak perlu dipertanyakan lagi, dan apapun yang mengancam aura atau
status istimewa penanda ini ditentang dengan keras. Akibatnya, sikap
keras mengenai kedirian yang dimiliki oleh janin menghasilkan substitusi
metaforik (‘kedirian’ menggantikan ‘kebendaan’) yang membawa ikatan
metonimik lebih dekat dengan penanda-penanda yang membawa rasa identitas
diri yang ada pada kaum penganut antiaborsi.
Jelas
bahwa aborsi mengancam status ‘kedirian’ dengan cara yang sama seperti
yang dilakukan terhadap ‘kehidupan’. Seperti yang dijelaskan oleh
Kristin Luker, “Tampak bahwa aborsi melucuti hak kedirian pada ‘pribadi’
yang selalu memilikinya. Jika hak kedirian bisa begitu saja dengan
mudah ditarik dari para bayi (embrio), siapa lagi diantara kita
menyusulnya?” (Luker, 156).
Maka
Luker menyimpulkan, Jika ada pendapat bahwa embrio berhak akan semua
yang terkait dengan kedirian, meskipun mereka dalam kondisi tergantung
pada orang lain, karena mereka memiliki karcis masuk empat puluh enam
kromosom manusia, maka ini berarti dengan tegas menyatakan bahwa
kedirian adalah sebuah hak yang ‘alami’ yang terwariskan, bukannya hak
yang bersifat kontingen, sosial, dan datang dari luar.... Jika
kemanusiaan genetik sama dengan kedirian, ...maka takdir manusia
bersifat bawaan dan ini berarti tidak bisa diubah lagi (Luker, 157).
Penanda
utama ‘kedirian’ menetapkan sebuah identitas yang berada di luar
jangkauan kastrasi, yaitu yang tidak menjadi objek kekontingenan tatanan
simbolik atau perilaku aneh dari Yang Real. Aborsi merepresentasikan
ancaman ganda pada penanda ini: orang-orang yang mengusulkan bahwa
aborsi boleh dilakukan adalah (1) yang menolak bahwa janin itu adalah
seorang pribadi, dimana ‘kedirian’ masih memiliki auranya, tetapi
keterkaitan yang alami, bawaan, dan niscaya dengan organisme manusia
ditolak, dan hal ini menjadi kualitas yang kontingen, yang bisa dicabut
setiap saat, atau (2) kedirian dianggap ada di dalam janin, dimana
hubungan antara ‘kedirian’ dengan setiap organisme manusia tetap ada,
tetapi nilai ‘kedirian’ sangat terancam dan kehilangan aura
ontologisnya, karena kedirian ini tidak dirasakan sebagai yang cukup
berharga bagi masyarakat untuk dijaga dengan mencegah berlangsungnya
aborsi. Dalam kasus pertama, ideal ego tetap utuh, tetapi ego idealnya
sangat dirusak, sedangkan dalam kasus kedua ideal ego itu sendiri yang
terancam.
‘Alami’
Wilayah
utama lain dimana aborsi ditampilkan sebagai yang mengancam identitas
tatanan Simbolik adalah identitas seksual. Seperti yang dinyatakan
Luker, sering didapat argumen yang mengatakan bahwa, aborsi adalah
salah, karena hal ini memupuk dan dan mendukung sebuah pandangan dunia
yang mengurangi penekanan (dan dengan demikian merendahkan) terhadap
peranan tradisional laki-laki dan perempuan. Karena peranan-peranan ini
merupakan peranan yang memuaskan bagi para penganut prokehidupan, dan
karena mereka percaya bahwa pembagian pekerjaan secara sosial dan
emosional ini adalah ‘tepat dan alami’, maka tindakan aborsi adalah
salah karena merusak tatanan dunia ini (Luker, 162).
Penanda
utama yang bekerja di sini adalah ‘alami’. Aborsi dianggap memberikan
ancaman karena tindakan itu sendiri itu bukanlah sebuah tindakan yang
bersifat ‘alami’ dan, lebih penting lagi, karena hal ini menentang
konsekuensi ‘alami’ dari seks: prokreasi. Banyak aktivis antiaborsi
yakin bahwa seks seharusnya mengarah ke prokreasi; mereka menolak alat
kontrasepsi karena mereka merasa bahwa salah untuk “menghentikan
konsekuensi dari sebuah tindakan yang alami (Luker, 163-166).
