Analisis ini ingin menjelaskan bagaimana pendidikan tidak hanya mencerminkan sejauh mana proses transformasi sosial telah berjalan di sebuah negara, melainkan juga menunjukkan baik buruk wajah penguasa. Di Indonesia, dunia pendidikan mengalami ancaman yang sangat besar, yaitu dampak Liberalisasi Perdagangan Global terhadap Komodifikasi Pendidikan. Pendidikan bukan lagi menjadi alat untuk melakukan transformasi sosial. Namun didalamnya terdapat pula berbagai kebijakan pendidikan yang sering hanya berujungpangkal pada uang, kepentingan penguasa, pemenangan ideologi dan kepentingan kelompok di atas kelompok yang lain.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu bentuk proses investasi yang berharga dalam wujud investasi dumber daya insani yang merupakan salah satu bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan eksistensinya. Kriteria keberhasilan pendidikan sebagai institusi yang berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia terletak pada pihak-pihak yang terkait dalam praktik penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan suatu bangsa ditentukan pula oleh bagaimana sistem pendidikannya, mengingat pendidikan berada digaris depan dalam perjuangan menghadapi tantangan yang bersifat eksternal maupun internal. Selain itu pula, pendidikan memiliki peran sentral sebagai basis fundamental pembangunan bangsa. Dalam proses pendidikan, terdapat pula berbagai unsur didalamnya seperti politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya, psikologis, sosiologis dan sebagainya. Penanganan pendidikan dengan itu, perlu mempertimbangkan dimensi-dimensi tersebut, agar strategi maupun kebijakan yang ditempuh benar-benar mengantarkan pada pencapaian tujuan yang telah dijabarkan dalam UU NO.20 tahun 2003 yang berbunyi:
"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[1]
Didalam sistem pendidikan, terdapat berbagai komponen yang berperan aktif terhadap kesuksesan pendidikan. Dengan begitu, penanganan pendidikan perlu dikelola dengan baik dan berlandaskan kepada kepentingan masyarakat, bukan hanya menguntungkan sebagian pihak saja. Namun realitanya, Pendidikan yang pada dasarnya adalah sebuah hak bersama yang seharusnya disediakan dan diselenggarakan oleh negara, telah dikomodifikasi menjadi suatu arena yang berorientasi pada kepentingan penguasa, baik sebagai arena politik maupun ekonomi. Komodifikasi dalam konteks ini merupakan bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil. Konstitusi yang jelas-jelas menitahkan agar negara mencerdaskan kehidupan berbangsa sering tidak diberi makna yang adil dan memadai.
Pembahasan
Komodifikasi pada pendidikan telah mengubah nilai pendidikan yang sebenarnya adalah nilai guna menjadi nilai tukar. Dalam nilai tukar, pendidikan berfungsi sebagai suatu proses untuk mendidik dan membimbing manusia menjadi suatu komoditas yang diperjual-belikan sehingga dapat menciptakan nilai lebih bagi pemilik kapital atau modal. Dalam dunia pendidikan, suatu bentuk komodifikasi memang sudah tidak asing lagi didengar mulai dari kebijakan yang dicanangkan pemerintah sampai pada praktik penyelenggaraan pendidikan terkecil yakni didalam kelas, misalkan saja komersialisasi yang dilakukan oleh penerbit, guru, kepala sekolah, ataupun birokrat di lingkungan pendidikan seperti komersialisasi buku pelajaran, sampai dengan uang pelicin yang bertujuan untuk memudahkan masuk ke lembaga pendidikan tertentu. Proses komodifikasi yang digambarkan dalam studi ini tidak terlepas dari adanya unsur pertukararan dua individu. Bahkan secara sistemik, pendidikan itu sendiri justru dikomersialisasikan oleh pemerintah baik secara politis maupun ekonomi yang dilakukan melalui pembuatan kebijakan yang tidak jarang pula dijadikan proyek, seperti pengadaan sarana-prasarana yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh lembaga pendidikan.
Fenomena ini pun seakan menjadi produk internalisasi struktur nilai-nilai yang berlangsung lama dan menjadi habitus dalam dunia pendidikan Indonesia yang mengubah orientasi pendidikan yang lebih disibukkan kepada kepentingan memperoleh ijazah, sertifikat, mengabdi pada para stakeholder dan bukan lagi berorientasi pada pencapaian tujuan yang telah diamanatkan.
Dalam membahas fenomena komodifikasi pendidikan ini, dapat dilihat melalui perpektif Pierre Bourdieu seorang filsuf Perancis yang membahas tentang struktur-struktur dominasi ekonomi maupun dominasi simbolik dari masyarakat, yang selalu menutupi ketidakadilan di dalamnya. Didalam fenomena ini, sektor pendidikan dijadikan arena politik dan ekonomi, yang didalamnya terdapat pula pemilik kapital atau modal sosial, modal ekonomi, modal budaya dan modal simbolik yang menghasilkan produk internalisasi berupa habitus dalam sistem pendidikan Indonesia. Dalam pengertian ini, habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif.[2]
Habitus atau skema-skema kognitif agen atau warga dalam teori Bourdieu, merupakan produk historis yang menciptakan tindakan individu dan kolektif.[3] Menurut Bourdieu, seorang individu atau aktor adalah dipengaruhi oleh strukturnya, tetapi juga individu tersebut bebas untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Sehingga disini yang menentukan praktek atau tindakan individu adalah ranah dimana ia berada dan habitus masing-masing individu.
Pendidikan Sebagai Arena Politik dan Ekonomi
Menurut Bourdieu, Ranah atau Arena diartikan sebagai sesuatu yang dinamis, dimana ranah merupakan kekuatan yang bersifat otonom dan didalamnya berlangsung perjuangan mendapatkan kepentingan masing-masing. Perjuangan ini di pandang mentransformasikan atau mempertahankan arena kekuatan. Arena merupakan ruang yang terstruktur dengan aturan keberfungsiannya yang khas namun tidak secara kaku terpisah dari arena-arena lainnya dalam sebuah dunia sosial. Dalam konsep arena ini mensyaratkan agen yang menempati berbagai posisi yang tersedia dalam arena apapun, terlibat dalam usaha perjuangan memperebutkan sumber daya atau modal yang diperlukan guna memperoleh akses terhadap kekuasaan dan posisi dalam sebuah arena.
Pendidikan dan politik adalah dua eleman penting dalam sistem sosial politik di setiap Negara. Dalam hubungan tersebut, maka kedua unsur politik dan pendidikan mempunyai keterkaitan dalam setiap langkah yang dilaksanakan. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan dalam dunia pendidikan tidak dapat terlepas dari kebijakan-kebijakan politik yang diberlakukan oleh para pelaku politik atau para petinggi pemerintahan yang tentunya mempunyai background partai politik. Oleh penguasa, pendidikan sering dicampuradukan antara kepentingan dengan kebijakan pendidikan, sehingga mengakibatkan ketidakjelasan arah visi yang dituju. Pendidikan telah dijadikan alat penguasa dan bukan sebagai sarana untuk kehidupan bernegara.[4] Lembaga pendidikan seingkali dijadikan lahan untuk menanamkan doktrin-doktrin negara yang diinginkan/dikehendaki penguasa. Kepentingan untuk menguasai peserta didik dengan cara mendidik melalui pengetahuan-pengetahuan yang diinginkan oleh pemangku kepentingan. Jelas sudah, pendidikan yang diselenggarakan hanya untuk melanggengkan pemangku kepentingan. Tidak jarang pula pendidikan digunakan sebagai wahana kampanye dan propaganda politik demi kesuksesan merebut kursi kekuasaan. Dinas Pendidikan bahkan ke sekolah-sekolah, secara riil, menjadi tempat kampanye untuk dijadikan sebagai alat bantu pemenangan.
