“Masyarakat adalah dinding-dinding kepenjaraan kita dalam sejarah”.- Peter L. Berger
Manusia
pada dasarnya merupakan makhluk yang tidak bisa lepas dari proses interaksi
dengan manusia lain dalam kesehariannya. Semua manusia memiliki naluri untuk
berbaur dengan manusia lain serta alam sekitar. Adanya interaksi tersebut
menandakan bahwa manusia memiliki ketergantungan antara individu satu dengan
individu yang lainnya. Dari ketergantungan tersebut, terciptalah suatu pola
hubungan sosial yang intens dan tidak bisa terlepas dari manusia. Seiring
berjalannya waktu, akibat saling ketergantungan serta intensitas hubungan antar individu, terjadilah sebuah
kelompok yang dikenal dengan masyarakat.
Secara sederhana, masyarakat
merupakan sekumpulan individu yang hidup bersama di suatu wilayah dan di
dalamnya terdapat berbagai kebudayaan yang diciptakan oleh anggotanya.
Masyarakat juga dapat dikatakan sebagai suatu pergaulan hidup manusia, karena
manusia memiliki banyak keterbatasan sehingga tidak dapat mengisolasi diri dan
tentu untuk mempertahankan hidupnya manusia harus berhubungan, melakukan kerja
sama serta mengorganisasikan dirinya dengan manusia lain dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.[1]
Dari penjelasan singkat di atas,
dapat kita simpulkan bahwa individulah yang membentuk sebuah masyarakat. Cooley
mengungkapkan bahwa realitas sosial merupakan susunan gagasan-gagasan dari
individu yang satu dengan yang lainnya.[2]
Begitupun sebaliknya, ketika individu telah membentuk sebuah masyarakat (realitas),
maka masyarakatlah yang kemudian akan membentuk individu, karena individu
merupakan produk sosial. Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa dalam
masyarakat terdapat pola atau tata kelakuan yang berlaku untuk
individu-individu di dalamnya. Sadar atau tidak sadar, dalam menjalani
kehidupan sehari-hari kita tidak dapat bebas bertindak dan berperilaku semau
kita. Terdapat
nilai dan norma yang merupakan penentu bagaimana individu sebaiknya bertindak
dan berperilaku
dalam sebuah masyarakat. Kalau
dalam bahasa Durkheim kita kenal dengan istilah fakta sosial, di mana fakta sosial
ini berada di luar individu dan mengendalikan individu tersebut dengan sifatnya
yang memaksa. Fakta sosial ini merupakan acuan individu dalam berfikir,
bertindak dan berperilaku. Sebagai individu, kita
harus paham betul aturan main dalam suatu masyarakat yang kita tinggali, karena
kita tidak bisa dengan bebas bertindak sesuai dengan kemauan diri kita sendiri.
Sebuah tindakan atau perilaku yang dilakukan harus sesuai
dengan kebiasaan yang telah umum dilakukan
dan ditentukan oleh masyarakat (collective
action). Ketika
kita menyimpang dari kesepakatan yang sudah menjadi seperangkat aturan, tata
cara dan pola hidup yang masyarakat gunakan, maka sudah pasti kita akan
dihadapkan dengan berbagai hukuman atau yang disebut dengan norma sosial/sanksi sosial, baik itu berupa verbal
maupun nonverbal.
Bertolak dari hal
di atas, terkadang diri kita merasakan suatu dilematik. Antara ingin melakukan
segala hal yang kita ingini, dengan diri kita yang sadar bahwa kita hidup di
sebuah wadah yang memiliki seperangkat aturan yang membatasi kita. Seperti
salah satu contohnya dalam hal berpakaia. Kita ingin memakai pakaian yang kita
inginkan dan membuat kita nyaman, dan itu adalah hak kita, tetapi di sisi lain
kadang pakaian yang kita pakai itu dipandang tidak pantas oleh masyarakat
sekitar kita, dan kita pun ingin tetap mengikuti norma yang telah disepakati
tentang bagaimana cara berpakaian yang pantas dan mau tidak mau kita harus
menyesuaikan kembali cara berpakaian kita dengan cara berpakaian yang umum
dipakai dalam masyarakat sekitar kita. Di samping itu, banyak sekali tindakan
atau perilaku yang sering di istilahkan sebagai penyimpangan sosial, artinya
perilaku ini berbenturan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam sebuah
masyarakat. Seperti misalnya, tindak kriminal – alkoholisme – tawuran, dan lain
sebagainya. Tentu dari tindakan-tindakan tersebut kita pasti dihadapkan dengan
norma yang berusaha untuk membuat keadaan menjadi lebih baik lagi. Akhirnya
kita dipaksa untuk menyesuaikan kembali tindakan kita dengan nilai dan norma
yang mengatur kita, demi menjaga stabilitas dan kehidupan bersama.