Aborsi
adalah contoh yang paling jelas dan dalam pikiran mereka, yang paling
buruk dari tindakan menyela konsekuensi alami dari seks: prokreasi dan,
dari sini, menjadi orang tua. Jelas bahwa ‘alami’ di sini berfungsi
sebagai sebuah penanda utama. Sebagian besar penganut antiaborsi (dan
banyak orang lain juga) mengandaikan bahwa yang alami adalah yang baik,
benar, nyata, dan sebagainya. Seperti juga yang dikatakan penganut
antiaborsi sedbelumnya, “Menurut saya, kehamilan adalah bagian alami
dari sebuah perkawinan, dan saya sangat yakin pada kata alami ini”
(Luker, 169). Pada orang-orang yang memiliki keyakinan seperti itu,
aborsi memiliki suatu ancaman mendasar terhadap ideal ego maupun ego
ideal mereka, karena jika sebuah tindakan ‘tidak alami’ seperti aborsi
diijinkan, maka ‘alami’ itu bukan sebuah nilai utama (yang berarti ideal
ego mengalami erosi), atau kualitas ini tidak bisa dimiliki semudah
yang diandaikan sebelumnya (dan hal ini meremehkan ego ideal).
‘Keibuan’
Penanda
utama lain yang penting dan terkait dengan diskursus antiaborsi adalah
‘keibuan’ (motherhood). Seperti yang dikiatakan Luker, perdebatan
tentang aborsi merupakan “sebuah referendum mengenai tempat dan makna
keibuan” (Luker, 193). Bagi sebagian besar penganut antiaborsi, keibuan
merupakan penanda utama identitas seksual feminin: “Sebagian besar
aktivis prokehidupan yakin bahwa menjadi ibu, membesarkan anak-anak dan
keluarga, adalah peranan yang paling penuh, yang bisa dijalani seorang
perempuan” (Luker, 160). Meskipun demikian, dengan menyatakan bahwa
menjadi ibu adalah sebuah peranan yang memberikan kepenuhan, hal ini
tidak cukup menguraikan dampak aborsi tersebut. Karena di sini
ancamannya adalah pada status penanda utama sebagai sebuah penanda
utama. Dan seperti yang telah kita lihat, ancaman terhadap penanda utama
seseorang adalah ancaman terhadap ideal ego dan berarti rasa
kediriannya. Aborsi merepresentasikan ancaman seperti itu, karena ini,
mengutip kata Luker, “menanggalkan cadar kesucian pada sikap keibuan”
(Luker, 205), dengan secara diam-diam mengambil sikap bahwa melahirkan
anak bukanlah satu-satunya, atau bukan yang secara niscaya paling
penting, unsur eksistensi perempuan, bahwa identitas membangkitkan rasa
cemas luar biasa pada orang-orang itu, baik laki-laki maupun perempuan,
yang identitas seksual mereka terkait secara khusus dengan kesucian
keibuan atau secara umum dengan reproduksi.
Sumber
puncak dari kesucian ‘keibuan’ berada dalam peranannya sebagai penanda
yang paling siap untuk memberikan kompensasi pada fakta, seperti yang
dikatakan Lacan, bahwa tidak ada rumus pasti yang bisa memberikan makna
apa itu menjadi perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki atau apa
makna menjadi laki-laki dalam hubungannya dengan perempuan. Lebih lanjut
lagi, karena tatanan Simbolik patriarkal menolak penanda perempuan yang
terkait dengan identitas seksual seperti phalus, maka ‘keibuan’ berlaku
sebagai penanda bagi banyak perempuan yang merasa dikesampingkan hukum
(patriarkal) si pemberi identitas, yaitu tatanan Simbolik (patriarkal)
dimana phalus Simbolik menempati posisi unggul, yang menemukan dukungan
kasat mata bagi identitas seksual mereka dalam melahirkan anak-anak.
Dalam skala yang lebih kecil, kebapakan juga bisa mengisi fungsi ini
bagi seorang laki-laki, selama ia merasa tidak mendapatkan kesempatan
bersuara atau dikesampingkan oleh hukum itu.
