Jumat, 01 Desember 2017

Diskursus Antiaborsi – Jacques Lacan

Diskursus Antiaborsi; Diskursus kontemporer lain yang memiliki cukup kekuatan dan berarti secara sosial adalah diskursus antiaborsi. Dalam tahun-tahun belakangan ini konflik mengenai aborsi merupakan salah satu perdebatan yang paling panas dan menghasilkan perpecahan. Kemudian, keberhasilan para penganut antiaborsi yang cukup tegas dan dalam beberapa kasus cukup keras, datang dari komitmen total, sehingga diskursus mereka bisa membangkitkan minat banyak orang. Meskipun demikian, anehnya tidak terlalu banyak tulisan tentang diskursus ini, dan satu-satunya kajian komprehensif yang ada adalah sebuah buku yang penuh wawasan dan mencerahkan karya Celeste Condit (Bracher, 1997: 153). Selain itu, juga masih terdapat pertanyaan tak terjawab mengenai bagaimana diskursus ini telah membangkitkan begitu banyak dukungan dalam perjuangan menentang aborsi, pertanyaan yang cukup menarik perhatian bukan hanya bagi para pendukung aborsi, melainkan juga pada setiap pihak yang memiliki minat cukup besar terhadap patriarkisme yang diejawantahkan dan dipromosikan penganut antiaborsi. Ini karena seperti pornografi, diskursus antiaborsi merupakan senjata yang sangat kuat dalam melawan patriarki, yang berfungsi untuk mencabut hak para perempuan dalam mengendalikan tubuh mereka sendiri, bukan hanya menyangkal bahwa mereka memiliki hak untuk memilih aborsi. Tetapi juga hanya dengan melakukan penitik-beratan hampir seluruhnya pada janin dan mengabaikan tubuh dan subjektivitas perempuan tersebut. Dalam rangka menentang dorongan patriarkal dari diskursus antiaborsi ini, kuncinya adalah memahami dan menunjukkan bagaimana hal ini bekerja pada identifikasi dan hasrat yang ada pada orang-orang yang menganutnya. Upaya menampilkan identifikasi dan bentuk-bentuk hasrat lain yang bekerja adalah dengan menggunakan metode psikoanalisis yang pada akhirnya paling efektif dan etis dimana metode ini akan memberikan kritik kepada kekuatan-kekuatan ini dan dengan demikian memberikan potensi perubahan kepadanya.

Dalam upaya meneliti sumber-sumber kekuatan interpelatif dalam diskursus antiaborsi, kita bisa memulainya dari adanya pengakuan bahwa jika diskursus ini telah membangkitkan perlawanan terhadap aborsi yang begitu keras pada banyak orang, maka ini berarti bahwa diskursus tersebut telah berhasil dalam membuat aborsi menjadi begitu mengancam bagi orang-orang tersebut. Oleh sebab itu dalam meninjau kekuatan interpelasi diskursu antiaborsi, kita bisa memusatkan diri pada upaya mencari unsur-unsur yang ada dalam ketiga register simbolik, imajiner, dan real yang mengancam rasa identitas atau kesejahteraan seseorang yaitu, narsisismenya.

Ancaman terhadap Penanda Utama dan Identitas Tatanan Simbolik
Mungkin ancaman yang paling jelas adalah tantangan yang mengatakan bahwa aborsi ditampilkan sebagai menentang sistem nilai atau keyakinan tertentu. seperti yang telah diutarakan oleh beberapa orang komentator, yang dipertaruhkan di dalam diskursus antiaborsi bukan hanya masalah aborsi itu sendiri, melainkan juga seluruh kode moral (Luker, 174, 183), dan mengatasi hal itu adalah sebuah pandangan dunia yang bersifat mendasar (Luker, 158) atau sebuah filsafat eksistensi (Merton, 30). Ancaman terhadap kode moral ini diartikulasikan di dalam sebuah argumen yang membentuk batu penjuru posisi kaum antiaborsi: pernyataan bahwa sebuah janin itu adalah hidup dan bahwa dengan demikian aborsi adalah sebuah pembunuhan yang berarti merupakan tindakan melanggar hukum.
