Jurang pemisah antara akademisi dengan tatanan kehidupan masyarakat seolah menjadi anti-tesis yang belum terungkap hingga sekarang. Literatur kajian akademisi di Indonesia mayoritas berkiblat pada teori dan metodologi barat. Sedangkan dosen dan para mahasiswa dipaksa untuk melihat gejala yang terjadi di Indonesia yang tentu sangat bertentangan dengan pelajaran yang diajari dibangku-bangku kuliah. Sementara orang Indonesia atau orang timur banyak nilai-nilai yang bertolak dengan nilai-nilai barat.
Apalagi
jauh dari kultur barat yang cenderung bebas (liberal). Oleh karenanya, muncul
tesis-antitesis dalam membangun rancangan berpikir ilmiah yang kadang guncang
oleh infrastruktur-infrastruktur pemikiran barat dalam penerapannya di
Indonesia. Hampir semua buku, tokoh, rujukan dan sebagainya menganut kepada
pemikiran barat.
Aliran
Frankfurt didalam memaknai sosiologi kritis, bukan hanya ditentukan oleh
struktur tapi juga ditentukan oleh individu. Individu juga punya peluang dan
kebebasan dalam menentukan kehidupan ditengah masyarakat.
Realitas
sosial tidak hanya hitam dan putih tapi juga penggabungan hitam dan putih. Emansipatoris
misalnya, menjadikan perempuan sebagai objek dalam mengerjakan tugas
berat-berat yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki, Seperti: kuli bangunan,
las besi konstruksi bangunan dan semisalnya. Walaupun tidak menampik terkadang
perempuan tangguh mampu melakukannya.
Kontribusi
atau sumbangan dari struktur terhadap perubahan sosial atau perubahan
masyarakat terjadi karena ada unsur-unsur yang saling melengkapi. Menurut
Bourdieu (2004) kaum post-kolonial terbagi dua: eksternalisasi interior dan
internalisasi interior.
Sosiologi Kritis
Sosiologi
kritis adalah teori kritik terhadap praktek ditengah masyarakat. Membebaskan
manusia dari penipuan dan kepalsuan dari para teknokrat modern yang
mendominasi. Membongkar analogi-analogi tersembunyi teori kontemplatif yang
seolah-olah objektif pada hal yang sebenarnya tidak objektif. Objektivitas
dibentuk dalam rangka melegitimasi dan melindungi kepentingan kekuasaan.
Sosiologi
kritis atau disebut juga sosiologi skeptis. Mereka menentang value free (bebas nilai). Sulit dalam
penelitian sosial yang objek penelitiannya masyarakat peneliti bebas dari
nilai. Nilai bentuk pertanggungjawaban ilmiah para sosiolog dari nilai-nilai
universal kehidupan manusia. Peneliti terikat dengan nilai dalam masyarakatnya.
Sulit menjadi bebas nilai melainkan sarat dengan nilai-nilai.
Teori
sosiologi kritis melahirkan praksis emansipasi bebas dari penderitaan fisik dan
pembelengguan ideologi, seperti tokoh-tokoh sosiologi kritis modern: C. Wright
Mills, Daniel Beli, Peter L. Berger, Raymon Aron, Ralf Dahrendorf, Barrington
More, dan Pierre Bourdieu.
Inti
pemikirannya tentang praksis sosial. Praksis adalah implementasi dari teori.
Kadang-kadang praktik sosial tidak ada teorinya. Praksis sosial adalah
dialektika antara internalisasi eksterior dan ekternalisasi interior.
Internalisasi
eksterior adalah ketika seseorang menyerap menginternalisasi dunia di sekelilingnya.
sedangkan Eksternalisasi interior ialah ketika seseorang mengungkapkan hasil
pemahaman atau persepsinya dari interaksi dengan orang lain.
Dari
luar kita serap ke dalam dan dari dalam dan di ekspresikan keluar. Hidup kita sehari-hari
isinya hanya dua: kita serap kedalam dan kita ekspansi ekspresi keluar.
Sedangkan
istilah Distinction merupakan
tindakan membedakan diri seseorang untuk menunjukkan kelasnya dalam masyarakat.
beda halnya dengan Resistance yang
mengartikan dirinya kelompok bawah yang ingin menunjukkan perbedaan dengan
kelas atas, contoh kelas bawah lebih suka menggunakan motor lama dengan membuat
lebih unik atau masih mempertahankan vespa lama dengan melakukan modifikasi
menambah pipa dan barang-barang bekas bergelantungan.
Contoh
lain, di Pesantren-pesantren Jawa, tidak sedikit Kiai yang memakai sarung dan
setelah jas ketika berceramah. Padahal jas bukanlah mencirikan pakaian islam.
Atau kelas atas yang memakai pakaian bermerk seperti levis.