Kita
akan bisa melihat lebih jelas bagaimana sebenarnya menjadi orangtua itu
jika kita ingat bahwa, dalam pandangan Lacan, ‘subjek feminin’ (tidak
semuanya adalah perempuan) ‘tidak semuanya’ menyerah pada kastrasi
tatanan phalik, sehingga lebih mudah mengalami rasa cemas mengenai
identitas mereka perasaan bahwa mereka bukanlah apa-apa, bukan
siapa-siapa. Hasilnya untuk mengatasi keterbelahan mendasar seperti ini,
yang diinginkan seorang subjek feminin adalah sesuatu yang datang untuk
menempati penanda yang tidak ada (Andre, 263). Bagi para subjek semacam
itu, memiliki bayi, membuat mereka menjadi ‘ibu’ atau ‘ayah’, bisa
memberikan rasa identitas yang paling mendasar, yang menawarkan pemuasan
paling kuat dari hasrat narsisistik pasif tatanan Simbolik mereka.
Pemuasan
semacam ini cukup kuat pada para perempuan, sebagai hasil representasi
kolektif mereka tentang keibuan, representasi yang ada secara meluas ini
saja sudah menjadi indikasi tentang rasa cinta yang dimiliki Liyan pada
masyarakat terhadap para ibu, yang kemudian diperkuat dengan terang
positif yang biasanya merepresentasikan keibuan. Budaya barat penuh
dengan representasi semacam itu. Selain daripada itu, di dalam beberapa
representasi ini, satu aspek dari tatanan Liyan yang Simbolik atau yang
lainnya sering dipersonifikasikan dan digambarkan sebagai yang melihat
keibuan dengan sikap menerima dan rasa cinta. Salah satu contoh
representasi semacam itu, yang secara interpelatif paling kuat, bisa
ditemukan di dalam kekristenan, khususnya agama Katolik, dimana berbagai
contoh Liyan yang Simbolik digambarkan sebagai keibuan yang penuh
cinta: Liyan yang Kosmik atau Tuhan dipersonifikasikan sebagai Bapak
(pengejawantahan kedua Liyan yang Simbolik bagi anak), yang dihasratkan
untuk dipuaskan oleh anak-anak perempuan, seorang bapak yang memberikan
hukum (masyarakat Liyan), dimana semua anak perempuan-nya berupaya untuk
mematuhi hukum itu, dimana inkarnasi-nya, sang putera dilahirkan oleh
perawan, sang ibu (sebuah pengejawantahan dari aspek utama Liyan yang
Simbolik), dan darinya para orang beriman memohon pertolongan dan yang
ingin ditiru para perempuan beriman. Oleh sebab itu, diskursus keibuan
Katolik melibatkan suatu narasi dimana di dalamnya berbagai aspek Liyan
yang Simbolik (ayah, ibu, masyarakat, kosmos, Tuhan) memainkan peranan
aktif dalam mempromosikan keibuan, yang pada gilirannya digambarkan
sebagai yang membawa makna puncak dan kepenuhan, pemuasan narsisistik
pasif.
Aborsi
diletakkan oleh diskursus antiaborsi sebagai ancaman terhadap ‘keibuan’
dan ‘keayahan’ serta ‘kehidupan’, ‘kedirian’ dan ‘yang alami’ sebagai
yang mengancam pada akar identitas tatanan Simbolik banyak orang. Maka,
tantang terhadap aborsi sebagian dimotivasi oleh dorongan untuk
melindungi kesucian dan dimilikinya penanda-penanda utama tertentu yang
menjadi bagian integral dari identitas seseorang, dan bahwa diskursus
antiaborsi diposisikan sebagai yang terancam oleh aborsi.
Citra dan Ancaman terhadap Ego Tubuh
Akan
tetapi, beban interpelatif tidak seluruhnya dibawa penanda utama,
sebagian kekuatan diskursus antiaborsi datang dari sesuatu di luar
penanda utama. Seperti yang telah kita lihat, rasa diri seseorang tidak
terdapat hanya pada satu kode moral atau pengetahuan atau bahkan dalam
penanda utama, tetapi juga dalam ego tubuh seseorang, stabilitas yang
sebagian bergantung pada citra eksternal dari tubuh manusia.
