Selasa, 04 April 2017

Makna Pacaran, Antara Kepercayaan Atau Pendisiplinan Atas Tubuh?

Tulisan ini berawal dari pertanyaan saya pribadi tentang apakah makna pacaran bagi anak muda dewasa ini? mengapa anak muda identik dengan pacaran? Dan apakah pacaran itu berimplikasi kepada tindakan seseorang di lingkungan sosialnya? Berhari-hari saya memikirkan hal ini dan sulit bagi diri saya sendiri untuk menjawabnya, tetapi sebagai seorang lelaki biasa dan sedang “dianiaya” oleh lingkungan sekitar karena sudah lama tidak mempunyai seorang pacar, kemudian saya memutuskan untuk menulis artikel ini. Dari pelbagai literatur dan pengalaman observasi yang saya lakukan sehari-hari, pacaran merupakan gambaran umum dimana gejolak asmara anatara seorang laki-laki dan perempuan yang sedang jatuh cinta untuk saling berbagi baik segi pengalaman, perasaan, dan keinginan untuk menjalin hubungan ke tahap yang mencirikan kedewasaan seseorang. Cinta merupakan sebuah aspek yang sulit untuk dimengerti, ia bisa diucapkan oleh semua orang dan bersifat universal.
 
Tidak ada seorangpun yang dapat mendefiniskan cinta secara jelas dan bersifat tetap, namun yang menjadi persoalan kali ini adalah mengapa pacaran cenderung menjadi kebutuhan pokok anak muda sekaligus sebagai gaya hidup yang sudah menjadi tradisi wajib yang setiap orang harus melaluinya. Setiap hari ketika kita sedang duduk di café, ataupun nongkrong di sebuah warung makan, maupun sedang ngobrol santai dengan teman-teman, pasti tema yang paling menarik dibahas adalah pacaran, atau kalau tidak membahas tentang laki-laki ataupun perempuan yang akan segera dijadikan pacar. Bagi anak muda di zaman ini pacaran adalah sebuah keharusan dan kewajiban, jika tidak mempunyai pacar alias “menjomblo” lingkungan disekitar kita akan melakukan sanksi sosial seperti mengejek, mencemooh, atau bahkan menjadi bahan bulian. Pacaran telah menjadi sebuah sistem dan tata nilai yang berlaku bagi anak muda, bilamana sistem dan tata nilai itu tidak dijalankan, maka akan ada sebuah tindakan mengatasnakan sistem dan tata nilai untuk menyerang individu dengan dalih bahwa ini merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa di langgar, karena semua orang telah melakukannya. Lebih dari itu apabila seseorang mempunyai pacar ia menjadi individu yang sedikit berbeda dengan biasanya, misalnya saja ketika ia sedang jomblo, individu lebih memaksimalkan waktunya untuk bermain dengan temannya ataupun menghabiskan waktu untuk kegiatan yang disukai. Namun ketika mempunyai pacar waktunya bersama teman-teman mulai terkikis dan menjadikan dirinya sebagai barang/jasa yang berkepemilikan tetap.
 
Misalkan saja kasusnya si Tejo yang berpacaran dengan si Endang, otomatis ketika si Tejo ingin bepergian dengan teman wanita atau kegiatan yang disukai, ia harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan si Endang terkait kegiatannya. Ketika si Endang merasa Tejo akan pergi dengan teman wanitanya, Endang langsung tidak menyetujui kegiatan tersebut tanpa alasan yang jelas dan berdalih bahwa hal itu dilakukan untuk kebaikan mereka berdua. Begitupun sebaliknya. Disini kita melihat bahwa pacaran menjadi sebuah sistem koersif yang dapat memaksa siapapun untuk tunduk kepadanya, logikanya adalah kekuasaan atas tubuh yang kita miliki seharusnya hanya diri kita sendiri yang berhak mengaturnya, namun ketika sudah berpacaran kuasa atas tubuh kita mulai diambil alih oleh si pacar. Kita harus tunduk kepada perintahnya dan segala kemauannya, sementara kita pun juga mempunyai kuasa untuk memberi perintah ataupun membuat larangan mengenai hal apapun yang menyangkut kehidupan si pacar. Disini kita disuguhkan bagaimana sebuah tubuh yang harusnya mandiri dan independen menjadi semacam perebutan kuasa antar diri kita sendiri dan si pacar. Michel Foucault pernah berbicara tentang kekuasaan atas tubuh di era modern, Ia mengatakan bahwa pendisiplinan atas perilaku dan tindakan sosial atas tubuh bermula dari sebuah agenda politis yang terselubung atas nama kepercayaan dan tata nilai yang berlaku. Namun di abad modern ini Tubuh yang kita punya sudah dikonstruksi sedemikian rupa oleh aturan agama, aturan masyarakat, aturan moral, dan aturan dari seseorang yang kita anggap berharga.
 
