Jumat, 04 Februari 2022

Dimensi Heterotopia: Fungsi Liyan Masjid Jogokariyan

Indonesia merupakan negara dengan populasi umat muslim terbesar di dunia. Sensus penduduk di Indonesia tahun 2010 menyatakan bahwa sebesar 87.18% jiwa atau setara 207.176.162 penduduk di Indonesia adalah beragama islam (www.bps.go.id). Besarnya prosentase penduduk yang beragama islam berbading lurus dengan banyaknya masjid dan mushala yang terdaftar di Kementrian Agama Republik Indonesia adalah 546.043 diantaranya terdapat 8.015 masjid di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdaftar di simas.kemenag.go.id.

Masjid yang tersebar luas di berbagai daerah ini berfungsi sebagaimana masjid dalam fungsi aslinya sebagai tempat peribadatan. Ironinya, masjid seperti itu menjadi masjid yang ramai di waktu-waktu tertentu. Menilik spirit tauladan umat islam—Nabi Muhammad SAW dalam membangun kegiatan masjid menjadikan masjid tidak hanya berfungsi tunggal. Masjid memiliki multifungsi, digunakan sebagai tempat musyawarah, belajar-mengajar, dan menjadi tempat pengaduan permasalahan masyarakat. Masjid bukan hanya tempat yang digunakan untuk ritual ibadah melainkan sebagai sarana umat muslim untuk melakukan aktivitas sosial, pendidikan dan sebagai tempat pemersatu masyarakat.

Penjelasan ini merupakan hasil analisa berdasarkan observasi lapangan dan kajian pustaka dengan menggunakan analisa heterotopia Michele Foucault. Observasi lapangan dilakukan untuk melihat bagaimana masjid dalam fungsi tunggal terlaksana dan menjadi multifungsi ketika berbagai kegiatan tercipta dalam masjid. Ruang lingkup kegiatannya berada pada ruang utama dan serambi masjid yang digunakan sebagai tempat sholat sekaligus sebagai tempat alternatif masyarakat dalam berkegiatan. Kajian pustaka dilakukan untuk memperkuat analisa dari observasi lapangan yang telah dilakukan.

Heterotopia Michele Foucault

Memahami ruang secara umum sering dimaknai atas dua hal yaitu ruang nyata dan ruang tidak nyata. Ruang nyata identik sebagai ruang kasat mata dan berwujud secara fisik, sedangkan ruang tidak nyata merujuk pada sebuah gagasan atau ide yang dimiliki oleh setiap individu terhadap sesuatu dan dapat jadi berbeda-beda.

Ruang sebagai place dapat memiliki fungsi lebih dari satu disebut sebagai ruang multifungsi. Sedangkan sebuah place yang dapat mengakomodasi lebih dari satu aktivitas dan tatkala bertentangan disebut ruang relatif. Ruang relatif yang ada dalam ruang multifungsi (place: satu) dapat diartikan sebagai ruang heterotopia.

Heterotopia dapat dipahami sebagai ruang tidak nyata yang berada dalam ruang nyata. Dimana dimensi tidak nyata ini dapat bergeser sesuai aktivitas yang ada di dalamnya (konteks sosial). Maka dari itu, ruang nyata bersifat relatif sebab karakter isi ruang dapat selalu berubah-ubah sesuai dengan konteks sosial yang terjadi.

Utopia———Heterotopia———Distopia.

Utopia yang dimaksud Foucault merujuk pada “ruang-ruang liyan.” Ruang-ruang liyan ini merupakan ruang yang tercpta karena relasinya dengan ruang di luar ruang itu sendiri. Hubungan tersebut terkadang berlawanan atau berkebalikan secara langsung. Utopia adalah ruang liyan tanpa tempat atau lokasi geografis yang nyata, namun memiliki relasi langsung dengan ruang-ruang lain yang sesungguhnya ada dalam masyarakat. Meski tanpa tempat yang nyata secara geografis, utopia dapat dengan mudah ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari manusia. Utopia dalam konsep Foucault merupakan konsep ruang itu sendiri. Ia merepresentasikan pemahaman manusia terhadap ruang yang berimplikasi waktu di dalamnya.