Pendidikan diubah sebagai sebuah alat politik yang menginginkan pelanggengan terhadap sistem yang sudah ada, dengan kata lain pendidikan konsep ini adalah sebuah upaya pembungkaman publik terhadap sebuah sistem. Dalam konteks sejarah Indonesia dapat dilihat bagaimana penguasa memperlakukan Indonesia seperti pada era Orde baru yang didominasi oleh pelajaran pendidikan moral pancasila dan penataran P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) disini dapat dilihat bagaimana penguasa menggiring pemahaman sesuai dengan kehendak penguasa yang memaksa pembungkaman publik terhadap kepentingan politik (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan membiaskan pemahaman masyarakat kepada sebuah sistem yang fungsional, sehingga segala macam perintah yang diberikan oleh pejabat pemerintahan harus ditaati oleh rakyat atas dasar rasa cinta terhadap Pancasila itu sendiri. Untuk itu, terdapat beberapa kasus yang menggambarkan usaha rezim Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan dengan indoktrinisasi Pancasila, yaitu Adanya larangan masyarakat untuk memberikan kritik terhadap pemerintah melalui berbagai media, terdapat pemberedelan beberapa media massa yang dianggap oposisi dengan pemerintah, adanya penyederhanaan partai politik yang hanya meliputi PPP,PDI, serta Golkar Terdapat diskriminasi antar parpol dalam hal kampanye, sebab Golkar yang boleh melakukan kampanye hingga tingkat desa, sementara parpol lain hanya dibolehkan melalukan kampanye terbatas.
Motif kekuasaan para penguasa dalam mengendalikan pendidikan diorientasikan pada pembentukan kekuatan, jaringan, pencitraan, dan kemenangan politik yang ingin dijalankan yang didalamnya pula terdapat motif kepentingan berupa keuntungan pribadi. Menurut Muchlis Luddin, Depdiknas menjalankan program semaunya dan cenderung berorintasi proyek, dengan demikian oleh elit politik sejumlah program pendidikan dijadikan ajang kepentingan jangka pendek.[5] Jika membahas proyek maka sejatinya pendidikan pun tidak dapat dipisahkan dari unsur ekonomi. Banyak proyek pendidikan yang tidak tepat sasaran dan justru sumber korupsi pejabat birokrasi sektor pendidikan. Pendidikan merupakan bisnis semua orang, dari lingkup makro yakni berupa penggelembungan dana pendidikan sampai dengan proyek pengadaan sarana-prasarana pendukung proses pendidikan yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh lembaga pendidikan. Bukan hanya dalam lingkup makro, komodifikasi pendidikan sebagai arena ekonomi pun terjadi pada lingkup praktik penyelengaraan terkecil didalam ruang kelas, seperti komersialisasi buku pelajaran oleh guru, penerbit bahkan dijadikan wadah pungli dengan embel-embel pendidikan gratis.
Stigma pendidikan gratis mewarnai arus kebijakan pendidikan nasional. Pendidikan gratis lebih didominasi pada kepentingan politik daripada implementasi di tingkat mikro sekolah. Sampai saat ini, pendidikan gratis pada jenjang pendidikan dasar berlangsung dalam kondisi memperihatinkan. Pendidikan gratis identik dengan pendidikan murah dan kurang berkualitas.
Lahan Basah Sektor Pendidikan bagi kepentingan Pemilik Kapital
Sektor Pendidikan sebagai arena, tentu didalamnya terdapat aktor yang terlibat dan memiliki modal. Dalam hal ini Bourdieu mengklasifikasikan Kapital atau modal tersebut dalam 3 bagian yakni modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik. Lingkungan adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan.[6] Modal merupakan simbolik dari adanya ketimpangan dalam masyarakat. Dimana masyarakat terstratifikasi dari kepemilikan modal. Atau modal juga dapat dimaknai sebagai sekumpulan sumber daya (baik materi dan nonmateri) yang di miliki seseorang atau kelompok tertentu yang digunakan untuk mencapai tujuan.[7] Setiap kapital dalam konsep Bourdieu adalah berkaitan, juga dapat mengalami perubahan dan tidak bersifat tunggal.
Menurut Bourdieu terdapat empat jenis modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, dan modal kultural kemudian ditambah modal simbolik oleh S Turner:[8]
Dari sini dapat dianalisis dalam sistem pendidikan diIndonesia, dimana jelas bahwa sistem pendidikan digerakkan oleh aktor yang didalamnya pula memiliki modal atau kapital. Modal ekonomi mempengaruhi bagaimana seseorang dianggap dan dihargai. Kepuasan manusia sesungguhnya adalah sesuatu yang tidak pernah hakiki. Ketika seseorang sudah menduduki kelas sosial atas dan memiliki pengaruh untuk orang dibawahnya maka ia akan berusaha mempertahankan kelas sosial bahkan mencari cara untuk terus menaiki kelas sosial yang lebih tinggi. Dalam pengertian itu, berkembanglah sesuatu yang disebut pakta dominasi antara kapitalis utama dengan para penguasa lainnya berdasarkan kepentingan yang sama. Dengan demikian, negara dan kelas berjalan bersama-sama melakukan pembangunan menurut jalan kapitalis.[10] Disini dapat pula kita lihat keterkaitan antara setiap pemilik kapital yang ada dan tidak berdiri tunggal.
Kapital sosial pun demikian, dapat dilihat bagaimana jejaring memengaruhi keberhasilan dalam dunia pendidikan. Modal sosial dapat dijadikan produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten.[11] Realitas membuktikan bahwa semua kegiatan dan usaha akan lebih mudah didapatkan bila mempunyai jaringan atau link connection sebagai jalan pintas dalam memperoleh sesuatu. Kelompok elite sangat aktif menerapkan kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki, bahkan kekuasaannya itu diintegrasikan dengan kekuatan elite lain sehingga menciptakan jaringan yang tak tertandingi. Dalam dunia pendidikan, hal semacam ini sering terjadi misalnya sebagai jalan pintas untuk masuk lembaga pendidikan tertentu dan menduduki jabatan tertentu di sistem pendidikan di Indonesia yang sering kali berpengaruh terhadap fenomena komodifikasi pendidikan.
Didalam konsep Bourdieu dikenal pula dengan istilah Kapital budaya, Kapital budaya merupakan kepentingan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan kultural yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu yang dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan.[12] Didalam modal kultural seseorang menjadi penguasa berdasarkan kultur masyarakat sehingga dinilai patut untuk dihargai misalnya berupa ijazah, dan cara bersikap. Fenomena yang terjadi saat ini adalah Praktek penjualan ijazah sarjana palsu (S1, S2, S3 bahkan Professor) dilakukan untuk ijazah luar negeri maupun dalam negeri. Fenomena ini turut menambah masalah pendidikan Indonesia. Aktor-aktor kolektif atau kelompok status, berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk dapat memonopoli sumber-sumber budaya yang akan meningkatkan prestise dan solidaritas kelompok tersebut.[13] Modal kultural seperti sikap pun dijadikan ajang merebut simpatisan publik yang dicerminkan melalui politik pencitraan dan mengakibatkan buruknya pendidikan di Indonesia.