Seperti yang dikatakan oleh Andrew Merton, gerakan ini membunuh siapapun yang menyetujui aborsi legal sebagai yang paling sedikit hanya diam saja dan tidak melakukan apa-apa saat jutaan manusia tidak berdosa terbunuh. Logikanya seperti ini: a) embrio/janin adalah manusia dalam pengertian yang paling penuh dan, dengan demikian, memerlukan perlindungan; b) aborsi membunuh embrio/janin; maka c) aborsi adalah pembunuhan, dan d) siapapun yang menyetujui aborsi juga setuju pada pembunuhan (Merton, 7).
Dari sudut pandang diskursus antiaborsi ini, siapapun yang mempraktikkan aborsi akan diletakkan pada posisi sebagai para pelanggar hukum, orang-orang yang tersingkir, bukan dari hukum negara, melainkan dari hukum Tuhan atau hukum Alam. Hasilnya adalah para subjek ditolak dari cinta yang datang dari Liyan yang Simbolik (pemuasan narsisistik pasif).
‘Kehidupan’ 
Upaya menolak atau memberikan keabsahan pada identitas seseorang yang dilakukan oleh Liyan yang simbolik juga dinyatakan sebagai yang secara tidak langsung dipromosikan oleh aborsi melaui ancaman bahwa aborsi ini membuat sejumlah penanda utama membentuk bagian dari inti rasa identitas tatanan simbolik yang terletak di dalam ideal ego. Ancaman yang datang dari sini bisa tampil dalam salah satu dari dua bentuk. Pertama, adalah nilai penanda utama itu sendiri yang dirasakan mengalami serangan yang menjadi ancaman terhadap ideal ego, atau dimilikinya penanda utama pada subjek manusia dirasakan terancam oleh aborsi, sehingga mengancam ego ideal para subjek.
Penanda utama paling menonjol yang banyak dipakai dalam diskursus antiaborsi adalah ‘kehidupan’. Seperti yang diamati Condit, “Selama berlangsungnya kontroversi aborsi, nilai pembentukkan utama yang melandasi posisi kaum antiaborsi adalah kehidupan”. Salah satu keberhasilan utama diskursus antiaborsi adalah menetapkan hubungan metonimia ‘janin’ dengan kehidupan. Condit memberitahu kita, “Sejak tahun 1960-an upaya retorik utama dari gerakan pro-Kehidupan adalah...menghabiskan waktu dalam membentuk dan membesarkan hubungan verbal antara istilah janin dengan kehidupan. Istilah konkret janin dan kehidupan yang bernilai abstrak dijalin bersama-sama terutama dengan diulang-ulangnya pernyataan tentang klaim bahwa otoritas ‘sains’ telah menemukan bahwa janin adalah manusia dari sejak pembuahan (Bracher, 1997: 156).
Hubungan metonimia ini juga datang melalui metafora: istilah ‘bayi yang belum lahir’, menggantikan istilah ‘janin’, dan yang menyertainya dalah hubungan metonimia dengan kehidupan. Selama diskursus antiaborsi meyakinkan para pengikutnya melalui diberlakukannya metafora dan metonimia seperti ini, bahwa janin itu merupakan salah satu tahap kehidupan manusia, hal ini cukup berhasil dalam meletakkan aborsi yang menghancurkan janin sebagai ancaman terhadap ‘kehidupan’. Ancaman ini sering disuarakan dengan cukup eksplisit, seperti ungkapan yang sering dinyatakan bahwa aborsi melecehkan ‘kesucian kehidupan manusia’. Sebagai contoh dalam buku singkat tentang aborsi karya Ronald Reagan, ungkapan-ungkapan seperti ‘nilai suci kehidupan manusia’ dan ‘kesucian kehidupan manusia’ muncul berkali-kali sebagai nama nilai puncak yang diancam untuk dihancurkan oleh aborsi. Maka ancaman yang direpresentasikan aborsi terhadap identitas seseorang menjadi eksplisit saat Reagan mengatakan, “Kita tidak akan pernah memahami nilai kehidupan kita sendiri sebelum kita mengakui nilai kehidupan orang lain,” (Reagan, 38) dan memperingatkan bahwa upaya memperkecil satu kategori kehidupan manusia akan memperkecil nilai semua kehidupan (Reagan, 18).
