Minggu, 05 Februari 2023

INDIVIDU MEMBENTUK MASYARAKAT DAN MASYARAKAT MEMBENTUK INDIVIDU

 “Masyarakat adalah dinding-dinding kepenjaraan kita dalam sejarah”.- Peter L. Berger


               Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang tidak bisa lepas dari proses interaksi dengan manusia lain dalam kesehariannya. Semua manusia memiliki naluri untuk berbaur dengan manusia lain serta alam sekitar. Adanya interaksi tersebut menandakan bahwa manusia memiliki ketergantungan antara individu satu dengan individu yang lainnya. Dari ketergantungan tersebut, terciptalah suatu pola hubungan sosial yang intens dan tidak bisa terlepas dari manusia. Seiring berjalannya waktu, akibat saling ketergantungan serta intensitas hubungan antar individu, terjadilah sebuah kelompok yang dikenal dengan masyarakat.

              Secara sederhana, masyarakat merupakan sekumpulan individu yang hidup bersama di suatu wilayah dan di dalamnya terdapat berbagai kebudayaan yang diciptakan oleh anggotanya. Masyarakat juga dapat dikatakan sebagai suatu pergaulan hidup manusia, karena manusia memiliki banyak keterbatasan sehingga tidak dapat mengisolasi diri dan tentu untuk mempertahankan hidupnya manusia harus berhubungan, melakukan kerja sama serta mengorganisasikan dirinya dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.[1]

            Dari penjelasan singkat di atas, dapat kita simpulkan bahwa individulah yang membentuk sebuah masyarakat. Cooley mengungkapkan bahwa realitas sosial merupakan susunan gagasan-gagasan dari individu yang satu dengan yang lainnya.[2] Begitupun sebaliknya, ketika individu telah membentuk sebuah masyarakat (realitas), maka masyarakatlah yang kemudian akan membentuk individu, karena individu merupakan produk sosial. Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa dalam masyarakat terdapat pola atau tata kelakuan yang berlaku untuk individu-individu di dalamnya. Sadar atau tidak sadar, dalam menjalani kehidupan sehari-hari kita tidak dapat bebas bertindak dan berperilaku semau kita. Terdapat nilai dan norma yang merupakan penentu bagaimana individu sebaiknya bertindak dan berperilaku dalam sebuah masyarakat. Kalau dalam bahasa Durkheim kita kenal dengan istilah fakta sosial, di mana fakta sosial ini berada di luar individu dan mengendalikan individu tersebut dengan sifatnya yang memaksa. Fakta sosial ini merupakan acuan individu dalam berfikir, bertindak dan berperilaku. Sebagai individu, kita harus paham betul aturan main dalam suatu masyarakat yang kita tinggali, karena kita tidak bisa dengan bebas bertindak sesuai dengan kemauan diri kita sendiri. Sebuah tindakan atau perilaku yang dilakukan harus sesuai dengan kebiasaan yang telah umum dilakukan dan ditentukan oleh masyarakat (collective action). Ketika kita menyimpang dari kesepakatan yang sudah menjadi seperangkat aturan, tata cara dan pola hidup yang masyarakat gunakan, maka sudah pasti kita akan dihadapkan dengan berbagai hukuman atau yang disebut dengan norma sosial/sanksi sosial, baik itu berupa verbal maupun nonverbal.

            Bertolak dari hal di atas, terkadang diri kita merasakan suatu dilematik. Antara ingin melakukan segala hal yang kita ingini, dengan diri kita yang sadar bahwa kita hidup di sebuah wadah yang memiliki seperangkat aturan yang membatasi kita. Seperti salah satu contohnya dalam hal berpakaia. Kita ingin memakai pakaian yang kita inginkan dan membuat kita nyaman, dan itu adalah hak kita, tetapi di sisi lain kadang pakaian yang kita pakai itu dipandang tidak pantas oleh masyarakat sekitar kita, dan kita pun ingin tetap mengikuti norma yang telah disepakati tentang bagaimana cara berpakaian yang pantas dan mau tidak mau kita harus menyesuaikan kembali cara berpakaian kita dengan cara berpakaian yang umum dipakai dalam masyarakat sekitar kita. Di samping itu, banyak sekali tindakan atau perilaku yang sering di istilahkan sebagai penyimpangan sosial, artinya perilaku ini berbenturan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam sebuah masyarakat. Seperti misalnya, tindak kriminal – alkoholisme – tawuran, dan lain sebagainya. Tentu dari tindakan-tindakan tersebut kita pasti dihadapkan dengan norma yang berusaha untuk membuat keadaan menjadi lebih baik lagi. Akhirnya kita dipaksa untuk menyesuaikan kembali tindakan kita dengan nilai dan norma yang mengatur kita, demi menjaga stabilitas dan kehidupan bersama.

