A.
Latar Belakang
Branding
kota atau daerah merupakan upaya pengenalan awareness
kepada masyarakat luas baik di tingkat lokal, regional, maupun internasional.
Hal ini agaknya memiliki kesamaan dengan definisi versi American Marketing Association, yang menekankan peranan merek sebagai identifier dan differentiator. Dengan maraknya penggunaan branding yang dilakukan oleh pemerintah daerah atau kota,
setidaknya mengindikasikan bahwasannya Indonesia sedang mengikuti trend dunia dengan selera serta “greget” yang sama, karena beberapa kota di banyak belahan
dunia telah melakukan hal serupa sebagai instrumen identitas dan promosi
(Riyadi, 2009). Sebut saja Malaysia dengan “The
Trully Asia”, Brisbane “City of Sun
Sunday”, ataupun Singapura dengan “Uniquely
Singapore. Di Indonesia sendiri dapat dijumpai branding daerah, Bali “Shanti,
Shanti, Shanti”, Yogyakarta “Jogja
Never Ending Asia” dan juga Surakarta (Solo) dengan “Solo the Spirit of Java”.
Pembangunan identitas kota secara historis memang pernah dilakukan di
Indonesia, dan arus akan hal tersebut semakin marak (khususnya) di era otonomi
daerah. Sebelum ini identitas yang dimaksudkan cakupannya lebih bersifat lokal
dan internal, seperti misalnya menyangkut penghargaan Adipura. Lihat saja
slogan-slogan di daerah seperti halnya, Semarang Kota ATLAS, Solo Berseri,
Banjarnegara Gilar-Gilar dan lain sebagainya (Riyadi, 2009). Dengan situasi
global yang kian dinamis kemudian menuntut berbagai negara termasuk di dalamnya
tiap daerah untuk mulai menggeser orientasi mereka dalam pengelolaan kawasan
dari local oriented ke global-cosmopolit orientation (Kartajaya,
2005). Adanya perkembangan tersebut membuat berbagai daerah dihadapkan pada
persaingan yang konteksnya tidak lagi lokal, namun lebih dari itu sifatnya yang
global. Untuk saat ini Yogyakarta misalnya, tidak lagi hanya bersaing dengan
Bali, Jakarta atau Bandung tapi juga sekaligus dengan Kuala Lumpur, Phuket atau
Singapura.
Oleh Ohmae, salah satu elemen keberhasilan suatu daerah dan juga negara
ini adalah kemampuannya untuk memberikan image
atau identitas pada dirinya sendiri dan menawarkan sesuatu yang berbeda dan
memisahkannya dari persaingan (Riyadi, 2009). Persaingan dalam hal ini merujuk
pada kemampuan daerah untuk menciptakan persepsi yang baik bagi iklim bisnis
dan investasi di daerah. Bagi daerah yang biasa-biasa saja
tentu tidak akan menjadi pilihan investor untuk menanamkan investasinya. Untuk
itu diperlukan suatu aktivitas pengelolaan image
di suatu daerah (brand image)
agar daerah tersebut tidak terkena cap yang jelek bagi investor. Mengutip
pernyataan Al Ries dan Trout bahwa “perception
is better than reality” (Riyadi, 2009).
Keberhasilan dalam membangun identitas sebuah kota barangkali layak
disematkan kepada Kota Bandung. Kota ini memang telah familiar bagi banyak
orang dengan julukkanya sebagai Paris van Java, artinya dari situlah dibangun sebuah persepsi bahwa kota ini merupakan
duplikat dari kota Paris dengan segala hingar bingar destinasi wisata dan
sajian tourisme lainnya. Hal ini
terbukti dengan apresiasi yang dilakukan oleh internasional yang menobatkan
Bandung sebagai peringkat 26 dalam The
Best City in Asia mengalahkan Jakarta (peringkat 28) versi majalah
Asiaweek.