Singkatnya, bagi para penganut antiaborsi, aborsi dianggap sebagai yang memberikan ancaman, karena hal ini dilihat sebagai yang membahayakan status penanda utama ‘kehidupan’, yang diharapkan oleh para penganut antiaborsi untuk berfungsi sebagai penanda yang bersifat transenden. Buku Reagan ini ditutup dengan upaya seperti itu untuk menetapkan ‘kehidupan’ sebagai penanda yang secara mutlak bersifat stabil dan tidak bersifat mendua serta menegaskan “hak transenden semua makhluk hidup untuk mendapatkan kehidupan, hak yang tanpanya semua hak lain tidak akan bermakna,” dan memperingatkan bahwa jika kita gagal dalam menjaga kemutlakan nilai ini, “masa depan Amerika Serikat sebagai negeri bebas berada dalam bahaya” (Reagan, 38). Oleh karena itu, aborsi diposisikan sebagai ancaman terhadap identitas nasional seseorang dan juga identitas spesies seseorang, dimana kedua-duanya merupakan unsur penting ideal egonya itu.
‘Kedirian’ 
Terkait erat fungsinya dengan penanda utama ‘kehidupan’, ada satu penanda lain, yaitu ‘kedirian’ (atau istilah yang sinonim dengannya), yang dengan tegas dicantumkan penganut antiaborsi pada janin dan bahkan embrio. Seperti yang diamati Merton, “Landasan untuk memperdebatkan kedirian janin, apalagi embrio, banyak dan bervariasi. Walaupun demikian, ada gerakan kuat di sekitar upaya memastikan jani sebagai suatu pribadi. Sebagian besar literatur yang mendukung hak untuk hidup melihat hal ini sebagai sebuah fakta sebagai sesuatu yang sudah begitu jelas sehingga tidak perlu dieksplorasi dengan lebih mendalam” (Merton, 6), persis seperti kita lihat, sebagai yang mendefinisikan sebuah penanda utama. Nilai dan kesucian penanda ini, seperti nilai dan kesucian ‘kehidupan’, tidak perlu dipertanyakan lagi, dan apapun yang mengancam aura atau status istimewa penanda ini ditentang dengan keras. Akibatnya, sikap keras mengenai kedirian yang dimiliki oleh janin menghasilkan substitusi metaforik (‘kedirian’ menggantikan ‘kebendaan’) yang membawa ikatan metonimik lebih dekat dengan penanda-penanda yang membawa rasa identitas diri yang ada pada kaum penganut antiaborsi.

Jelas bahwa aborsi mengancam status ‘kedirian’ dengan cara yang sama seperti yang dilakukan terhadap ‘kehidupan’. Seperti yang dijelaskan oleh Kristin Luker, “Tampak bahwa aborsi melucuti hak kedirian pada ‘pribadi’ yang selalu memilikinya. Jika hak kedirian bisa begitu saja dengan mudah ditarik dari para bayi (embrio), siapa lagi diantara kita menyusulnya?” (Luker, 156).
Maka Luker menyimpulkan, Jika ada pendapat bahwa embrio berhak akan semua yang terkait dengan kedirian, meskipun mereka dalam kondisi tergantung pada orang lain, karena mereka memiliki karcis masuk empat puluh enam kromosom manusia, maka ini berarti dengan tegas menyatakan bahwa kedirian adalah sebuah hak yang ‘alami’ yang terwariskan, bukannya hak yang bersifat kontingen, sosial, dan datang dari luar.... Jika kemanusiaan genetik sama dengan kedirian, ...maka takdir manusia bersifat bawaan dan ini berarti tidak bisa diubah lagi (Luker, 157).
Penanda utama ‘kedirian’ menetapkan sebuah identitas yang berada di luar jangkauan kastrasi, yaitu yang tidak menjadi objek kekontingenan tatanan simbolik atau perilaku aneh dari Yang Real. Aborsi merepresentasikan ancaman ganda pada penanda ini: orang-orang yang mengusulkan bahwa aborsi boleh dilakukan adalah (1) yang menolak bahwa janin itu adalah seorang pribadi, dimana ‘kedirian’ masih memiliki auranya, tetapi keterkaitan yang alami, bawaan, dan niscaya dengan organisme manusia ditolak, dan hal ini menjadi kualitas yang kontingen, yang bisa dicabut setiap saat, atau (2) kedirian dianggap ada di dalam janin, dimana hubungan antara ‘kedirian’ dengan setiap organisme manusia tetap ada, tetapi nilai ‘kedirian’ sangat terancam dan kehilangan aura ontologisnya, karena kedirian ini tidak dirasakan sebagai yang cukup berharga bagi masyarakat untuk dijaga dengan mencegah berlangsungnya aborsi. Dalam kasus pertama, ideal ego tetap utuh, tetapi ego idealnya sangat dirusak, sedangkan dalam kasus kedua ideal ego itu sendiri yang terancam.
