Manusia diciptakan sebagai makhluk multidimensional, memiliki akal pikiran dan kemampuan berinteraksi secara personal (individu) maupun secara sosial. Namun dalam konteks sosial-budaya, manusia tidak dapat hidup sendiri, mereka membutuhkan manusia lain untuk saling berhubungan dalam pemenuhan kebutuhan fungsi-fungsi sosial satu dengan lainnya. Dalam Bungin (2013:25-26) juga menyatakan bahwa fungsi-fungsi sosial yang diciptakan oleh manusia ditujukan untuk saling berkolaborasi dengan sesama fungsi sosial manusia. Meskipun dalam beberapa kondisi, manusia dengan kecerdasannya dapat pula memisahkan fungsi-fungsi tersebut berdasarkan pada kepentingan, kebutuhan serta kondisi sosial yang mengitarinya. Dalam hal pelabelan misalnya, seperti identitas di KTP, sebutan untuk perilaku tertentu yang menyimpang, sebutan atau ungkapan sopan dalam kebiasaan, sebutan pintar dan bodoh dalam belajar, bentuk pelabelan tersebut tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan menjadi berpengaruh bagi manusia lainnya. Itulah sebabnya mengapa perilaku, tindakan, serta fungsi yang dimiliki oleh manusia satu dengan manusia lainnya sampai kapanpun akan selalu memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia lainnya.
Pelabelan dalam interaksi sosial manusia dipusatkan pada reaksi orang lain. Dalam hal ini setiap orang yang memberikan definisi, pemberi label (difiners/ labelers) menganggap sesuatu yang dilabelkan olehnya kepada individu-individu lain adalah sesuatu yang cenderung bersifat negatif. Misalnya dalam konteks penyimpangan, penyimpangan saat ini tidak lagi ditetapkan oleh aturan norma, melainkan melalui reaksi dari penonton sosial yang akhirnya membentuk opini publik (Narwoko dan Suyanto, 2010:115). Realitas hari ini menunjukkan konsep pemberian label berlangsung dalam kehidupan kita sehari-hari. Disadari atau tidak disadari, besar atau kecil, labelling menentukan sikap dan kondisi kita saat ini. Dalam perkembangannya, pemberian label yang sering kita temui adalah cenderung bersifat negatif dan tertuju pada individu yang dianggap menyimpang oleh suatu kelompok masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka menjadi menarik jika membahas lebih lanjut bagaimana perspektif labelling itu sendiri serta pengaruhnya dalam kehidupan.
PERSPEKTIF LABELLING (TELAAH & KRITIK)
Perspektif labelling merupakan suatu pendekatan yang relatif baru dalam studi tentang masalah sosial. Perspektif ini didasari oleh teori interaksionisme simbolik, yang berkonsentrasi pada proses sosial sekitar penyimpangan. Interaksionisme simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dengan interaksi, serta inti dari pendekatannya adalah individu (Poloma, 2004:274). Dalam interaksionisme simbolik makna dan simbol yang diberikan akan memberikan dampak terhadap tindakan dan interaksi manusia (Ritzer dan Goodman, 2008:293).
Perspektif Labelling mempunyai beberapa cara pandang yang berbeda dengan perspektif-perspektif lainnya dalam memandang suatu masalah sosial. Sebagai contoh, jika dalam perspektif lain kejahatan dipandang sebagai sebuah masalah sosial dengan menanyakan bagaimana sebuah kejahatan tersebut dapat terjadi berdasarkan kriteria serta ukuran yang baku, maka dalam perspektif labelling kejahatan dilihat berdasarkan pendekatan subjektif. Sehingga fokus dari perspektif ini adalah lebih kepada bagimana suatu kejahatan tersebut didefinisikan sebagai masalah sosial/ penyimpangan (Julian, 1986:14). Oleh karenanya dalam perspektif ini masalah sosial menjadi relatif, tergantung pada interprestasi serta makna yang diberikan oleh seseorang atau kelompok masyarakat.
Menurut Becker (1963) dalam Narwoko dan Suyanto (2011) menyebutkan tindakan perilaku menyimpang sesungguhnya tidak ada. Setiap tindakan sebenarnya bersifat “netral” dan “relatif”. Hal ini mengandung makna tindakan itu bersifat relatif, tergantung pada sudut padang orang yang menilainya. Sebuah tindakan disebut perilaku menyimpang karena orang lain atau masyarakat memaknai dan menamainya sebagai perilaku menyimpang. Penyebutan tindakan sebagai sebuah penyimpangan sangat bergantung pada proses deteksi, definisi, dan tanggapan seseorang terhadap sebuah tindakan. Howard mengatakan sekelompok sosial yang melahirkan penyimpangan dengan cara melawan aturan yang ada di masyarakat itu sendiri.