Di Indonesia sendiri, city branding
merupakan hal baru yang sudah menjadi
trend di hampir tiap pemerintah
daerah. Seiring dengan adanya semangat otonomi daerah, daerah harus
berkompetisi agar tetap bertahan dengan mengandalkan potensi yang dimilikinya.
Itu pula yang mendasari pemikiran tiap-tiap pemerintah daerah untuk melakukan branding, tak ubahnya dengan kota
Surakarta yang akrab disapa dengan kota Solo itu. City branding banyak digunakan oleh negara-negara di dunia dalam
upaya meningkatkan atau merubah citra suatu tempat atau daerah, dengan
menonjolkan kelebihan dan keunikan daerah tersebut (Murfianti, 2010).
Jack Trout, seorang pakar pemasaran marketing
misalnya mengatakan bahwa suatu daerah harus bertekat untuk berbeda dengan
daerah lain, yang olehnya diistilahkan sebagai diferensiasi. Perbedaaan karena
kinerja ekonomi bagus, kapasitas pemerintahan hebat, lebih efisien,
infrastruktur memadai serta iklim usaha kondusif dan dinamis (Riyadi, 2009).
Kota Surakarta barangkali menjadi salah satu dari sekian banyak daerah yang
mencoba peruntungan melalui city branding
dan Solo the Spirit of Java
merupakan image atau identitas resmi
yang dicanangkan oleh pemerintah daerah setempat. Image atau identitas Solo the
Spirit of Java secara resmi diluncurkan sejak 14 Februari 2007 ini
diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan daerah khususnya melalui sektor
pariwisata. Sektor pariwisata sendiri belakangan menunjukkan perkembangan yang
kian menjanjikan, setidaknya sektor ini diproyeksikan menjadi fenomena baru
dalam perekonomian global di abad 21.
Sebagai kota yang sudah berusia lebih dari 250 tahun, Surakarta memiliki
banyak kawasan dengan situs budaya dan sejarah. Keberadaan Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran merupakan wujud eksistensi warisan
budaya lokal yang masih terus dijaga eksistensinya sebagai warisan dari masa
lalu dan sejarah. Selain itu keberadaan pasar-pasar tradisional maupun daya
tarik kuliner menjadi bargaining
tersendiri bagi pengembangan pariwisata kota Surakarta ke depan. Sebagai kota
kedua terbesar di propinsi Jawa Tengah,
Solo dikenal sebagai kota yang fokus terhadap sektor
manufaktur diikuti dengan perdagangan, restoran dan hotel. Dengan keanekaragaman
budaya, sejarah dan kesenian yang telah dikenal oleh masyarakat luas, termasuk
keterbukaan dan keramahan masyarakat beserta kekayaan kuliner yang dimiliki
dipercaya akan memberi andil besar bagi tumbuh kembangnya industri pariwisata
kota Solo ke depan.
Melalui modal berbagai potensi budaya yang dimiliki, maka dukungan dalam
bentuk non-materi seperti halnya image,
identitas, ataupun merek bagi sebuah kota merupakan hal lain yang
diharapkan mampu membangun sinergi yang konstruktif bagi tumbuh dan
berkembangnya Kota Solo. Dengan pengembangan image atau identitas daerah menjadi
langkah awal untuk mengarahkan daerah tersebut di masa yang akan datang. Oleh
karena itulah pentingnya merumuskan city
branding agar benar-benar dapat dibedakan dari daerah lain sebagai salah
satu strategi meraih keunggulan bersaing baik di tingkat lokal, regional,
bahkan internasional (Soebagyo, 2010).
B. Apa
itu City Branding
City
branding adalah upaya membangun identitas tentang sebuah kota.
Identitas lebih banyak berkaitan dengan apa yang dipikirkan seseorang terhadap
orang lain, apa yang dipercayai dan apa yang seseorang lakukan. Namun,
identitas bukanlah sesuatu hal yang sifatnya given atau taken for granted.