‘Alami’ 
Wilayah utama lain dimana aborsi ditampilkan sebagai yang mengancam identitas tatanan Simbolik adalah identitas seksual. Seperti yang dinyatakan Luker, sering didapat argumen yang mengatakan bahwa, aborsi adalah salah, karena hal ini memupuk dan dan mendukung sebuah pandangan dunia yang mengurangi penekanan (dan dengan demikian merendahkan) terhadap peranan tradisional laki-laki dan perempuan. Karena peranan-peranan ini merupakan peranan yang memuaskan bagi para penganut prokehidupan, dan karena mereka percaya bahwa pembagian pekerjaan secara sosial dan emosional ini adalah ‘tepat dan alami’, maka tindakan aborsi adalah salah karena merusak tatanan dunia ini (Luker, 162).
Penanda utama yang bekerja di sini adalah ‘alami’. Aborsi dianggap memberikan ancaman karena tindakan itu sendiri itu bukanlah sebuah tindakan yang bersifat ‘alami’ dan, lebih penting lagi, karena hal ini menentang konsekuensi ‘alami’ dari seks: prokreasi. Banyak aktivis antiaborsi yakin bahwa seks seharusnya mengarah ke prokreasi; mereka menolak alat kontrasepsi karena mereka merasa bahwa salah untuk “menghentikan konsekuensi dari sebuah tindakan yang alami (Luker, 163-166).
Aborsi adalah contoh yang paling jelas dan dalam pikiran mereka, yang paling buruk dari tindakan menyela konsekuensi alami dari seks: prokreasi dan, dari sini, menjadi orang tua. Jelas bahwa ‘alami’ di sini berfungsi sebagai sebuah penanda utama. Sebagian besar penganut antiaborsi (dan banyak orang lain juga) mengandaikan bahwa yang alami adalah yang baik, benar, nyata, dan sebagainya. Seperti juga yang dikatakan penganut antiaborsi sedbelumnya, “Menurut saya, kehamilan adalah bagian alami dari sebuah perkawinan, dan saya sangat yakin pada kata alami ini” (Luker, 169). Pada orang-orang yang memiliki keyakinan seperti itu, aborsi memiliki suatu ancaman mendasar terhadap ideal ego maupun ego ideal mereka, karena jika sebuah tindakan ‘tidak alami’ seperti aborsi diijinkan, maka ‘alami’ itu bukan sebuah nilai utama (yang berarti ideal ego mengalami erosi), atau kualitas ini tidak bisa dimiliki semudah yang diandaikan sebelumnya (dan hal ini meremehkan ego ideal).
‘Keibuan’
Penanda utama lain yang penting dan terkait dengan diskursus antiaborsi adalah ‘keibuan’ (motherhood). Seperti yang dikiatakan Luker, perdebatan tentang aborsi merupakan “sebuah referendum mengenai tempat dan makna keibuan” (Luker, 193). Bagi sebagian besar penganut antiaborsi, keibuan merupakan penanda utama identitas seksual feminin: “Sebagian besar aktivis prokehidupan yakin bahwa menjadi ibu, membesarkan anak-anak dan keluarga, adalah peranan yang paling penuh, yang bisa dijalani seorang perempuan” (Luker, 160). Meskipun demikian, dengan menyatakan bahwa menjadi ibu adalah sebuah peranan yang memberikan kepenuhan, hal ini tidak cukup menguraikan dampak aborsi tersebut. Karena di sini ancamannya adalah pada status penanda utama sebagai sebuah penanda utama. Dan seperti yang telah kita lihat, ancaman terhadap penanda utama seseorang adalah ancaman terhadap ideal ego dan berarti rasa kediriannya. Aborsi merepresentasikan ancaman seperti itu, karena ini, mengutip kata Luker, “menanggalkan cadar kesucian pada sikap keibuan” (Luker, 205), dengan secara diam-diam mengambil sikap bahwa melahirkan anak bukanlah satu-satunya, atau bukan yang secara niscaya paling penting, unsur eksistensi perempuan, bahwa identitas membangkitkan rasa cemas luar biasa pada orang-orang itu, baik laki-laki maupun perempuan, yang identitas seksual mereka terkait secara khusus dengan kesucian keibuan atau secara umum dengan reproduksi.
