Kamis, 31 Maret 2022

Gengsi dan Stratifikasi dalam Konsumsi


Setelah mendengar kalimat ‘Aku berbelanja, maka aku Ada’, penulis merasa tergelitik untuk memahami apa maksud di balik kalimat tersebut. Kalimat yang dasarnya merupakan ungkapan Descartes, nampaknya kini telah mengalami perubahan. Awalnya ‘aku berpikir, maka aku ada’ digantikan oleh ‘aku berbelanja, maka aku ada’. Ungkapan tersebut nampaknya merupakan sebuah gambaran yang tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan realitas kehidupan zaman sekarang. Artinya, ungkapan ini mencoba menggambarkan perilaku konsumtif sebagian besar masyarakat. Bahkan, dewasa ini tingkat konsumsi dijadikan sebagai upaya pembentukan identitas dan keberadaan seseorang (status sosial).

            Hal tersebut bisa kita amini dengan melihat berbagai fenomena yang terjadi. Kita ambil contoh misalnya mayoritas perilaku generasi muda, utamanya di lingkungan penulis. Mereka yang seharusnya disibukkan dengan mengasah skil, wawasan serta pengetahuan, malah cenderung terjebak ke dalam konsumerisme dan hedonism -‘besok membeli apa dan bagaimana memaksimalkan sebuah gaya atau penampilan’. Berpakaian trendi dan menggunakan barang-barang yang terkesan high class seolah menjadi suatu hal yang harus dicapai. Sehingga fenomena tersebut memperkuat dugaan Baudri bahwa era sekarang adalah era di mana penampilan, kecantikan, kegantengan lebih penting dibandingkan kedalaman dan kebijaksanaan.[1]

            Banyak sekali faktor yang mendorong masyarakat ke dalam perilaku konsumtif, media sosial tentu menjadi salah satu pengaruh yang tidak bisa kita lupakan. Bagaimana tidak, penulis ambil contoh dalam salah satu channel youtube. Di youtube terdapat sebuah tontonan yang mana acaranya mereview pakaian yang dikenakan oleh seseorang, atau dalam istilah populernya out fit of the day (OOTD). Di sadari ataupun tidak, menurut penulis acara tersebut secara perlahan membentuk pemahaman bahwa kita harus selalu berpenampilan menarik dengan barang-barang yang berkualitas. Lambat laun hal tersebut mendorong masyarakat -utamanya generasi muda- untuk meningkatkan daya beli serta kualitasnya. Tentu agar suatu waktu jika ada yang bertanya tentang barang termasuk harganya tinggal jawab dengan penuh rasa percaya diri.

            Kemudian di samping itu, adanya berbagai kemudahan yang diberikan oleh teknologi serta derasnya iklan dari media massa seolah-olah mengkonstruk bahwa kita harus terus mengkonsumsi tanpa mempertimbangkan tingkat kebutuhan dan fungsi dari apa yang di iklankan. Dalam hal ini memang, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa media merupakan pembentuk masyarakat. Misalnya, bagaimana penyiaran iklan yang tidak hanya memasarkan sebuah komoditas atau produk, tetapi sekaligus bermuatan ideologi konsumerisme.[2] Sejalan dengan hal tersebut, McLuhan mengasumsikan bahwa media mempengaruhi setiap tindakan dalam sebuah masyarakat.[3]

            Coba kita amati, dewasa ini banyak sekali masyarakat -bahkan tidak terkecuali generasi muda, yang membeli barang-barang branded atau barang-barang terkenal dengan harga yang cukup fantastis akibat tergiur bujuk-rayu (seduction) iklan dari berbagai media. Membeli Smartphone, baju (T-Shirt), makanan (Food), alat transportasi serta hal lainnya yang bukan lagi di dorong oleh urusan kegunaan, melainkan karena citra atau tanda yang dibangun dalam sebuah barang/komoditas tersebut. Sehingga ketika mengkonsumsi suatu komoditas, seseorang bisa dipandang sebagai orang yang up to date dan tentunya berkelas. Maka dari itu, tidak berlebihan ketika dikatakan bahwa sebuah konsumsi serta kepemilikan suatu barang sangat erat kaitannya dengan simbol status sosial.[4] Sebuah aktivitas yang lebih mengedepankan gengsi dan stratifikasi.