Kemudian Modal yang terakhir adalah modal simbolik misalnya posisi atau jabatan tertentu. Dalam dunia pendidikan ditemukan kasus penyelewangan jabatan atau posisi tersebut terutama dalam sistem pendidikan Indoneisa yang dikemukakan ICW. Di antara kasus korupsi tersebut, penggelapan dan penggelembungan anggaran menjadi modus korupsi yang sering dilakukan. Berdasarkan pemantauan, terungkap 296 kasus korupsi pendidikan dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp 619 miliar. Jumlah tersangka sebanyak 497 orang. Tidak jarang pula simbol-simbol dalam pendidikan seperti ijazah dan bentuk simbol lainnya dipalsukan atau dalam artian yang lebih luas, pendidikan digunakan hanya untuk sebatas memperoleh simbol pendidikan tersebut sebagai modal kontestasi didalam masyarakat.
Produk Internalisasi struktur nilai terhadap praktik Penyelenggaraan Pendidikan
Setiap aktor dalam sistem pendidikan dibekali dengan serangkaian pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Arena membentuk habitus yang sesuai dengan struktur dan cara kerjanya, namun habitus juga membentuk dan mengubah arena sesuai dengan strukturnya. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektis, habitus adalah produk internalisasi struktur dunia sosial. Atau dengan kata lain habitus dilihat sebagai struktur sosial terinternalisasi yang diwujudkan. Komodifikasi pendidikan bagi peserta didik dan bagi seluruh aktor dalam sistem pendidikan mengalami internalisasi tanpa disadari, telah mengubah pandangan, mindset, persepsi, sikap, dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari atau menjadi suatu habitus. Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan dengan dunia sosial.[14]
Menurut Bourdieu, seorang individu atau aktor adalah dipengaruhi oleh strukturnya, tetapi juga individu tersebut bebas untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Sehingga disini yang menentukan praktek atau tindakan individu adalah arena dimana ia berada dan habitus masing-masing individu. Dalam konsep strukturnya, Bourdieu menekankan bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat, struktur sangat dominan dalam mempengaruhi agen. Individu pada dasarnya sangat dominan dipengaruhi struktur dalam kehidupannya. Akan tetapi agen juga bisa berperan dalam mempengaruhi strutur dalam kemasyrakatan, namun tidak sepenuhnya bisa lepas dari struktur yang ada. Jadi adanya hubungan timbal balik disini, yaitu struktur yang mempengaruhi agen, dan agen mempengaruhi struktur.
Pemikiran konseptual yang dangkal, pragmatis oleh penguasa bisa berdampak buruk bagi desain pendidikan nasional. Fenomena komodifikasi pendidikan yang lekat dengan kepentingan pribadi tanpa mementingkan kepentingan umum telah terinternalisasi, ini tercermin dari banyaknya peserta didik yang hanya berorientasi pada ijazah dan nilai dalam proses pembelajaran yang berdampak pada mengesampingkan hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan dimaknai semata-mata sebagai alat dalam mendapatkan pekerjaan atau dijadikan pencapaian modal simbolik pendidikan. Pendidikan bukan lagi dilihat sebagai penanaman nilai-nilai budaya Indonesia namun lebih kepada pelanggengan nilai-nilai yang telah terstruktur dan mengakibatkan semakin variatifnya problematika pendidikan Indonesia.
Tindakan mementingkan kepentingan pribadi dilihat sebagai reproduksi tindakan atau hanya sebagai salah satu varian sistem kecenderungan umum, yang kemudian menjadi jelas. Meski dilihat sebagai praktik perorangan, fenomena ini telah menjadi bagian dari praktik umum, tidak hanya melalui keseragaman tetapi juga dengan variasi tindakan. Tindakan mementingkan kepentingan pribadi sudah menjadi nilai yang terstruktur dan bertahan lama yang diwariskan dari generasi ke generasi. Awalnya merupakan struktur yang dibentuk, kemudian berperan membentuk perilaku, dan berproses menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik hidup masyarakat tanpa disadari. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis. Kemudian Habitus ini berujung pangkal pada konsep Bourdieu yakni doxa, doxa adalah pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan penguasa dan seakan terbiaskan pada sistem yang fungsional.
Kesadaran Pendidikan Sebagai Alternatif Penyelesaian Masalah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kesadaran diartikan sebagai keinsafan; keadaan mengerti akan harga dirinya timbul karna ia diperlakukan secara tidak adil. Pengertian kesadaran ini masih terlalu luas, karena kesadaran disini belum difokuskan pada suatu bidang tertentu. Kemudian dalam konteks pendidikan ini, kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran pendidikan. Kesadaran pendidikan merupakan kehadiran sikap mengetahui, memahami, menginsafi, dan menindaklanjuti proses pembimbingan untuk mengembangkan potensi kemampuan seseorang menjadi sumber daya manusia yang kuat (strong human resources).[15] Selanjutnya kesadaran pendidikan tercermin pada aktor yang berada dalam sistem pendidikan dengan identitasnya masing-masing :
1) Pemerintah
Pemerintah yang sadar pendidikan adalah yang menjadikan pendidikan sebagau basis utama mengatasi krisis dan problematikan bangsa. Mereka berusaha melepaskan intervensinya antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum untuk mejadikan pendidikan yang hakiki. Kepentingan itu baik dilihat dari dimensi ekonomi maupun politis.
2) Dosen
Dosen yang sadar pendidikan adalah dosen yang mengedepankan tugas utamanya pada kegiatan mendidik, meneliti dan mengabdi pada masyarakat. Menjadi produsen atas gagasan, ide, teori dan hukum-hukum keilmuwan dan mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat sebagai tombak bangsa menuju perubahan.
3) Rektor/ dekan/ direktur Perguruan tinggi
Rektor/ dekan/ direktur perguruan tinggi yang sadar pendidikan adalah mereka yang berusaha mengkondisikan perguruan tinggi yang diampunya benar-benar berbasis pada bidang akademik tanpa mencampuradukan antara kepentingan lain yang tidak sesuai dengan hakikat pendidikan.
4) Mahasiswa
Mahasiswa yang sadar pendidikan adalah mereka yang sadar tanggung jawabnya sebagai agen perubahan dengan memiliki intelektual yang tinggi. Pengabdian terhadap masyarakat tidak selalu diwujudkan dalam wujud aksi namun juga dengan mengimplementasikan teori-teori yang dipelajari untuk sepenuhnya diimplementasikan dalam masyarakat agar kebijakan dalam dunia pendidikan dapat dijalani dan dikritisi.
5) Kepala sekolah
Kepala sekolah yang sadar pendidikan adalah kepala sekolah yang berfungsi sebagai pembimbing dan teladan. Mereka berusaha mengembangkan sumber-sumber pendidikan dan menjauhkan diri dari unsur komodifikasi pendidikan.