Dalam analisa
Herbert Mead, pada dasarnya di setiap diri (self) terdapat dua unsur,
yaitu I dan Me. Secara sepintas, I dan Me ini memang sering
dikatakan sama, karena sama-sama merujuk ke”Aku”an. Padahal menurut Mead, I
dan Me ini secara mendalam memiliki perbedaan. I di sini sebagai
subjek, sedangkan Me sebagai objek. Dapat kita pahami bahwa diri sebagai
subjek adalah sebuah konsep di mana manusia dikatakan sebagai pelaku dalam
sebuah masyarakat yang dapat dengan bebas melakukan kehendak dan keinginannya.
Sementara sebagai objek, manusia merupakan tujuan atau penerima segala hal yang
terjadi di lingkungan sekitar manusia itu sendiri. Manusia bisa dikatakan
sebagai objek dari struktur sosial yang berjalan. Artinya, segala hal yang kita
lakukan, segala hal yang berlaku di masyarakat pada akhirnya akan berdampak
pada manusia itu sendiri.
Mead sendiri mengatakan bahwa Me
merupakan sebuah pertimbangan bagaimana agar tindakannya sesuai dengan
nilai-nilai masyarakat sebagai upaya untuk meminimalisir penyimpangan personal
dari norma. Lebih lanjut, Mead juga mengungkapkan bahwa manusia terdiri dari
tiga kategori, yaitu; ada manusia yang pandai menyeimbangkan hubungan antara I
dan Me, kemudian ada mereka yang hanya terampil menggunakan I tanpa
mengindahkan Me, lalu ada mereka yang hanya terampil menggunakan Me tanpa
ber I. Dari kategori yang dikemukakan Mead tersebut, dapat menjadi
sebuah pertimbangan diri kita sendiri sebagai individu yang berada dalam sebuah
masyarakat untuk setidaknya menyeimbangkan I dan Me agar kehendak
kita dan aturan main dalam masyarakat dapat terlaksana, sehingga terhindar dari
segala bentuk penyimpangan sosial.
Salah satu senjata yang dapat digunakan untuk membentuk anggota
masyarakat yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku adalah sosialisasi.
Sosialisasi memiliki andil besar dalam membentuk realitas dan perilaku
individu. Artinya, melalui proses sosialisasi satu individu diharapkan dapat menginternalisasi
apa yang menjadi nilai dan norma di masyarakat, kemudian
mengeksternalisasikannya kepada individu lain baik melalui tindakan maupun ucapan,
sehingga individu lain menerima dan menginternalisasi juga. Kemudian akhir dari
proses tersebut, diharapkan terjadinya objektivikasi atas sesuatu yang telah
disepakati dan diterima secara bersama agar kemudian dijadikan sebagai tata
kelakuan secara kolektif. Terkait dengan sosialisasi ini, Berger mengungkapkan
bahwa sosialisasi adalah kekuatan masyarakat untuk mendidik manusia agar sesuai
dengan lingkungan di sekelilingnya.
Terlepas dari apa yang dikonsepsikan oleh Mead, kita banyak mendapat pelajaran bahwa meskipun kita memiliki kehendak bebas sebagai pelaku dalam arti perwujudan I, kita juga harus mempertimbangkan realitas atau lingkungan yang ada di sekitar kita sebagai perwujudan Me. Karena segala hal yang kita lakukan akan berdampak pada diri kita sendiri. Kita pun telah dapat mengamini pendapat Berger bahwa sosialisasi akan menjadi senjata yang cukup efektif untuk mendidik manusia (terutama diri sendiri) agar dapat berperan dan mempertimbangkan I dan Me dengan baik. Demikianlah pada dasarnya, bahwa individu membentuk masyarakat dan sebaliknya masyarakat membentuk individu. Individu dapat membentuk masyarakat dengan menciptakan suatu budaya dan norma bersama di suatu lingkungan. Masyarakat "membentuk" individu-individunya untuk melaksanakan berbagai hal sesuai dengan kebudayaan dan norma yang telah disepakati demi menjaga stabilitas dan kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat.
Ref. Bacaan;
*Rachmad K. Dwi Susilo. 2020. 20
Tokoh Sosiologi Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Hlm. 68-70.
*Drs. Syarif Hamid, M.
Pd. 1933. Asas-Asas Soiologi. Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
Hlm. 22
0 komentar:
Posting Komentar