Identitas dalam hal ini adalah sebuah konstruksi, sebuah konsekuensi dari
sebuah proses interaksi antar manusia, institusi dan praksis dalam kehidupan
sosial (Pfefferkom. 2005) Identitas tidak hanya dipengaruhi oleh peristiwa,
aksi dan konsekuensi masa lalu, tetapi juga dipengaruhi bagaimana sebuah
peristiwa atau aksi diinterpretasikan secara retroaktif.
Dalam upaya
membangun sebuah identitas, penggunaan merek atau branding
bagi sebuah kota merupakan strategi tersendiri. Merek atau brand
bukan hanya sebuah rangkaian kata atau gambar yang ditempel pada produk ataupun
jasa tanpa sebuah makna yang mengikutinya. Brand
atau merek,
secara tradisional dapat diartikan sebagai nama, terminologi, logo, simbol atau
desain yang dibuat untuk menandai atau mengidentifikasi produk yang ditawarkan
kepada konsumen.
Sebuah brand atau merek merupakan identitas yang unik dari sebuah
produk atau jasa di dalam benak konsumennya, yang mencerminkan tingkat
perbedaan dari competitor (Yeshin,
2004).
Sedangkan menurut
Anholt, branding adalah proses mendesain, merencanakan dan mengomunikasikan
nama dan identitas dengan tujuan untuk membangun atau mengelola reputasi. Dalam
pengertian ini, branding merupakan
proses deliberasi memilih dan menghubungkan atribut-atribut tersebut karena
mereka diasumsikan memberi nilai tambah pada produk atau jasa. City branding dapat dipandang sebagai
sebuah pendekatan yang tepat untuk mempromosikan suatu tempat atau wilayah jika
melihat dunia sebagai pasar global dan suatu tempat atau wilayah merupakan
sebuah produk atau sebuah perusahaan yang sedang bersaing dengan tempat atau
wilayah lainnya dalam upaya untuk menjaga atau mempertahankan posisi mereka di
tengah persaingan. Hal ini menjadi relevan di tengah globalisasi dengan paradigma
pembangunannya yang dari orientasi local
orientation ke global cosmopolit
orientation (Kartajaya, 2005).
Fenomena serupa global cosmopolit orientation agaknya
berlaku pula dalam memahami perkembangan sektor pariwisata di era kekinian. Hal
ini memang beralasan, mengingat prospek dari sektor ini dimana pariwisata
merupakan industri terbesar dan terkuat dalam pembiayaan ekonomi global.
Sebagai bangsa yang memiliki tingkat segregasi, baik alam, sosial, dan budaya
yang tinggi, Indonesia berpotensi menjadi primadona sektor pariwisata.
Setidaknya dengan penduduk yang tersebar di sekitar 17 ribu pulau, 470 suku
bangsa, 19 daerah hukum adat, dan tidak kurang dari 300 bahasa, serta ragam
warisan budaya. Itulah mengapa adanya city
branding sebagai strategi pengemasan identitas daerah.
Dengan adanya
perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan daerah membuat persaingan antar
daerah menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Oleh karena itu
dibutuhkan sebuah strategi yang komprehensif guna menciptakan sebuah citra
daerah yang kondusif bagi iklim investasi dan pembangunan. City branding tidak lain adalah sebuah upaya menanamkan persepsi
terhadap target pasar sebuah daerah dengan mengidentifikasi ciri khas serta
potensi yang dimilki yang pada akhirnya akan menciptakan sebuah identitas
daerah. Identitas tersebut diperlukan sebagai upaya mendeferensiasi bahwa
sebuah daerah paling pantas dan baik sebagai destinasi dan investasi. Hal ini
kemudian dijabarkan dalam bentuk produk hukum pemerintah daerah, yang dijadikan
pedoman bagi pengelolaan city branding.