“Utopias are sites with no real place. They are sites that have general relation of direct or inverted analogy with the real space of society. They present itself in a perfected form, or else society turned upside down, but in any case these utopias are fundamentally unreal spaces.” (Foucault, Michel (1986), “Of Other Spaces”. Diacritics No. 16, 22-27)

Heterotopia terletak diantara utopia dan distopia, di mana utopia sebagai ide/gagasan, distopia sebagai lokasi secara fisik. Heterotopia dalam konsep Foucault terdapat enam prinsip diantaranya, tidak ada heterotopia bersifat universal. Heterotopia berlaku di kalangan tertentu dan bergantung bagaimana sudut pandang seseorang dalam melihat heterotopia; bersifat compatible/saling berkaitan dengan konteks sosial atau incompatible/saling bertentangan; berhubungan ruang yang secara fungsi tumpeng tindih dalam satu ruang fisik; beririsan secara waktu; menutupi ruang riil dan hanya dapat diakses kalangan tertentu.

            

            Masjid dalam Bingkai Heterotopia

Pembahasan terkait masjid Jogokariyan menarik dipahami dalam konteks heterotopia Michele Foucault di mana masjid Jogokariyan menjadi salah satu model tempat peribadatan umat islam yang berjalan dengan baik, meskipun bangunan masjid Jogokariyan tampak sederhana, ragam biro(bagian kecil dari pelayanan masjid) terbentuk untuk mengurus berbagai kegiatan masjid dan mencapai keberhasilan dalam menggerakkan masyarakat untuk aktif berbagai kegiatan yang diselenggarakan masjid.

Tulisan ini menjadikan masjid sebagai locus dalam pembahasan heterotopia di mana masjid sebagai ruang fisik selalu berkaitan dengan konteks sosial yang diciptakan para pelaku di dalamnya sehingga tercipta kegiatan pada ruang tersebut. Masjid yang seringkali memiliki misi menjadi pusat peradaban memenuhi kriteria heterotopia Foucault di mana terdapat tumpang tindih fungsi ruang pada satu ruang tertentu. Satu ruang masjid bisa memiliki fungsi ganda dan mewujud kegiatan di ruang fisik tersebut.

                                    Menilik sejarah masjid di masa Nabi Muhammad SAW, selain menjadi pusat peradaban bagi masyarakat sekitar, masjid sebagai tempat mencetak generasi pemimpin yang bermula dari pemahaman agama melalui kegiatan-kegiatan pengkaderan, penanaman nilai-nilai islam dan pembelajaran di masyarakat.

Masjid: Ruang Real (Nyata)

Masjid Jogokariyan secara geografis terletak di Kecamatan Mantrijeron Yogyakarta. Masjid Jogokariyan berawal dari langgar (tempat) mengaji kecil di pinggiran kampung Jogokariyan pada tahun 1967. Setelah adanya gerakan perubahan sosial komunitas, masjid Jogokariyan berlangsung secara bertahap masjid mengalami perkembangan, baik dari luasan ataupun bentuk masjid (Arrozy, 2016).  

Pada awal perkembangan masjid Jogokariyan, bentuk masjid masih sederhana. Nuansa kearifan lokal sangat kental, bentuk atap miring berpadu homogen/sama dengan atap permukiman penduduk sekitar. Lalu pada tahun 1999-2003 terjadi pelebaran, penambahan jumlah lantai dan perubahan atap yang semula bercirikan atap bangunan tropis, berubah menjadi atap qubah seperti ciri masjid sebagaimana umumnya. Nilai kearifan lokal dari masjid berkurang, masjid dimodifikasi menjadi gaya timur tengah. Pada tahun 2000an terjadi pelebaran masjid, terdapat menara tinggi, penambahan cat/warna berwana hijau makin mengurangi nilai kearifan lokal. Bangunan Masjid Jogokariyan Yogyakarta pada Profil Bangunan Masjid Jogokariyan tahun 2014 terdiri dari tiga lantai dan berdiri di tanah seluas 1118 m2 dengan luas bangunan di lantai 1 seluas 387 m2. lantai 2 seluas 400 m2 dan lantai 3 seluas 170 m2.