Diinspirasi melalui pelopor teori labelling Lemert dan interaksionisme simbolik dari Herbert Mead, Howard Becker (1963) mengembangkan perspektif labelling dengan menekankan kepada dua aspek, yaitu: 1) Penjelasan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu sampai diberi cap ataupun dilabel sebagai orang yang meyimpang, 2) Pengaruh label itu sendiri adalah sebuah konsekuensi penyimpangan tingkah laku. Dalam artian seseorang bisa sungguh-sungguh menjadi menyimpang jika orang tersebut diberi cap meyimpang.
Aspek pertama seperti yang dikemukakan Lemert dalam Sunarto (2004), menyatakan bahwa labelling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut. Oleh karenanya labelling merupakan suatu perspektif yang muncul akibat reaksi masyarakat terhadap perilaku seseorang (Nitibaskara, 1994). Sedangkan pada aspek kedua, pengaruh yang ditimbulkan, pemberian label atau labelling ini kemudian merupakan salah satu penyebab seseorang melakukan penyuimpangan sekunder yang mana mereka mendapatkan citra diri atau definisi diri yang permanen. Disisi lain, seseorang yang diberikan label akan cenderung melakukan tindakan-tindakan lain yang juga termasuk ke dalam tindakan peyimpangan primer, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian label tersebut. Dalam hal ini seseorang yang diberikan label akan berusaha menghilangkan label yang diberikan, meskipun pada akhirnya mereka cenderung melakukan penyimpangan yang lain (Martine, 2008). Berdasarkan kedua aspek tersebut, maka kemungkinan penyimpangan tingkah laku (kejahatan) yang pada akhrinya akan membentuk karir kriminal seseorang bisa jadi mengalami peningkatan.
Mereka yang telah diberikan label menyimpang ini kemudian pada akhirnya akan menjadi perhatian orang-orang sekitarnya, hingga mengarah pada dua konsep yang juga dijelaskan dalam perspektif labelling seperti yang dijelaskan dalam Azwar (2009), yaitu: 1) Master Status, label dominan atau permanen seperti yang telah dijelaskn di atas, pada akhirnya mengarah pada suatu keadaan yang disebut dengan master status. Hal ini mengarah tentang bagaimana karakteristik orang yang diberikan label tersebut terlihat dalam suatu kelompok masyarakat. Bagi sebagian orang label yang telah diterapkan, atau konsep diri yang telah melekaat, mereka akan menerima dirinya seperti apa yang telah dilabelkan kepadanya. Tentu hal ini kemudian akan membuat keterbatasan bagi seseorang yang diberi label tersebut dalam bertindak bahka mengaktualisasikan dirinya. 2) Deviant Carres, pada konsep ini seseorang yang diberi label telah benar-benar bersikap dan bertindak seperti label yang diberikan kepadanya secara penuh. Pada tahapan ini si pelaku penyimpangan atau pelanggar aturan sudah ditetapkan menjadi devian penuh (outsider).
Berdasarkan paparan yang telah disebutkan di atas mengenai perspektif labelling yang lebih mengarah kepada perilaku menyimpang, menurut hemat penulis persepktif ini kurang mendalam pada telaahnya dalam menjelaskan munculnya perilaku menyimpang itu sendiri. Perspektif ini tidak menjelaskan tahapan-tahapan secara konkret mengenai kapan dan bagaimana suatu perilaku itu dapat dikatakan menyimpang. Hal ini barangkali berangkat dari perspektifnya yang memang berada pada tataran penilaian subjektif. Penilaian yang dilakukan secara subjektif dalam hal ini kemudian menolak aturan baku ataupun aturan norma yang ada dalam masyarakat. Padahal setiap individu merupakan bagian dari masyarakat yang tidak lepas dari struktur sosial serta aturan norma yang telah disepakati, mengikat dan mendasari tata cara berperilaku pada suatu kelompok masyarakat. Hal ini mengartikan bawah struktur sosial dan aturan norma seharusnya juga menjadi rujukan dalam melihat, menilai, serta memaknai suatu perilaku, untuk kemudian memutuskan suatu perilaku itu disebut menyimpang. Sebagai contoh misalnya Festival Omed-Omedan (festival ciuman massal ala anak muda di Bali). Aksi ini bagi masyarakat Bali bukan merupakan aksi bugil dan bukan pula aksi pornografi, melainkan merupakan tradisi yang diselenggarakan setiap tahun untuk untuk melestarikan warisan leluhur. Pernah suatu waktu omed-omedan tidak dilaksanakan dan muncul musibah yang ditandai dengan perangnya 2 ekor babi di Banjar Kaja. Kemudian para sesepuh desa memutuskan untuk langsung menggelar prosesi omed-omedan untuk menjauhkan desa dari bencana yang lebih besar. Jika melalui perspektif labelling yang memandang suatu permasalahan sosial dianggap menyimpang dilakukan secara subjektif, maka barangkali festival ini akan dianggap menyimpang bagi sebagian masyarakat dari suku, budaya, serta agama yang berbeda dengan masyarakat Bali. Tetapi dari segi aturan norma, festival omed-omedan bukanlah suatu perbuatan menyimpang tetapi warisan leluhur yang harus dilestarikan.