6) Guru
Guru merupakan tombak akhir dari sistem pendidikan untuk diimplementasikan kepada peserta didik. Guru yang sadar pendidikan adalah guru yang mampu membangun kesadaran pendidikan pula terhadap anak didiknya, melunturkan konsep pendidikan sebagai komoditi terhadap anak didiknya sehingga mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, selain itu pula dapat menghasilkan output yang baik dan mematahkan nilai-nilai habitus (komodifikasi pendidikan) dalam sistem pendidikan Indonesia.
Kesimpulan
Pendidikan merupakan salah satu bentuk proses investasi yang berharga dalam wujud investasi dumber daya insani yang merupakan salah satu bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan eksistensinya. Kriteria keberhasilan pendidikan sebagai institusi yang berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia terletak pada pihak-pihak yang terkait dalam praktik penyelenggaraan pendidikan. Namun Akibat adanya Liberalisasi perdagangan global, Pendidikan yang pada dasarnya adalah sebuah hak bersama yang seharusnya disediakan dan diselenggarakan oleh negara, telah dikomodifikasi menjadi suatu arena yang berorientasi pada kepentingan penguasa, baik sebagai arena politik maupun ekonomi.
Dalam membahas fenomena komodifikasi pendidikan ini, dapat dilihat melalui perpektif Pierre Bourdieu seorang filsuf Perancis yang membahas tentang struktur-struktur dominasi ekonomi maupun dominasi simbolik dari masyarakat, yang selalu menutupi ketidakadilan di dalamnya. Didalam fenomena ini, sektor pendidikan dijadikan arena politik dan ekonomi, yang didalamnya terdapat pula pemilik kapital atau modal. Didalam modal ini, Bourdieu mengemukakan 4 konsep yakni modal sosial, modal ekonomi, modal budaya dan modal simbolik yang menghasilkan produk internalisasi berupa habitus dalam sistem pendidikan Indonesia. Dalam pengertian ini, habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif. Habitus ini terjadi karena adanya internalisasi terhadap berbagai komponen yang ada dalam sistem pendidikan yang hakikatnya adalah menuju perubahan yang lebih baik. Namun, karena adanya komodifikasi pendidikan ini, Pendidikan bukan lagi menjadi alat transformasi sosial. Pendidikan berubah wajah menjadi menyeramkan, sebagai proses pembodohan melalui proyek-proyek yang simpang siur, proses menciptakan anak didik dari yang cerah menuju yang gelap. Pemikiran yang dangkal, pragmatis, hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat, serta lebih didominasi wacana politis.
Namun korupsi yang telah menjelma menjadi struktur selama berpuluh-puluh tahun dan secara kontinu bisa diluluhkan dengan adanya praktik-praktik sosial baru. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa keusangan nilai-nilai yang terstruktur itu merupakan salah satu harapan. Keusangan nilai tersebut bisa terjadi ketika setiap aktor dalam dunia pendidikan mulai memiliki kesadaran untuk melakukan praktik sosial baru, memiliki kesadaran bahwa nilai-nilai tersebut bukanlah tindakan yang relevan untuk melangkah menuju masa depan. Nilai tersebut dapat diatasi ketika mulai adanya kesadaran, bahwa tindakan tersebut sudah bukan lagi hal yang patut dijadikan Habit.
..........................................................................................................................................................
[1]E. Surachman, Bahan Ajar Manajemen Pendidikan, (tidak diterbitkan), h. 2
[2]George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern,( Prenada Media: Jakarta: 2003). h. 522
[3]Robertus Robert dan U. Abdul Razak R, Konseptualisasi habitus untuk sosiologi-paedagogis, (Jurnal Sosialita FIS UNJ : Vol.9 No.1,Juni,2011), h.8
[4]Mujamil Qomar, Kesadaran pendidikan, (Ar-Ruzz Media: Yogyakarta,2012), h.86
[5]Suara Pembaruan, Akhiri politisasi pendidikan, http://www.ui.ac.id/download/kliping/290408/akhiri_politisasi_pendidikan.pdf, Suara Pembaruan, (28 April 2008) , h.14 (diakses pada 23 Mei 2015)
[6]Ritzer dan Goodman, Op.Cit .,h.524
[7]Nanang Martono, Kekerasan Simbolik di sekolah: Sebuah ide sosiologi pendidikan Piere Bourdieu, (PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2012), h.33
[8]Pierre Bourdieu, . The Logic of Practice, ( Atanford University Press: California,1990) , h.67
[9]Hilda Handayani, Jaringan Sosial untuk kebertahanan institusi pendidikan, (Skripsi: FIS UNJ, 2010), h.13
[10]Mohtar Mas’Oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2003), h. 55
[11]Heri Faturrahman,Mimbar Demokrasi: mengembangkan modal sosial melalui kebijakan publik, (Jurnal Ilmiah, Volume 8,No.1Oktober 2008) , h.8
[12]Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Kencana Prenada: Jakarta, 2012), h.197
[13]Vera Yuliana, Bimbingan Belajar: Komersialisasi jasa pendidikan masyarakat menengah atas, (Jurnal Scriepta Societa: Labsos,FIS UNJ,2010), h.108
[14]Ritzer dan Goodman,Op.Cit, h.522
[15]Qomar, Op.Cit, h.120
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta
E. Surachman, Bahan Ajar Manajemen Pendidikan, (tidak diterbitkan)
Mujamil Qomar.2012. Kesadaran pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press : California.
Nanang Martono. 2012. Kekerasan Simbolik di sekolah: Sebuah ide sosiologi pendidikan Piere Bourdieu. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada.
Internet
http://nasional.kompas.com/read/2013/08/28/1714520/ICW.Dana.Pendidikan.Jadi.Bancakan.Koruptor
http://kbbi.web.id/sadar
http://www.ui.ac.id/download/kliping/290408/akhiri_politisasi_pendidikan.pdf
Jurnal
Robert dan U. Abdul Razak R “Konseptualisasi habitus untuk sosiologi-paedagogis”, Jurnal Sosialita, Vol.9 No.1, (Juni,2011)
Heri Faturrahman “Mimbar Demokrasi: mengembangkan modal sosial melalui kebijakan publik), Jurnal Ilmiah, Volume 8,No.1 (Oktober 2008)
Vera Yuliana “Bimbingan Belajar: Komersialisasi jasa pendidikan masyarakat menengah atas, Scriepta Societa, Labsos, FIS UNJ
Skripsi
Hilda Handayani, 2010, Jaringan Sosial untuk kebertahanan institusi pendidikan, Skripsi, Jurusan Sosiologi UNJ.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu bentuk proses investasi yang berharga dalam wujud investasi dumber daya insani yang merupakan salah satu bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan eksistensinya. Kriteria keberhasilan pendidikan sebagai institusi yang berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia terletak pada pihak-pihak yang terkait dalam praktik penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan suatu bangsa ditentukan pula oleh bagaimana sistem pendidikannya, mengingat pendidikan berada digaris depan dalam perjuangan menghadapi tantangan yang bersifat eksternal maupun internal. Selain itu pula, pendidikan memiliki peran sentral sebagai basis fundamental pembangunan bangsa. Dalam proses pendidikan, terdapat pula berbagai unsur didalamnya seperti politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya, psikologis, sosiologis dan sebagainya. Penanganan pendidikan dengan itu, perlu mempertimbangkan dimensi-dimensi tersebut, agar strategi maupun kebijakan yang ditempuh benar-benar mengantarkan pada pencapaian tujuan yang telah dijabarkan dalam UU NO.20 tahun 2003 yang berbunyi:
"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[1]
Didalam sistem pendidikan, terdapat berbagai komponen yang berperan aktif terhadap kesuksesan pendidikan. Dengan begitu, penanganan pendidikan perlu dikelola dengan baik dan berlandaskan kepada kepentingan masyarakat, bukan hanya menguntungkan sebagian pihak saja. Namun realitanya, Pendidikan yang pada dasarnya adalah sebuah hak bersama yang seharusnya disediakan dan diselenggarakan oleh negara, telah dikomodifikasi menjadi suatu arena yang berorientasi pada kepentingan penguasa, baik sebagai arena politik maupun ekonomi. Komodifikasi dalam konteks ini merupakan bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil. Konstitusi yang jelas-jelas menitahkan agar negara mencerdaskan kehidupan berbangsa sering tidak diberi makna yang adil dan memadai.