Banyak keuntungan
yang akan diperoleh jika suatu daerah melakukan city branding. Pertama, daerah tersebut dikenal luas (high awareness), disertai dengan
persepsi yang baik. Kedua, kota tersebut dianggap sesuai untuk tujuan-tujuan
khusus (specific purposes). Ketiga,
kota tersebut dianggap tepat untuk tempat investasi, tujuan wisata, tujuan
tempat tinggal, dan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan (events). Persyaratan suatu city
brand tidak jauh dari persyaratan merek atau branding pada umumnya, yaitu city
brand harus menunjukkan kondisi kualitas dari kota atau daerah yang
sebenarnya. City brand pada
kenyataannya bukan merupakan cita-cita atau visi semata-mata yang ingin
dicapai, tetapi adalah kenyataan yang sebenarnya menggambarkan kondisi kota
tersebut. Dengan demikian, di tengah persaingan global yang semakin memanas,
setiap daerah harus mulai merancang branding
yang jelas untuk menarik target pasar daerah yang terdiri dari traders, tourist dan investors (Krisna, 2008).
C. “Solo
the Spirit of Java” sebagai
Identitas Kota Surakarta
Branding
kota atau lebih sering disebut sebagai city
branding dapat mengubah persepsi lokasi dan stereotip suatu kota yang pada
awalnya buruk menjadi menarik dan menguntungkan. City branding itu sendiri memiliki pengertian, yaitu suatu proses
atau usaha membentuk merk dari suatu
kota untuk mempermudah pemilik kota memperkenalkan atau mengkomunikasikan
kotanya kepada target pasar (investor,
tourist, talent, event) dengan menggunakan kalimat positioning, slogan, icon,
eksibisi dan berbagai media lainnya dikenal luas (high awareness), disertai dengan persepsi yang baik. Tujuan city branding adalah agar kota tersebut
dikenal luas (high awareness) dan
mendapat persepsi yang baik, sehingga menjadi tempat bagi investasi, wisata,
tujuan tempat tingal, dan penyelenggaraan kegiatan (event).
City
branding justru merupakan sebuah upaya untuk menampilkan ruh
kota atau inner beauty. City branding adalah soal membangun
imajinasi kolektif terhadap suatu kota. City branding
semata-mata bukanlah pekerjaan dari public
sector, akan tetapi tugas dan kolaborasi dari semua pihak (stakeholders) yang terkait dengan kota
tersebut, baik dari pemerintah kota, pihak swasta, pengusaha, interest group dan masyarakat. Sebuah
tempat atau kota memerlukan sebuah identitas yang dapat menjadi pembeda antara
kota tersebut dengan kota-kota lainnya. Sebuah identitas kota mempengaruhi bagaimana sistem perekonomian, politik maupun
sosio-psikologi dari sebuah kota terbentuk. Pemerintah memiliki peran untuk
mengidentifikasi identitas setiap tempat atau kota yang ada, hal ini bertujuan
untuk memperkenalkan kotanya kepada pasar (investor,
tourist, talent, event). Branding
sebuah kota merupakan sebuah cara suatu kota untuk menjelaskan identitas kota
itu sendiri serta untuk menarik perhatian positif bagi informasi umum.
Umumnya branding adalah strategi komunikasi yang
berwujud dalam sebuah tagline,
gambaran visual atau logo. Namun branding
dalam arti luas merupakan strategi perkembangan dalam jangka panjang dari suatu
tempat yang sangat berkaitan daya tarik sebuah kota tersebut bagi
masyarakatnya. Manfaat city branding yaitu
untuk mempengaruhi dan memberikan persepsi positif bagi suatu kota. City branding bukan hanya merefleksikan
dari visi sebuah kota, bukan hanya sekedar menjadi stategi marketing dalam sistem perekonomian, bukan pula sebuah logo, tagline maupun identititas visual dari
sebuah kota. Dalam melakukan branding sebuah
kota, disitulah saat dimana potensi dari sebuah kota dijual dan diperkenalkan
kepada pasar. Terdapat banyak alasan mengapa suatu kota harus memiliki strategi
pada brand, karena pada sebuah brand yang kuat mampu untuk merubah
persepsi dari suatu tempat dari image
atau identitas buruk menjadi baik, meningkatkan image atau identitas suatu tempat, mampu membuat strategi masa
depan dari potensi daerahnya, menambah daya tarik suatu daerah.