Simpulan
bahwa citra cacat ragawi atau bahkan pemotongan secara aktual semacam
itu berada pada posisi sentral dalam diskursus antiaborsi mendapatkan
pembenarannya melalui dua hal. Pertama, semangat kaum antiaborsi sering
menjadi sangat besar saat dilakukan pembahasan tentang aborsi janin yang
memiliki cacat tubuh. Luker menyatakan bahwa menurut sebagian besar
penganut antiaborsi yang diwawancarainya, “aborsi yang menurut mereka
paling menyakitkan adalah aborsi yang dilakukan terhadap ‘embrio yang
rusak’.” (Luker, 207). Kedua, pengakuan para penganut antiaborsi itu
sendiri menunjukkan bahwa unsur paling menyakitkan dari argumen mereka
serta bagi lawan mereka adalah gambar-gambar yang telah mereka
kumpulkan, “ratusan gambar janin yang berlumuran darah, rusak, dan
terpotong-potong” (Merton, 76). Condit sepakat bahwa citra semacam itu
jelas memainkan peranan penting di dalam diskursus antiaborsi:
“Gambar-gambar janin seperti seorang bayi, janin yang tersenyum, janin
yang mengisap ibu jarinya. Janin yang terbantai, jaringan potongan tubuh
manusia yang berlumuran darah, tangan yang terpotong, kaki terpuntir,
tengkorak pecah. Tanpa adanya potret-potret yang memberikan keyakinan
penuh dan brutal semacam ini, kontroversi tentang aborsi yang
berlangsung di Amerika Serikat mungkin tidak akan berlangsung terus”
(Bracher, 1997: 164).
Kita
bisa bedakan dua momen diberikannya tanggapan pada citra-citra semacam
itu sesuai dengan dua jenis citra seperti yang diuraikan oleh Condit.
Momen pertama adalah munculnya identifikasi yang Imajiner dengan janin.
Identifikasi ini ditampilkan dengan pengenalan kita pada gambar-gambar
sesosok tubuh janin manusia seperti tubuh kita sendiri. Diskursus
antiaborsi berupaya panjang lebar untuk memunculkan pengenalan ini,
seperti yang dikatakan Condit, “Retorika penganut prokehidupan bekerja
keras untuk mengaburkan perbedaan antara saya dengan bentuk-bentuk
manusia tidak lengkap yang sedang berkembang” (Bracher, 1997: 164).
Selain secara verbal mendesakkan adanya kesamaan semacam ini, diskursus
antiaborsi juga memanipulasi potret-potret janin untuk menekankan bentuk
manusia dari janin itu, melakukan cropping pada potret dengan
menyingkirkan ciri-ciri nonmanusia pada potret itu seperti ari-ari dan
tali pusar (Condit dalam Bracher, 1997: 165).
Seperti
yang ditunjukkan Condit, satu hasil dari penggunaan citra semacam ini
adalah meyakinkan orang-orang bahwa janin itu adalah seorang manusia.
Akan tetapi, seperti yang tampaknya diasumsikan Condit, fungsi paling
penting dari citra itu bukanlah peranan mereka dalam mendukung premis
minor (‘suatu janin adalah suatu pribadi’) di dalam silogisme mendasar
dalam argumen antiaborsi. Sebenarnya, fungsi penting dari citra ini
adalah memberikan identifikasi ragawi, tatanan Imajiner para peminat
dengan janin. Karena berdasarkan identifikasi semacam itulah maka para
peminat bisa mendapatkan interpelasi untuk melakukan perlawanan intuitif
terhadap aborsi, dengan cara dihadapkan pada citra jenis kedua, yaitu
citra janin-janin termutilasi dan mengalami pemotongan, yang bagi banyak
orang akan dialami sebagai yang memberikan ancaman pada tingkat ego
tubuh mereka. Satu potret semacam itu menunjukkan sebuah “tubuh berwarna
ungu sebuah janin...yang ditampilkan dengan latar belakang putih.
Lengan janin itu masih menyatu dengan tubuhnya. Dua kaki yang terpisah
dari badan dan kepalanya terletak di sebelah tubuh janin itu. Potret
lainnya menunjukkan dua lengan kecil yang terpisah dan dua kali yang
tampil dengan latar belakang merah seperti bubur” (Merton, 11).
