Baru-baru ini
kita sangat dikejutkan dengan viralnya beberapa kelompok komunitas yang mengaku
kelompok mereka merupakan turunan kerajaan atau pewaris tahta kerajaan dunia di
era sekarang ini. Ambil contoh saja, adanya komunitas “Sunda Empire” di Jawa
Barat yang mengaku sebagai pewaris tahta kerajaan dunia saat ini, dengan
mengklaim seperti PBB, Pentagon, dan tokoh-tokoh besar dunia lainnya merupakan
bagian dari mereka. Kemudian, ada juga Keraton Agung Sejagat di Kabupaten
Purworejo, Jawa Tengah yang tidak kalah eksisnya dengan kerajaan Sunda Empire.
Di jaman sekarang ini, pengakuan mereka tentang pewaris tahta kerajaan dunia
pada saat ini, membuat kita tertawa dan menganggap itu pemikiran yang
mengada-ngada / irrasional bisa dibilang seperti itu. Apa yang dikatakan Rangga
Sasana pada acara Indonesia Laywer Club
(ILC) membuat kita tidak habis pikir tentang pemikiran dan klaim mereka sebagai
pewaris tahta pemimpin dunia.
Sebenarnya apa
yang mereka pikirkan itu merupakan bagian dari idealism mereka, kita juga tidak
bisa membatasi pemikiran dan klaim mereka yang seperti itu, karena negera ini
sangat menghargai pemikiran warga negara selagi itu tidak bertentang dengan
hukum yang berlaku di negara ini. Ini merupakan fenomena romantisme sejarah
bangsa kita yang dianggap segelintir kelompok bahwa kisah sejarah kita mungkin
dulu lebih berkesan dan menarik daripada fenomena-fenomena yang terjadi di
bangsa ini pasca kemerdekaan.
Jika kita
melihat ini dalam kajian sosiologis, disini penulis menemukan ada tiga aliran
pendekatan filsafat sosial yang bisa digunakan untuk membedah kasus ini dalam
kajian sosiologis. Pertama, adalah aliran pendekatan Strukturalisme
(Positivisme), dari pendekatan ini penulis mencoba mengkaji fenomena pengakuan
eksistensi komunitas “Sunda Empire” dari tipologi adaptasi masyarakat Robert K
Merton dalam teori struktural fungsionalnya. Apa yang terjadi pada komunitas
Sunda Empire dan Keraton Sejagat ini merupakan bentuk terjadinya disfungsi
sosial di dalam masyarakat terhadap struktur sosialnya (dalam hal ini struktur
institusi negara). Mengapa demikian? dikarenakan struktur pemerintahan sekarang
ini tidak bisa merangkul lapisan elemen masyarakat dan tidak ada corong untuk
bagi masyarakat untuk mengeksplorasi diri atau komunitas mereka dalam hal ini
budaya.
Merton melihat
bahwa tidak selama masyarakat itu berproses berkembang dinamis dalam keadaan
yang stabil , tanpa adanya guncangan-guncangan sosial masyarakat. Justru,
Merton melihat proses perkembangan masyarakat itu selalu dibarengi dengan
adanya potensi-potensi konflik di dalam masyarakat. Itulah yang disebut Merton
dengan disfungsi sosial yang di definisikan sebagai kegagalan individu
berkontribusi terhadap institusi dalam hal ini negera. Atau bisa jadi kakunya
struktur negara yang membatasi peran-peran individu untuk berkontribusi
terhadap struktur sehingga eksistensi yang mereka tunjukkan dengan kelompoknya
merupakan eksistensi resistensi terhadap pemerintahan negara ini. Akibat
terbatasnya akses mereka (dalam hal ini kelompok komunitas Sunda Empire dan
Keraton Sejagat) sehingga mereka melakukan innovasi seperti yang diterangkan
Merton dalam lima tipologi adaptasi masyarakat miliknya. Dimana innovasi ini dilakukan
oleh sekelompok komunitas tersebut yang
memiliki tujuan budaya / orientasi budaya yang sudah terinternalisasi menjadi
bagian dari identitas mereka tetapi mereka tidak memiliki akses untuk
menyalurkan itu karena kakunya struktur negera terhadap pengakuan budaya
mereka. Sehingga yang terjadi tumbuhnya innovasi dari komunitas Sunda Empire
sebagai bentuk eksistensi resistensi mereka terhadap pemerintah.