            Istilah Masyarakat Konsumer dari Jean Baudrillard menurut penulis tepat dan dapat dijadikan sebagai upaya untuk memahami bahkan menganalisis perubahan perilaku konsumsi masyarakat dewasa ini. Menurut Baudri, dalam aktivitas konsumsi terdapat pergeseran nilai, dari yang awalnya nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange value) menjadi nilai tanda (sign value) dan nilai simbol (symbolic value).[5] Misalnya seperti yang telah dicontohkan di atas, membeli mobil mewah, smartphone dengan merek tertentu dan makan di resto termahal adalah salah satu aktivitas konsumsi yang tidak lagi mempertimbangkan nilai guna dan nilai tukar, tetapi lebih kepada nilai tanda dan nilai simbol. Dalam artian, seseorang melakukannya tidak terlalu memperhatikan harga maupun sebuah kegunaan, melainkan karena adanya sebuah perasaan tersendiri (prestise), salah satunya tentu agar terlihat keren, orang terpandang, bermerek, bahkan mungkin terkesan orang yang high class. Maka dalam hal ini, untuk sekedar makan pun bukan lagi persoalan enak tidak enak, kenyang atau tidak kenyang, tetapi lebih dari itu; gengsi dan stratifikasi.

            Dalam masyarakat konsumer Baudri, masyarakat mengkonsumsi aktivitas konsumsi itu sendiri. Artinya, hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang mungkin tidak bisa terlewatkan seiring perkembangan zaman yang selalu memberi kemudahan dan kecepatan (efektif dan efisien). Di mana transaksi jual beli sudah bisa dilakukan dengan ‘rebahan’ di kamar tanpa harus bersentuhan dengan terik matahari, polusi dari kendaraan dan gesekan kulit yang lengket dengan kesumpekan.

            Terlepas dari hal tersebut, sisi lain dari era konsumer ini setidaknya mempertajam beberapa persoalan, yaitu:

a.      Semakin jelasnya jurang pemisah antara kaum kaya dan kaum miskin

            Berlangsungnya era masyarakat konsumtif, berakibat pada semakin jauh dan jelasnya jurang pemisah antara kaum kaya dan kaum miskin -atau meminjam istilah Marx sebagai kaum borjuasi dan kaum proletariat.  Mereka yang mapan secara ekonomi tentu menyambut dan bisa menikmati hadirnya berbagai kemudahan yang telah diciptakan, lain halnya dengan mereka yang belum mapan, segala kemudahan dan kecepatan seolah tidak memberikan pengaruh yang lebih bagi kehidupannya (kesenjangan). Sehingga, hidup dalam kesederhanaan adalah sebuah cara agar mereka masih bisa survive dalam menjalani roda kehidupan.

b.      Tingkat penyimpangan sosial

            Selain masalah kesenjangan, penyimpangan sosial -dalam hal ini ialah tingkat kejahatan atau angka kriminalitas, besar kemungkinan akan semakin menjadi. Dikarenakan mereka yang tidak berkecukupan dan mereka yang selalu merasa ‘kurang’ karena tuntutan perkembangan zaman dan gaya hidup (life style), tidak jarang mengakibatkan suatu perilaku yang seharusnya tidak dilakukan, seperti korupsi, pencurian, pemerasan, dan lain sebagainya.      Hidup sesuai keadaan, bergaya sesuai keadaan cukup sulit sekali dilakukan karena lingkungan –dan berbagai pengaruh dari luar yang cukup kuat agar kita tidak berperilaku demikian. Tetapi, terlepas dari dua persoalan di atas, hal yang perlu kita lakukan ialah melakukan pemisahan secara jelas dan tegas antara kebutuhan dan keinginan. Ketika berbicara kebutuhan, sangat baik untuk kita penuhi karena berkaitan dengan mempertahankan kehidupan (sandang, pangan dan papan). Lain halnya ketika berbicara keinginan, sebuah keinginan dapat dipenuhi kalau memang tidak berbenturan dengan kondisi kehidupan kita sendiri, utamanya masalah pendapatan (financial). Jangan jadikan keinginan menjadi sebuah kebutuhan. Manakala hal tersebut terjadi, seseorang akan memaksakan kehendaknya dengan cara apapun untuk memenuhi keinginannya tersebut.


Referensi

1.     Medhy Aginta Hidayat. 2021. Jean Baudrillard & Realitas Budaya Pasca-Modern. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.

Nengah Bawa Atmadja & Luh Putu Sri Ariyani. 2018. Sosiologi Media: Perspektif Teori Kritis. Depok: Rajawali Pers.


[1] Dalam buku Medhy Aginta Hidayat. Jean Baudrillard & Realitas Budaya Pascamodern.

[2] Nengah Bawa Atmadja & Luh Putu Sri Aritani. 2018. Sosiologi Media: Perspektif Teori Kritis. Depok: Rajawali Pers. Hlm. 77

[3] Ibid. Hlm. 245

[4] Ibid. Hlm. 77

[5] Dalam buku Medhy Aginta Hidayat. Jean Baudrillard & Realitas Budaya Pascamodern.


Karya: Dadan Abdul Majid


0 komentar:

Posting Komentar