Senin, 01 Mei 2017

Artis dan Trendsetter Sebagai Gaya Hidup Mahasiswa Masa Kini

Dunia Kekinian, Aku Membeli Maka Aku Ada! 
Dunia saat ini menuntut kita untuk selalu meng-update segala informasi yang berhubungan dengan barang-barang konsumsi yang menghiasi jalanan kota, mall, televisi, media sosial, bahkan sekolah. Kita hidup didunia yang sedang bergerak selalu maju dan progresif dalam membuat citra akan dunia yang fantastis sebagai gaya hidup yang menjadi idaman setiap orang. Semua orang di dunia ini tentunya mengingkan hidup layaknya artis Josep Gordonn leavit, Katty Parry, Leonardo De Caprio, Scarlett Johansonn, ataupun seperti artis Indonesia layaknya Chico Jerrico, Bunga Citra Lestari, Isyana Saraswati, Chelsi Islan, Reza Rahardian, ataupun Raisa. Kita sedang mengalami ledakan konsumsi yang tidak akan kita saksikan pada 71 tahun yang lalu ketika Indonesia sedang mengalami peristiwa Revolusi Nasional, kita sekarang hidup di-era yang menuntut kita untuk selalu membeli dan mengkonsumsi barang dimana industri menjadi panglima dan tuhan tertinggi. Menurut Boudrilard, Konsumsi adalah sebuah perilaku aktif dan kolektif, ia merupakan sebuah paksaan, sebuah moral. Singkatnya konsumsi merupakan sebuah institusi. Ia adalah keseluruhan nilai, istilah ini berimplikasi sebagai fungsi integrasi kelompok dan integrasi kontrol sosial. Sekarang ini konsumsi menjadi institusi yang seperti juga dikatakan Durkheim bahwa institusi merupakan sistem yang mempunyai aturan-aturan sosial yang bersifat kolektif dan bersifat memaksa siapapun untuk tunduk terhadap kebiasaan suatu masyarakat. Kebiasaan masyarakat abad-21 adalah menkonsumsi, menikmati produk, masturbasi imajinasi barang, pemujaan terhadap produk, dan berfantasi dengan iklan.

Konsumsi Sebagai Demokrasi Persamaan Hak Bagi Mahasiswa 
Ketika  kita melihat iklan produk merek handphone yang diperankan oleh Chico Jerrico yang mengenggam sebuah ponsel bernama “Xiaomi” dengan penampilan kelas menengah-atas dan bergaya layaknya CEO Perusahaan besar, kita langsung merasa ingin tahu tentang produk yang di iklankan dan mencari tahu kelebihan maupun kelemahan produk Hp tersebut melalui Google. Kita terbius oleh iklan dan berfantasi akan memilikinya, padahal produk itu hanya kita lihat dilayar kaca, namun kita seperti berada langsung melihatnya. Sihir iklan dan didukung kecerdikan pakar marketing dalam merektut artis papan atas untuk menjadi Brand Produknya semakin membuat anak-anak muda terutama mahasiswa semakin penasaran untuk se-segera mungkin membelinya. Kita juga pernah melihat iklan Jilbab Muslim yang di produksi oleh Zaskia Mecca dan Dian Ayu yang menjadi begitu populer, dengan gaya hijab modern ala-perempuan khas metropolitan dengan memanfaatkan ayat-ayat dari agama untuk menjual produknya yang terbukti sukses besar dalam meraup keuntungan. Pasar utama hijab ini adalah kalangan anak muda dan mahasiswa perkotaan. 

Ketika masuk di lingkungan kampus kita akan disuguhkan pemandangan khas iklan dan brand-nya para artis dikonsumsi oleh mahasiswa. Dari ujung kaki sampai rambut-pun semuanya meniru gaya artis dan iklan televisi, berpenampilan menarik, dan gaya hidup kelas menengah-atas menjadi pemandangan yang kita lihat setiap hari. Dari sepatu Adidas, Nike, New Balanced dengan harga yang cukup mahal namun tetap laris manis di pasaran. Dari pembersih muka yang di iklankan oleh Al-Ghazali, dan Chelsi Islan kita semua mengkonsumsinya. Dari merek baju distro seperti Nimco, StarCross, Frogstone kitapun juga mengkonsumsinya. 