Citra kota memiliki
kekuatan dalam membentuk merek
(brand) untuk sebuah kota,
mempengaruhi bahkan membentuk kota itu sendiri. Dan merek (brand) yang melekat pada kota sangat bergantung pada identitas
kota. Setiap kota akan memiliki identitasnya, kota memiliki emosinya
sendiri-sendiri. Sebuah dialektis antara masyarakat dan fisik kotanya. Ini
seperti halnya sebuah mata uang dengan dua sisinya, bahwa pembangunan fisik
sebuah kota tidak dapat terlepas dari masyarakat dan budaya yang dimiliki.
Membangun fisik (city) pada dasarnya
adalah membangun roh dan jiwa masyarakatnya. Kota yang berhasil membangun
identitas yang kuat tidak hanya dari aspek fisik tetapi juga kehidupan sosial
masyarakatnya. Kemampuan kota untuk mempertahankan karakter dan identitasnya
dan bahkan mempengaruhi daerah lainnya.
Identitas bukanlah
sesuatu yang bebas tanpa adanya sebuah batasan. Dengan batasan ini, seseorang
akan sadar atas identitasnya. Identitas sebuah kota memiliki boundary antara
satu dengan lainnya. Ada keterikatan dan social
bounding, sehingga muncul apa yang disebut sebagai home atau rumah. Yang perlu ditekankan dalam konsep tempat adalah,
tempat bukanlah sebuah hal yang statis, mereka selalu berubah. Tempat harus
dilihat dalam konteks historis dan ekonomi tempat diciptakan, diperluas dan
kemudian image dikonstruksi untuk
merepresentasikan dan menjual tempat tersebut (Murfianti, 2010).
Kota Solo,
merupakan kota budaya yang berasal dari sebuah desa bernama Solo, desa ini
sudah ada sejak abad 18, jauh sebelum kehadiran Kerajaan Mataram. Sejarahnya
bermula ketika Sunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan
Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda J.A.B. Van Hohendorff
untuk mencari lokasi Ibukota Kerajaan Mataram Islam yang baru. Mempertimbangan
faktor fisik dan non fisik, akhirnya desa Solo yang terpilih. Sejak saat itu
desa tersebut berubah menjadi Surakarta Hadiningrat dan terus berkembang pesat.
Adanya Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755 menyebabkan Mataram Islam terpecah
menjadi Surakarta dan Yogyakarta lalu
terpecah lagi dalam perjanjian Salatiga 1767 menjadi Kasunanan dan
Mangkunegaran.
Surakarta, yang
sekarang lebih akrab dikenal dengan nama Solo, memiliki nilai-nilai historis
dari sejarah kota pada masa lampau. Dalam perkembangannya, Kota Solo memiliki
sebuah semboyan “Solo the Spirit of Java”
atau dapat diartikan sebagai Solo Jiwanya Jawa. Semboyan ini merupakan upaya
pencitraan Kota Solo sebagai pusat kebudayaan di Jawa. Terlebih lagi Solo
merupakan salah satu dari sebelas anggota Jaringan Kota Pusaka atau World Heritages Cities Network. Upaya
memperkenalkan identitas Kota Solo sebagai kota budaya melibatkan seluruh
pemerintah daerah di Solo Raya (Solo, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar,
Wonogiri, Sragen dan Klaten) dan sepakat untuk membuat suatu kebijakan dengan
menciptakan suatu identitas wilayah dengan city
branding “Solo the Spirit of Java”.