Dalam hal lainnya, perspektif ini juga bersifat deterministik dan menolak pertanggungjawaban individual yang dikenai cap/ label oleh labelers. Sebagai contoh penjahat, penjahat (sebutan bagi pelaku menyimpang) bukanlan robot yang pasif dari reaksi masyarakat, hingga kemudian menerima begitu saja label yang diberikannya. Masih ada penyimpangan tingkah laku lainnya yang sudah secara interistik merupakan kejahatan, seperti memperkosa seorang perempuan, membunuh, dan lain-lain. Hal ini kemudia menjadikan perspektif ini kemudian tidak berlaku bagi semua jenis perbuatan menyimpang. Oleh sifatnya yang bersifat relatif, netral, dan bergantung pada tindakan subyektif, perspektif ini kemudian menjadikan siapa saja seakan-akan dapat memberikan cap/ label kepada siapapun tanpa ada rasa takut akan diberikan sanksi jika label yang diberikannya ternyata salah. Misalnya saja mereka yang memiliki kekuatan dan penguasaan sarana dapat dengan mudah membentuk opini publik dan akan terus merasa bebas dalam memberikan label hingga memunculkan konstruksi sosial bagi kelompok masyarakat yang dipengaruhinya. Tentu hal ini menjadi sangat tidak wajar, karena berpotensi akan memunculkan masalah sosial berupa konflik pertentangan dari mereka yang diberikan label.
Jika penyimpangan tingkah laku hanya merupakan persoalan reaksi masyarakat, maka bagaimana dengan bentuk penyimpangan tingkah laku yang tidak tampak atau tidak terungkap dari pelakunya. Perspektif ini mengabaikan faktor penyebab awal dari munculnya penyimpangan tingkah laku. Perspektif ini selalu beranggapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan tampak argumentasinya adalah cap diletakan secara random (sesuai dengan interprestasi orang yang melihatnya). Hal ini kemudian menjadikan kejahatan yang sangat seriuslah atau yang terlihatlah memperoleh reaksi masyarakat hingga sampai persoalan pemberian cap. Jika memang seperti ini, lantas bagaimana suatu perbuatan menyimpang atau kejahatan yang sifatnya kecil atau tidak terlihat? Melalui sudut pandangnya perspektif labelliing ini sangat empatis pada korban atau devian, dan menempatkan masyarakat sebagai institusi pemberi label, seakan-akan masyarakatlah yang menjadi faktor penyebab awal masalah sosial itu terjadi. Padahal masih banyak faktor lain yang perlu pula untuk dijelaskan.
KESIMPULAN
Perspektif labelling menganggap masyarakat sebagai agen opini pemberi label, padahal hakekatnya menjadi pertemuan yang disengaja atau tidak, individu yang diberi label juga memiliki keunikan (inheren) dalam bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri. Jika cara pandang perspektif yang dilakukan secara subjektif ini dilakukan tanpa adanya ukuran baku, maka tidak menutup kemungkinan pula rasa seperti teralienasi serta eksklusion yang dirasakan oleh seseorang yang diberikan label akan semakin meningkat.
REFERENSI
Bungin, Burhan. (2013). Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana
Azwar, S. 2009. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya (Edisi ke 2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Julian, Joseph. 1986. Social Problem. New Jersey: Prentice-Hall
Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. 2010. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Ketiga. Jakarta: Prenada Media Group
Nitibaskara, T.R. 1994. Psikologi Hukum. Jakarta: Jayabaya University
Poloma, M. Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Media Group
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Marini Kristina Situmeang Email: marinikristinasitumeang@gmail.com |
0 komentar:
Posting Komentar