Konsumsi bukan hanya soal membeli barang dan memakainya, ia bernilai sosial dan politis ia menentukan cara kita hidup di lingkungan sosial dan berinteraksi. Konsumsi merupakan ideologi yang sulit untuk ditolak oleh siapapun, ia membangun sistem, organisasi, jaringan kerja, aturan, nilai, norma, dan hukum. Mahasiswa yang mengkonsumsi produk-produk artis ini bukannya ia tidak sadar bahwa ia diperdaya oleh iklan, namun ia menginginkan eksistensi sosial dan menunjukkan citra diri bahwa ia merupakan seseorang yang mempunyai selera yang tinggi terhadap segala hal yang menyangkut barang-barang yang ia beli. Sekarang kita sudah tidak mengenal perbedaan antara Artis dan mahasiswa, kedua kategori sosial ini melebur menjadi satu, yang membedakan hanyalah profesinya saja. Mahasiswa yang sebenarnya tingkat perekonomian  yang tidak menentu (masih mengandalkan kiriman uang orang tua) merasa bahwa ia-pun bisa bergaya seperti artis papan atas, ia bebas memilih dan itu merupakan persamaan hak. Bahwa yang boleh membeli produk mahal bukan hanya kelas mengah-atas namun mahasiswa-pun boleh untuk membelinya.
Demokrasi persamaan dalam hal mengkonsumsi ini merupakan sebuah perdaban baru yang tidak kita temukan semasa negara ini masih terbelenggu kolonialisme dan imperealisme. Bahwa dulu yang boleh memakai Jas dan Sepatu Kulit hanyalah Belanda dan golongan ningrat saja, namun rakyat jelata dilarang memakainya karena tidak pantas bagi orang proletar bergaya layaknya orang borjuis. Dimasa sekarang tentunya hal itu tidak akan terjadi, karena semua orang bebas memilih barang dan membelinya, tidak peduli status sosial-ekonominya yang dipedulikan hanyalah anda punya uang untuk membeli atau tidak! Tentunya hal ini lebih demokratis dan agak manusiawi, namun bukan waktunya kita untuk memikirkan perasan moralitas ini, tetapi kita harus lebih berpikir rasional, mengapa gaya hidup seperti ini menjadi sistem sosial dan ideologi yang diterima oleh semua orang? Apa penyebab sebenarnya mengapa kita hidup sekan dijajah dan dieksploitas oleh barang-barang konsumsi? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang bisa kita perdebatkan dan diskusikan lebih serius, karena di sistem globalisasi dan Post-Industri ini kita berada dalam satu tatanan dunia yang  bermain dengan sistem kapitalisme-indutrial. Sudah jelas bahwa  kepentingan utamanya adalah semangat provit dan pemupukan keuntungan semaksimal mungkin, menekankan pentingnya sistem pasar bebas, pembukaan investasi dan meminimalkan peran pemerintah dalam menjalankan sistem ekonomi disebuah negara. Sistem ini mempunyai jaringan yang luas dan melalui pembagian kerja yang ekstrem, dari buruh yang terspesialisasi dalam beberapa tim kerja, para manajer dan tim kreatif dalam membuat sebuah produk, Tim Marketing yang siap memasarkan dan melakukan riset agar produknya laris manis, serta artis-artis yang sengaja disiapkan untuk menarik konsumen agar membeli, sampai pada tataran sistem pengiklanan dan industri televisi yang sangat cerdas memanipulasi kesadaran kita dengan berulang-ulang menayangkan iklan tersebut, sehingga secara tidak sadar kita telah terpengaruh oleh framming yang dibuat para aktor profesional yang bekerja dibalik layar televisi.
Asumsi Teoritis dan Jalan Baru Menghapuskan Ketertindasan 
Herbert Marcuse dan Jean Paul Boudrilard merupakan tokoh yang membahas tema konsumsi dan budaya massa, keduanya bersepakat bahwa masyarakat kontemporer telah dirusak oleh konsumsi dan eksploitasi iklan. Mereka melihat adanya sebuah sistem hidup “pragmatis” dan mudah berfantasi dengan khayalan yang dimana manusia seolah-olah bahagia, namun dalam kebahagiaan itu terdapat kontradiksi akan ketakutan hidup tanpa uang dan tidak bisa membeli barang. Marcuse sendiri memandangnya sebagai sistem “satu dimensi”, bahwa kita hidup sekarang seperti sudah ditentukan dan apa yang kita kerjakan merupakan settingan dari dunia industri. Bagi Marcuse sistem ini menimbulkan keadaan dimana seseorang memuja barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkannya, namun karena barang itu menjadi sebuah keniscayaan sosial karena semua orang membelinya, orang itupun tidak dapat menolak bahwa ia juga mengingkan eksistensi seperti manusia yang lain. Marcuse menyebutnya sebagai “Kebutuhan Palsu”. Sementara Boudrilard menganggap bahwa masyarakat kontemporer telah dieksploitasi oleh kelimpahan barang-barang. Dahulu yang dieksploitasi oleh perusahaan dalah buruh di lingkungan produksi, namun dalam perkembangan industri modern, konsumenlah yang diperbudak oleh pasar. Pasar menjadi semacam agama baru bagi masyarakat kontemporer, ia menjelma sebagi dogma dan doktrin yang sulit ditolak, namun ketika ia dikritik, seseorang sulit untuk keluar darinya. Karena ia menjelma sebagai sistem tanpa “negasi” dari sistem yang lain. Ia berdiri tunggal, ia tidak mempunyai musuh. Ketika ada musuh ia dengan mudah menundukkannya dengan seperangkat ideologi dan jaringan internasional yang ia punya.
Baik Marcuse dan Boudrilard keduanya tidak memiliki alternatif pandangan untuk keluar dari penindasan ini, sementara Marxisme dan perjuangan kelas bagi mereka mempunyai banyak kelemahan asumsi teoritis, lantas bagaimana kita akan keluar dari sistem satu dimensi ini? atau bagaimana kita bisa melawan dogma konsumsi ini? berkali-kali saya berpikir dan merefleksikannya namun sulit untuk mendapatkan jawaban, ada satu jawaban yang bisa diutarakan namun menurut kebanykan orang menybutnya “utopis”  karena menganggap bahwa itu sulit untuk diwujudkan. Cara itu adalah Revolusi Sosialis, namun hal ini sudah menjadi bahan perdebatan dari banyak kalangan. Namun menurut Karl Manheinm bahwa utopia atau fantasi berlebihan akan menimbulkan sebuah perubahan sosial. Oleh sebab itu utopia-pun juga bukan lagi utopia ketika hal itu dapat terwujud. Terkait hal ini siapapun boleh berdebat dan mengkritik ide ini, namun tidak ada cara lain yang bisa dilakukan kecuali dengan mencobanya.


Karya: Danang Pamungkas, DPO Colombo Studies dan PO SR Kampung Halaman


0 komentar:

Posting Komentar