Penggunaan city branding “Solo the Spirit of Java”
merupakan upaya untuk memperkenalkan karakteristik, budaya, dan potensi kota
Solo. Slogan tersebut digunakan sebagai branding
dan identitas bagi kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Kesepakatan 7
daerah di wilayah Solo Raya dalam mengusung city
branding “Solo the Spirit of Java” didasari
pertimbangan untuk menciptakan sebuah kawasan dengan daya saing ekonomi yang
kuat, sekaligus upaya menempatkan kawasan (positioning)
diantara wilayah atau kawasan lain sehingga diperlukan ciri khusus sebagai
identitas wilayah Subosukawonosraten ke masyarakat luas (Nugroho, 2014).
Kawasan
Subosukawonosraten bekerjasama dengan tujuan terciptanya sebuah kawasan dengan
daya saing ekonomi yang kuat. Untuk itu diperlukan identitas wilayah (branding) sebagai alat pemasaran,
sekaligus menempatkan kawasan (positioning)
diantara wilayah yang bersangkutan maupun kawasan lain. Solo ingin membangun
citra baru, sebagai kota yang selalu dikenang sebagai pusat perkembangan kebudayaan
Jawa. Berdasarkan hal tersebut dan dengan mempertimbangkan kemampuan potensial
yang dimiliki, akhirnya tercipta slogan “Solo,
The Spirit of Java”. Peluncuran slogan ini berkaitan dengan usaha
memasarkan wilayah Subosukawonosraten. Slogan itu melekat sebagai identitas
wilayah Solo, dan akan menjadi trade mark
bagi setiap promosi dan usaha mengangkat produk unggulan ke dunia internasional
(Rahajeng, 2007).
“Solo
the Spirit of Java” sebagai brand kota Solo sebenarnya sudah mulai disosialisasikan sejak bulan
Agustus tahun 2006, setelah terjadi kesepakatan dari ketujuh kepala daerah di
kawasan tersebut untuk menciptakan identitas tersendiri bagi wilayahnya. Untuk
menunjukkan
keseriusan dari pencetusan program tersebut, sebagai langkah awal, diadakan kontes
untuk memberikan slogan. Ada 3 slogan pemenang yaitu, Solo the Heart of Java, Solo the Heartbeat of Java dan Solo the Spirit of Java. Brand “Solo the
Spirit of Java”, dipilih untuk menggambarkan keterikatan ini. Eksistensi
Solo sebagai kota besar dengan potensi budaya, perdagangan dan industri pun makin diakui perlu adanya
keterlibatan, kerjasama dan peningkatan komitmen dari berbagai pihak (Nugroho,
2014).
D. Pencapaian City Branding “Solo
the Spirit of Java”
Untuk menunjukan
keseriusan dari pencetusan program tersebut, sebagai langkah awal, diadakan
kontes untuk memberikan slogan. Ada 3 slogan pemenang yaitu, Solo the Heart of Java, Solo the Heartbeat
of Java dan Solo the Spirit of Java.
Slogan “Solo the Spirit of Java”,
dipilih untuk menggambarkan keterikatan ini. The Spirit of Java mencerminkan kedalaman makna akan akar budaya,
seni dan sejarah kota Solo, sehingga kota ini berhak mengklaim kotanya sebagai
“Jiwanya Jawa”. Selanjutnya, dibentuklah
sebuah perusahaan sebagai pelaksana program pemasaran wilayah, yaitu PT Solo
Raya Promosi. Pembentukan PT Solo Raya Promosi ialah sebuah upaya bagi
pemerintah daerah untuk membangun perekonomian daerahnya. Perusahaan ini
mempunyai fungsi utama menjembatani komunikasi antar daerah di kawasan itu dan
dengan calon investor (Rahajeng, 2007).