            Dalam analisa Herbert Mead, pada dasarnya di setiap diri (self) terdapat dua unsur, yaitu I dan Me. Secara sepintas, I dan Me ini memang sering dikatakan sama, karena sama-sama merujuk ke”Aku”an. Padahal menurut Mead, I dan Me ini secara mendalam memiliki perbedaan. I di sini sebagai subjek, sedangkan Me sebagai objek. Dapat kita pahami bahwa diri sebagai subjek adalah sebuah konsep di mana manusia dikatakan sebagai pelaku dalam sebuah masyarakat yang dapat dengan bebas melakukan kehendak dan keinginannya. Sementara sebagai objek, manusia merupakan tujuan atau penerima segala hal yang terjadi di lingkungan sekitar manusia itu sendiri. Manusia bisa dikatakan sebagai objek dari struktur sosial yang berjalan. Artinya, segala hal yang kita lakukan, segala hal yang berlaku di masyarakat pada akhirnya akan berdampak pada manusia itu sendiri.

             Mead sendiri mengatakan bahwa Me merupakan sebuah pertimbangan bagaimana agar tindakannya sesuai dengan nilai-nilai masyarakat sebagai upaya untuk meminimalisir penyimpangan personal dari norma. Lebih lanjut, Mead juga mengungkapkan bahwa manusia terdiri dari tiga kategori, yaitu; ada manusia yang pandai menyeimbangkan hubungan antara I dan Me, kemudian ada mereka yang hanya terampil menggunakan I tanpa mengindahkan Me, lalu ada mereka yang hanya terampil menggunakan Me tanpa ber I. Dari kategori yang dikemukakan Mead tersebut, dapat menjadi sebuah pertimbangan diri kita sendiri sebagai individu yang berada dalam sebuah masyarakat untuk setidaknya menyeimbangkan I dan Me agar kehendak kita dan aturan main dalam masyarakat dapat terlaksana, sehingga terhindar dari segala bentuk penyimpangan sosial.

            Salah satu senjata yang dapat digunakan untuk membentuk anggota masyarakat yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku adalah sosialisasi. Sosialisasi memiliki andil besar dalam membentuk realitas dan perilaku individu. Artinya, melalui proses sosialisasi satu individu diharapkan dapat menginternalisasi apa yang menjadi nilai dan norma di masyarakat, kemudian mengeksternalisasikannya kepada individu lain baik melalui tindakan maupun ucapan, sehingga individu lain menerima dan menginternalisasi juga. Kemudian akhir dari proses tersebut, diharapkan terjadinya objektivikasi atas sesuatu yang telah disepakati dan diterima secara bersama agar kemudian dijadikan sebagai tata kelakuan secara kolektif. Terkait dengan sosialisasi ini, Berger mengungkapkan bahwa sosialisasi adalah kekuatan masyarakat untuk mendidik manusia agar sesuai dengan lingkungan di sekelilingnya.

             Terlepas dari apa yang dikonsepsikan oleh Mead, kita banyak mendapat pelajaran bahwa meskipun kita memiliki kehendak bebas sebagai pelaku dalam arti perwujudan I, kita juga harus mempertimbangkan realitas atau lingkungan yang ada di sekitar kita sebagai perwujudan Me. Karena segala hal yang kita lakukan akan berdampak pada diri kita sendiri. Kita pun telah dapat mengamini pendapat Berger bahwa sosialisasi akan menjadi senjata yang cukup efektif untuk mendidik manusia (terutama diri sendiri) agar dapat berperan dan mempertimbangkan I dan Me dengan baik. Demikianlah pada dasarnya, bahwa individu membentuk masyarakat dan sebaliknya masyarakat membentuk individu. Individu dapat membentuk masyarakat dengan menciptakan suatu budaya dan norma bersama di suatu lingkungan. Masyarakat "membentuk" individu-individunya untuk melaksanakan berbagai hal sesuai dengan kebudayaan dan norma yang telah disepakati demi menjaga stabilitas dan kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat.

Ref. Bacaan;

*Rachmad K. Dwi Susilo. 2020. 20 Tokoh Sosiologi Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Hlm. 68-70.

*Drs. Syarif Hamid, M. Pd. 1933. Asas-Asas Soiologi. Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung. Hlm. 22



[1] Hamid, Syarif. Drs., M. Pd. 1933. Asas-Asas Soiologi. Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung. Hlm. 22

[2] Susilo, Rachmad K. Dwi. 2020. 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi para Peletak Sosiologi Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Hlm. 80


Karya: Dadan Abdul Majid



0 komentar:

Posting Komentar