Sabtu, 01 April 2017

“Pengemis Tajir" Ketika Rasa Simpati Disalah Gunakan

Kayu yang dilempar saja akan tumbuh, merupakan kalimat yang tepat untuk menggambarkan betapa suburnya tanah air ini. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Terdapat beranekaragam kekayaan alam yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Flora tumbuh subur bak jamur dimusim hujan, begitu pula fauna yang berkembang biak dengan baik menambah deretan keunikan negeri ini. Sementara jauh dibawah bumi pertiwi ini juga tersimpan kekayaan yang tiada tara. Maka tak heran jika Indonesia sering disebut sebagai negara yang diberkahi dengan sejuta pesona di dalamnya.
Namun sumber daya alam yang melimpah ini tidak berbanding lurus dengan sumber daya manusia yang mampu mengolahnya. Negara ini masih terkendala tenaga profesional yang berkompeten dalam memanfaatkan kekayaan alam tersebut. Sumber daya alam yang tersedia tidak terkelola secara maksimal. Maka patutlah, meskipun Indonesia mempunyai potensi yang besar tetapi tidak menjadikan Indonesia menjadi negara yang makmur. Hal ini dapat di lihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat yang belum merata. Kita bisa dengan mudah menjumpai orang yang hidup berkecukupan dan bergelimang harta. Tetapi disisi lain gelandangan, tuna wisma, pemulung dan pengemis juga menjadi pemandangan biasa di negeri ini. Kakek tua renta, ibu yang lesuh dan anak kecil yang menadahkan tangan seakan memberitahu kepada kita semua betapa kejamnya dunia ini pada mereka. Demi menjaga keberlangsungan hidup, mereka harus meminta-minta dan berharap belas kasihan orang lain.
Sedikit rasa iba merupakan ladang rupiah bagi mereka yang menggantungkan sepenuhnya kehidupan dengan belas kasih. Tetapi rasa simpati masyarakat ini sering disalahgunakan oleh mereka yang ingin mendapatkan uang tetapi tidak ingin bekerja keras. Banyak para pengemis yang kelihatannya sangat menyayat hati ternyata keadaan yang sebenarnya tidak seperti demikian. Para pengemis tersebut hanya  memanipulasi tampilan fisik seperti memakai pakaian lesuh dan compang-comping bahkan berpura-pura cacat agar hati nurani orang yang melihatnya tegerak untuk membantu mereka. Padahal pada kenyataannya, para pengemis tersebut mempunyai uang yang cukup banyak dan masih termasuk dalam kategori mampu bekerja (produktif).
Tahun 2016 lalu, Indonesia dihebohkan dengan terjaringnya pengemis berusia muda yang mengantongi uang mencapai Rp 300.000. Saat digeledah, ternyata ia memiliki rekening di sebuah koperasi dengan nilai saldo sekitar Rp 19 juta. Cahyono yang berusia 26 tahun ini mengaku terpaksa mengemis untuk membantu ibunya. Ia mengaku memiliki cacat di tubuh sehingga sering ditolak saat melamar pekerjaan. Ia mengaku bila uang tersebut merupakan hasil mengemis selama dua bulan. Terkadang dalam sehari Cahyono mampu memperoleh Rp700.000. 

Selain itu, pengemis di Semarang jauh lebih mencengangkan. Siswari Sri Wahyuningsih berusia 51 tahun kedapatan memiliki uang deposito sebesar Rp 140 juta dan uang tabungan di bank senilai Rp 16 juta. Saat dijaring, ia pun membawa uang  tunai mencapai Rp 400.000, serta tiga surat BPKB kendaraan roda dua. Bahkan, sertifikat tanah seluas 105 meter persegi pun turut dibawa.
Aktivitas meminta-minta dan berharap belas kasihan orang lain ini di jadikan mata pecaharian guna memenuhi kebutuhan hidup yang semakin kompleks. Para pengemis selalu mengulangi aktivitas tersebut karena mereka mendapat reward yang besar berupa uang yang mencapai ratusan ribu perhari dengan modal menadahkan tangan dan ekspresi yang sedikit melankolis. Keuntungan besar inilah yang membuat mereka bertahan dengan pekerjaan sebagai pengemis. Fenomena ini mampu dijelaskan oleh teori pertukaran dari  George Homans (1974). Teori pertukaran Homans disajikan untuk menjelaskan perilaku individu- individu dalam kelompok yang berlawanan. Terdiri atas proposisi sukses, stimulus, nilai, depriasi-kejemuan, persetujuan-agresi dan rasionalitas.
Menurut Homans, teori ini membayangkan perilaku sosial  sebagai pertukaran aktivitas, nyata dan tidak nyata, serta sekurang-kurangnya terjadi antara dua orang. Dalam teori pertukaran versinya ini, ia mencoba menjelaskan perilaku sosial mendasar dilihat dari sudut hadiah (reward) dan biaya (cost). Dan salah satu proposisi dari teori pertukaran ini yaitu proposisi sukses (the succsess proposition). Proposisi ini menunjukkan bahwa semakin sering tindakan khusus seseorang diberi reward maka semakin besar  kemungkinan orang akan melakukan tindakan itu. Hal ini selaras dengan fenomena “pengemis tajir” yang ada di Indonesia bahkan luar negeri sekalipun.
Para “pengemis tajir” ini mendapatkan uang dengan nominal yang cukup tinggi setiap harinya. Dengan modal pakaian yang rusak, kumal serta ekspresi yang menujukkan akan keprihatian ini mampu menggaet hati setiap orang yang melihatnya. Rasa kemanusian berupa rasa peduli terhadap sesama membuat orang lain terdorong untuk memberi uang kepada saudara mereka yang membutuhkan. Tetapi ironis, rasa simpati ini disalahgunakan oleh pihak yang tidak mau bekerja keras. Sehingga mereka selalu mengulangi aktivitas ini karena mendapatkan reward yang tinggi. Dan cenderung akan selalu diulangi selama mereka mendapatkan reward tersebut.
Karya: Perawati Sinti, Mahasiswi Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Sriwijaya

0 komentar:

Posting Komentar