Tugas perusahaan
ini adalah menjadi lembaga yang bertanggung jawab terhadap proses komunikasi
pemasaran. Dalam bahasa marketing hal
ini disebut dengan integrated marketing
communication, yaitu berbagai upaya baik promosi maupun public relations dengan tujuan
mengomunikasikan produk. Komunikasi pemasaran hanya bisa dilakukan jika pemasar
mempunyai merek yang bisa membedakan produk dengan pesaingnya. Maka, mau tidak
mau PT Solo Raya harus membangun merek daerah yang akan dijual potensinya. Salah satu strategi pemasaran daerah yang
perlu dipertimbangkan oleh PT Solo Raya Promosi ialah membangun dan memperkuat “merek daerah”. Pada tahap awal, PT Solo Raya akan
berusaha menjual potensi pariwisata dan investasi di kawasan Solo Raya.
Perusahaan ini menyatakan sudah ada beberapa investor yang tertarik
berinvestasi di Solo Raya.
Secara praktis
proses membangun brand itu adalah
dengan mengenali potensi setiap daerah. Langkah selanjutnya, diciptakan suatu
elemen identitas wilayah berupa logo untik memperkuat brand name “Solo, the Spirit
of Java”. Kata “SOLO” dipilih karena dikenal secara nasional dan
internasional serta secara nyata digunakan masyarakat di wilayah
Subosukawonosraten untuk menyebutkan lokasi tinggalnya. Logo tersebut dibuat
dengan huruf modern untuk menyatakan kedinamisan. Huruf “L” yang lebih panjang
menandakan keseimbangan, pergerakan dan pertumbuhan kawasan ini. Sisi unik dari
logo ini terletak pada huruf “O” pertama yang berbentuk “lung”. Bentuk yang
dinamis dan terbuka ini menggambarkan sifat masyarakat yang supel dan luwes. 7
goresan lengkung menggambarkan 7 distrik yang terdiri dari 6 Kabupaten dan 1
Kotamadya. 1 Lung yang menjadi pusat lingkaran menggambarkan visi bersama untuk
maju sekaligus icon yang mewakili
kekhasan lokal. Bentuk dan gerak lingkaran menggambarkan dinamisme dan semangat
untuk maju bersama (Rahajeng, 2007).
Di bawah kata SOLO,
terdapat slogan “The Spirit of Java”.
Slogan ini dimaknai sebagai semangat bersama dalam proses pengembangan ekonomi
dalam era globalisasi dan otonomi daerah. Semangat tersebut dilandasi oleh jiwa
sebagai orang Jawa yang menjunjung
tinggi budaya, sejarah, dan nilai-nilai luhur pendahulunya. Untuk selanjutnya,
dilakukan upaya sosialisasi dengan mengajak seluruh lapisan masyarakat, pelaku
usaha pariwisata, tokoh masyarakat, di berbagai wilayah di tujuh kabupaten atau
kota. Secara bergiliran pihak pelaksana akan mengadakan temu muka untuk
menggelorakan semangat memasarkan Solo dalam satu kesatuan wilayah yang utuh.
Pemerintah yang bersangkutan juga mengadakan penataan di berbagai penjuru
kotanya masing-masing dan berusaha menciptakan iklim kota yang kondusif,
seperti penataan PKL dan pemukiman liar, pambangunan pasar, membuat taman-taman
kota, termasuk meningkatkan ketertiban masyarakat dalam berlalu lintas dan
peningkatan keamanan. Berbagai upaya dilakukan agar mengena seluruh lapisan
masyarakat (Rahajeng, 2007).
E. Kesimpulan
Di Indonesia sendiri, city branding
merupakan hal yang kini mulai menjadi trend
di hampir tiap pemerintah daerah. Seiring dengan adanya semangat otonomi
daerah, daerah harus berkompetisi agar tetap bertahan dengan mengandalkan
potensi yang dimilikinya. Itu pulalah yang mendasari pemikiran tiap-tiap
pemerintah daerah untuk melakukan branding,
tak ubahnya dengan kota Surakarta yang akrab disapa dengan kota Solo itu. City branding banyak digunakan oleh
negara-negara di dunia dalam upaya meningkatkan atau merubah citra suatu tempat
atau daerah, dengan menonjolkan kelebihan dan keunikan daerah tersebut.