Aliran kedua
dalam kajian sosiologis ini, penulis mencoba melihat dari perspektif aliran
interpretatif (Subjektivism), dalam hal ini penulis menggunakan konsep
eksistensi yang dijabarkan oleh Nietzche dan Sartre. Nietzche dalam konsep
eksistensinya mengungkapkan bahwa dirinya telah membunuh tuhan dan manusia
berhak untuk menjadi tuhan atas dirinya sendiri, begitu pulalah yang terjadi
pada sosok Rangga Sasana pemimpin kerajaan Sunda Empire. Bagi Rangga, mungkin
dia pantas untuk bisa menjadi pemimpin dikarenakan dia memiliki pemahaman
idealism eksistensi sendiri, memiliki pengikut yang jumlahnya banyak, dan memiliki
modal-modal yang bisa digunakan memobilisasi massa untuk mendukung pemahaman
idealism eksistensinya. Nietzche bilang orang seperti itu adalah manusia super
(Ubermensch) yang menanggap pada dasarnya manusia itu memiliki jiwa dasar
kepemimpinan cuma tidak semua manusia dapat memimpin. Hanya manusia super yang
bisa memimpin yang memiliki sarana dan prasarana untuk mendapatkan tahta
kepemimpinan.
Kemudian Sartre melihat
bahwa manusia / individu bebas membentuk eksistensinya tetapi mereka dibatas
oleh adanya faktisitas. Sartre bilang bahwa orang lain itu adalah neraka yang
dianggap sebagai penghalang untuk membentuk eksistensi individu. Manusia
memiliki kesadaran, maka sebab itu manusia punya kebebasan dalam membentuk
eksistensi dirinya sendiri atau kelompoknya sebagai representasi identitas
mereka.
Aliran ketiga
adalah aliran teori kritis dalam hal ini penulis menggunakan kacamata teori
mulitikuralism. Dimana di dalam perspektif multikulturalism ini adalah proses
berpindahnya politik redistribusi ke politik pengakuan. Pemahaman perspektif
multikulturalisme ini menekankan adanya penghormatan atau pengakuan yang
ditujukan untuk identitas yang berbeda secara kultural, sosial, politik,agama,
dan sebagainya. Selain itu multikulturalisme selalu menekankan paha atau
keyakinan yang mendorong diterimanya pluralisme / keberangaman budaya sebagai
satu model budaya hidup / hadir dalam kehidupan sosial dan budaya yang
kontemporer.
Perspektif ini
melihat kehidupan manusia yang penuh dengan keberagaman dan bagaimana merespons
keberagaman tersebut. Jika kita lihat dalam kasus upaya pengakuan eksistensi
komunitas yang terjadi pada Sunda Empire dan Keraton Sejagat jika ditinjau dari
perspektif multikulturalisme seharusnya masyarakat kita dewasa ini tidak arogan
atau menjadikan argumen-argumen yang disampaikan oleh Rangga Sasana di dalam
acara Indonesia Laywer Club (ILC) sebagai bahan lelucon meskipun kita tahu itu
bukan merupakan argumen yang rasional/ tidak masuk akal. Apa yang dilakukan
masyarakat terhadap kelompok komunitas pewaris kerajaan tersebut di dalam
perspektif multikulturalisme itu merupakan suatu bentuk persekusi atau
diskriminasi terhadap suatu kelompok tertentu di dalam sebuah negara yang
plural seperti Indonesia. Hal seperti itu sangat ditentang keras oleh perspektif
multikulturalisme. Karena sejatinya perspektif multikulturalisme itu sangat
menekankan penghargaan dan penghormatan atas hak-hak kaum minoritas yang
dilihat dari segi agama, budaya, etnis, ras, dan warna kulit.
Karya: Rahman
Malik.,S.Sos.,M.Sos
Dosen
Sosiologi FISIP, Universitas Sumatera Utara.
Email:
rmalik20@usu.ac.id
|
0 komentar:
Posting Komentar