Sumber puncak dari kesucian ‘keibuan’ berada dalam peranannya sebagai penanda yang paling siap untuk memberikan kompensasi pada fakta, seperti yang dikatakan Lacan, bahwa tidak ada rumus pasti yang bisa memberikan makna apa itu menjadi perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki atau apa makna menjadi laki-laki dalam hubungannya dengan perempuan. Lebih lanjut lagi, karena tatanan Simbolik patriarkal menolak penanda perempuan yang terkait dengan identitas seksual seperti phalus, maka ‘keibuan’ berlaku sebagai penanda bagi banyak perempuan yang merasa dikesampingkan hukum (patriarkal) si pemberi identitas, yaitu tatanan Simbolik (patriarkal) dimana phalus Simbolik menempati posisi unggul, yang menemukan dukungan kasat mata bagi identitas seksual mereka dalam melahirkan anak-anak. Dalam skala yang lebih kecil, kebapakan juga bisa mengisi fungsi ini bagi seorang laki-laki, selama ia merasa tidak mendapatkan kesempatan bersuara atau dikesampingkan oleh hukum itu.
Kita akan bisa melihat lebih jelas bagaimana sebenarnya menjadi orangtua itu jika kita ingat bahwa, dalam pandangan Lacan, ‘subjek feminin’ (tidak semuanya adalah perempuan) ‘tidak semuanya’ menyerah pada kastrasi tatanan phalik, sehingga lebih mudah mengalami rasa cemas mengenai identitas mereka perasaan bahwa mereka bukanlah apa-apa, bukan siapa-siapa. Hasilnya untuk mengatasi keterbelahan mendasar seperti ini, yang diinginkan seorang subjek feminin adalah sesuatu yang datang untuk menempati penanda yang tidak ada (Andre, 263). Bagi para subjek semacam itu, memiliki bayi, membuat mereka menjadi ‘ibu’ atau ‘ayah’, bisa memberikan rasa identitas yang paling mendasar, yang menawarkan pemuasan paling kuat dari hasrat narsisistik pasif tatanan Simbolik mereka.
Pemuasan semacam ini cukup kuat pada para perempuan, sebagai hasil representasi kolektif mereka tentang keibuan, representasi yang ada secara meluas ini saja sudah menjadi indikasi tentang rasa cinta yang dimiliki Liyan pada masyarakat terhadap para ibu, yang kemudian diperkuat dengan terang positif yang biasanya merepresentasikan keibuan. Budaya barat penuh dengan representasi semacam itu. Selain daripada itu, di dalam beberapa representasi ini, satu aspek dari tatanan Liyan yang Simbolik atau yang lainnya sering dipersonifikasikan dan digambarkan sebagai yang melihat keibuan dengan sikap menerima dan rasa cinta. Salah satu contoh representasi semacam itu, yang secara interpelatif paling kuat, bisa ditemukan di dalam kekristenan, khususnya agama Katolik, dimana berbagai contoh Liyan yang Simbolik digambarkan sebagai keibuan yang penuh cinta: Liyan yang Kosmik atau Tuhan dipersonifikasikan sebagai Bapak (pengejawantahan kedua Liyan yang Simbolik bagi anak), yang dihasratkan untuk dipuaskan oleh anak-anak perempuan, seorang bapak yang memberikan hukum (masyarakat Liyan), dimana semua anak perempuan-nya berupaya untuk mematuhi hukum itu, dimana inkarnasi-nya, sang putera dilahirkan oleh perawan, sang ibu (sebuah pengejawantahan dari aspek utama Liyan yang Simbolik), dan darinya para orang beriman memohon pertolongan dan yang ingin ditiru para perempuan beriman. Oleh sebab itu, diskursus keibuan Katolik melibatkan suatu narasi dimana di dalamnya berbagai aspek Liyan yang Simbolik (ayah, ibu, masyarakat, kosmos, Tuhan) memainkan peranan aktif dalam mempromosikan keibuan, yang pada gilirannya digambarkan sebagai yang membawa makna puncak dan kepenuhan, pemuasan narsisistik pasif.