Heterotopia yang diimplementasikan dalam kegiatan di ruang fisik (distopia) diantaranya melalui revolusi mental pengurus masjid. Pengurus masjid menjadi tonggak awal kegiatan-kegiatan di ruang fisik masjid berlangsung dan berkelanjutan. Di lain sisi, terdapat beragam upaya menyebarkan spirit ekonomi, politik, seni dan budaya, di mana dalam pengembangan spirit keberagamaan diperlukan kecakapan dalam berelasi secara sosial. Kecakapan sosial mewujud pada kegiatan yang terjadi di ruang riil.

B.     Masjid: Ruang Non-Real (Tidak Nyata)

Ruang yang compatible memiliki fungsi positif dan mewujud dalam berbagai kegiatan. Agar ruang fisik secara fungsi dapat berjalan sebagaimana mestinya membutuhkan individu/komunitas untuk mengelola berbagai kegiatan. Individu-individu tersebut menjalin sebuah relasi konstruktif guna meningkatkan kualitas kegiatan masjid. Dalam analisa heterotopia, difokuskan pada kegiatan yang berada di dalam dan serambi masjid dengan pergeseran fungsi asli. Fungsi utama untuk tempat peribadatan bertumpang tindih dengan fungsi lain untuk memenuhi tujuan masjid sebagai pusat peradaban. Bermula dari merevolusi mental pengurus masjid.

Revolusi Mental Pengurus Masjid. Sejalan dengan tiga filosofi masjid yakni menjadi tempat ibadah, mencetak pemimpin dan sebagai pusat peradaban, langkah awal yang ditempuh masjid Jogokariyan adalah merevolusi pengurus masjid. Revolusi pengurus masjid dengan melakukan pelayanan yang dibuka 24 jam beserta fasilitas wifi. Bentuk tanggung jawab pengurus masjid atas ruang fisik yang disinggahi oleh tamu yang menginap/bermalam atau tamu yang hanya singgah beberapa jam untuk beristirahat/sholat adalah

“Barang pribadi yang hilang menjadi tanggungjawab pengurus masjid”

Tulisan tersebut di tempel di dalam dan luar masjid. Kebanyakan masjid menempelkan pengumuman bahwa barang menjadi tanggung jawab pribadi, berbeda dengan masjid Jogokariyan antara masjid, pengurus dan pengunjung adalah relasi yang menjadi tanggung jawab pengurus masjid. Apapun peristiwa yang terjadi di dalam masjid menjadi perhatian bagi pengurus dan pengunjung berhak atas pelayanan tersebut.

Pelayanan totalitas pengurus masjid menjadi hal unik dan dijadikan oleh masjid lain sebagai model. Di sisi lain, pelayanan kebersihan kamar mandi menjadi indikator dalam pelayanan totalitas pengurus masjid, disetiap pintu kamar mandi terdapat nama penanggung jawab masjid, sehingga ketersediaan kebutuhan pengunjung terpenuhi. Rasa tanggung jawab tersebut didapatkan melalui ceramah-ceramah (subuh, kajian rutin, kajian jum’at) yang diselenggarakan di dalam masjid.

Me-Nol-kan saldo masjid, menjadi salah satu cara pengurus masjid membangun relasi berdasarkan trust (rasa percaya) pada masyarakat kampung Jogokariyan.

“Dengan pengumuman saldo infak yang nol rupiah, maka jamaah lebih bersemangat mengamanahkan hartanya," (http//:masjidjogokariyan.org)

                        Pelaksanaan teknis pengumuman di dalam masjid oleh pengurus seusai sholat berjamaah pada hari Jum’at. Menguatnya motivasi jamaah untuk mengalokasikan hartanya ke masjid untuk berbagai kegiatan selaras dengan konsep utopia Foucault di mana terdapat ide/gagasan terikat antara amalan dan Syurga,

ۘ ÙˆَتَعَاوَÙ†ُوا عَÙ„َÙ‰ الْبِرِّ ÙˆَالتَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ٰ ۖ ÙˆَÙ„َا تَعَاوَÙ†ُوا عَÙ„َÙ‰ الْØ¥ِØ«ْÙ…ِ ÙˆَالْعُدْÙˆَانِ ۚ ÙˆَاتَّÙ‚ُوا اللَّÙ‡َ ۖ Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ø´َدِيدُ الْعِÙ‚َابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]