Saat
gambar-gambar yang nyata tentang pengudungan ini tidak tampil, maka
semua ini sering tampil dalam bentuk kata-kata. Ronald Reagan membuat
gambaran semacam itu saat ia merujuk pada “pelaku aborsi yang menyusun
kembali lengan dan kaki seorang bayi kecil untuk memastikan bahwa semua
bagian tubuhnya telah diambil dari tubuh sang ibu” (Merton, 22). Merton
menguraikan “sebuah brosur yang ditulis oleh seorang pengkhotbah dari
Texas yang memberikan uraian eksplisit mengenai sebuah pengguguran
kandungan, memotong bayi, menghancurkan kepalanya” (Merton, 100). Paling
tidak, di dalam diskursus antiaborsi berlangsung dibangkitkannya
pencitraan seorang manusia kecil yang menderita sakit yang amat sangat.
Satu surat yang ditulis kaum antiaborsi yang melakukan penggalangan dana
mengatakan bahwa lebih dari empat ribu janin digugurkan setiap hari,
dan dinyatakan di sana bahwa “semua menderita sakit yang amat sangat
sebelum hati mereka yang kecil berhenti berdenyut” (Merton, 166).
Serangan
terhadap ego tubuh penikmat mungkin tampil sangat lengkap dalam sebuah
buku kartun berjudul Who Killed Junior? (Merton, 137), ketika
pengudungan anggota badan ditampilkan secara eksplisit dan identifikasi
para penikmat dipromosikan dengan personifikasi janin tersebut. Merton
menguraikan buku ini sebagai berikut:
Secara sangat simplistis, lukisan-lukisan ini melacak perkembangan sel telur yang sudah dibuahi di dalam rahim. Menjelang minggu keenam junior sudah berbentuk bayi yang berkembang penuh, berdiri tegak dan tersenyum, sekitar minggu kesebelas ia sudah berlari di tempat dan mampu berbicara inggris sehari-hari dengan fasih, ia berpikir, “Saatku untuk segera berangkat”. Saat berumur tiga bulan sudah bisa menangkupkan tangan di telinganya. Keterangan gambarnya mengatakan, “Ibu dan dokternya sedang berdiskusi bagaimana membunuhnya”. Kemudian tampil empat panel yang menampilkan empat metode dasar aborsi. Pada yang pertama, junior menjerit saat sebuah penyedot vakum menyedotnya keluar dari rahim (metode sedotan vakum). Di panel kedua, junior menjerit, sebilah pisau memotongnya bagian demi bagian (metode dilasi dan kuret). Di panel ketiga, junior menjerit saat ada tangan yang menariknya dari dalam rahim (histerektomi). Dan di panel keempat junior menjerit saat sebuah jarum suntik memasukkan larutan garam ke dalam rahim (penggaraman). Panel berikutnya menunjukkan gambar bayi yang sudah berkembang sempurna yang ditembusi sebilah pisau dan mengatakan, “Jika engkau adalah seorang gadis remaja, engkau perlu tahu bahwa aborsi berarti pembunuhan. Itu tidak sama dengan sebuah operasi amandel” (Merton, 137).
Secara sangat simplistis, lukisan-lukisan ini melacak perkembangan sel telur yang sudah dibuahi di dalam rahim. Menjelang minggu keenam junior sudah berbentuk bayi yang berkembang penuh, berdiri tegak dan tersenyum, sekitar minggu kesebelas ia sudah berlari di tempat dan mampu berbicara inggris sehari-hari dengan fasih, ia berpikir, “Saatku untuk segera berangkat”. Saat berumur tiga bulan sudah bisa menangkupkan tangan di telinganya. Keterangan gambarnya mengatakan, “Ibu dan dokternya sedang berdiskusi bagaimana membunuhnya”. Kemudian tampil empat panel yang menampilkan empat metode dasar aborsi. Pada yang pertama, junior menjerit saat sebuah penyedot vakum menyedotnya keluar dari rahim (metode sedotan vakum). Di panel kedua, junior menjerit, sebilah pisau memotongnya bagian demi bagian (metode dilasi dan kuret). Di panel ketiga, junior menjerit saat ada tangan yang menariknya dari dalam rahim (histerektomi). Dan di panel keempat junior menjerit saat sebuah jarum suntik memasukkan larutan garam ke dalam rahim (penggaraman). Panel berikutnya menunjukkan gambar bayi yang sudah berkembang sempurna yang ditembusi sebilah pisau dan mengatakan, “Jika engkau adalah seorang gadis remaja, engkau perlu tahu bahwa aborsi berarti pembunuhan. Itu tidak sama dengan sebuah operasi amandel” (Merton, 137).
