Rabu, 22 April 2020

Fenomena Sunda Empire Dan Keraton Agung Sejagat : Sebuah Telaah Dalam Perspektif Kajian Filsafat Dan Sosiologis.


Baru-baru ini kita sangat dikejutkan dengan viralnya beberapa kelompok komunitas yang mengaku kelompok mereka merupakan turunan kerajaan atau pewaris tahta kerajaan dunia di era sekarang ini. Ambil contoh saja, adanya komunitas “Sunda Empire” di Jawa Barat yang mengaku sebagai pewaris tahta kerajaan dunia saat ini, dengan mengklaim seperti PBB, Pentagon, dan tokoh-tokoh besar dunia lainnya merupakan bagian dari mereka. Kemudian, ada juga Keraton Agung Sejagat di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang tidak kalah eksisnya dengan kerajaan Sunda Empire. Di jaman sekarang ini, pengakuan mereka tentang pewaris tahta kerajaan dunia pada saat ini, membuat kita tertawa dan menganggap itu pemikiran yang mengada-ngada / irrasional bisa dibilang seperti itu. Apa yang dikatakan Rangga Sasana pada acara Indonesia Laywer Club (ILC) membuat kita tidak habis pikir tentang pemikiran dan klaim mereka sebagai pewaris tahta pemimpin dunia.

Sebenarnya apa yang mereka pikirkan itu merupakan bagian dari idealism mereka, kita juga tidak bisa membatasi pemikiran dan klaim mereka yang seperti itu, karena negera ini sangat menghargai pemikiran warga negara selagi itu tidak bertentang dengan hukum yang berlaku di negara ini. Ini merupakan fenomena romantisme sejarah bangsa kita yang dianggap segelintir kelompok bahwa kisah sejarah kita mungkin dulu lebih berkesan dan menarik daripada fenomena-fenomena yang terjadi di bangsa ini pasca kemerdekaan.

Jika kita melihat ini dalam kajian sosiologis, disini penulis menemukan ada tiga aliran pendekatan filsafat sosial yang bisa digunakan untuk membedah kasus ini dalam kajian sosiologis. Pertama, adalah aliran pendekatan Strukturalisme (Positivisme), dari pendekatan ini penulis mencoba mengkaji fenomena pengakuan eksistensi komunitas “Sunda Empire” dari tipologi adaptasi masyarakat Robert K Merton dalam teori struktural fungsionalnya. Apa yang terjadi pada komunitas Sunda Empire dan Keraton Sejagat ini merupakan bentuk terjadinya disfungsi sosial di dalam masyarakat terhadap struktur sosialnya (dalam hal ini struktur institusi negara). Mengapa demikian? dikarenakan struktur pemerintahan sekarang ini tidak bisa merangkul lapisan elemen masyarakat dan tidak ada corong untuk bagi masyarakat untuk mengeksplorasi diri atau komunitas mereka dalam hal ini budaya.

Merton melihat bahwa tidak selama masyarakat itu berproses berkembang dinamis dalam keadaan yang stabil , tanpa adanya guncangan-guncangan sosial masyarakat. Justru, Merton melihat proses perkembangan masyarakat itu selalu dibarengi dengan adanya potensi-potensi konflik di dalam masyarakat. Itulah yang disebut Merton dengan disfungsi sosial yang di definisikan sebagai kegagalan individu berkontribusi terhadap institusi dalam hal ini negera. Atau bisa jadi kakunya struktur negara yang membatasi peran-peran individu untuk berkontribusi terhadap struktur sehingga eksistensi yang mereka tunjukkan dengan kelompoknya merupakan eksistensi resistensi terhadap pemerintahan negara ini. Akibat terbatasnya akses mereka (dalam hal ini kelompok komunitas Sunda Empire dan Keraton Sejagat) sehingga mereka melakukan innovasi seperti yang diterangkan Merton dalam lima tipologi adaptasi masyarakat miliknya. Dimana innovasi ini dilakukan oleh sekelompok komunitas tersebut  yang memiliki tujuan budaya / orientasi budaya yang sudah terinternalisasi menjadi bagian dari identitas mereka tetapi mereka tidak memiliki akses untuk menyalurkan itu karena kakunya struktur negera terhadap pengakuan budaya mereka. Sehingga yang terjadi tumbuhnya innovasi dari komunitas Sunda Empire sebagai bentuk eksistensi resistensi mereka terhadap pemerintah.