Pembahasan
Komodifikasi pada pendidikan telah mengubah nilai pendidikan yang sebenarnya adalah nilai guna menjadi nilai tukar. Dalam nilai tukar, pendidikan berfungsi sebagai suatu proses untuk mendidik dan membimbing manusia menjadi suatu komoditas yang diperjual-belikan sehingga dapat menciptakan nilai lebih bagi pemilik kapital atau modal. Dalam dunia pendidikan, suatu bentuk komodifikasi memang sudah tidak asing lagi didengar mulai dari kebijakan yang dicanangkan pemerintah sampai pada praktik penyelenggaraan pendidikan terkecil yakni didalam kelas, misalkan saja komersialisasi yang dilakukan oleh penerbit, guru, kepala sekolah, ataupun birokrat di lingkungan pendidikan seperti komersialisasi buku pelajaran, sampai dengan uang pelicin yang bertujuan untuk memudahkan masuk ke lembaga pendidikan tertentu. Proses komodifikasi yang digambarkan dalam studi ini tidak terlepas dari adanya unsur pertukararan dua individu. Bahkan secara sistemik, pendidikan itu sendiri justru dikomersialisasikan oleh pemerintah baik secara politis maupun ekonomi yang dilakukan melalui pembuatan kebijakan yang tidak jarang pula dijadikan proyek, seperti pengadaan sarana-prasarana yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh lembaga pendidikan.
Fenomena ini pun seakan menjadi produk internalisasi struktur nilai-nilai yang berlangsung lama dan menjadi habitus dalam dunia pendidikan Indonesia yang mengubah orientasi pendidikan yang lebih disibukkan kepada kepentingan memperoleh ijazah, sertifikat, mengabdi pada para stakeholder dan bukan lagi berorientasi pada pencapaian tujuan yang telah diamanatkan.
Dalam membahas fenomena komodifikasi pendidikan ini, dapat dilihat melalui perpektif Pierre Bourdieu seorang filsuf Perancis yang membahas tentang struktur-struktur dominasi ekonomi maupun dominasi simbolik dari masyarakat, yang selalu menutupi ketidakadilan di dalamnya. Didalam fenomena ini, sektor pendidikan dijadikan arena politik dan ekonomi, yang didalamnya terdapat pula pemilik kapital atau modal sosial, modal ekonomi, modal budaya dan modal simbolik yang menghasilkan produk internalisasi berupa habitus dalam sistem pendidikan Indonesia. Dalam pengertian ini, habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif.[2]
Habitus atau skema-skema kognitif agen atau warga dalam teori Bourdieu, merupakan produk historis yang menciptakan tindakan individu dan kolektif.[3] Menurut Bourdieu, seorang individu atau aktor adalah dipengaruhi oleh strukturnya, tetapi juga individu tersebut bebas untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Sehingga disini yang menentukan praktek atau tindakan individu adalah ranah dimana ia berada dan habitus masing-masing individu.
Pendidikan Sebagai Arena Politik dan Ekonomi
Menurut Bourdieu, Ranah atau Arena diartikan sebagai sesuatu yang dinamis, dimana ranah merupakan kekuatan yang bersifat otonom dan didalamnya berlangsung perjuangan mendapatkan kepentingan masing-masing. Perjuangan ini di pandang mentransformasikan atau mempertahankan arena kekuatan. Arena merupakan ruang yang terstruktur dengan aturan keberfungsiannya yang khas namun tidak secara kaku terpisah dari arena-arena lainnya dalam sebuah dunia sosial. Dalam konsep arena ini mensyaratkan agen yang menempati berbagai posisi yang tersedia dalam arena apapun, terlibat dalam usaha perjuangan memperebutkan sumber daya atau modal yang diperlukan guna memperoleh akses terhadap kekuasaan dan posisi dalam sebuah arena.
Pendidikan dan politik adalah dua eleman penting dalam sistem sosial politik di setiap Negara. Dalam hubungan tersebut, maka kedua unsur politik dan pendidikan mempunyai keterkaitan dalam setiap langkah yang dilaksanakan. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan dalam dunia pendidikan tidak dapat terlepas dari kebijakan-kebijakan politik yang diberlakukan oleh para pelaku politik atau para petinggi pemerintahan yang tentunya mempunyai background partai politik. Oleh penguasa, pendidikan sering dicampuradukan antara kepentingan dengan kebijakan pendidikan, sehingga mengakibatkan ketidakjelasan arah visi yang dituju. Pendidikan telah dijadikan alat penguasa dan bukan sebagai sarana untuk kehidupan bernegara.[4] Lembaga pendidikan seingkali dijadikan lahan untuk menanamkan doktrin-doktrin negara yang diinginkan/dikehendaki penguasa. Kepentingan untuk menguasai peserta didik dengan cara mendidik melalui pengetahuan-pengetahuan yang diinginkan oleh pemangku kepentingan. Jelas sudah, pendidikan yang diselenggarakan hanya untuk melanggengkan pemangku kepentingan. Tidak jarang pula pendidikan digunakan sebagai wahana kampanye dan propaganda politik demi kesuksesan merebut kursi kekuasaan. Dinas Pendidikan bahkan ke sekolah-sekolah, secara riil, menjadi tempat kampanye untuk dijadikan sebagai alat bantu pemenangan.
Pendidikan diubah sebagai sebuah alat politik yang menginginkan pelanggengan terhadap sistem yang sudah ada, dengan kata lain pendidikan konsep ini adalah sebuah upaya pembungkaman publik terhadap sebuah sistem. Dalam konteks sejarah Indonesia dapat dilihat bagaimana penguasa memperlakukan Indonesia seperti pada era Orde baru yang didominasi oleh pelajaran pendidikan moral pancasila dan penataran P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) disini dapat dilihat bagaimana penguasa menggiring pemahaman sesuai dengan kehendak penguasa yang memaksa pembungkaman publik terhadap kepentingan politik (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan membiaskan pemahaman masyarakat kepada sebuah sistem yang fungsional, sehingga segala macam perintah yang diberikan oleh pejabat pemerintahan harus ditaati oleh rakyat atas dasar rasa cinta terhadap Pancasila itu sendiri. Untuk itu, terdapat beberapa kasus yang menggambarkan usaha rezim Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan dengan indoktrinisasi Pancasila, yaitu Adanya larangan masyarakat untuk memberikan kritik terhadap pemerintah melalui berbagai media, terdapat pemberedelan beberapa media massa yang dianggap oposisi dengan pemerintah, adanya penyederhanaan partai politik yang hanya meliputi PPP,PDI, serta Golkar Terdapat diskriminasi antar parpol dalam hal kampanye, sebab Golkar yang boleh melakukan kampanye hingga tingkat desa, sementara parpol lain hanya dibolehkan melalukan kampanye terbatas.