Melalui
representasi aborsi semacam itu, banyak orang yang kemudian mengalkami
serangan terhadap janin sebagai ancaman terhadap integritas mereka dalam
tingkat ego tubuh. Perasaan takut, jijik, dan bahkan perasaan ngeri
yang dialami banyak orang saat mereka dihadapkan dengan pikiran dan/atau
citra tentang penghancuran janin datang dari fakta bahwa citra-citra
pengudungan anggota badan menyerang mereka pada inti ragawi dari
identitas mereka sendiri. Maka, pada citra-citra janin yang sedang
mengalami aborsi, orang-orang ini akan bertemu dengan rasa mengenai
kekurangan yang radikal yang sangat mendalam, suatu rasa yang didasarkan
atas jejak-jejak mnemic yang diletakkan oleh pengalaman kekacauan dan
pengundungan yang dialami tubuh mereka saat masih bayi yang, menurut
Lacan, membentuk penandaan puncak (Imajiner) pada pemahamannya tentang
kematian.
Pengaruh Psikologis dan Sosial
Pemahaman
dimana interpelasi bekerja di dalam register-register Real, Imajiner,
dan Simbolik pada para penganut antiaborsi membawa kita pada posisi
untuk menyimpulkan berbagai pengaruh psikologis dan sosial yang
mengatasi pertentangan atau sikap setuju yang mungkin dipromosikan di
dalam diskursus ini. Satu pengaruh umum yang cukup penting tampaknya
adalah menguatnya fundamentalisme di kalangan penganut antiaborsi, sikap
keras mereka dalam menyucikan beberapa penanda tertentu (nilai dan
ideal) dan menjadikan kedua hal ini penanda-penanda transenden.
Pemfosilan
penanda utama menghasilkan kekakuan yang mirip di kode moral atau
pengetahuan, yaitu sistem pengetahuan dan keyakinan yang ditata oleh
penanda-penanda utama. Fundamentalisme dan dogmatisme seperti ini
menghasilkan dukungan ke agenda yang secara umum bersifat konservatif
atau bahkan reaksioner, yang mendesakkan beberapa penanda utama
(‘keluarga’, ‘negara’, ‘Tuhan’) dan pada beberapa bacaan tentang
penanda-penanda itu juga (misalnya ‘keluarga’ harus didasarkan atas
hubungan heteroseksual monogami, bakti kepada ‘negara’ harus
mengungkapkan dirinya sebagai sikap bermusuhan terhadap negara-negara
yang bertentangan dengan kita di dalam bidang konflik ekonomi atau
militer, dan ‘Tuhan’ harus bersifat antropomorfik, maha kuasa, maha
tahu, maha rahim, dan sebagainya). Selain itu, di dalam diskursus
antiaborsi, fundamentalisme dan dogmatisme bergabung dengan fantasi
mempromosikan penindasan realitas sosial atau psikologis yang
menunjukkan kurangnya penanda transenden atau yang menampilkan Yang Real
yang disingkirkan, dimana keduanya mengurangi stabilitas penanda utama
dan rasa aman yang dibentuk di sekelilingnya. Dan akhirnya, ancaman dan
pemuasan narsisistik pasif yang dihasilkan diskursus antiaborsi di dalam
ketiga register ini berfungsi membelokkan kekuatan hasrat aktif dan
anaklitik dan dengan demikian memperkuat penindasan Liyan atas subjek.
DAFTAR PUSTAKA
- Bracher, Mark. (1997). Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik Budaya Psikoanalisis. Yogyakarta: Jalasutra.
- Luker, Kristin. (1984). Abortion and the Politics of Motherhood. Barkeley: University of California Press.
- Merton, Andrew H. (1981). Enemies of Choice: The Right-to-Life Movement and Its Threat to Abortion. Boston: Beacon Press.
- Reagan, Ronald. (1984). Abortion and the Conscience of the Nation. Nashville: Thomas Nelson.
Karya: Alan Sigit Fibrianto,S.Pd_Pengurus Braindilog Sociology |
0 komentar:
Posting Komentar