Konsep islam di atas yang disampaikan di dalam masjid melalui ceramah menginternalisasi jalan pikir dan terimplementasi dalam keseharian pengurus masjid. Relasi berdasarkan trust itu dikuatkan dengan adanya tanggungjawab pengurus mengganti sepatu dan sandal jamaah yang hilang. Trust jamaah terhadap pelayanan masjid menjadikan hubungan pengurus masjid, jamaah, pengunjung langgeng/berkelanjutan. Sehingga kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan pengurus di masjid selalu bisa memobilisasi dan mendapat dukungan masyarakat setempat. 

Masjid dalam Membuka Wacana Ekonomi. Bermula dari seorang jamaah yang datang mengadukan nasib keterpurukan ekonomi keluarga, menggerakkan pengurus masjid untuk peduli dengan warga kampung Jogokariyan. Pengurus masjid menyediakan kotak dengan dua lubang berjajar yang dikenal dengan sistem jimpitan, di mana antar warga saling membantu warga lain yang kesusahan secara ekonomi dengan memberikan satu genggam beras setiap kali datang ke masjid. Kardus itu disediakan di serambi masjid sejajar dengan tempat paling ujung yang biasa digunakan untuk jamaah perempuan. Dalam konteks jimpitan ini masjid semakin menguat dimensi heterotopia pada fungsi ruang yang saling tumpang tindih.

Semakin banyak warga yang ingin menyumbangkan berasnya ke masjid, masjid memiliki sistem baru yang dinamakan ATM beras yang dirintis pada tahun 2014. ATM beras memiliki persamaan fungsi dengan sedekah beras dengan media kardus, yang menjadi perbedaan adalah digitalisasi. Sistem pengambilan beras menggunakan kartu yang dipegang masyarakat dengan kriteria yang sudah ditentukan oleh pengurus masjid. ATM beras ini dipindahkan di depan sekretariat masjid, sehingga fungsi heterotopia hilang dalam konteks ini.

                        Guna melanggengkan fungsi sedekah beras ini, pengurus masjid biro pelayanan umat dan himpunan remaja masjid bekerjasama dalam pengumpulan data masyarakat yang perlu dibantu. Masyarakat yang dimintai data dengan mudahnya menceritakan berbagai hal yang menjadi permasalahan dalam rumah tangga, sehingga pengurus masjid bisa melakukan follow up terkait alternatif yang akan diberikan.

Penyediaan Pelayanan Qurban Idul Adha. Melalui ceramah yang ada di masjid Jogokariyan, masyarakat yang mendonasikan hewan kurban melimpah, masyarakat dibawa pada irisan waktu masa lalu ketika nabi Ibrahim sebagai tokoh yang mulia karena kerelaannya mengorbankan ismail anaknya. Semangat rela berkorban itu disalurkan dari pemuka masjid pada jamaah yang mengaji di masjid sehingga muncul motivasi dan menggerakkan masyarakat khususnya jamaah untuk berpartisipasi menyedekahkan sebagian hartanya pada hari raya Idul Adha. terbukti pada tahun 2016 penyelenggaraan 50 kambing untuk masyarakat (masjidjogokariyan.org)

Masjid dan Spirit Politik. Di tengah pembahasan politik yang menciptakan polarisasi pada masyarakat, masjid berfungsi sebagai peredam polarisasi tersebut. Masyarakat dihimbau agar berpartisipasi dalam pesta demokrasi pada pemilihan umum 2019 lalu. Himbauan umum dijelaskan dalam ceramah rutin di masjid tetapi terkait follow up pemilihan dan partisipasi dalam hal teknis dikembalikan kepada masyarakat sendiri. Masjid memberikan penyadaran-penyadaran bahwa jamaah sebagai individu merupakan subjek dari pesat demokrasi Indonesia. Oleh sebab itu, jamaah dihimbau agar tidak apatis dengan pemilihan umum yang terselenggara,

Mengaktifkan Imajinasi dalam Seni dan Pendidikan. Sejalan dengan prinsip heterotopia Foucault terdapat irisan ruang, di mana satu ruang fisik memiliki ragam fungsi.