Motif kekuasaan para penguasa dalam mengendalikan pendidikan diorientasikan pada pembentukan kekuatan, jaringan, pencitraan, dan kemenangan politik yang ingin dijalankan yang didalamnya pula terdapat motif kepentingan berupa keuntungan pribadi. Menurut Muchlis Luddin, Depdiknas menjalankan program semaunya dan cenderung berorintasi proyek, dengan demikian oleh elit politik sejumlah program pendidikan dijadikan ajang kepentingan jangka pendek.[5] Jika membahas proyek maka sejatinya pendidikan pun tidak dapat dipisahkan dari unsur ekonomi. Banyak proyek pendidikan yang tidak tepat sasaran dan justru sumber korupsi pejabat birokrasi sektor pendidikan. Pendidikan merupakan bisnis semua orang, dari lingkup makro yakni berupa penggelembungan dana pendidikan sampai dengan proyek pengadaan sarana-prasarana pendukung proses pendidikan yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh lembaga pendidikan. Bukan hanya dalam lingkup makro, komodifikasi pendidikan sebagai arena ekonomi pun terjadi pada lingkup praktik penyelengaraan terkecil didalam ruang kelas, seperti komersialisasi buku pelajaran oleh guru, penerbit bahkan dijadikan wadah pungli dengan embel-embel pendidikan gratis.
Stigma pendidikan gratis mewarnai arus kebijakan pendidikan nasional. Pendidikan gratis lebih didominasi pada kepentingan politik daripada implementasi di tingkat mikro sekolah. Sampai saat ini, pendidikan gratis pada jenjang pendidikan dasar berlangsung dalam kondisi memperihatinkan. Pendidikan gratis identik dengan pendidikan murah dan kurang berkualitas.
Lahan Basah Sektor Pendidikan bagi kepentingan Pemilik Kapital
Sektor Pendidikan sebagai arena, tentu didalamnya terdapat aktor yang terlibat dan memiliki modal. Dalam hal ini Bourdieu mengklasifikasikan Kapital atau modal tersebut dalam 3 bagian yakni modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik. Lingkungan adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan.[6] Modal merupakan simbolik dari adanya ketimpangan dalam masyarakat. Dimana masyarakat terstratifikasi dari kepemilikan modal. Atau modal juga dapat dimaknai sebagai sekumpulan sumber daya (baik materi dan nonmateri) yang di miliki seseorang atau kelompok tertentu yang digunakan untuk mencapai tujuan.[7] Setiap kapital dalam konsep Bourdieu adalah berkaitan, juga dapat mengalami perubahan dan tidak bersifat tunggal.
Menurut Bourdieu terdapat empat jenis modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, dan modal kultural kemudian ditambah modal simbolik oleh S Turner:[8]
- Modal ekonomi: segala bentuk modal yang dimiliki yang berupa materi, misalnya uang, emas, mobil, tanah, dan lain-lain.
- Modal sosial: terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antara individu, atau hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumberdaya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial.
- Modal kultural: meliputi berbagai pengetahuan yang sah. Misalnya ijazah, cara berbicara, cara bergaul, cara pembawaan diri (sopan santun).
- Modal simbolik: berasal dari kehormatan dan prestise seseorang, misalnya posisi atau jabatan seseorang sebagai kepala pemerintahan.
Dari sini dapat dianalisis dalam sistem pendidikan diIndonesia, dimana jelas bahwa sistem pendidikan digerakkan oleh aktor yang didalamnya pula memiliki modal atau kapital. Modal ekonomi mempengaruhi bagaimana seseorang dianggap dan dihargai. Kepuasan manusia sesungguhnya adalah sesuatu yang tidak pernah hakiki. Ketika seseorang sudah menduduki kelas sosial atas dan memiliki pengaruh untuk orang dibawahnya maka ia akan berusaha mempertahankan kelas sosial bahkan mencari cara untuk terus menaiki kelas sosial yang lebih tinggi. Dalam pengertian itu, berkembanglah sesuatu yang disebut pakta dominasi antara kapitalis utama dengan para penguasa lainnya berdasarkan kepentingan yang sama. Dengan demikian, negara dan kelas berjalan bersama-sama melakukan pembangunan menurut jalan kapitalis.[10] Disini dapat pula kita lihat keterkaitan antara setiap pemilik kapital yang ada dan tidak berdiri tunggal.
Kapital sosial pun demikian, dapat dilihat bagaimana jejaring memengaruhi keberhasilan dalam dunia pendidikan. Modal sosial dapat dijadikan produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten.[11] Realitas membuktikan bahwa semua kegiatan dan usaha akan lebih mudah didapatkan bila mempunyai jaringan atau link connection sebagai jalan pintas dalam memperoleh sesuatu. Kelompok elite sangat aktif menerapkan kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki, bahkan kekuasaannya itu diintegrasikan dengan kekuatan elite lain sehingga menciptakan jaringan yang tak tertandingi. Dalam dunia pendidikan, hal semacam ini sering terjadi misalnya sebagai jalan pintas untuk masuk lembaga pendidikan tertentu dan menduduki jabatan tertentu di sistem pendidikan di Indonesia yang sering kali berpengaruh terhadap fenomena komodifikasi pendidikan.
Didalam konsep Bourdieu dikenal pula dengan istilah Kapital budaya, Kapital budaya merupakan kepentingan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan kultural yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu yang dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan.[12] Didalam modal kultural seseorang menjadi penguasa berdasarkan kultur masyarakat sehingga dinilai patut untuk dihargai misalnya berupa ijazah, dan cara bersikap. Fenomena yang terjadi saat ini adalah Praktek penjualan ijazah sarjana palsu (S1, S2, S3 bahkan Professor) dilakukan untuk ijazah luar negeri maupun dalam negeri. Fenomena ini turut menambah masalah pendidikan Indonesia. Aktor-aktor kolektif atau kelompok status, berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk dapat memonopoli sumber-sumber budaya yang akan meningkatkan prestise dan solidaritas kelompok tersebut.[13] Modal kultural seperti sikap pun dijadikan ajang merebut simpatisan publik yang dicerminkan melalui politik pencitraan dan mengakibatkan buruknya pendidikan di Indonesia.
Kemudian Modal yang terakhir adalah modal simbolik misalnya posisi atau jabatan tertentu. Dalam dunia pendidikan ditemukan kasus penyelewangan jabatan atau posisi tersebut terutama dalam sistem pendidikan Indoneisa yang dikemukakan ICW. Di antara kasus korupsi tersebut, penggelapan dan penggelembungan anggaran menjadi modus korupsi yang sering dilakukan. Berdasarkan pemantauan, terungkap 296 kasus korupsi pendidikan dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp 619 miliar. Jumlah tersangka sebanyak 497 orang. Tidak jarang pula simbol-simbol dalam pendidikan seperti ijazah dan bentuk simbol lainnya dipalsukan atau dalam artian yang lebih luas, pendidikan digunakan hanya untuk sebatas memperoleh simbol pendidikan tersebut sebagai modal kontestasi didalam masyarakat.