Aliran kedua dalam kajian sosiologis ini, penulis mencoba melihat dari perspektif aliran interpretatif (Subjektivism), dalam hal ini penulis menggunakan konsep eksistensi yang dijabarkan oleh Nietzche dan Sartre. Nietzche dalam konsep eksistensinya mengungkapkan bahwa dirinya telah membunuh tuhan dan manusia berhak untuk menjadi tuhan atas dirinya sendiri, begitu pulalah yang terjadi pada sosok Rangga Sasana pemimpin kerajaan Sunda Empire. Bagi Rangga, mungkin dia pantas untuk bisa menjadi pemimpin dikarenakan dia memiliki pemahaman idealism eksistensi sendiri, memiliki pengikut yang jumlahnya banyak, dan memiliki modal-modal yang bisa digunakan memobilisasi massa untuk mendukung pemahaman idealism eksistensinya. Nietzche bilang orang seperti itu adalah manusia super (Ubermensch) yang menanggap pada dasarnya manusia itu memiliki jiwa dasar kepemimpinan cuma tidak semua manusia dapat memimpin. Hanya manusia super yang bisa memimpin yang memiliki sarana dan prasarana untuk mendapatkan tahta kepemimpinan.

Kemudian Sartre melihat bahwa manusia / individu bebas membentuk eksistensinya tetapi mereka dibatas oleh adanya faktisitas. Sartre bilang bahwa orang lain itu adalah neraka yang dianggap sebagai penghalang untuk membentuk eksistensi individu. Manusia memiliki kesadaran, maka sebab itu manusia punya kebebasan dalam membentuk eksistensi dirinya sendiri atau kelompoknya sebagai representasi identitas mereka.

Aliran ketiga adalah aliran teori kritis dalam hal ini penulis menggunakan kacamata teori mulitikuralism. Dimana di dalam perspektif multikulturalism ini adalah proses berpindahnya politik redistribusi ke politik pengakuan. Pemahaman perspektif multikulturalisme ini menekankan adanya penghormatan atau pengakuan yang ditujukan untuk identitas yang berbeda secara kultural, sosial, politik,agama, dan sebagainya. Selain itu multikulturalisme selalu menekankan paha atau keyakinan yang mendorong diterimanya pluralisme / keberangaman budaya sebagai satu model budaya hidup / hadir dalam kehidupan sosial dan budaya yang kontemporer.

Perspektif ini melihat kehidupan manusia yang penuh dengan keberagaman dan bagaimana merespons keberagaman tersebut. Jika kita lihat dalam kasus upaya pengakuan eksistensi komunitas yang terjadi pada Sunda Empire dan Keraton Sejagat jika ditinjau dari perspektif multikulturalisme seharusnya masyarakat kita dewasa ini tidak arogan atau menjadikan argumen-argumen yang disampaikan oleh Rangga Sasana di dalam acara Indonesia Laywer Club (ILC) sebagai bahan lelucon meskipun kita tahu itu bukan merupakan argumen yang rasional/ tidak masuk akal. Apa yang dilakukan masyarakat terhadap kelompok komunitas pewaris kerajaan tersebut di dalam perspektif multikulturalisme itu merupakan suatu bentuk persekusi atau diskriminasi terhadap suatu kelompok tertentu di dalam sebuah negara yang plural seperti Indonesia. Hal seperti itu sangat ditentang keras oleh perspektif multikulturalisme. Karena sejatinya perspektif multikulturalisme itu sangat menekankan penghargaan dan penghormatan atas hak-hak kaum minoritas yang dilihat dari segi agama, budaya, etnis, ras, dan warna kulit.


Karya: Rahman Malik.,S.Sos.,M.Sos
Dosen Sosiologi FISIP, Universitas Sumatera Utara.
Email: rmalik20@usu.ac.id

0 komentar:

Posting Komentar