“Foucault argues that we are no longer living in a world of time that moves forward, but in networks of places opening onto one another, yet unable to be reduced to one another or superimposed upon each other.”(dalam Sudradjat, 2012)

Kegiatan TPA dan perlombaan seni anak menjadi salah satu wujud dari kegiatan yang ada di ruang fisik masjid. Kegiatan pendidikan TPA terselenggara di ruang utama dan serambi masjid yang rutin dilaksanakan sesuai dengan jadwal sore hari. Relasi sosial dibangun oleh pengurus masjid dengan keluarga anak didik yang ingin mendalami ilmu agama. Kegiatan yang inovatif dari para ustadz/ustadzah takmir masjid menjadikan kegiatan ini langgeng. Sebagai kegiatan yang cukup memobilisasi anak-anak untuk bergabung, diadakan kegiatan bulanan berupa lomba menggambar/seni untuk anak-anak dan sifatnya terbuka untuk umum atau delegasi dari TPA lain.  

Eksklusivitas Masjid. Fungsi secara asli masjid sebagai ruang peribadatan. Ruang sebagai peribadatan ini menjadikan masjid sebagai ruang ekslusif yang hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu, dalam hal ini oleh umat muslim. Meskipun dalam ruang lain, seperti adanya bantuan sosial, kegiatan-kegiatan sosial masjid memiliki fungsi yang lebih terbuka dan bisa diakses oleh kalangan umum.

Kesimpulan

Eksistensi dan dinamika di dalam masjid Jogokariyan menunjukkan keselarasan dengan gagasan Foucault mengenai ruang heterotopia. Di mana terdapat ruang yang terbentuk dari ruang distopia dan ruang utopia serta dapat dipahami melalui konteks sosial. Dengan kata lain, ruang sosial terbentuk berdasarkan adanya relasi sosial. Masjid Jogokariyan sebagai ruang distopia dulunya sangat terkait dengan hal utama sebagai tempat beribadah, tetapi kini telah berkembang menjadi ruang bagi wacana ekonomi, spirit politik bagi pengelola dan masyarakat. Meskipun begitu esensi sebagai tempat beribadah tetap ada, khususnya lebih terasa ketika pada hari raya besar tepatnya hari raya Idul Fitri, Idul Adha sebab esensi dari peribadatan semakin menguat. Maka dari itu, ruang sosial inilah yang memberikan wadah untuk setiap individu khususnya yang berkuasa dapat menginterpretasikan ruang dan mengembangkan fungsi ruang sebagai alternatif ruang sosial.

Daftar Pustaka

Arrozy, Ahmad M. 2016. Perubahan Sosial Komunitas Masjid Kampung Jogokariyan Yogyakarta Tinjauan Sosiologi-Sejarah. Jurnal Analisa Sosiologi April, 5(1):  92-112

Anfanni, Rizqi. 2015. Dari Masjid Membangun Umat Ala Masjid Jogokariyan. Makalah Program Pascasarjana Magister Studi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia.

Foucault, Michel (1986), “Of Other Spaces”. Diacritics No. 16, 22-27

Kurniawan, Syamsul. 2014. Masjid dalam Lintasan Sejarah Umat Islam. Institut Agama Islam Pontianak. Jurnal Khatulistiwa – Journal of Islamic Studies Volume 4 Nomor 2 September.

Prasetya, Andri. 2014. Optimalisasi Fungsi Masjid Sebagai Ruang Publik Study Tentang Peran Pengelola dan Transformasi Ruang Publik di Masjid Jogokariyan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Sudradjat, Iwan. 2012. Foucault, the Other Spaces, and Human Behaviour. Procedia - Social and Behavioral Sciences   36  ( 2012 )  28 – 34

Website :

            Data penduduk di Indonesia adalah beragama islam (www.bps.go.id).

            Kementrian Agama Republik Indonesia (simas.kemenag.go.id)

http://masjidjogokariyan.com/sejarah-masjid-jogokariyan/

            http://masjidjogokariyan.com/5-fakta-unik-qurban-jogokariyan/

Karya:

Gita Octaviani

Sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

email: gitaoctaviani18@gmail.com



0 komentar:

Posting Komentar