Sistem pengontrolan dan kepemililikan ini merupakan bentuk dari sebuah kegagalan individu dalam memahami konteks dimana ia harus berbuat dan berpijak. Penandaan dengan identitas “sudah punya pacar” dan “belum punya pacar” merupakan tahap dimana individu itu mempunyai status sosial. Pacaran sudah menjadi status sosial, ketika seseorang laki-laki bisa mendapatkan perempuan yang cantik, status sosialnya menjadi lebih tinggi dan ia mendadak menjadi populer dengan simbol lelaki yang pandai “menaklukan” hati perempuan. Dari sini kita dapat melihat bahwa kehebatan seseorang ditentukan dari mana ia bisa mendisiplinkan lawan jenisnya, mampu mengontrol pikiran, hati, dan jiwanya. Seolah-olah individu disamaratakan dengan barang/jasa yang harus dimiliki dan dijual kapanpun asalkan harganya pas. Sistem penandaan yang melambangkan status sosial inilah yang membuat seseorang amat malu bila ia belum mempunyai pacar ataupun “gebetan” yang bisa dipamerkan di depan lingkungan sosialnya. Pasangan ibarat penghias yang wajib dibawa kemanapun kita pergi, dipamerkan ke publik untuk menambah rasa kepercayaan diri. Gaya hidup pacaran ini bukanlah sebuah hal yang tiba-tiba terjadi, ia didorong oleh sebuah arus besar yang bernama budaya populer yang manifestasinya berasal dari berbagai elemen yang saling berhubungan.
 
Sekarang kita tahu bahwa pacaran adalah sistem yang saling memperbudak antar individu, lalu bagaimana mengembangkan sistem pacaran yang menganut nilai demokratis dan penuh kesetaraan gender? Saya selalu membayangkan bagaimana sebuah nilai demokrasi itu terlihat dari situasi yang terkecil yaitu pacaran. Ketika pacaran disikapi dengan sebuah tindakan represi dan koersif yang ada hanyalah banyaknya aturan yang membuat individu terpenjara. Lalu dimana letak kasih, sayang, dan cinta dalam pacaran? Ataukah benar bahwa pacaran hanyalah simbol pendiplinan atas tubuh seperti dalam penjelasan Michel Foucault? Hanya anda yang tahu jawabannya sendiri. 
 
Kemudian saya akan bercerita, pada bulan yang lalu saya pernah bertemu dengan seorang perempuan, ketika saya ingin mengajaknya makan atau hanya sekedar nongkrong bersama teman-teman, ia menjawab kalau dirinya sudah memiliki seorang pacar dan ia harus izin dengan pacarnya terlebih dahulu apabila ia akan keluar dengan seorang laki-laki. Padahal yang saya tanyakan adalah maukah kamu nongkrong bareng sama teman-teman? “Jawabannya saya sudah mempunyai pacar jadi saya tidak bisa”. Konteks pembicaraan ini merupakan gambaran umum dimana tubuh yang kita miliki ini sudah bukan kita lagi yang memiliki otoritas penuh atas diri, namun si pacar yang mempunyai otoritas tertinggi untuk mengatur segala tindakan yang akan kita lakukan. Suatu hal yang simpel namun bila kita merefleksikannya hal ini merupakan sebuah sistem pendisplinan gaya baru dan secara tidak sadar kita telah terjajah oleh orang lain yang seharusnya tidak berhak atas tubuh yang kita miliki. Banyak orang yang mengatakan bahwa hal itu dilakukan semata-mata karena kepercayaan dan untuk masa depan. Sebenarnya kalau pendapat ini dibedah secara mendalam, hal ini merupakan sebuah agenda politis yang bersembunyi dibalik kata “kepercayaan”. 

Kepercayaan merupakan gambaran dimana individu dengan individu mempunyai perasaan saling percaya akan satu sama lain, tidak mempunyai rasa curiga karena kepercayaan dibentuk atas pengalaman dan realitas konkret yang tidak datang dengan sendirinya. Ia dibentuk oleh situasi historis yang melekat pada setiap peristiwa. Lalu ketika seseorang dilarang untuk keluar dengan teman-temannya, atau ketika tubuh sesorang diambil alih otoritasnya kepada seorang pacar, lalu dimana letak kepercayaan? Itu hanyalah sebuah bentuk kata verbal yang melambangkan penindasan dan penaklukan halus yang akan merubah sikap maupun tingkah laku individu di lingkungan sosial. Pendisiplinan atas tubuh ini merupakan sebuah bentuk baru bahwa pacaran bukan hanya soal cinta dan kepercayaan, melainkan sebuah bentuk kepemilikan pribadi, sekaligus sebagai arena penjinakan atas nama cinta dan kepercayaan.

Karya: Danang Pamungkas
DPO Colombo Studies dan PO SR Kampung Halaman

0 komentar:

Posting Komentar