Produk Internalisasi struktur nilai terhadap praktik Penyelenggaraan Pendidikan
Setiap aktor dalam sistem pendidikan dibekali dengan serangkaian pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Arena membentuk habitus yang sesuai dengan struktur dan cara kerjanya, namun habitus juga membentuk dan mengubah arena sesuai dengan strukturnya. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektis, habitus adalah produk internalisasi struktur dunia sosial. Atau dengan kata lain habitus dilihat sebagai struktur sosial terinternalisasi yang diwujudkan. Komodifikasi pendidikan bagi peserta didik dan bagi seluruh aktor dalam sistem pendidikan mengalami internalisasi tanpa disadari, telah mengubah pandangan, mindset, persepsi, sikap, dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari atau menjadi suatu habitus. Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan dengan dunia sosial.[14]
Menurut Bourdieu, seorang individu atau aktor adalah dipengaruhi oleh strukturnya, tetapi juga individu tersebut bebas untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Sehingga disini yang menentukan praktek atau tindakan individu adalah arena dimana ia berada dan habitus masing-masing individu. Dalam konsep strukturnya, Bourdieu menekankan bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat, struktur sangat dominan dalam mempengaruhi agen. Individu pada dasarnya sangat dominan dipengaruhi struktur dalam kehidupannya. Akan tetapi agen juga bisa berperan dalam mempengaruhi strutur dalam kemasyrakatan, namun tidak sepenuhnya bisa lepas dari struktur yang ada. Jadi adanya hubungan timbal balik disini, yaitu struktur yang mempengaruhi agen, dan agen mempengaruhi struktur.
Pemikiran konseptual yang dangkal, pragmatis oleh penguasa bisa berdampak buruk bagi desain pendidikan nasional. Fenomena komodifikasi pendidikan yang lekat dengan kepentingan pribadi tanpa mementingkan kepentingan umum telah terinternalisasi, ini tercermin dari banyaknya peserta didik yang hanya berorientasi pada ijazah dan nilai dalam proses pembelajaran yang berdampak pada mengesampingkan hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan dimaknai semata-mata sebagai alat dalam mendapatkan pekerjaan atau dijadikan pencapaian modal simbolik pendidikan. Pendidikan bukan lagi dilihat sebagai penanaman nilai-nilai budaya Indonesia namun lebih kepada pelanggengan nilai-nilai yang telah terstruktur dan mengakibatkan semakin variatifnya problematika pendidikan Indonesia.
Tindakan mementingkan kepentingan pribadi dilihat sebagai reproduksi tindakan atau hanya sebagai salah satu varian sistem kecenderungan umum, yang kemudian menjadi jelas. Meski dilihat sebagai praktik perorangan, fenomena ini telah menjadi bagian dari praktik umum, tidak hanya melalui keseragaman tetapi juga dengan variasi tindakan. Tindakan mementingkan kepentingan pribadi sudah menjadi nilai yang terstruktur dan bertahan lama yang diwariskan dari generasi ke generasi. Awalnya merupakan struktur yang dibentuk, kemudian berperan membentuk perilaku, dan berproses menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik hidup masyarakat tanpa disadari. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis. Kemudian Habitus ini berujung pangkal pada konsep Bourdieu yakni doxa, doxa adalah pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan penguasa dan seakan terbiaskan pada sistem yang fungsional.
Kesadaran Pendidikan Sebagai Alternatif Penyelesaian Masalah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kesadaran diartikan sebagai keinsafan; keadaan mengerti akan harga dirinya timbul karna ia diperlakukan secara tidak adil. Pengertian kesadaran ini masih terlalu luas, karena kesadaran disini belum difokuskan pada suatu bidang tertentu. Kemudian dalam konteks pendidikan ini, kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran pendidikan. Kesadaran pendidikan merupakan kehadiran sikap mengetahui, memahami, menginsafi, dan menindaklanjuti proses pembimbingan untuk mengembangkan potensi kemampuan seseorang menjadi sumber daya manusia yang kuat (strong human resources).[15] Selanjutnya kesadaran pendidikan tercermin pada aktor yang berada dalam sistem pendidikan dengan identitasnya masing-masing :
1) Pemerintah
Pemerintah yang sadar pendidikan adalah yang menjadikan pendidikan sebagau basis utama mengatasi krisis dan problematikan bangsa. Mereka berusaha melepaskan intervensinya antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum untuk mejadikan pendidikan yang hakiki. Kepentingan itu baik dilihat dari dimensi ekonomi maupun politis.
2) Dosen
Dosen yang sadar pendidikan adalah dosen yang mengedepankan tugas utamanya pada kegiatan mendidik, meneliti dan mengabdi pada masyarakat. Menjadi produsen atas gagasan, ide, teori dan hukum-hukum keilmuwan dan mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat sebagai tombak bangsa menuju perubahan.
3) Rektor/ dekan/ direktur Perguruan tinggi
Rektor/ dekan/ direktur perguruan tinggi yang sadar pendidikan adalah mereka yang berusaha mengkondisikan perguruan tinggi yang diampunya benar-benar berbasis pada bidang akademik tanpa mencampuradukan antara kepentingan lain yang tidak sesuai dengan hakikat pendidikan.
4) Mahasiswa
Mahasiswa yang sadar pendidikan adalah mereka yang sadar tanggung jawabnya sebagai agen perubahan dengan memiliki intelektual yang tinggi. Pengabdian terhadap masyarakat tidak selalu diwujudkan dalam wujud aksi namun juga dengan mengimplementasikan teori-teori yang dipelajari untuk sepenuhnya diimplementasikan dalam masyarakat agar kebijakan dalam dunia pendidikan dapat dijalani dan dikritisi.
5) Kepala sekolah
Kepala sekolah yang sadar pendidikan adalah kepala sekolah yang berfungsi sebagai pembimbing dan teladan. Mereka berusaha mengembangkan sumber-sumber pendidikan dan menjauhkan diri dari unsur komodifikasi pendidikan.
6) Guru
Guru merupakan tombak akhir dari sistem pendidikan untuk diimplementasikan kepada peserta didik. Guru yang sadar pendidikan adalah guru yang mampu membangun kesadaran pendidikan pula terhadap anak didiknya, melunturkan konsep pendidikan sebagai komoditi terhadap anak didiknya sehingga mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, selain itu pula dapat menghasilkan output yang baik dan mematahkan nilai-nilai habitus (komodifikasi pendidikan) dalam sistem pendidikan Indonesia.
Kesimpulan
Pendidikan merupakan salah satu bentuk proses investasi yang berharga dalam wujud investasi dumber daya insani yang merupakan salah satu bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan eksistensinya. Kriteria keberhasilan pendidikan sebagai institusi yang berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia terletak pada pihak-pihak yang terkait dalam praktik penyelenggaraan pendidikan. Namun Akibat adanya Liberalisasi perdagangan global, Pendidikan yang pada dasarnya adalah sebuah hak bersama yang seharusnya disediakan dan diselenggarakan oleh negara, telah dikomodifikasi menjadi suatu arena yang berorientasi pada kepentingan penguasa, baik sebagai arena politik maupun ekonomi.