Orang
yang tidak mampu terkadang sering melakukan resistance,
sedangkan orang yang merasa hebat melakukan distinction.
Contoh ia tidak bisa mengoperasional laptop mengatakan tidak menarik
menggunakan laptop sementara bagi yang pintar mengoperasionalkan laptop
memperlihat ia lebih hebat dalam penggunaan laptop. Jadi yang pertama melakukan
tindakan resistance dan yang kedua
memperlihatkan distinction.
Namun,
kedua istilah tersebut belum lengkap jika tidak ada Hibrinitas. Hibrinitas
seperti pakaian campuran, orang islam secara umum ketika menikah mengadopsi
pakaian Kristen (perempuan yang gaun putih panjang sampai kelantai).
Merujuk
ke Homi Bhaba, ada tiga konsep yang dipergunakan dalam menjelaskan
post-kolonial yaitu: Hibrinitas, Ambivalensi, Mimikri. Hibriditas merupakan
budaya campuran yang biasanya diadopsi dari Negara jajahan. Budaya penjajah dan
dijajah.
Bukan
dua atau beberapa budaya, kemudian terjadi pertemuan atau terjadi percampuran
budaya. Tetapi beberapa budaya terpisah secara jelas dan tegas yang diciptakan
lewat wacana kolonial. Ada sisi yang begitu keren berlaku yang dipraktekkan
dalam masyarakat. seperti Negara jajahan yang hingga kini masih diadopsi warga
Indonesia, seperti: pemakaian gelar haji, salam cium tangan dengan menundukkan
badan. Ini merupakan bekas peninggalan Belanda yang masih lestari hingga kini.
Padahal dalam islam seseorang yang sudah haji tidak ada syariat yang
menunjukkan harus diberi gelar nama didepan nama seseorang, seolah gelar haji
menjadi tanda kesholehan seseorang atau suatu nilai yang lebih tinggi didalam masyarakat.
begitu juga dengan salam cium tangan orang tua yang ada boleh cium tangan
(orang tua) tanpa menundukkan badan (ketika cium tangan diangkat tangan orang
tua tanpa harus menundukkan badan).
Sedangkan
mimikri, bagaimana negara jajahan meniru apa yang dilakukan oleh negara
jajahan. Tetapi pikirannya tidak benar-benar sama. Mimikri (imitasi) ialah
peniruan tetapi tidak benar-benar sama. Penipuan yang berlebihan sehingga
mengesankan mengejek. Jadi, mimikri sesuatu yang mengancam dari negara jajahan,
meniru gaya hidup orang Eropa dan Amerika dalam hal pergaulan dan prinsip hidup
serta memilih pasangan hidup. Hal ini akan menjadi ancaman, oleh karena itu
mereka belum bisa menerima tiruan dari rakyat negara jajahan.
sedangkan
ambivalensi lebih pada konteks wacana kolonial. Ambivalensi yaitu kepura-puraan
atau keraguan yang diwacanakan. Negara kolonial menginginkan negara yang
dijajah sama dengan negara mereka tetapi mereka tidak menginginkan benar-benar
sama. Seperti Negara kolonial menginnginkan Negara yang dijajah rakyatnya
menjadi sama peradaban dengan mereka, tetapi kolonial menjadi cemas dan takut
kalau Negara jajahan beradab maka mereka tidak bisa menjajah lagi.
lalu
timbul pandangan dari Benedict Anderson yang mencoba memahami perkembangan
budaya Jawa tanpa harus menelusuri bagaimana situasi yang terjadi pada masa kolonial
Belanda. Tatanan bahasa jawa sebelumnya tidak ada, itu diperkuat pada masa kolonial,
kenapa? Karena zaman kolonial, kraton kehilangan kekuasaan yang nyata, sehingga
kraton membutuhkan kekuasaan yang simbolis, caranya dengan membangun tembok
dengan memperkuat hierarki bahasa. Jadi menurut Anderson, budaya kraton
sekarang ini seperti bahasa kromo bis saja yang pengaruhnya masih dari
kolonialisme.
Relasi
kekuasaan global menjadi suatu yang bermasalah dan tidak sederhana. Seringkali
ada kesadaran ketidak-adilan yang sering terjadi dan hal demikian menjadi
perlawanan. Seperti di Pesantren satu sisi harus melawan kolonialisasi, tetapi
sisi lain memakai cara berbahasa kaum kolonial atau bahasa inggris yang mana hal
ini gambaran dari ambivalensi. Intinya, tinggal bagaimana media masssa mengubah
pola lama menjadi pola baru dalam membentuk kondisi yang lebih sesuai dengan
kearifan lokal Indonesia tanpa unsur ada lagi unsur jajahan Belanda.
Muhammad Irsyad Suardi
Mahasiswa
Magister Sosiologi UNAND |
0 komentar:
Posting Komentar