Aborsi diletakkan oleh diskursus antiaborsi sebagai ancaman terhadap ‘keibuan’ dan ‘keayahan’ serta ‘kehidupan’, ‘kedirian’ dan ‘yang alami’ sebagai yang mengancam pada akar identitas tatanan Simbolik banyak orang. Maka, tantang terhadap aborsi sebagian dimotivasi oleh dorongan untuk melindungi kesucian dan dimilikinya penanda-penanda utama tertentu yang menjadi bagian integral dari identitas seseorang, dan bahwa diskursus antiaborsi diposisikan sebagai yang terancam oleh aborsi.
Citra dan Ancaman terhadap Ego Tubuh 
Akan tetapi, beban interpelatif tidak seluruhnya dibawa penanda utama, sebagian kekuatan diskursus antiaborsi datang dari sesuatu di luar penanda utama. Seperti yang telah kita lihat, rasa diri seseorang tidak terdapat hanya pada satu kode moral atau pengetahuan atau bahkan dalam penanda utama, tetapi juga dalam ego tubuh seseorang, stabilitas yang sebagian bergantung pada citra eksternal dari tubuh manusia.
Simpulan bahwa citra cacat ragawi atau bahkan pemotongan secara aktual semacam itu berada pada posisi sentral dalam diskursus antiaborsi mendapatkan pembenarannya melalui dua hal. Pertama, semangat kaum antiaborsi sering menjadi sangat besar saat dilakukan pembahasan tentang aborsi janin yang memiliki cacat tubuh. Luker menyatakan bahwa menurut sebagian besar penganut antiaborsi yang diwawancarainya, “aborsi yang menurut mereka paling menyakitkan adalah aborsi yang dilakukan terhadap ‘embrio yang rusak’.” (Luker, 207). Kedua, pengakuan para penganut antiaborsi itu sendiri menunjukkan bahwa unsur paling menyakitkan dari argumen mereka serta bagi lawan mereka adalah gambar-gambar yang telah mereka kumpulkan, “ratusan gambar janin yang berlumuran darah, rusak, dan terpotong-potong” (Merton, 76). Condit sepakat bahwa citra semacam itu jelas memainkan peranan penting di dalam diskursus antiaborsi: “Gambar-gambar janin seperti seorang bayi, janin yang tersenyum, janin yang mengisap ibu jarinya. Janin yang terbantai, jaringan potongan tubuh manusia yang berlumuran darah, tangan yang terpotong, kaki terpuntir, tengkorak pecah. Tanpa adanya potret-potret yang memberikan keyakinan penuh dan brutal semacam ini, kontroversi tentang aborsi yang berlangsung di Amerika Serikat mungkin tidak akan berlangsung terus” (Bracher, 1997: 164).
Kita bisa bedakan dua momen diberikannya tanggapan pada citra-citra semacam itu sesuai dengan dua jenis citra seperti yang diuraikan oleh Condit. Momen pertama adalah munculnya identifikasi yang Imajiner dengan janin. Identifikasi ini ditampilkan dengan pengenalan kita pada gambar-gambar sesosok tubuh janin manusia seperti tubuh kita sendiri. Diskursus antiaborsi berupaya panjang lebar untuk memunculkan pengenalan ini, seperti yang dikatakan Condit, “Retorika penganut prokehidupan bekerja keras untuk mengaburkan perbedaan antara saya dengan bentuk-bentuk manusia tidak lengkap yang sedang berkembang” (Bracher, 1997: 164). Selain secara verbal mendesakkan adanya kesamaan semacam ini, diskursus antiaborsi juga memanipulasi potret-potret janin untuk menekankan bentuk manusia dari janin itu, melakukan cropping pada potret dengan menyingkirkan ciri-ciri nonmanusia pada potret itu seperti ari-ari dan tali pusar (Condit dalam Bracher, 1997: 165).
