Terorisme
menurut Conway Henderson (International
Relations Conflict and Cooperaion at the turn of 21th Century) adalah suatu
aksi kekerasan yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang atau jaringan,
dimaksudkan untuk menciptakan suasana atau keadaan berbahaya serta penuh
ketakutan dan bisa muncul dengan motif beragam demi kepentingan politik,
ekonomi dan ideologi. Dalam sudut pandang sosiologi, terorisme merupakan salah
satu bentuk penyimpangan sosial berupa tindak kriminalitas baik fisik maupun
psikis karena bersifat mengancam masyarakat dan menimbulkan dampak negatif.
Terorisme
cenderung berupa aksi berkelompok yang kemunculannya disebabkan oleh faktor
internal maupun eksternal. Faktor internal munculnya terorisme diantaranya
adalah minimnya pemahaman tentang agama, ideology dan wawasan kebangsaan. Sedangkan
faktor eksternal adalah lingkungan, kondisi sosial dan kondisi politik seperti
ketidakadilan pemerintah dalam melakukan distribusi ekonomi pada rakyat.
Dampak
terorisme bagi masyarakat tentu sangat beragam, yakni pada kehidupan sosial,
politik, dan ekonomi. Ini yang menurut saya perlu menjadi perhatian lebih pemerintah
dan akan menjadi titik bahas utamanya. Terorisme sendiri merupakan penyimpangan
ideologis yang terstruktur dimana para oknumnya memiliki jaringan yang tersebar
di beberapa wilayah dan memiliki motif aksi terencana.
Berdasarkan
skema kajian Stanley Cohen, setelah aksi terorisme akan terjadi proses
sosial berupa kepanikan moral, rasa cemas dan was-was. Kemudian beberapa waktu
setelah itu, akan muncul fobia sosial atau fobia lingkungan. Dalam fase ini,
individu dalam masyarakat akan mengalami Social
Anxiety Disorder ditandai dengan kecemasan dalam proses interaksi dan rasa
takut akan suatu hal secara berlebihan. Apabila ini tidak dapat diatasi, akan
timbul ketidakstabilan sosial yang menghambat efektivitas kehidupan masyarakat.
Hubungan sosial antar masyarakat juga akan terjadi keadaan "rentan
konflik" yang memicu disintegrasi sosial karena rasa kecurigaan terhadap
kelompok tertentu.
Dampak sosial kasus terorisme yang berbahaya
ini tentunya harus lebih diperhatikan oleh pemerintah dan seluruh masyarakat
Indonesia. Mengacu pada Teori Cultural Studies menurut Stuart Hall yang mengkaji mengenai keterkaitan antara kekuasaan dengan
kebudayaan dapat mempengaruhi kehidupan sosial-politik sebuah komunitas, kita
dapat menemukan sebuah solusi sekaligus inovasi berupa pencegahan dan rehabilitasi korban terdampak terorisme berbasis
kearifan lokal “Srawung Guyub Rukun” dan menerapkan pemikiran dengan sudut
pandang terbuka dengan mengedepankan toleransi dan gotong royong.
Srawung
dalam Bahasa Jawa artinya berinteraksi, guyub
artinya kebersamaan sedangkan rukun memiliki
makna keselarasan atau tanpa
pertikaian. Kearifan lokal ini menggambarkan keadaan sosial yang aktif dalam
interaksi, saling peduli dan penuh kedamaian karena nilai dan norma masih
sepenuhnya dipegang teguh. Penerapan kearifan lokal “Srawung Guyub Rukun” dalam menanggulangi terorisme sekaligus
dampaknya ini dapat dibiasakan oleh
masyarakat yang sering menjadi tempat sasaran menyebarnya paham dan aksi terorisme.
Dengan ini, diharapkan tingkat kepedulian sosial masyarakat perkotaan juga
lebih tinggi serta memiliki hubungan keterikatan yang lebih kuat. Sehingga
dampak sosial terorisme ditengah masyarakat dapat dikendalikan.
Tindakan
progresif yang dapat diakukan berdasarkan Teori Cultural Studies, pemerintah melalui BNPT (Badan Penanggulangan
Terorisme) sebagai pihak yang memiliki kekuasaan harus bersinergi dengan
masyarakat untuk menanggulangi terorisme secara progresif dan berkelanjutan. Dengan kearifan lokal “Srawung Guyub Rukun”, pemerintah dapat
mengaktifkan elemen lembaga sosial masyarakat seperti LSM sebagai media pelopor
pencegahan berkembangnya paham terorisme melalui sosialisasi aktif tentang
pendidikan pemahaman anti-terorisme.
Sosialisasi
paham anti-terorisme melalui media sosial dengan bantuan influencer atau publik figur tentu akan sangat berpengaruh di
masyarakat. Karena influencer memiliki
pengaruh yang cukup kuat dalam mempersuasi masyarakat. Dalam stratifikasi
masyarakat modern, komponen publik figur baik pejabat, selebriti, maupun
seniman merupakan role model yang
tentunya memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan sosial masyarakat khususnya
bagi kaum pemuda. Maka akan sangat efektif jika pemerintah juga merangkul
komponen publik figure untuk ikut serta dalam upaya menolak dan mencegah aksi
terorisme di Indonesia.
Masyarakat sendiri juga harus berupaya untuk lebih kooperatif bekerja sama dengan pemerintah dalam mencegah terorisme dengan menguatkan diri pada pondasi agama dan paham anti-terorisme yang kuat sehingga dapat memfilter masuknya ideologi-ideologi baru dengan bijak. Tanpa kerja sama dan sinergi menyeluruh, upaya penanggulangan terorisme akan sulit terealisasikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul,
S. Husein. 2017. Empat Generasi dalam Sejarah Terorisme. Online
(https://tirto.id/empat-generasi-dalam-sejarah-terorisme-cwpb). Diakses pada 14
April 2021.
Indra
Astuti, Santi. 2003. Cultural Studies.
Studi Komunikasi sebagai suatu Pengantar, 4(1), 58
Veeger, K.J. 1985. Realitas Sosial;
Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala
Sejarah Sosiologi. Jakarta; Gramedia.
Wikipedia.
2018. Sociology of Terorism. https://en.wikipedia.org/wiki/Sociology_of_terrorism&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp&prev=search.
Diakses tanggal 15 April 2021.
Nadia Muslimatul Ummah
(MAN 1 BLITAR)
Juara 1 Olimpiade Sosiologi (OSUM) 2021 |
0 komentar:
Posting Komentar