Dalam membahas fenomena komodifikasi pendidikan ini, dapat dilihat melalui perpektif Pierre Bourdieu seorang filsuf Perancis yang membahas tentang struktur-struktur dominasi ekonomi maupun dominasi simbolik dari masyarakat, yang selalu menutupi ketidakadilan di dalamnya. Didalam fenomena ini, sektor pendidikan dijadikan arena politik dan ekonomi, yang didalamnya terdapat pula pemilik kapital atau modal. Didalam modal ini, Bourdieu mengemukakan 4 konsep yakni modal sosial, modal ekonomi, modal budaya dan modal simbolik yang menghasilkan produk internalisasi berupa habitus dalam sistem pendidikan Indonesia. Dalam pengertian ini, habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif. Habitus ini terjadi karena adanya internalisasi terhadap berbagai komponen yang ada dalam sistem pendidikan yang hakikatnya adalah menuju perubahan yang lebih baik. Namun, karena adanya komodifikasi pendidikan ini, Pendidikan bukan lagi menjadi alat transformasi sosial. Pendidikan berubah wajah menjadi menyeramkan, sebagai proses pembodohan melalui proyek-proyek yang simpang siur, proses menciptakan anak didik dari yang cerah menuju yang gelap. Pemikiran yang dangkal, pragmatis, hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat, serta lebih didominasi wacana politis.
Namun korupsi yang telah menjelma menjadi struktur selama berpuluh-puluh tahun dan secara kontinu bisa diluluhkan dengan adanya praktik-praktik sosial baru. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa keusangan nilai-nilai yang terstruktur itu merupakan salah satu harapan. Keusangan nilai tersebut bisa terjadi ketika setiap aktor dalam dunia pendidikan mulai memiliki kesadaran untuk melakukan praktik sosial baru, memiliki kesadaran bahwa nilai-nilai tersebut bukanlah tindakan yang relevan untuk melangkah menuju masa depan. Nilai tersebut dapat diatasi ketika mulai adanya kesadaran, bahwa tindakan tersebut sudah bukan lagi hal yang patut dijadikan Habit.
..........................................................................................................................................................
[1]E. Surachman, Bahan Ajar Manajemen Pendidikan, (tidak diterbitkan), h. 2
[2]George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern,( Prenada Media: Jakarta: 2003). h. 522
[3]Robertus Robert dan U. Abdul Razak R, Konseptualisasi habitus untuk sosiologi-paedagogis, (Jurnal Sosialita FIS UNJ : Vol.9 No.1,Juni,2011), h.8
[4]Mujamil Qomar, Kesadaran pendidikan, (Ar-Ruzz Media: Yogyakarta,2012), h.86
[5]Suara Pembaruan, Akhiri politisasi pendidikan, http://www.ui.ac.id/download/kliping/290408/akhiri_politisasi_pendidikan.pdf, Suara Pembaruan, (28 April 2008) , h.14 (diakses pada 23 Mei 2015)
[6]Ritzer dan Goodman, Op.Cit .,h.524
[7]Nanang Martono, Kekerasan Simbolik di sekolah: Sebuah ide sosiologi pendidikan Piere Bourdieu, (PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2012), h.33
[8]Pierre Bourdieu, . The Logic of Practice, ( Atanford University Press: California,1990) , h.67
[9]Hilda Handayani, Jaringan Sosial untuk kebertahanan institusi pendidikan, (Skripsi: FIS UNJ, 2010), h.13
[10]Mohtar Mas’Oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2003), h. 55
[11]Heri Faturrahman,Mimbar Demokrasi: mengembangkan modal sosial melalui kebijakan publik, (Jurnal Ilmiah, Volume 8,No.1Oktober 2008) , h.8
[12]Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Kencana Prenada: Jakarta, 2012), h.197
[13]Vera Yuliana, Bimbingan Belajar: Komersialisasi jasa pendidikan masyarakat menengah atas, (Jurnal Scriepta Societa: Labsos,FIS UNJ,2010), h.108
[14]Ritzer dan Goodman,Op.Cit, h.522
[15]Qomar, Op.Cit, h.120
DAFTAR PUSTAKA
BukuGeorge Ritzer dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta
E. Surachman, Bahan Ajar Manajemen Pendidikan, (tidak diterbitkan)
Mujamil Qomar.2012. Kesadaran pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press : California.
Nanang Martono. 2012. Kekerasan Simbolik di sekolah: Sebuah ide sosiologi pendidikan Piere Bourdieu. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada.
Internet
http://nasional.kompas.com/read/2013/08/28/1714520/ICW.Dana.Pendidikan.Jadi.Bancakan.Koruptor
http://kbbi.web.id/sadar
http://www.ui.ac.id/download/kliping/290408/akhiri_politisasi_pendidikan.pdf
Jurnal
Robert dan U. Abdul Razak R “Konseptualisasi habitus untuk sosiologi-paedagogis”, Jurnal Sosialita, Vol.9 No.1, (Juni,2011)
Heri Faturrahman “Mimbar Demokrasi: mengembangkan modal sosial melalui kebijakan publik), Jurnal Ilmiah, Volume 8,No.1 (Oktober 2008)
Vera Yuliana “Bimbingan Belajar: Komersialisasi jasa pendidikan masyarakat menengah atas, Scriepta Societa, Labsos, FIS UNJ
Skripsi
Hilda Handayani, 2010, Jaringan Sosial untuk kebertahanan institusi pendidikan, Skripsi, Jurusan Sosiologi UNJ.
Karya: Rahayu Wilujeng, Mahasiswi Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta |
Itulah sosiologi, punya kacamata (metode dan teori) sendiri dalam melihat fakta dan gejala permasalahan sosial. Keren kak hehe. Mampir kak ke http://rusydanisme.blogspot.co.id/
BalasHapusTerimakasih kak, diantara ciri ilmu Sosiologi adalah teoritis dan kumulatif. Sebagai bagian dari teori sosiologi modern, Teori Bordiue selalu bisa dalam mengkaji dan mengkritisi fakta dari perkembangan zaman. Siap mampir kak, semangat berkarya!
HapusKonsep pemikiran Bourdieu dengan landasan pemikirannya yaitu struktural konstruktif (landasan filosofis Bourdieu dalam merumuskan teori praktik sosial) memang sangat holistik dalam memaknai realitas sosial masyarakat,akan lebih menarik lagi jika artikel mengenai komodifikasi pendidikan diatas dikaitkan dengan rencana "full day school" di Indonesia.
BalasHapusWah terimakasih ide serta masukkannya kak. Memang pada dasarnya rencana full day school bisa merugikan stakeholder pendidikan terutama siswa sebagai subjek pembelajaran, jika menjadi kebijakan tanpa kajian yang utuh.
HapusPro-kontra Full day school memang harus terus digodok secara serius melibatkan berbagai elemen terutama para cendekiawan dengan memanfaatkan berbagai teori didalam pendidikan tentunya, agar kebijakan nasional dibuat secara tidak parsial, artinya berdasarkan kondisi menyeluruh, bukan menguntungkan sebagian pihak atau golongan saja.