Seperti yang ditunjukkan Condit, satu hasil dari penggunaan citra semacam ini adalah meyakinkan orang-orang bahwa janin itu adalah seorang manusia. Akan tetapi, seperti yang tampaknya diasumsikan Condit, fungsi paling penting dari citra itu bukanlah peranan mereka dalam mendukung premis minor (‘suatu janin adalah suatu pribadi’) di dalam silogisme mendasar dalam argumen antiaborsi. Sebenarnya, fungsi penting dari citra ini adalah memberikan identifikasi ragawi, tatanan Imajiner para peminat dengan janin. Karena berdasarkan identifikasi semacam itulah maka para peminat bisa mendapatkan interpelasi untuk melakukan perlawanan intuitif terhadap aborsi, dengan cara dihadapkan pada citra jenis kedua, yaitu citra janin-janin termutilasi dan mengalami pemotongan, yang bagi banyak orang akan dialami sebagai yang memberikan ancaman pada tingkat ego tubuh mereka. Satu potret semacam itu menunjukkan sebuah “tubuh berwarna ungu sebuah janin...yang ditampilkan dengan latar belakang putih. Lengan janin itu masih menyatu dengan tubuhnya. Dua kaki yang terpisah dari badan dan kepalanya terletak di sebelah tubuh janin itu. Potret lainnya menunjukkan dua lengan kecil yang terpisah dan dua kali yang tampil dengan latar belakang merah seperti bubur” (Merton, 11).
Saat gambar-gambar yang nyata tentang pengudungan ini tidak tampil, maka semua ini sering tampil dalam bentuk kata-kata. Ronald Reagan membuat gambaran semacam itu saat ia merujuk pada “pelaku aborsi yang menyusun kembali lengan dan kaki seorang bayi kecil untuk memastikan bahwa semua bagian tubuhnya telah diambil dari tubuh sang ibu” (Merton, 22). Merton menguraikan “sebuah brosur yang ditulis oleh seorang pengkhotbah dari Texas yang memberikan uraian eksplisit mengenai sebuah pengguguran kandungan, memotong bayi, menghancurkan kepalanya” (Merton, 100). Paling tidak, di dalam diskursus antiaborsi berlangsung dibangkitkannya pencitraan seorang manusia kecil yang menderita sakit yang amat sangat. Satu surat yang ditulis kaum antiaborsi yang melakukan penggalangan dana mengatakan bahwa lebih dari empat ribu janin digugurkan setiap hari, dan dinyatakan di sana bahwa “semua menderita sakit yang amat sangat sebelum hati mereka yang kecil berhenti berdenyut” (Merton, 166).
Serangan terhadap ego tubuh penikmat mungkin tampil sangat lengkap dalam sebuah buku kartun berjudul Who Killed Junior? (Merton, 137), ketika pengudungan anggota badan ditampilkan secara eksplisit dan identifikasi para penikmat dipromosikan dengan personifikasi janin tersebut. Merton menguraikan buku ini sebagai berikut:
Secara sangat simplistis, lukisan-lukisan ini melacak perkembangan sel telur yang sudah dibuahi di dalam rahim. Menjelang minggu keenam junior sudah berbentuk bayi yang berkembang penuh, berdiri tegak dan tersenyum, sekitar minggu kesebelas ia sudah berlari di tempat dan mampu berbicara inggris sehari-hari dengan fasih, ia berpikir, “Saatku untuk segera berangkat”. Saat berumur tiga bulan sudah bisa menangkupkan tangan di telinganya. Keterangan gambarnya mengatakan, “Ibu dan dokternya sedang berdiskusi bagaimana membunuhnya”. Kemudian tampil empat panel yang menampilkan empat metode dasar aborsi. Pada yang pertama, junior menjerit saat sebuah penyedot vakum menyedotnya keluar dari rahim (metode sedotan vakum). Di panel kedua, junior menjerit, sebilah pisau memotongnya bagian demi bagian (metode dilasi dan kuret). Di panel ketiga, junior menjerit saat ada tangan yang menariknya dari dalam rahim (histerektomi). Dan di panel keempat junior menjerit saat sebuah jarum suntik memasukkan larutan garam ke dalam rahim (penggaraman). Panel berikutnya menunjukkan gambar bayi yang sudah berkembang sempurna yang ditembusi sebilah pisau dan mengatakan, “Jika engkau adalah seorang gadis remaja, engkau perlu tahu bahwa aborsi berarti pembunuhan. Itu tidak sama dengan sebuah operasi amandel” (Merton, 137).