Dalam upaya
membangun sebuah identitas, penggunaan merek atau branding
bagi sebuah kota merupakan strategi tersendiri. Merek atau brand
bukan hanya sebuah rangkaian kata atau gambar yang ditempel pada produk ataupun
jasa tanpa sebuah makna yang mengikutinya. Brand
atau merek,
secara tradisional dapat diartikan sebagai nama, terminologi, logo, simbol atau
desain yang dibuat untuk menandai atau mengidentifikasi produk yang ditawarkan
kepada konsumen sebuah
brand atau merek merupakan identitas yang unik dari sebuah
produk atau jasa di dalam benak konsumennya, yang mencerminkan tingkat
perbedaan dari competitor.
Identitas adalah simbolisasi ciri khas yang mengandung
diferensiasi dan mewakili citra organisasi. Identitas dapat berasal dari
sejarah, filosofi atau visi atau cita-cita, misi atau fungsi, tujuan, strategi
atau program. Unsur umum identitas antara lain adalah: (1) Nama, logo, slogan
dan maskot, (2) Sistem
grafis dan elemen visual yang standar: warna, gambar, bentuk huruf dan tata
letak. (3) Aplikasi pada media resmi (official)
dan media komunikasi, publikasi dan promosi (komersial). Identitas dibagi
menjadi tiga bentuk yaitu: identitas budaya, identitas sosial dan identitas
diri atau pribadi.
Kota Solo memiliki
sebuah semboyan “Solo the Spirit of Java”
atau dapat diartikan sebagai Solo Jiwanya Jawa. Semboyan ini merupakan upaya
pencitraan Kota Solo sebagai pusat kebudayaan di Jawa. Terlebih lagi Solo
merupakan salah satu dari sebelas anggota Jaringan Kota Pusaka atau World Heritages Cities Network. Upaya
memperkenalkan identitas Kota Solo sebagai kota budaya melibatkan seluruh
pemerintah daerah di Solo Raya (Solo, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar,
Wonogiri, Sragen dan Klaten) dan sepakat untuk membuat suatu kebijakan dengan
menciptakan suatu identitas wilayah dengan city
branding “Solo the Spirit of Java”.
Daftar Pustaka
Kartajaya, Hermawan & Yuswohady. 2005. Attracting Tourist, Traders, and Investors :
Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Krisna, Bayu. 2008. Mendulang Rupiah Lewat Kemampuan Berbicara. Jakarta: Tangga
Pustaka.
Murfianti, Fitri. 2010. Membangun City Branding
Melalui Solo Batik Carnival. Jurnal
Bisnis dan Kewirausahaan, Vol.2, No. 1.
Nugroho,
Adhityo. 2014. Slogan Solo The Spirit Of
Java Sebagai Promosi Pemerintah Kota Solo Untuk Go International (Implementasi
Penggunaan Slogan “Solo, The Spirit Of Java” Dalam Strategi City Branding Kota
Solo Melalui Penyelenggaraan Event
Kebudayaan Tahun 2012). Universitas Sebelas Maret
Pfefferkom,
Julia Winfield. 2005. The Branding of
Cities:Exploring City Branding and The Importance of Brand Image. New York
: Syracuse University.
Rahajeng, Shabrina O. 2007. Solo the Spirit of Java. Universitas Diponegoro Semarang.
Riyadi. 2009. Fenomena City Branding Pada Era
Otonomi Daerah. Jurnal Bisnis dan
Kewirausahaan, Vol. 5, No. 1.
Soebagyo.
2010. Strategi Pengembangan Pariwisata Di Indonesia. Jurnal Liquidity Vol. 1, No. 2.
Yeshin,
Tony. 2004. Integrated Marketing
Communications, The Holistic Approach. Oxford : Elseiver Butterworth
Heinemann.
Karya: Annisa Nindya
Dewi1
1 Magister Sosial Universitas Sebelas Maret
|
0 komentar:
Posting Komentar