Melalui representasi aborsi semacam itu, banyak orang yang kemudian mengalkami serangan terhadap janin sebagai ancaman terhadap integritas mereka dalam tingkat ego tubuh. Perasaan takut, jijik, dan bahkan perasaan ngeri yang dialami banyak orang saat mereka dihadapkan dengan pikiran dan/atau citra tentang penghancuran janin datang dari fakta bahwa citra-citra pengudungan anggota badan menyerang mereka pada inti ragawi dari identitas mereka sendiri. Maka, pada citra-citra janin yang sedang mengalami aborsi, orang-orang ini akan bertemu dengan rasa mengenai kekurangan yang radikal yang sangat mendalam, suatu rasa yang didasarkan atas jejak-jejak mnemic yang diletakkan oleh pengalaman kekacauan dan pengundungan yang dialami tubuh mereka saat masih bayi yang, menurut Lacan, membentuk penandaan puncak (Imajiner) pada pemahamannya tentang kematian.

Pengaruh Psikologis dan Sosial
Pemahaman dimana interpelasi bekerja di dalam register-register Real, Imajiner, dan Simbolik pada para penganut antiaborsi membawa kita pada posisi untuk menyimpulkan berbagai pengaruh psikologis dan sosial yang mengatasi pertentangan atau sikap setuju yang mungkin dipromosikan di dalam diskursus ini. Satu pengaruh umum yang cukup penting tampaknya adalah menguatnya fundamentalisme di kalangan penganut antiaborsi, sikap keras mereka dalam menyucikan beberapa penanda tertentu (nilai dan ideal) dan menjadikan kedua hal ini penanda-penanda transenden.
Pemfosilan penanda utama menghasilkan kekakuan yang mirip di kode moral atau pengetahuan, yaitu sistem pengetahuan dan keyakinan yang ditata oleh penanda-penanda utama. Fundamentalisme dan dogmatisme seperti ini menghasilkan dukungan ke agenda yang secara umum bersifat konservatif atau bahkan reaksioner, yang mendesakkan beberapa penanda utama (‘keluarga’, ‘negara’, ‘Tuhan’) dan pada beberapa bacaan tentang penanda-penanda itu juga (misalnya ‘keluarga’ harus didasarkan atas hubungan heteroseksual monogami, bakti kepada ‘negara’ harus mengungkapkan dirinya sebagai sikap bermusuhan terhadap negara-negara yang bertentangan dengan kita di dalam bidang konflik ekonomi atau militer, dan ‘Tuhan’ harus bersifat antropomorfik, maha kuasa, maha tahu, maha rahim, dan sebagainya). Selain itu, di dalam diskursus antiaborsi, fundamentalisme dan dogmatisme bergabung dengan fantasi mempromosikan penindasan realitas sosial atau psikologis yang menunjukkan kurangnya penanda transenden atau yang menampilkan Yang Real yang disingkirkan, dimana keduanya mengurangi stabilitas penanda utama dan rasa aman yang dibentuk di sekelilingnya. Dan akhirnya, ancaman dan pemuasan narsisistik pasif yang dihasilkan diskursus antiaborsi di dalam ketiga register ini berfungsi membelokkan kekuatan hasrat aktif dan anaklitik dan dengan demikian memperkuat penindasan Liyan atas subjek. 

DAFTAR PUSTAKA
  • Bracher, Mark. (1997). Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik Budaya Psikoanalisis. Yogyakarta: Jalasutra.
  • Luker, Kristin. (1984). Abortion and the Politics of Motherhood. Barkeley: University of California Press.
  • Merton, Andrew H. (1981). Enemies of Choice: The Right-to-Life Movement and Its Threat to Abortion. Boston: Beacon Press.
  • Reagan, Ronald. (1984). Abortion and the Conscience of the Nation. Nashville: Thomas Nelson.
Karya: Alan Sigit Fibrianto,S.Pd_Pengurus Braindilog Sociology


0 komentar:

Posting Komentar